Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namanya adalah Bulan. Sayangnya malam ini sinarnya sedang tidak berpendar. Ada awan kelabu menyelimuti hatinya. Bukan malam ini saja, sudah beberapa hari Bulan bermuka murung, seperti seseorang yang berkabung. Belakangan ketahuan mengapa Bulan menjadi seperti itu. Bulan sedang patah hati. Dia merasa dikhianati, karena sang pujaan telah berpaling hati.
Bulan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamarnya, berkurung. Berkurung tanpa ada kata. Dia keluar bila ada keperluan saja. Setelah itu, dia kembali ke kamarnya. Pintunya dikunci rapat. Kedua orangtuanya merasa khawatir dan bingung. Khawatir karena tidak sedikit orang yang sedang patah hati tidak ragu melakukan hal yang bisa membahayakan diri. Bingung karena sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk membawa Bulan seperti sedia kala.
Akhirnya, Pak Sidik, ayah Bulan, memutuskan untuk meminta bantuan Bi Nuri, meminta saran darinya. Bi Nuri adalah pembantu di keluarga Bulan, sudah puluhan tahun bekerja di rumah keluarga tersebut. Bi Nuri telah mengenal perangai Bulan dengan baik. Bi Nuri memberikan saran agar Bulan diikutsertakan dalam kegiatan muda-mudi desa. Tujuannya agar menghilangkan rasa gundah dalam hatinya, barangkali anak majikannya tersebut membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.
Bi Nuri juga menyampaikan bahwa dalam waktu dekat, para muda-mudi di desa itu akan melakukan kegiatan jelajah alam. Lalu Bi Nuri menyampaikan bahwa anak semata wayangnya yang bernama Bintang juga ikut dalam kegiatan tersebut.
Pak Sidik merasa keberatan. Selama ini dia tidak pernah melepaskan Bulan untuk ikut kegiatan muda-mudi di desanya. Apalagi pada kegiatan jelajah alam. Dia merasa tidak bisa merelakan Bulan mengikuti kegiatan tersebut. Namun di sisi lain, Pak Sidik merasa bahwa Bulan membutuhkan liburan. Dan barangkali ini adalah momen yang tepat untuk Bulan, sembari berharap kegiatan tersebut bisa membuat perasaan Bulan menjadi lebih baik.
Setelah menimbang, akhirnya Pak Sidik membuat keputusan. Dia menginginkan agar Bulan mengikuti kegiatan jelajah alam yang akan diadakan oleh muda-mudi desa tersebut. Dia lalu meminta anak lelaki Bi Nuri itu untuk menjaga Bulan. Bagi Pak Sidik, Bintang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Karena Bintang adalah teman masa kecil Bulan, dan dia telah mengenal Bulan dengan baik maka Pak Sidik memercayakan penjagaan Bulan kepada Bintang, memercayakan keselamatan anak gadisnya kepadanya.
Pak Sidik segera memberitahukan ide tersebut kepada Bulan. Setelah berulang kali mengetuk pintu kamar sang anak gadis, Bulan akhirnya mau keluar dari kamarnya. Bulan menolak, merasa malas berkegiatan menjelajah alam. Namun Pak Sidik tidak mau menyerah begitu saja dengan penolakan Bulan. Dia dengan gigih berusaha meyakinkan Bulan, sehingga Bulan akhirnya berubah pikiran. Bulan berpikir dirinya membutuhkan waktu dan kegiatan yang bisa menenangkan pikirannya. Dia juga tidak mau berlama-lama larut dalam kesedihan.
Menjelajah alam dan menikmati panorama alam bebas sepertinya akan menyenangkan. Ada banyak hal yang bisa dilakukan bersama. Apalagi di sana ada Bintang, sahabat masa kecilnya. Toh Bintang akan menjaganya, bahkan mungkin mau mengorbankan nyawanya. Bulan pun akhirnya memutuskan untuk ikut.
***
Lagi-lagi, Bulan tampak tidak bersinar. Kali ini dia bermuka masam, merasa kesal, bahkan merasa tertipu oleh harapannya. Dalam angannya, perjalanan yang akan dia tempuh akan menjadi sangat menyenangkan. Nyatanya mendaki dan menuruni bukit serta menjelajah hutan bukan perkara mudah, tidak seperti kata orang-orang desa. Lagipula ini adalah pengalaman pertamanya bersentuhan langsung dengan alam liar. Maklum saja, kedua orangtuanya adalah orang yang kaya raya. Selama ini Bulan selalu dimanja, tidak pernah merasakan kesusahan, tidak pernah merasakan keletihan.
Untungnya Bintang terus menjaganya di sepanjang jalan. Berkali-kali dia menjadi wadah luapan emosi Bulan. Bulan merasa kesal akan banyak hal. Dia kesal kepada lumpur, tanah licin yang membuatnya beberapa kali tergelincir, akar dan ranting, pacet, bebatuan, tebing, dan hal lain di alam liar. Tidak tahu harus melampiaskan kekesalannya kepada siapa, maka Bintang menjadi sasarannya. Bintang hanya tersenyum, tidak menggubris omelan yang Bulan sasarkan kepadanya. Tangannya tetap menuntun Bulan, sigap dan waspada terhadap potensi bahaya yang bisa mencederai Bulan.
Setelah menempuh perjalanan yang sulit, membelah hutan, mendaki dan menuruni bukit, serta melewati jalan setapak dengan bebatuannya yang tajam dan sesekali terasa licin, akhirnya para muda-mudi itu telah sampai di tujuan. Untungnya mereka tiba sebelum matahari terbenam. Setelah beristirahat sejenak, para pemuda mendirikan tenda. Sebagiannya lagi membuat perapian untuk memasak, juga membuat api unggun. Bintang membantu membuat perapian. Adapun Bulan, bersama para pemudi yang lain mengolah persediaan makanan untuk dimasak. Meskipun merasa letih, Bulan tetap membantu. Dia tidak sampai hati membiarkan teman-temannya bekerja sementara dia hanya berdiam saja.
Setelah membantu sesuai kesanggupannya, Bulan meminta izin untuk beristirahat kembali. Rasa letihnya belum hilang. Bulan memilih untuk menyendiri, membuat jarak antara dia dan teman-temannya. Kini dia duduk di atas batang pohon yang tumbang, sendiri. Kakinya terselonjor ke depan. Tangannya memijit-mijit kakinya yang terasa pegal.
Kini Bulan tidak lagi menyalah-nyalahkan Bintang. Bahkan emosinya sudah mulai stabil, meskipun badannya terasa pegal-pegal akibat menempuh perjalanan yang melelahkan. Selama sisa perjalanan tadi, Bulan akhirnya berpikir, apa salah Bintang sehingga menjadi wadah luapan emosinya? Bahkan dia merasa kalau Bintang benar-benar menjalankan tanggung jawab yang diberikan ayahnya dengan baik, untuk menjaga dirinya. Kini dia justru merasa bersalah kepada Bintang.
Bintang mendatangi Bulan. Kedatangannya membuyarkan lamunan Bulan. Di tangannya, Bintang membawa segelas wedang jahe. Bintang lalu memberikan minuman tersebut kepada Bulan, dan Bulan menyambutnya. Setelah gelas diterima oleh Bulan, Bintang duduk di sebelah Bulan. Bulan menyesap minuman tersebut setelah mengucapkan terima kasih kepada Bintang.
“Bagaimana kakimu? Masih terasa sakit-sakit, Lan?” Bintang membuka perbincangan, pandangannya diarahkan ke kaki Bulan yang masih memijit-mijit dengan sebelah tangan. Bintang juga akhirnya menyelonjorkan kakinya seperti yang Bulan lakukan.
“Yah, begitulah. Kamu bisa lihat sendiri, kan?” Bulan menjawab sambil menggosok-gosok kakinya. Sementara tangannya yang lain masih memegang gelas.
“Kalau hatimu? Masih sakit?” Bintang memberanikan diri menanyakan hal yang sensitif bagi Bulan, dengan nada bercanda. Dia tahu bahwa Bulan baru saja patah hati.
“Apa, sih?” Sergah Bulan, lalu menyesap wedang jahenya.
Di depan mereka, para muda-mudi tampak bercengkerama. Mereka bercanda, lalu tertawa. Sebagian yang lain duduk beristirahat. Sebagian pemudi masih sibuk di perapian, menyiapkan masakan yang hendak disantap malam ini.
“Ceritakan saja. Aku sudah tahu semua, kok. Ayahmu sudah menceritakannya kepadaku. Nah, giliran kamu yang seharusnya menceritakannya kepadaku.” Bintang mencoba menggoda Bulan.
“Malas cerita, ah. Sedang letih. Lagipula kamu kan sudah tahu, buat apa aku cerita lagi?” Bulan menjawab dengan ketus. Tangannya masih memijit-mijit kakinya. Bintang tersenyum melihat wajah ketus Bulan.
“Sini, aku pijit. Lagipula, kamu jarang berolahraga. Coba seandainya kamu keluar masuk hutan seperti aku, mengambil kayu bakar, menimba air, pasti tidak akan terasa pegal-pegal kalau disuruh menjelajah alam.”
“Ih, tidak mau. Siapa juga yang mau dipijit? Lagipula sedang pegal-pegal seperti ini, malah disalah-salahkan. Tahu begini, lebih baik aku di rumah saja. Hangat, nyaman di kamarku.”
“Nyaman dengan perasaan patah hatimu itu?” Bintang tersenyum, namun tidak dengan Bulan. Bulan tidak menggubris. Mukanya justru semakin masam.
Malam mulai menyapa. Suara-suara khas hutan mulai bermunculan. Suara nyanyian alam sebagai sebuah harmoni yang indah dengan keselarasannya menjadi perpaduan bunyi-bunyian memanjakan pendengaran. Bunyi-bunyian khas alam semesta, bersaing dengan suara gelak tawa muda-mudi yang sesekali menggelegar.
Bintang lalu berdiri sembari menarik tangan Bulan. “Ikut aku,” ajaknya.
Bulan penasaran, tidak langsung beranjak. “Mau ke mana?”
Bintang melihat ke arah teman-temannya yang masih sibuk bersenda gurau, sebagiannya masih memasak, sebagian lagi menghangatkan diri di depan api unggun. “Sudah, ikut saja.” Bintang menarik Bulan dengan lembut.
Bulan tidak kuasa menolak, dia meletakkan gelas yang dia pegang lalu berdiri. Keduanya lantas berjalan membelah malam, menyibak ilalang. Cahaya lampu senter yang dibawa oleh Bintang menerobos kegelapan. Sesekali angin berembus membuat Bulan bergidik. Tangan kiri Bintang tetap menggandeng Bulan.
“Kalau berniat macam-macam, awas ya. Aku laporkan ayah nanti.” Bulan mengancam. Namun Bintang tidak merespons. Mereka terus menelusuri jalan setapak hingga akhirnya tiba di padang ilalang.
“Aku serius lho, Bin.” Bulan menegaskan. “Kita mau ke mana?” Bulan bertanya sekali lagi. Bintang tertawa.
“Ssstt… Sabar. Sebentar lagi sampai.”
Sesampainya di penghujung padang ilalang, terdapat tebing dengan panorama laut menghampar di depannya. Sayangnya pekat malam menutupi lautan. Namun hal tersebut justru membawa keindahan yang berbeda. Nan jauh di sana mereka bisa melihat lampu-lampu yang berkerlap-kerlip, berasal dari pulau-pulau kecil yang ada di sekitar. Ada juga sorot lampu dari menara mercusuar. Di atas mereka, bintang berhamburan menyuguhkan gemerlap keindahan. Dan malam ini juga adalah malam purnama. Pendar bintang-bintang dan purnama memantul di atas permukaan laut, memberi kesan seolah mereka berada di dunia paralel. Semua keindahan itu berpadu menjadi harmoni yang mengagumkan. Ditambah dengan suara keras dari debur ombak sebagai pelengkapnya, memecah keheningan. Sungguh semua itu menciptakan keindahan yang paripurna.
“Indah sekali.” Bulan membelalakkan matanya, merasa takjub.
“Kamu lihat, semua keindahan itu berpadu. Keindahan angkasa, keindahan lautan, dan keindahan daratan.” Bintang bertutur. “Dan semua tampak kecil dari sini. Padahal sebenarnya semua itu tidak benar-benar kecil. Justru benda-benda itu, bintang-bintang di atas sana juga purnama adalah benda-benda angkasa yang besar. Pulau yang di sana (sembari menunjuk ke depan) berukuran cukup luas. Namun semua tampak kecil.” Bintang menjeda ucapannya. Lalu melanjutkan, “Bila semua benda besar itu terlihat kecil, bagaimana dengan kita jika dibandingkan dengan alam semesta? Kecil sekali seperti molekul.”
“Molekul itu apa?”
“Entahlah, aku juga tidak tahu. Biar kedengaran keren saja.” Bintang mengangkat bahunya, kemudian tertawa.
“Huuh… Terlalu banyak membaca sih, jadinya begini.” Bulan meledek.
Bulan menggosok kedua telapak tangannya sambil meniup-niup. Udara dingin menusuk. Perpaduan antara udara malam, atmosfer perbukitan, serta tiupan angin laut menghadirkan hawa dingin. Bintang tersenyum saat melihat ke arah Bulan, lalu mengeluarkan sepasang sarung tangan dari sakunya dan memberikannya kepada Bulan. Bulan merengkuh sarung tangan tersebut lalu mengenakannya. Kemudian mengucapkan terima kasih. Suasana kembali hening, hanya suara ombak yang memecah sunyi.
“Kalau aku tahu ada kegiatan seru seperti ini, dari dulu aku sudah ikut. Kamu tega, Bin, tidak memberitahuku.” Bulan menepukkan tangannya ke bahu. Bintang tertawa pelan.
“Bukan bermaksud untuk tidak memberitahumu, tapi aku tidak tahu cara memberitahukannya, Lan. Kamu seperti seorang puteri yang dipingit. Lagipula kamu selama ini tidak mau bergaul lagi denganku. Kamu justru memilih jalan pergaulanmu sendiri. Sampai-sampai kamu mengenal dan merasakan patah hati.” Bintang lagi-lagi tertawa, kali ini Bulan membelalakkan matanya ke arah Bintang. “Seharusnya kamu bersyukur dengan patah hatimu itu. Karena patah hatimu itu justru membawamu sampai ke sini, bersamaku.”
“Dih, apaan sih?” Bulan tersipu. Lalu tangannya mencubit lengan Bintang. Bintang tertawa, merasa puas mengerjai Bulan dengan ucapannya.
“Mungkin perasaan patah hatimu itu merupakan cara yang Tuhan pilih untuk memberitahumu. Bahwa kamu telah menambatkan hati kepada orang yang salah. Sebegitu baiknya Tuhan kepadamu, agar kamu tidak berlarut-larut dalam kesalahan tersebut.” Bintang melanjutkan, lalu menghela napas. Suasana hening. “Tuhan telah memberitahumu dengan cara yang terbaik bahwa dia bukanlah orang yang pantas untukmu. Coba seandainya hubungan itu terus berlanjut, apa yang akan terjadi? Tuhan tidak mengambil sesuatu darimu, namun Dia hendak menukarnya dengan sesuatu yang lebih baik, yang lebih pantas untukmu.”
Bulan menghela napas, masih terdiam. Pandangannya mengarah ke arah laut lepas di hadapannya.
“Kamu benar, Bin. Aku seharusnya tidak perlu meratapi seseorang yang tidak pantas untukku. Itu hal konyol. Tapi ngomong-ngomong, tidak sia-sia kamu membaca banyak buku. Pengetahuan telah membuatmu menjadi bijaksana.” Bulan berujar. Dia lalu mendongakkan kepalanya ke atas, menatap gugus bintang di langit.
Bintang tersenyum, lalu berkata, “Menjadi bijaksana tidak harus dengan membaca banyak buku. Yang perlu dilakukan untuk menjadi bijaksana adalah dengan bersikap jujur, mau memahami, dan ….” Bintang menjeda perkataannya.
“Dan apa?” Bulan bertanya penasaran.
“… dan merasakan hidup susah.” Bintang melanjutkan perkataannya yang terputus.
“Heh, jadi maksudmu, selama ini aku tidak pernah merasakan hidup susah?” Bulan memprotes sembari berkacak pinggang.
Bintang mengangguk, lalu berkata, “Bisa jadi.” Bintang lagi-lagi menjeda perkataannya, kemudian melanjutkan, “Selama ini kamu selalu hidup di zona nyaman, makanya saat kamu tertimpa suatu masalah, kamu anggap itu sebagai sesuatu yang besar, dan tidak bisa memutuskan secara bijaksana.”
“Heh, jadi maksudmu, kalau ingin jadi bijaksana, aku harus rela hidup susah?” Bulan sekali lagi memprotes.
“Hmmm… Bisa jadi. Mau hidup susah denganku?” Bintang menjawab.
“Dih, modus.” Lalu keduanya tertawa lepas.
“Nah, begitu dong. Akhirnya kamu bisa tertawa juga.” Keduanya lalu tertawa lagi. Tawanya membelah malam, membelah kesunyian, berseteru dengan suara debur ombak laut lepas.
“Terima kasih ya, Bin.”
“Untuk apa?”
“Untuk semuanya, khususnya untuk malam ini.” Senyum Bulan mengembang, Bintang juga demikian.
“Oh iya, kalau ada kegiatan jelajah alam lagi ajak aku ya? Awas kalau kamu tidak memberitahuku.” Bulan mengingatkan.
“Dalam waktu dekat, sepertinya tidak ada.” Bintang berkata, menjeda kalimatnya, dahinya berkerut seolah memikirkan sesuatu. “Tapi aku punya kegiatan lain yang mungkin kamu akan menyukainya. Namun aku ragu apakah kamu nanti akan diberi izin untuk mengikutinya atau tidak.”
“Kegiatan apa itu?” Bulan bertanya penasaran. Bintang lalu menyampaikan perihal kegiatan tersebut. Bulan mendengarnya dengan antusias, raut mukanya menunjukkan kegirangan.
“Aku ikut. Kapan kegiatan itu akan dilaksanakan?” Bulan bertanya.
“Minggu depan. Tapi aku ragu, sepertinya Pak Sidik tidak akan mengizinkanmu mengikuti kegiatan tersebut.” Bintang mengulangi ucapannya.
“Kenapa tidak? Selama ada kamu, mungkin saja ayah akan mengizinkanku.”
“Kalau tetap tidak diizinkan, meskipun ada aku, bagaimana?”
“Ya, aku hanya perlu berbuat seperti kemarin: Berpura-pura patah hati lagi, mengurung diri, berakting sedih, lalu aku pasti akan mendapatkan izin dari ayahku.” Bulan tertawa, tawa lepas sekali lagi.
“Kalau soal berakting, kamu memang jago.” Bintang berkelakar, lalu tertawa. “Memangnya siapa yang membuatmu patah hati sekali lagi?” Bintang bertanya, menggoda.
“Kamu.” Bulan menjawab singkat. Keduanya tertawa lagi.
Malam beranjak semakin larut. Angin laut berbisik, menerpa dengan hembusannya yang menusuk, membuat bergidik. Ditambah lagi, rasa lapar sudah menghampiri. Bintang lalu mengajak Bulan kembali. Sudah cukup lama waktu dihabiskan oleh mereka berdua. Khawatir bila teman-teman mereka merasa kehilangan. Bulan dan Bintang lalu beranjak pergi menuju ke perkemahan.
***
Laut biru menghampar luas. Di atasnya ada sebuah kapal motor sedang berlayar. Itu adalah kapal motor yang ditumpangi oleh Bulan, Bintang, lima orang teman Bintang, beserta beberapa penumpang lain. Mereka sedang menuju ke suatu tempat.
Kegembiraan merayap ke dalam hati Bulan. Kegembiraan itu tak bisa disembunyikan, terpancar dari wajahnya. Meski tinggal di pesisir pantai, ternyata Bulan belum pernah mengarungi lautan.
Setelah beberapa lama berlayar, mereka akhirnya tiba di dermaga sebuah pulau. Langit yang cerah menjadikan lautan tampak seperti kaca, memperlihatkan terumbu karang yang ada di dalamnya. Ikan-ikan beraneka warna dan jenis tampak saling berkejaran. Ada juga berkerumun di sekitar terumbu karang.
Untuk pertama kalinya Bulan menjejakkan kakinya di pulau tersebut. Bersama Bintang dan kelima orang temannya, mereka akan melakukan kegiatan yang disampaikan oleh Bintang tempo hari. Sekumpulan anak kecil bersorak senang saat melihat mereka. Anak-anak tersebut memanggil-manggil nama Bintang dan teman-temannya. Ada yang minta bersalaman lalu mengecup telapak tangannya.
Sejak kepulangannya dari kegiatan jelajah alam, hubungan Bintang dan Bulan tampak akrab. Baik Pak Sidik maupun Bi Nuri menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Malah Pak Sidik merasa senang karena Bintang telah berhasil membawa perubahan yang baik kepada Bulan. Perubahan yang drastis terjadi pada sikap dan pola pikir Bulan.
Ada rasa khawatir di hati Bulan saat hendak menyampaikan maksudnya untuk ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan oleh Bintang dan teman-temannya. Oleh karena itu, Bulan memohon kepada Bintang agar bersedia menjadi perantara antara dia dan ayahnya. Sebagai pamungkas, Bulan sudah berancang-ancang untuk berakting seperti tempo hari bila permintaannya tidak dikabulkan oleh ayahnya.
Di luar dugaan. Ternyata tidak sulit untuk mendapatkan izin Pak Sidik saat Bintang mendatanginya, mengutarakan maksudnya memintakan izin untuk Bulan agar dia bisa ikut serta pada kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Bintang. Pak Sidik justru merasa senang jika Bulan turut serta dalam kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan oleh Bintang. Apalagi dia melihat perubahan yang baik pada diri Bulan sejak mengikuti kegiatan yang diikuti oleh Bintang.
Sorak sorai anak-anak pulau mengiringi langkah tujuh orang yang baru saja tiba. Ketujuh orang itu melangkah dengan mantap, disambut dengan meriah. Sekilas memori Bulan kembali ke momen perbincangannya dengan Bintang pada malam itu.
“Kegiatan apa itu?” Bulan bertanya penasaran.
“Mengajar anak-anak di sebuah pulau. Kamu tahu, Lan, nasib anak-anak di pulau itu tidak seberuntung nasib anak-anak di desa kita. Mereka tidak memiliki sekolah. Sebelumnya mereka bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan.” Bintang menjeda perkataannya, menghela napas, lalu melanjutkan, “Padahal mereka seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan. Sayangnya, kesempatan itu baru mereka miliki sejak kami datang ke pulau itu.”
“Kami?”
“Ya, aku dan beberapa orang teman yang tergabung dalam relawan Pengajar Muda Lentera Negeri. Kami seringkali diutus ke sana untuk menunaikan amanat pendidikan bagi anak-anak itu.” Bintang menjeda perkataannya, lalu melanjutkan, “Pulau itu tidak memiliki gedung sekolah, Lan. Meski begitu, semangat belajar mereka tidak pernah surut. Keterbatasan tidak menggoyahkan semangat mereka untuk belajar.”
“Aku ikut….” Bulan mengajukan diri. Entah kenapa, cerita Bintang mengetuk hatinya yang terdalam, mengusik nuraninya untuk ikut membantu.
Bulan merasa asing dengan suasana kampung di pulau tersebut. Langkahnya mantap menapaki jalan setapak berpasir, melewati rumah-rumah berdinding kayu di kiri dan kanan jalan, matanya memandangi sudut-sudut perkampungan, senyumnya tersungging saat ada penduduk desa yang menyapanya.
Seorang warga desa, lelaki tua, menyambut kedatangan Bintang dan rombongan. Lelaki tua tersebut mempersilakan Bintang beserta teman-temannya beristirahat sejenak di rumahnya. Bintang memperkenalkan lelaki tersebut kepada Bulan. Setelah beristirahat, mereka lalu berjalan menuju ke sebuah tanah lapang. Anak-anak yang tadi menyambut kedatangan mereka, kini telah berada di tanah lapang tersebut. Anak-anak itu sudah terbagi menjadi enam kelompok. Mereka telah bersiap untuk belajar.
“Anak-anak ini adalah murid-murid kami. Jumlah mereka cukup banyak. Seperti yang pernah aku katakan, nasib mereka tidak seberuntung anak-anak di desa kita. Jadi kami rutin datang ke sini, mengajari mereka membaca dan menulis. Nah, kalau tidak salah, kamu lebih mahir dalam pelajaran berhitung dibanding aku. Mau ikut mengajari mereka?” Bintang merangkum perkataannya kembali, lalu menawarkan kesempatan kepada Bulan.
Hati Bulan luluh melihat anak-anak tersebut. Dengan cepat dia mengangguk. Bintang lalu memberi kesempatan kepada Bulan untuk berinteraksi dengan anak-anak tersebut. Ternyata Bulan tidak membutuhkan waktu lama untuk menjadi akrab dengan anak-anak tersebut. Bulan tampak menikmati kebersamaannya dengan anak-anak tersebut. Suaranya riuh, sesekali suara tawa terdengar dari mulut mereka.
Selepas kegiatan belajar mengajar, Bintang mengajak Bulan ke dermaga, bersama dengan murid-murid yang diajarnya. Sesampainya di tepi dermaga anak-anak itu lalu melepas pakaian mereka, kemudian melompat satu persatu ke laut.
“Ayo, Kak Bintang. Lompat ke sini!” Anak-anak berseru dari permukaan laut, mengajak Bintang.
“Aku ikut lompat, ya.” Bintang berkata kepada Bulan. Setelahnya Bintang mengambil ancang-ancang, kemudian berlari, dan akhirnya melompat. Terdengar suara berdebur setelah Bintang melompat ke dalam air. Anak-anak itu ada yang menaiki dermaga lagi, lalu melompat ke laut. Begitu terus, hingga berulang-ulang.
“Ayo, lompat, Kak Bulan!” Anak-anak berseru, mengajak Bulan. Namun Bulan menolak. Anak-anak itu memaksa Bulan, namun Bulan tetap menolak, tidak berani.
Suara tawa dan teriakan-teriakan saling bersahutan memenuhi dermaga. Hingga sore tiba, anak-anak itu masih menikmati kegiatan berenang di dermaga. Bintang sejak beberapa waktu yang lalu telah naik ke atas dermaga. Kini dia duduk bersama Bulan, menatap matahari sore yang hendak tenggelam.
“Aku tidak menyangka, kita bisa dekat lagi, seperti masa kecil dulu.” Bintang berujar, memulai perbincangan.
“Ya, itu karena perasaan patah hatiku yang konyol itu.” Bulan berseloroh, kemudian tawanya menyeruak, disusul tawa Bintang. Kali ini dia bisa menertawakan perasaan patah hatinya, menganggapnya sebagai sebuah lelucon.
“Kenapa kita pernah saling berjauhan ya?” Kali ini Bulan bertanya.
“Aku rasa kita memiliki jawaban menurut versi kita masing-masing. Kalau menurutku, mungkin kita pernah memiliki perbedaan pandangan dalam menyukai sesuatu, atau karena memiliki perbedaan sudut pandang. Kalau menurutmu?” Bintang berujar, mengutarakan pendapatnya.
“Sepertinya aku sependapat denganmu. Ditambah lagi, sebelum berkegiatan jelajah alam, aku menganggapmu seperti seseorang yang sama sekali tidak menyenangkan. Ternyata aku salah. Aku tidak menyangka kamu ternyata seperti ini. ” Bulan berujar, senyumnya tersungging lebar hingga menampakkan gigi-giginya yang putih.
“Memangnya aku seperti apa?” Bintang berseloroh, mulai menyelidik.
Bulan tertawa renyah. “Menyenangkan dan tidak terduga.”
Bintang juga tertawa. Setelah tawanya reda, dia berkata, “Kadang kita tidak melihat seseorang dengan benar. Kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat, sesuai dengan keinginan atau kepentingan kita saat itu. Namun suatu saat pandangan tersebut bisa berubah saat keinginan atau kepentingan kita juga berubah. Makanya saat kamu kemarin patah hati, pandanganmu tidak lagi sama bila dibandingkan kita sebelum mengalami patah hati. Semua tergantung keinginan dan kepentingan.”
“Tuh kan. Membahas itu lagi.” Bulan cemberut, lalu mencubit lengan Bintang. Bintang tertawa lirih. Setelah tawanya reda, suasana menjadi hening.
Bintang dan Bulan kembali menatap senja yang berwarna merah. Kini hanya tersisa mereka berdua. Anak-anak yang berenang di laut sudah pulang ke rumah masing-masing sejak tadi.
“Oh iya. Aku ingin menyampaikan sesuatu. Ini tentang rencanaku di masa depan.” Bintang mengawali perbincangannya kembali. Mendengar itu, Bulan lalu memalingkan wajahnya ke arah Bintang, menanti kalimat yang hendak disampaikan.
“Sampaikan saja.” Bulan berujar singkat.
“Kamu tahu, kan kalau desa kita penuh dengan keterbatasan.” Bintang menjeda kalimatnya, Bulan mengangguk. “Sudah sejak lama aku memimpikan untuk melanjutkan studiku. Aku tidak ingin berhenti sampai sebatas lulus SMA. Masih ada jenjang-jenjang pendidikan yang ingin aku jejaki.” Bintang menjeda lagi. “Aku ingin belajar ke kota, Lan. Tempat di mana tidak ada sekat antara aku dan ilmu pengetahuan.”
Bintang menjelaskan panjang lebar. Seketika rasa penasaran Bulan luruh. Ucapan yang keluar dari lisan Bintang tidak seperti yang dia harapkan.
“Aku benar-benar ingin menjadi guru, Lan. Sayangnya, aku tidak bisa berbuat banyak kalau hanya mengandalkan kesempatan di desa. Aku justru merasa kerdil jika tidak keluar dari desa.” Bintang menjeda ucapannya, menghela napas. “Aku bersyukur, mendapatkan kesempatan untuk mengajar anak-anak ini. Mereka adalah anugerah. Aku menyayangi mereka.”
“Jika kamu pergi, lalu kamu akan meninggalkan mereka?”
Bintang tersenyum, menghela napas, memandang ke arah Bulan lalu berkata, “Sebelum kau ada, aku merasa tidak pernah bisa meninggalkan mereka. Saat itu aku tidak punya piihan lain selain harus membersamai mereka. Lalu kamu kemudian hadir, Lan. Dan kehadiranmu di sini telah memberikan satu pilihan lain: jika aku tidak ada, masih ada kamu untuk mereka.”
“Kali ini akan ada banyak hati yang patah karena kepergianmu, Bin. Hati anak-anak itu, dan ….” Bulan menghentikan perkataannya sejenak, terasa seperti tersekat, lalu melanjutkan, “… hatiku.”
Bintang tersenyum lebar, lalu berkata, “Sebentar-sebentar. Hati siapa yang akan patah? Hati anak-anak itu dan hati siapa?” Bintang menggoda Bulan. Wajah Bulan merona.
“Ih, apaan sih?” Bulan tertawa lirih. Tangannya mencubit lengan Bintang. Keduanya tertawa.
“Ternyata hati bisa begitu cepat berubah, ya. Andai saja kepergianku terjadi sebelum kita bertemu lagi, apakah kamu akan merasakan patah hati?” Senyum lebar Bintang tersungging.
Bulan mengangkat bahunya, menjawab dengan isyarat tanpa berkata apa-apa.
“Eh, balik yuk. Hari sudah hampir gelap. Besok kita masih ada kegiatan mengajar lagi.
***
Keesokan harinya, anak-anak berkumpul kembali di tanah lapang. Mereka telah bersiap untuk belajar. Kali ini Bintang memberikan kesempatan untuk Bulan mengajar anak-anak tersebut dari awal hingga akhir. Bulan ternyata sangat piawai dalam menyampaikan pelajaran. Anak-anak juga terlihat sangat antusias menyimak pelajaran yang disampaikan Bulan. Keceriaan terpancar dari wajah-wajah mereka. Tak terasa waktu bergulir, matahari kian meninggi, jam sekolah berakhir.
“Kak Bulan, apakah Kakak akan mengajar kami lagi?” Jihan, salah seorang murid berujar setelah Bulan menutup pelajaran. Bulan tidak langsung menjawab. Dia menoleh ke arah Bintang, meminta persetujuan. Bintang tersenyum, kepalanya mengangguk pelan.
“Tentu saja, Jihan. Kakak akan ke sini lagi. Dengan syarat, kalau Kak Bintang mengajak Kakak lagi.” Bulan berujar, senyumnya mengembang.
Anak-anak itu lalu melihat ke arah Bintang dengan penuh pengharapan. “Kak Bintang, ajaklah Kak Bulan terus setiap kali Kakak ke sini.” Pinta salah seorang murid lain, disusul dengan riuh permintaan lain.
Bintang tersenyum lalu berkata, “Ya, Kak Bulan akan selalu membersamai kita semua di sini. Kalian tidak perlu khawatir.”
Anak-anak itu bersorak bahagia. Setelahnya, mereka menyalami Bulan satu persatu lalu beranjak pergi. Sebagian melambaikan tangan saat mereka sudah menjauh. Bulan dan Bintang membalasi mereka dengan lambaian tangan juga.
Sore harinya rombongan pengajar itu berpamitan setelah sebelumnya mereka beristirahat dan bersantap siang, menikmati jamuan makan siang di rumah kepala kampung. Mereka berpamitan, diiringi sorak sorai anak-anak. Mereka lalu menuju ke dermaga, menaiki kapal motor, mengarungi lautan hingga akhirnya mereka tiba di rumah masing-masing.
Pada kesempatan-kesempatan yang lain, Bintang, Bulan, beserta rombongan kembali lagi. Dan Bulan senantiasa menyertai mereka, menunaikan janjinya kepada anak-anak pulau. Bulan menikmati perannya sebagai seorang guru, sebagai relawan pengajar muda. Dia tidak menyoal bayaran yang dia dapatkan. Baginya kini bisa melihat senyum ceria anak-anak pulau saat dia mengajar adalah bayaran yang paling mahal yang dia terima. Tak ternilai harganya.
***
Bintang duduk di sebelah Bulan di teras depan rumah Pak Sidik. Dia dan Bulan saling bertatapan, lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bagi Bintang, dia ingin menatap wajah Bulan selama yang dia bisa, berharap agar wajah Bulan bisa diingatnya baik-baik sebelum dia pergi.
“Sudah pasti?” Bulan bertanya. Bintang terdiam. “Tidak berubah pikiran?” Bulan bertanya sekali lagi. Bintang masih terdiam. “Kenapa harus pergi?”
“Aku ingin menjadi lentera, Lan. Lentera dengan sinar yang lebih besar.” Bintang menjawab.
“Maksudmu?” Bulan bertanya, tidak paham.
“Aku ingin menjadi orang yang bermanfaat. Dan aku merasa aku harus pergi agar aku bisa memberikan manfaat yang lebih besar.”
“Ya. Tapi tidak perlu pergi jauh-jauh untuk menjadi orang yang bermanfaat, kan? Apa yang kamu lakukan selama ini sudah membuktikan itu semua.”
“Terkadang, perlu, Lan. Ada banyak hal yang aku ingin pelajari di luar sana, dan itu tidak aku temukan di sini.”
“Tapi di sana tidak ada aku. Tidak ada kita.”
Bintang menggenggam tangan Bulan. Dan Bulan juga mengenggam tangan Bintang, membuat Bintang merasa enggan untuk meninggalkannya. Tapi dia harus pergi, karena dia sudah mendapatkan kesempatan yang selama ini dia impikan. Ya, Bintang berhasil memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi di sebuah perguruan tinggi di kota.
“Tidak ada jarak yang cukup jauh untuk dua orang yang saling merindu. Dan tidak ada waktu yang cukup lama untuk dua orang yang saling memperjuangkan hati.” Bintang berujar.
“Kamu akan kembali, kan? Berjanjilah, bahwa kamu akan kembali lagi.”
“Ya, aku berjanji, akan kembali lagi, untukmu.”
Bulan mempererat genggaman tangannya. Air matanya jatuh. Bintang menyeka lembut air mata Bulan dengan ibu jarinya.
“Kamu tahu, Bin, hari ini kamu membuatku kembali merasakan patah hati. Sekali lagi, aku harus rela. Apalagi aku tahu, kepergianmu bukan semata untuk kepentingan pribadimu. Pergilah, Bin. Bawa lentera itu kembali.”
Bintang mengangguk, kemudian berkata, “Pasti. Dan kamu, berjanjilah bahwa lenteramu tidak akan redup.” Bintang menjeda perkataannya, lalu melanjutkan, “Dan, berjanjilah untuk selalu menyertai anak-anak itu.”
Bulan mengangguk pelan, lalu berkata, “Ya, aku berjanji.”
Bintang lalu menggotong tasnya ketika melihat mobil yang akan dia tumpangi tiba. Langkahnya menjauh, diiringi dengan lambaian tangan Bi Nuri, Pak Sidik, dan Bulan. Bintang melihat ke arah Bulan. Dia tahu, bahwa Bulan mencoba untuk tegar. Dia lalu membalasi lambaian tangan mereka.
Dari kejauhan, Bintang kembali memandang sosok Bulan lamat-lamat. Kini justru dia seolah tidak rela melepasnya dari pandangan. Bintang terus memandangnya hingga akhirnya sosok Bulan benar-benar menghilang.
***
Dua bulan berlalu. Sebuah amplop berwarna kecokelatan berukuran besar diantarkan ke kosan Bintang. Dia menerima amplop tersebut dari pemilik rumah kos saat dia baru saja pulang dari kuliah saat senja sudah mulai berwarna merah. Dia memeriksa amplop tersebut, membaca nama pengirimnya. Matanya seketika berbinar.
Amplop itu menjadi sangat istimewa saat dia mengetahui nama pengirimnya. Bintang kemudian bersegera membukanya. Dia mendapati tiga lembar foto, dan sepucuk surat di dalamnya. Dia memandangi foto-foto itu satu persatu. Foto-foto itu menampilkan gambar Bulan bersama dengan anak-anak pulau. Dua buah foto menampilkan sosok Bulan dan anak-anak berfoto bersama dengan latar “kelas” (tanah lapang tempat anak-anak itu belajar). Dan satu foto lain menampilkan sosok Bulan bersama dengan anak-anak, mereka sedang berada di dermaga. Mereka tampak basah kuyup, baik Bulan mau anak-anak itu. Raut bahagia terpancar dari wajah mereka.
Bintang lalu membalikkan salah satu foto. Dia menjumpai pesan singkat tertulis di bagian belakang foto: Salam rindu dari kami semua buat Kak Bintang. Semoga Kakak sukses selalu. Bintang menyunggingkan senyumnya.
Bintang lalu mengambil sepucuk surat dari dalam amplop cokelat. Dia lalu menyobek amplop putih yang membungkus surat tersebut dengan hati-hati, lalu membaca surat itu dengan suara lirih.
Surat yang ditulis oleh Bulan kepada Bintang itu berisikan tentang ungkapan kerinduan, darinya dan dari anak-anak pulau. Surat itu juga berisikan pengharapan dan doa akan keberhasilan Bintang, agar dia segera kembali lagi setelah memperoleh lentera yang nantinya akan dipergunakan untuk menerangi kehidupan.
Bintang tersenyum. Sesaat setelah selesai membaca surat itu, dia melipatnya kembali dan memasukkannya ke dalam amplop besar. Bintang lalu berjalan keluar, dan berhenti di ambang teras rumah kosnya sembari memandang langit senja yang menyemburatkan cahaya merah. Senyumnya merekah. Dengan suara berbisik, Bintang berkata, “Kaulah lentara itu, Bulan.”