Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Menjadi seorang muslim yang baik adalah suatu perkara yang sangat sulit untuk di terapkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam hidupku saat ini. Aku hanyalah seorang pemuda biasa yang tak kenal lelah berusa meraih hal yang terbaik menurut pandangan dan pemikiran sendiri tanpa melihat jejak jerih payah orang lain. Sampai suatu hari aku menikah dengannya. Membuat perubahan pada segala galanya. Suatu perubahan yang membuatku merasa hidup tak lagi berarti tanpa sosoknya.
Hari itu sangat gelap dan aku baru saja pulang dari sekolah tempatku bekerja. Sebuah sekolah swasta yang penghasilanya cukup pas-pasan. Tidak hanya itu, rasa lelah saat ini bahkan serasa sedang menusuk-nusuk jiwaku hingga teringin sekali aku membantingkan tubuh ini ke atas kasur dengan segera. Melupakan semua yang terjadi dan masuk pada dunia ke duaku.
Kira kira seperti itulah yang aku pikirkan saat aku tengah menyusuri jalan raya di sore hari sambil hujan-hujanan. Ya, suasana dingin itu benar-benar membuatku merasa ingin segera tidur dikasur yang hangat, merasakan empuknya pelukan selimut yang tak ada tandinganya. Hari ini tak biasanya aku lupa membawa jas hujan. Lalu aku juga sangat takut untuk mengebut lagi setelah terjadi kecelakan empat tahun yang lalu ketika aku masih berada di bangku kuliahan. Sebuah pemandangan yang takan pernah kulupakan seumur hidupku.
“Kenapa saat hujan deras seperti ini, aku bisa sampai lupa menyimpan jas hujan …” Aku menoleh ke sana ke sini mencari tempat untuk bernaung dari derasnya hujan, sambil mengendarai motor. Namun tidak kunjung ketemu juga.
Sepanjang jalan yang bisa kulihat hanyalah pesawahan besar dan luas dan tidak ada satupun pohon di sekitar jalan ini. Terlebih lokasi rumah tinggalku masihlah sangat jauh dari tempatku berada saat ini. Sampai beberapa menit kemudian aku melihat suatu rumah makan kecil di tepi jalan yang masih buka namun terlihat agak sepi. Aku memutuskan untuk berteduh di sana sampai hujan reda, dan jika diingat-ingat kembali dari adzan asar aku masih belum makan kembali.
“Assalamualaikum … Bu, apakah makanannya masih ada?” Aku masuk dengan baju yang sudah basah kuyup. Mengingat curah hujan yang sangat daras hari ini.
Sedari tadi aku berada di warung ini menunggu pemilik warung dengan berdiri, aku melihat kondisi warung makan sederhana ini, tapi masih belum ada yang muncul bahkan menjawab salamku. Suasananya benar-benar sunyi dan jika dibilang entah kenapa makanan yang ada di tempat ini begitu sedikit. Aku pikir bahwa tempat ini mungkin selalu ramai pembeli. Jujur saja, aku baru pertama kali datang ke warung ini.
“Ibu, assalamualaikum … Saya mau beli!” ucapku lebih keras.
“Yang benar saja, pemilik tempat ini seperti tak punya niat jualan,” batinku.
Setelah beberapa menit aku menunggu aku mulai sedikit kesal namun, hatiku mencoba untuk terus bersabar karena emosi di saat keadaanku seperti ini nggak ada gunanya. Di warung makan itu aku masih berdiri memandangi hujan sambil menunggu ada tanda-tanda pemilik warung.
“Nak, kenapa masih berdiri di sana … duduk, duduk.” Terdengar olehku suara seseorang di belakangku. Aku langsung menoleh dan tersenyum hangat kepada beliau.
“Iya bu, terimakasih.” Ucapku membalasnya mengingat perutku sudah lapar akibat hujan yang tiba tiba datang itu.
Aku kemudian duduk di salah satu bangku kayu yang telah di sediakan, lalu memesan makanan yang ada di sini. Satu fakta yang mengejutkan tentang tempat ini, tempat ini kata Si ibu pemilik waraung adalah warung makan yang selalu laris dulunya. Namun beberapa tahun hingga saat ini, usaha si ibu kini kian kerap kali menurun. Hal itu adalah karena sang suami pemilik rumah makan ini telah meninggal. Dan semua makanan di warung ini dahulunya dipasak oleh almarhum, tapi kini hanya ibu pemilik warung yang memasaknya, sehingga cita rasa dari makanannya juga berbeda.
“Jadi bu, kalau boleh tahu suami ibu meninggalnya kapan, maaf sebelumnya bu daya bertanya hal itu…” tanyaku di sela sela dia bercerita tentang warungnya.
“Tidak apa apa nak, kurang lebih sudah 4 tahun yang lalu. Tabrakan …” ucapnya pelan.
Aku hanya terdiam sejenak mengingat kembali kata ‘Tabrakan’ yang Ibu warung ini ucapkan tadi. Saat aku datang dan melihat wajah si ibu lebih dekat, satu kenangan pahit kini mulai teringat kembali olehku. Lalu kata kata nya tadi sudah cukup buatku untuk menyadari bahwa kenyatan kecelakaan 4 tahun lalu itu ada kaitanya dengan diriku dan temanku kelasku di perkuliahan.
***
Kepalaku sangat pusing saat ini, dan panglihatanku yang bisa aku lihat hanyalah warna merah pekat menyala . Aku tidak menyangka hal seperti ini bisa terjadi padaku ataupun yang lainya, tapi kurasa hal ini memanglah sebuah takdir yang harus aku alami. Jika saja aku bisa mengulang waktu, aku tidak ingin dibonceng oleh temanku ngebut ngebutan di jalan raya, apalagi jika tahu hasilnya akan menjadi seperti ini.
“Bapak, pak, bangun pak …” Suara yang sering menghantuiku kala itu, tangisan seorang wanita yang kehilangan ayahnya di jalan itu. Banyak saksi mata di sini, aku, perempuan itu. Bahkan korban lainya akibat tabrakan beruntun ini. Tidak ada yang membantu sama sekali, rasa sakit yang ku rasakan mungkin tak sebanding dengan rasa sakit yang dialami oleh perempuan itu.
Teriakkan perempuan itu menarik semua perhatian semua orang sampai suaranya hilang karna tabrakan lain yang menimpanya. Aku yang ada di pinggiran jalan melihat perempuan itu tergeletak jatuh setelah meminta pertolongan. Namun tidak ada yang menjawabnya. Ambulan sudah berdatangan dan orang orang saling membantu mengevakuasi korban kecelakan ini. Lukaku sangat parah, aku tidak bisa merasakan apapun dan mendengar apapun. Tapi anehnya teriakan itu dan air mata itu hanya satu satunya yang aku bisa lihat dan dengar di sana.
Temanku Imran, meninggal di tempat kejadian. Luka luka yang di alaminya membuatnya meninggal seketika di sana. Hal itu sering kali membuatku ingin muntah karena mengingatnya. Bau darah dan pemandangan itu benar benar mambuatku sangat ketakutan. Kejadian itu mungkin bisa dihindari jika aku bisa menghentikan candaan Imran soal yang namanya kematian. Tapi, satu kata kata dan nasehatku benar-bener tidak bisa menghentikannya sama sekali, malah dia mengaggap remeh semua kata kataku itu. Seolah olah aku sedang bercanda dan tak percaya padanya.
“Ali, kau percaya tidak aku ini selalu selamat jika terjadi kecelakan apapun!” teriaknya keras saat mengendarai motor cukup cepat
“Entah itu cedera berat atau ringan, apa kau tahu itu!” sambungnya.
“Ron, jangan ngomong gitu. Aku, kau sama sakali nggak tahu kapan akan mati. Bisakah kau diam saja, dan turunkan kecepatannya, ini terlalu cepat ron!” teriaku padannya.
“Iya iya, aku tahu itu tapi sebelum kau ceramah panjang lebar, lihat ini!” teriaknya lagi.
Imron temanku itu lebih mengebut di sepanjang jalan dan menyalip beberapa mobil dan kendaraan lain dai depannya dengan sangat cepat. Saat itu aku bnar benar telah merasa was was, ingin sekali aku loncat dari motor ini karena saking takutnya pada cara dia mengendarai motornya. Jantungku benar benar berdetak kencang dibuatnya.
“Kau lihat itu Ali. Aku bisa lebih cepat lagi, lihat ini!” teriaknya.
Sebelum dia menacap gas lebih kencang sauatu hal yang sangat tidak aku inginkan benar benar terjadi. Apa yang ingin dia perlihatkan adalah tentang dirinya yang ingin di puji olehku karena bisa mengendarai dan meyalip kendaraan lain di depan sana dengan super cepat. Akan tetapi, lautan darah di tengah jalan dan jeritan seseorang lah yang aku lihat kala itu. Berbeda sekali dengan apa yang ia tunjukan padaku. Terkadang sebuah ucapan bisa meyakinkan manusia, dan kini aku yakin ucapan juga dapat membohongi orangnya. Karna bagaimanapun tidak ada sebuah jaminan dalam kata katanya.
“Kenapa ini bisa terjadi … Ron, kata kata dan perbuatanmu itu membuat orang lain dan dirimu tiada …” batinku.
Aku masih bisa melihat walaupun sedikit lebih kabur. Tubuhku dibawa oleh seseorang dan hal itu juga berlaku pada korban lainya. Satu hal yang kupikirkan saat itu. Apakah aku akan mati seperti ini atau tidak.
***
“Nak, ini makanannya. Keburu dinngin nasinya,” ucapnya
“Oh iya Bu terimakasih,” balasku
“Nak, kenapa tadi ngelamun … Apa sedang banyak pikiran?” tanya beliau padaku.
“Iya Bu, biasa masalah pekerjaaan,” jawabku sabil tertawa kecil.
Saat aku berkata seperti itu, ibu pemilik warung hanya tersenyum lalu duduk di sampingku. Kami berbicara banyak tentang hal salah satunya adalah tentang putrinya. Putrinya itu bernama Amira. Kata beliau putrinya kini telah buta dan tidak bisa melihat apa-apa. Namun walaupun putrinya buta si ibu malah bersyukur karena putrinya kala itu tidak meninggal dunia.
“Bu kenapa Ibu bicara seperti itu?” tanyaku.
“Tidak ada alasan khusus, ini mungkin musibah bagi beberapa orang tapi bagi ibu. Melihatnya tetap selamat walaupun harus kehilangan penglihatannya, bagi ibu adalah hadiah kecil dari Allah nak. Banyak yang tidak selamat dari kejadian itu, salah satunya ayahnya. ….”
“Sekarang dia ada di mana Bu?” aku kembali bertanya.
“Di sini nak, tapi sayang pertunanngannya dengan salah satu pemuda dibatalkan karena kondisinya,” ucapnya sambil tersenyum padaku.
Senyumannya benar benar membuatku timbul rasa bersalah dan rasa iba. Perasaaan tidak enak dalam hatiku terus bermunculan, walaupun pada dasarnya temanku lah yang menjadi kunci penyebab kecelakaan itu terjadi. Namun aku tidak bisa menyalahkannya, lagi pula ini adalah takdir ilahi. Seharusnya aku lebih bersyukur dengan masih di beri kesempatan lebih untuk memperbaiki sikap dalam hidup ini. Tapi entah kenapa terkadang itu adalah sesuatu yang sulit.
“Oh iya nak, kamu udah punya anak?” tanya beliau padaku dengan semangat.
“Belum bu, menikah juga belum, saya masih 24 tahun ….” ucapku sambil tertawa.
“Begitu ya sama seperti putri ibu, Amira” balasnya.
Ibu warung itu kemudian tertawa juga, lalu satu kata-katanya yang tak terbayangkan keluar dari mulutnya. Kata-kata tentang permohonan untuk menikahi putri satu satunya yang sangat dia sayangi. Dia bercerita panjang lebar tentang masalah keluarganya padaku, bahkan aku merasa tidak pantas mendengar permaalaahan seseorang serinci ini. Bahkan aku heran kenapa ibu di hadapanku dengan mudahnya memberitahukan masalah keluarganya pada orang asing sepertiku.
Ibu pemilik warung itu mentapku dengan penuh harap, bercerita tentang seluruh seluk beluk permasalahannya yang kini tengah dia alami. Aku tidak bisa berkata kata karena ceritanya begitu mengalir dengan deras. Terlibih, kebanyakan ceritnya itu berhubungan dengan Amira putrnya setelah kecelakan hingga ia kehilangan indra penglihatannya.
“Ibu mohon nak, tolong nikahi putri ibu. Ibu bingung karena umur bibi kian hari juga makin tua, ibu bingung nanti siap yang merawatnya. ” ucapnya padaku.
“Kelihatanya bibi masih bugar, biar ku tebak umur bibi sekarang 48 tahun kan!” ucapku mengajaknya bergurau.
Saat aku berbicara seperti itu, wajahnya terlihat sangat sedih seolah olah aku mempercandakan masalahnya. Sejujurnya aku binging harus berbuat apa saat di hadapakan dalam masalah ini tapi mungkin ini semua adalah pilihan daari ilahi rabbi untuku pada saat ini. Pilihan dimana aku bisa menolak untuk menolong seseorang waluapun aku tahu masa lalu mereka yang kelam karena aku juga sama seperti mereka berdua. Atau memilih menerima permintaanya sebagai bentuk amal ibadah dan menganggap sebagai penenang dari rasa bersalah selama 4 tahun terakhir dari kejadian itu.
Aku hanya bisa diam memikirkan segala kemungkin yang akan terjadi padaku, aku tidak penah tahu masa depan seprti apa namun entah kenapa aku ingin sekali menolongnya terlebih aku juga berada di masa lalu yang sama. Aku hanya bisa terus melangkah walaupun masa lalu kelam itu terus menghantuiku tiap harinya dalam mimpiku.
“Begitu ya … Ibu paham, Ibu hanyalah orang asing dan anak ibu sama sekali tidak pernah kamu temui, bahkan kondisi anak Ibu begitu ….” Beliau mulai berbicara dan mengeluh akan situasinya lagi.
“Bukan begitu Bu, yang ingin aku katakana adalah. Ibu masih bisa hidup melihat putri Ibu bahagia bersama saya.” Aku tersenyun ramah setelah mengatakannya.
“Nak apakah kamu serius, pernikahan itu bukan untuk main-main!” ucapnya tegas.
“Iya Bu, aku tidak bercanda terkait hal itu. Lagi pula, dulu Amira pernah berada satu kelas denganku di SMA. Jadi aku cukup kenal dengannya!” jelasku.
“Benarkah begitu, apa ibu pernah bertemu denganmu sebelumnya,” ucapnya.
***
Benar, Amira Siti Hani, kini aku ingat namanya. Seseorang yang telah aku temui di bangku SMA. Aku cukup kenal sosoknya. Bahkan aku merasa bersalah karena kecelakaan itu. Namun rasa bersalah itu tidak ada artinya untuk siapapun, itu karena hal tersebut tidak akan bisa mengubah kenyataan pada saat ini. Rumah tanggaku ini bukanlah upayaku menenangkan rasa bersalah akan kejadian masa laluku, Tapi sebagai lembaran buku baru yang akan membuatku semangat dalam hidup duniaku dan juga akhiratku.
Sebenarnya aku masih bingung dalam hal ini. Namun jika takdirku adalah menikah dengannya maka yang harus ku yakini bahwa inilah jalan yang terbaik bagiku setelah semua masa laluku yang sangat ingin sekali aku hapus dalam ingatanku.
“Tidak ada satupun kekuatan yang paling besar kecuali hanya engkau rabb ku … Apapun keputusanmu maka sesungguhnya itulah yang terbaik bagiku,,” batinku.
***
Kilas balik waktu terlihat kembali olehku setelah meilhat sosok Amira yang tengah duduk di kamarnya sendirian, dengan tatapan kosongnya. Sosoknya bagiku tidak berubah sama sekali, sifat Amira saat ini tetap sama dengan Amira ketika SMA. Sosoknya yang cantik dan murah hati masih tetap sama.
“Ali, apa itu kau? Terus, apakah yang kalian bicarakan apakah itu benar?” tanya Amira.
“Ya, Amira itu benar. Maaf ya aku akan jadi suamimu ….” Ucapku pelan.
Terlihat olehku Amira menggelang gelangkan kepalanya. Namun sebuah senyuman merekah di wajahnya.
“Hmmm, tidak perlu meminta maaf. Malahan aku sangat berterimakasih padamu karna telah mau menikahiku,” ucapnya
“Begitu ya …” ucapku lega.
“Ya, terimakasih imamku, tolong bimbing diriku ini ya ….” Ucapnya pelan, dengan wajah merah merona.
“Hmmm … Dengan senang hati, aku akan melakukannya Amira. Terimakasih telah menerimaku.” Aku tersenyum manis padanya.
Sebuah senyuman manis lalu terlihat dengan jelas olehku mekar di wajahnya yang cantik itu. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah melupakan saat Amira bisa tersenyum setulus itu padaku. Sebuah senyuman yang akhirnya bisa membuatku berubah. Karna bagaimanapun senyuman itulah yang harus aku pertahankan. Sejak sampai kapanku senyumannya itu akan aku ingat walaupun waktu akan membuat jarak diantara kami.