Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
LEMBAYUNG MERAH JINGGA
1
Suka
1,815
Dibaca

Lembayung Merah Jingga

Cerpen Lian Lubis

Jemarinya erat memegang buku dengan lembaran-lembaran kertas tak bergaris. Buku yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi. Yang diberikan kekasihnya ketika mereka akan berpisah di dermaga1. Dermaga yang menambatkan cinta pertama mereka bersama perahu-perahu nelayan dengan tepi lautnya yang riang. Taman pasir tempat dia dan kekasihnya bermain bersama camar dan berkejaran dengan ombak sejak ketika masih anak-anak. Namun, sejak Perang Dunia Kedua berlangsung dermaga itu tak lagi disinggahi perahu nelayan. Kapal-kapal perang tentara datang silih berganti. Bersandar bagai peti mati besar yang mengapung menjemput para lelaki muda di desanya.

Hari masih sangat pagi ketika itu. Ombak seperti enggan menghampiri pantai. Tak terdengar suara camar bernyanyi. Dipandanginya wajah kekasih yang tertunduk, tersembunyi dibalik rambut panjang yang dibiarkan terurai. Tak satupun kata yang bisa diucapkan untuk kekasihnya karena menahan air di mata yang pantang tertumpah. Lidahnya kelu tercekat.

Ketika lambaian jemari lentik kekasihnya tak lagi terlihat dan dermaga terlihat bagai titik hitam kecil hingga akhirnya menghilang di balik lengkungan cakrawala, air mata yang hampir menenggelamkan kedua bola matanya perlahan mengalir dari kedua sudut-sudutnya. Begitu pahit dirasakan hingga cipratan ombak yang menerpa wajahnya sangat hambar di lidah. Di pagi yang masih merah kapal besi membawanya pergi bersama hampir separuh lelaki dari desanya menderu membelah lautan.

 

"Tuliskan semua rindumu di tiap halaman buku ini, kekasihku.

Aku akan membacanya ketika kamu pulang.

Kata demi kata tak akan kulewati.

Tuliskan juga kalimat 'kau mencintaiku' di setiap akhir cerita rindumu.

.... Kekasihmu."

 

Sebait puisi di halaman pertama buku yang selalu bersamanya adalah suara lembut kekasihnya seperti berbisik di telinga setiap kali dia mulai menuliskan cerita rindunya. Air matanya pun menggenang. Selalu begitu setiap kali dia menuliskan cerita rindunya. Dan, di akhir kalimat "Aku mencintaimu" titik air mata terjatuh membasahi halaman cerita rindunya. 

 

***

Sejak tengah malam tadi, pertempuran terus berlangsung seperti tak akan berkesudahan4. Dentum meriam, granat, dan suara peluru yang ditembakkan memekakkan telinga. Beberapa pemuda, teman sebaya di desanya, telah gugur dihadapannya. Beberapa terlihat mengerikan dengan dada atau kepala yang tertembus peluru. Sementara yang lain, tubuh mereka setengah hancur terkena pecahan granat. Kepedihan dan ketakutan yang sangat hebat melandanya. Menerjang nyali yang telah rapuh sejak kapal besi membawanya pergi bersama hampir separuh lelaki dari desanya. Meninggalkan lambaian jemari lentik kekasihnya di dermaga. 

Menjelang sore hari, seketika baku tembak terhenti. Gema dentum meriam perlahan menghilang. Teriakan lantang komandanya memerintahkan mereka sepasukan tanpa pangkat mundur dan kembali ke dalam goa persembunyian. Di dalam goa, jumlah mereka hanya tinggal kurang dari separuh. Beberapa bahkan terlihat sekarat sedang meregang nyawa dan akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir tanpa pertolongan. Teriakan dan erangan dari mereka yang terluka parah menggema dalam goa yang diterangi cahaya mentari sore yang hanya sampai beberapa depa dari mulut goa.

Wajahnya tertunduk kuyu. Duduk bersender pada dinding goa yang dingin dan gelap. Sepucuk senjata dengan sangkur yang patah digenggam erat. Menopang tubuhnya. Seketika angin seperti berhenti. Sunyi menyelimuti seisi goa hingga ke sudut-sudut lorongnya. Semilir harum, wangi rambut kekasihnya yang sangat dikenalnya menggantikan angin. Di kejauhan, kekasihnya gadis yang selalu membiarkan rambutnya terurai terlihat seperti setengah berlari menuju kearahnya.

Masih mengatur nafas yang sedikit tersengal, kekasihnya tersenyum seraya menjalinkan jemari mereka. “Tadi aku sempatkan menyirami mawar kesayanganmu dahulu. Maaf, kamu sudah lama menungguku. Aku tak ingin dia layu. Aku tak sabar menunggu bunga-bunganya bermekaran. Katamu, mawar merah jingga yang mekar sempurna adalah cinta sejati bila dia masih di tangkainya dan kelopaknya yang gugur adalah sayang yang tulus bagi yang mengambilnya. Sehelai kelopaknya yang gugur kubawakan untuk mu.”

Sejenak mereka beradu pandang. Debar jantungnya tak bisa dia dikendalikan. Detaknya mengalahkan deburan ombak yang pecah di pantai. Gadis yang selalu hadir dalam mimpinya menggenggam sehelai sayang yang tulus untuknya. Kegembiraan yang coba dia sembunyikan terlepas lewat senyumnya.

Perlahan mereka berjalan. Bersisian. Menggenggam cinta di jemari terjalin yang tak ingin dilepas. Menyusuri pantai berpasir putih lembut seperti menuju batas cakrawala. Sesekali ombak membasuh kaki mereka. Menghapus jejak yang ditinggalkan. Tak henti-henti mereka bercerita tentang masa-masa yang lalu ketika asmara belum lagi dihadirkan. Tentang cinta mereka tumbuh perlahan. Tentang anak-anak yang akan dilahirkan nanti dan nama-nama yang akan diberikan. Canda dan tawa mereka seperti deburan ombak. 

Sejenak langkah mereka terhenti. Sang gadis menolehkan wajah kearahnya. Di bening binar matanya seperti ada senyum yang disembunyikan. Seperti berbisik kekasihnya berkata, “Kekasihku, bisakah kita menahan mentari?” Seekor camar seputih awan terbang rendah di hadapan meraka. Kekasihnya melanjutkan kata-kata. “Menjaganya agar tak tenggelam dan menjadikan sore ini abadi. Aku ingin selalu bersama mu seperti saat ini. Aku tak mau sore hari ini berakhir”. Dipandanginya wajah kekasih yang kemerahan. Merona seperti mentari merah jingga sore itu. Diantara rimbunnya mangrove, burung-burung laut bernyanyi tentang lagu cinta yang tak pernah bisa dipahami. 

Sekejap semua yang ada dalam kenangannya itu seperti menjemputnya pulang. Membawanya ke dermaga cinta mereka ditambatkan. Ada rindu menyakitkan yang menyelinap dalam dadanya. Tangan kirinya masih memegang sisi perut sebelah kiri. Sebutir peluru yang tadi mengenai bagian perutnya terus mengeluarkan darah. Merembes memerahi baju tempurnya hingga ke lantai goa. Sepucuk senjata dengan sangkur yang patah terlepas dari genggaman. Kepalanya terkulai. Wajahnya pucat.

 

 

***

Siang ini seorang perempuan tua datang menemui ku di ruangan kerja. Berjalan tertatih pelan bertongkat kayu. Diantar salah seorang pemandu wisata. Sepertinya pemandu wisata kami agak kesulitan berkomunikasi dengan tamunya.

           Sedikit berbasa-basi kutanyakan namanya, usia, dan dari mana dia berasal. Dengan suara yang bergetar dan hampir tak terdengar perempuan dengan rambut yang terurai seputih perak ini menjawab pertanyaanku. Hampir seluruh bagian tubuhnya gemetar. Usianya yang renta nampaknya telah membuat bagian otak yang mengontrol otot-ototnya tidak lagi berfungsi sempurna. Dia memintaku mengantarnya ke goa yang ada di taman hutan rayayang ku kelola ini.

           “Aku ingin melihat gambar wajahku yang dipahat kekasihku dengan ujung sangkurnya”, katanya mengejutkanku. Setahuku, tidak ada pahatan wajah perempuan pada dinding-dinding goa di sini. Beberapa tahun lalu kami memang menemukan pahatan seperti wajah di salah satu dinding goa, tapi tak bisa benar-benar kami pahami gambarnya. Ku genggam jemarinya. Menuntunnya perlahan menuju goa dengan pahatan yang barangkali dimaksudkannya.

Dipandanginya pahatan pada diding goa yang ku tunjukkan. Hening disekeliling. Perlahan kakinya melangkah mendekati dinding goa berpahat itu. Entah apa yang diucapkannya, ku lihat dia berbicara dan tersenyum. Senyumnya mengingatkanku pada gadis-gadis desa menyerupai bidadari yang tengah mandi di pancuran air bambu. Di usia 93 tahun masih tersisa raut yang cantik di wajahnya. Diraba dan diusapnya dengan lembut pahatan di dinding itu. Matanya bekaca-kaca.

Dari dalam tas yang dibawanya diambilnya sebuah buku. Buku yang hampir sama tua dengannya. Bersampul coklat dengan lembaran kertas yang menguning dan robek di beberapa halamannya. Jemari tuanya gemetar membuka halaman terakhir buku itu dan memberikannya padaku. Huruf-huruf kanji ditulis tersusun rapih dan indah. Terlihat seperti catatan buku harian. Dia tersenyum menatapku. Mengisyaratkan aku boleh membacanya.

“Kekasihku, malam ini kami sedang bersiap-siap untuk pulang. Aku mendengar dari radio negeri kita telah luluh lantak karena bom yang dijatuhkan musuh. Kaisar mengumumkan kita menyerah kepada Sekutu. Aku sangat gelisah dan takut kehilangan kamu. Aku berharap perang benar-benar berakhir dan mengakhiri rinduku di sini. Aku ingin segera pulang; kembali kepada mu

Aku ragu untuk melanjutkannya. Perempuan itu mengangguk mememintaku agar meneruskan membaca.

Kekasihku, masih tengiang di telingaku ketika kau berbisik, ‘Bisakah kita menahan matahari dan menjaganya agar tak tenggelam?’. Aku tersenyum memandangimu. Wajahmu kemerahan merona seperti mentari jingga sore itu. Andai aku bisa, kekasihku. Di sini, sudah tak lagi ku ingat telah berapa kali matahari tengelam. Hanya warna lembayung cakrawala dan merah jingga matahari sore yang selalu ku nanti. Warna lembayung merah jingga yang selalu bersamaku saat menunggumu setiap sore di dermaga.

Aku tercekat. Ada rasa sesak di dada. Perempuan itu menggenggam erat jemari tanganku. Memandangi wajahku. Mata tuanya masih berkaca-kaca.  

Seperti pintamu, telah ku tuliskan setiap rinduku di bukumu ini, hingga tidak ada lagi ruang yang tersisa pada tiap halamannya. Dan, ku pahatkan gambar wajahmu pada dinding goa ini. Dinding yang begitu keras hingga mematahkan sangkur di ujung senjataku. Kekasihku, telah kupahatkan rindu sejatiku. Wajah cantikmu seperti menemani tidurku di malam-malam yang gelap ketika rindu sangat menyesakkan dada. Aku sangat mencintaimu.

Di akhir kalimat “aku sangat mencintaimu” air mataku menitik membasahi halaman terakhir bukunya. Perempuan itu kembali menggenggam erat tanganku. Dengan suara yang bergetar terbata dia berbisik, “Katakan pada kekasihku bila kau bertemu lagi dengannya. Aku masih menunggunya bersama cakrawala lembayung dan mentari merah jingga di setiap senja”.

Aku terhenyak. Diakah lelaki yang ditunggu perempuan ini? Lelaki yang pada hari-hari tertentu terlihat berdiri sendirian di depan goa ini. Memandangi cakrawala berwarna lembayung merah jingga ketika matahari akan tenggelam; yang menggenggam buku yang serupa bentuk dan warnanya dengan buku yang sedang ku pegang.***

 

Goa Pakar, 30 Juni 2019

 

Catatan:

1).  Dermaga yang berada di Tomonouro, kota pelabuhan di ujung selatan Kota Fukuyana, Prefektur (wilayah administrasi dan yuridikasi tingkat-1 setara provinsi) Hiroshima Jepang. Bagian dari Taman Nasional Setonaikai. Terletak di sebuah teluk menghadap ke laut di Pedalaman Seto. Saat ini Tomonouro telah menjadi kota pelabuhan yang indah namun masih memiliki pemandanan kota nelayan kuno yang menawan.

2).   Rentetan seragan besar-besaran Tentara Sekutu kepada seluruh pasukan Tentara Jepang, termasuk kepada pasukan Tentara Jepang yang sedang menduduki Indonesia, pasca dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Pada tangal 15 Agustus 1945, setelah berlangsung perundingan beberapa hari, Kaisar Hirohito menyampaikan pidatonya melalui radio yang mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Dalam cerita ini serangan yang membabi buta Tentara Sekutu diceritakan terjadi terhadap pasukan Tentara Jepang yang berada di goa persembunyian mereka di Kota Bandung. Goa yang juga digunakan sebagai gudang amunisi, logistik, dan Radio komunikasi yang sekarang di dalam kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda.

 3). Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Kawasan Konservasi dan Wisata Alam yang memiliki dua goa peninggalan Belanda dan Jepang. Pada salah satu dinding lorongnya terdapat pahatan seperti kepala harimau. Ditemukan Tahun 2012. Adanya pahatan menyerupai kepala harimau ini diketahui dari catatan buku harian yang temukan oleh seorang tentara Jepang yang selamat dari perang dan membawa buku itu ke negerinya.

 

 

 

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Menarik
Ketika lambaian jemari lentik kekasihnya tak lagi terlihat dan dermaga terlihat bagai titik hitam kecil hingga akhirnya menghilang di balik lengkungan cakrawala, air mata yang hampir menenggelamkan kedua bola matanya perlahan mengalir dari kedua sudut-sudutnya.
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
LEMBAYUNG MERAH JINGGA
Lian lubis
Novel
Yang Dulu Terkunci
Tin Miswary
Novel
Bronze
Garis Waktu yang Terulang
Dimas Adiputra
Novel
Bronze
ISYARAT YANG TERJAWAB
Rizal Azmi
Novel
Bronze
NAIK KASTA
Lestari Zulkarnain
Novel
Gold
Jurnalisme Online
Bentang Pustaka
Novel
Cahaya Di Tengah Keterbatasan
Andhika Tulus Pratama
Novel
Gold
Alibaba`s World
Noura Publishing
Novel
Perempuan dalam Kenangan
𝔧 𝔞 𝔫 𝔱 𝔢 .
Novel
Gold
Tunggu Aku di Batavia
Falcon Publishing
Flash
Bronze
Mengukir Mesir Di 3150 Sebelum Masehi
Erena Agapi
Novel
Gold
Fear
Noura Publishing
Novel
Gold
Andai Aku Hidup Sekali Lagi
Mizan Publishing
Flash
Legenda Putri Mandalika
Sukini
Novel
Gold
Ranjau Biografi
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
LEMBAYUNG MERAH JINGGA
Lian lubis
Cerpen
Bronze
Wanginya Kamar Pengantin
Lian lubis
Cerpen
Bronze
Di Desanya Cinta Juga Begitu
Lian lubis
Cerpen
Bronze
Dia Yang Menjinjing Kepalanya
Lian lubis
Cerpen
Bronze
Ayah Selalu Dikejar Anjing
Lian lubis
Cerpen
Bronze
Masih Ku Ingat Kata-Katamu
Lian lubis
Cerpen
Bronze
Di Ujung Kenangan
Lian lubis
Cerpen
BUNGA KUNING KAMBOJA BALI
Lian lubis
Cerpen
Bronze
Orang Senja
Lian lubis
Cerpen
Bronze
Cinta Terpaut Waktu
Lian lubis