Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit senja menggantung berat di atas Rawiya, sebuah hutan purba di timur Mataram yang diselimuti mitos dan suara-suara tua. Lembayung merah menyelinap di sela dahan jati dan randu, menyiram tanah dengan warna darah yang memudar.
Jatma menarik napas panjang. Ia berdiri di tepi tebing kecil, memandang lembah berkabut di bawahnya, di mana asap dari dapur-dapur kecil mulai menari ke udara. Desa Gempolan, tempat kelahirannya, tampak sunyi seperti biasa. Tapi malam ini, sunyi itu terasa lain—seperti menunggu sesuatu.
Ia bukan orang besar, bukan prajurit, bukan bangsawan. Ia hanya anak dari penjaga buruan hutan, dibesarkan oleh pohon, lumpur, dan keheningan. Tapi dunia sedang berubah, dan Rawiya bukan lagi sekadar hutan. Belakangan ini, terlalu banyak orang asing yang lalu-lalang di dalamnya: lelaki bersenjata, penunggang kuda dengan mata tajam, dan kadang, perempuan muda yang menangis sendirian.
“Jatma!” panggil suara dari kejauhan. Itu suara Buyut Temon, tetua desa.
Ia berbalik dan berjalan cepat menuruni lereng, melewati barisan bambu dan pohon aren. Di bawah, di dekat balai kayu kecil, beberapa orang tua berkumpul. Obor sudah dinyalakan. Wajah mereka serius.
“Datang lagi?” tanya Jatma.
Buyut Temon mengangguk. “Tadi pagi. Tiga orang. Berseragam, bersenjata. Dari arah utara. Bertanya soal jalan pintas ke Pamekasan.”
“Kenapa selalu ke aku?”
“Kau tahu jalan, dan kau cepat lari kalau perlu.” Buyut Temon menepuk pundaknya. “Tapi hati-hati. Mereka tak datang untuk berdagang atau berdoa.”
Jatma diam. Ia tahu. Semua orang tahu. Sejak perang antara para pangeran dan laskar-laskar kecil meletus di barat, hutan Rawiya jadi jalur rahasia. VOC menekan, orang-orang istana berebut tahta, dan laskar bayaran berkeliaran seperti serigala lapar.
Pagi berikutnya, Jatma menyusuri jalur tersembunyi di sisi timur Rawiya, ransel kecil di punggung, keris pendek di pinggang. Ia tak sendiri. Seorang lelaki muda berpakaian separuh militer ikut bersamanya—Rana, katanya, utusan dari "laskar pembebas".
“Tak banyak yang tahu Rawiya punya jalur seperti ini,” ujar Rana sambil menyeka keringat.
“Itu karena kalian selalu datang dengan bising dan api,” jawab Jatma dingin.
Rana tertawa. “Kalau tak membawa api, kau pikir kami bisa lawan meriam Belanda?”
Jatma tak menjawab. Ia tidak peduli siapa benar, siapa salah. Ia hanya ingin desanya tak terbakar. Tapi ia tahu, itu harapan kosong. Api perang tidak memilih lahan. Dan Rawiya, seindah apa pun, akan menjadi abu jika semua ini berlanjut.
Saat senja tiba, mereka sampai di Telaga Wulan, danau kecil tersembunyi yang jernih dan luas. Di sinilah, Jatma melihat sesuatu yang mengubah segalanya.
Dari balik semak, ia melihat empat orang. Dua di antaranya berseragam VOC. Dua lagi, berpakaian Jawa. Salah satunya memakai kalung emas tipis—simbol bangsawan. Mereka bicara pelan, tapi Jatma bisa menangkap sebagian:
“… Rawiya harus dibersihkan. Tak bisa dibiarkan jadi tempat persembunyian musuh.”
“Rakyat akan melawan.”
“Kalau mereka melawan, artinya mereka juga musuh.”
Rana mencengkeram lengan Jatma. Wajahnya muram. “Ini bukan hanya perang saudara. Ini pengkhianatan.”
Jatma menatap danau. Di permukaannya, cahaya matahari terakhir jatuh seperti noda merah. Ia tak tahu harus marah pada siapa. Tapi ia tahu, desanya tidak akan aman. Bukan karena orang asing saja, tapi karena bangsanya sendiri membuka pintu bagi bahaya.
Malam itu, Jatma dan Rana kembali ke Gempolan. Tapi sebelum masuk desa, mereka dihadang oleh seseorang. Seorang perempuan muda dengan rambut dikepang, membawa kantong penuh akar dan daun-daun hutan.
“Jatma,” katanya lembut. “Buyut Temon sudah menunggu. Kau harus tahu sesuatu.”
Itu Raras, cucu dari Nyai Manganti—dukun desa. Wajahnya teduh, tapi sorot matanya menyimpan kabut yang tak mudah ditebak.
Di balai desa, Buyut Temon duduk dikelilingi beberapa lelaki. Di hadapannya terbuka selembar surat tua, bertulisan aksara halus yang samar.
“Surat dari masa silam,” kata Buyut. “Dulu, leluhur kita menyembunyikan sesuatu di Rawiya. Sebuah prasasti kecil. Jika ditemukan, bisa menjadi alasan kuat untuk menyatakan Rawiya tanah bebas. Tak bisa diambil, tak bisa dibakar.”
Raras menambahkan, “Tapi banyak yang mencari. Termasuk para bangsawan sendiri.”
“Lalu kenapa baru sekarang dibicarakan?”
Buyut Temon menatap Jatma. “Karena yang bisa membacanya… hanya orang yang lahir di tengah Rawiya. Kau.”
Jatma tertunduk. Ia tak pernah merasa dirinya penting. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, ia tahu: tak ada yang benar-benar kecil ketika sejarah sedang ditulis ulang.
Embun masih menggantung di pucuk-pucuk bambu saat Jatma duduk bersila di depan Nyai Manganti. Di hadapannya terbuka sehelai kain lusuh yang dijadikan alas bagi batu kecil berbentuk segi delapan, di permukaannya terukir aksara aneh yang melingkar seperti ular.
Nyai Manganti menatapnya lama. Wajah perempuan tua itu bagai batu: keras, diam, penuh rahasia.
“Kau ingat mimpi-mimpimu waktu kecil?” tanyanya pelan.
Jatma mengangguk ragu. “Aku sering bermimpi berjalan dalam kabut, di tengah pohon-pohon yang membisikkan kata-kata… tapi aku tak pernah tahu artinya.”
“Itu bukan sekadar mimpi. Itu pesan.”
“Pesan dari siapa?”
“Dari tanah ini. Rawiya tidak hanya pohon dan tanah. Ia menyimpan ingatan.”
Jatma menelusuri kembali batu itu dengan jari. Ia tak mengerti aksara itu, tapi jantungnya berdebar aneh, seperti tubuhnya mengenali apa yang otaknya belum pahami.
“Leluhurmu salah satu penjaga prasasti ini,” ujar Nyai Manganti. “Ia melarikan batu ini dari istana saat perang besar meletus. Agar tidak jatuh ke tangan orang-orang yang ingin menghapus akar.”
Jatma menatap mata Nyai Manganti, mencari sesuatu yang bisa ia pegang di tengah kabut itu. Tapi yang ia temukan hanya bayang-bayang lebih pekat.
“Kau bilang ini bisa menyelamatkan Rawiya?”
“Bisa. Atau justru jadi alasan Rawiya dibakar habis. Bergantung siapa yang menemukannya lebih dulu.”
Malam itu, di bawah cahaya bulan sabit, Jatma dan Rana memulai pencarian ke bagian terdalam dari hutan. Tempat yang bahkan para pemburu enggan masuk. Mereka menyusuri jalur tua yang disebut Lintasan Selaingit, jalan batu yang tersembunyi di balik akar-akar beringin besar.
Raras ikut bersama mereka, membawa seikat daun dan bunga kering. “Untuk menghindari mata gaib,” katanya. Tapi Jatma tahu, lebih dari itu, kehadirannya membawa ketenangan yang ganjil. Ia jarang bicara, tapi pandangannya awas. Seperti pohon yang tahu siapa saja yang lewat di bawahnya.
Di tengah malam, mereka menemukan sebuah cekungan tanah berbentuk tapal kuda. Di sana, batu besar menjulang, dan di salah satu sisinya terdapat ukiran yang serupa dengan batu kecil di desa.
Raras menaburkan bunga. Rana menyiapkan obor. Jatma mendekat, dan ketika tangannya menyentuh batu, tubuhnya menggigil.
Dalam sekejap, ia melihat sesuatu—bukan dengan mata, tapi seperti kenangan yang ditanam jauh di dalam tubuhnya:
Api.
Suara kuda.
Seorang lelaki membawa batu itu lari.
Lalu suara perempuan memanggil dari jauh:
“Rawiya bukan sekadar hutan, Rawiya adalah naskah.”
Jatma tersentak.
“Aku tahu tempat batu berikutnya,” katanya.
Tapi sebelum mereka sempat bergerak, suara langkah terdengar dari arah utara. Banyak. Teratur.
“Pasukan,” bisik Rana. “Bukan dari pihak kita.”
Jatma menggenggam keris. “Kita harus tinggalkan tempat ini sekarang.”
Namun terlambat. Sorot obor menyinari cekungan. Suara laki-laki berseru:
“Tangkap mereka!”
Rana menarik tangan Raras, Jatma membuka jalur lewat semak berduri. Mereka lari dalam gelap, napas memburu, ranting-ranting mencambuk wajah.
Tiba di sungai kecil, mereka terjun tanpa pikir. Air dingin merayap hingga tulang. Mereka menyelam, menahan napas, lalu muncul jauh di hulu.
Tak ada suara langkah. Hanya gemuruh jantung.
Mereka selamat—untuk malam ini.
Di sebuah gua kecil, basah dan sempit, mereka berlindung. Raras duduk bersandar pada dinding batu, menggigil.
“Aku tak paham,” katanya pelan. “Kenapa mereka mengejar? Bukankah batu itu hanya... batu?”
Rana menjawab, “Karena siapa yang memegang bukti warisan, memegang hak atas tanah. Ini bukan soal sejarah. Ini soal kekuasaan.”
Jatma menunduk. Di tangannya, batu kecil masih ia genggam erat. Hangatnya seperti hidup.
Keesokan harinya, mereka kembali ke desa dengan pakaian yang sudah kering oleh angin dan waktu. Buyut Temon langsung menutup pintu begitu mereka masuk.
“Kita harus cepat,” katanya. “VOC sudah tahu tentang batu itu. Ada yang membocorkan.”
Jatma menatap Rana. Tapi Rana menggeleng keras. “Bukan aku. Mungkin ada mata-mata lain.”
Buyut Temon memberi gulungan daun lontar pada Jatma. “Ini petunjuk menuju lokasi batu kedua. Tempat terakhir yang dicatat leluhurmu. Tapi kau tak bisa bawa semua orang. Terlalu berisiko.”
Jatma menggenggam gulungan itu. Matanya bertemu mata Raras. Ada sesuatu yang tak terucap—antara takut dan harapan.
“Aku ikut,” kata Raras.
Jatma ragu. Tapi akhirnya mengangguk.
Sebelum fajar, mereka berangkat. Kali ini hanya berdua: Jatma dan Raras.
Perjalanan membawa mereka ke sisi timur Rawiya yang sepi. Mereka melewati pohon-pohon tua yang kulitnya mengelupas seperti ular ganti kulit. Di sinilah, tanah terasa asing meski masih dalam wilayah hutan yang sama.
Setelah dua hari perjalanan, mereka tiba di kaki bukit bebatuan merah. Di sanalah, konon, batu kedua disembunyikan—di balik Goa Kalapaksi.
Goa itu sempit, lembab, dan gelap. Tapi saat obor menyala, dinding-dindingnya memantulkan cahaya keemasan. Di tengah gua, terdapat altar batu, dan di atasnya…
...sebuah batu besar, identik dengan yang pertama.
Raras berlutut, menyentuh ukiran yang sama.
Tapi saat Jatma mendekat, langkahnya terhenti.
Dari belakang gua, muncul tiga sosok bersenjata. Salah satunya mengangkat pedang dan berkata:
“Batu itu milik kerajaan. Serahkan, atau kalian tak akan keluar dari sini hidup-hidup.”
Gua Kalapaksi menggema oleh suara ancaman. Cahaya obor menari-nari di dinding batu, menciptakan bayangan yang bergerak seperti hantu. Jatma dan Raras berdiri berhadapan dengan tiga orang bersenjata. Yang di tengah mengenakan jubah tipis dengan hiasan emas di kerahnya. Wajahnya tirus, matanya tajam seperti ujung keris.
“Aku adalah Tumenggung Rakarya, utusan langsung dari Adipati Girikarta. Batu itu milik tanah yang diwarisi para raja. Serahkan.”
Jatma menggenggam batu kedua yang baru saja ia angkat dari altar. Hatinya berdegup, tapi ia tak bergeser.
“Batu ini bukan milik kerajaan mana pun. Ia milik tanah ini. Milik Rawiya.”
Rakarya tersenyum sinis. “Rawiya hanyalah tempat. Dan tempat bisa dikuasai oleh siapa yang cukup kuat untuk mengklaimnya.”
Raras maju setapak. “Kekuatan tanpa ingatan hanya akan menghasilkan tiran.”
Rakarya mendengus. “Tiran atau raja, sejarah hanya mengingat yang menang.”
Ia mengangkat tangan. Dua orang pengawalnya menghunus pedang.
“Bunuh mereka. Ambil batunya.”
Jatma mencabut kerisnya, kecil dan sederhana. Tapi matanya menyala. Ia tidak lagi hanya pemburu hutan. Ia pembawa warisan. Penjaga naskah tanah yang terlupakan.
Pertarungan berlangsung cepat dan liar. Gua sempit membuat gerak terbatas, tapi juga melindungi. Raras melempar kantong debu akar kering ke arah obor—cahayanya mendadak padam sebagian, membuat kekacauan.
Jatma menangkis sabetan pertama, lalu menyusup ke sisi pengawal. Ia menusuk cepat, dalam. Pengawal itu roboh dengan erangan pendek.
Pengawal kedua menyerang Raras, tapi gadis itu berguling dan menyambar obor, memukulkannya ke dada lawan. Teriakan mengisi gua. Rakarya mencabut pedangnya dan mencoba menyerang dari belakang.
Jatma berbalik dan menghadang. Pedang Rakarya panjang dan berkilat, tapi Jatma lebih lincah. Ia bertahan, menunggu celah.
Ketika Rakarya menusuk lurus, Jatma bergerak ke samping dan menekuk lengan lawan, lalu menghantam dengan gagang keris ke pelipisnya. Rakarya jatuh, darah mengalir dari pelipisnya, tak sadarkan diri.
Keheningan kembali mengisi gua. Jatma terengah, Raras terduduk di lantai batu, lututnya berdarah. Mereka saling menatap dalam gelap, napas mereka satu-satunya suara.
“Kita tak bisa kembali ke desa sekarang,” ujar Raras.
Jatma mengangguk. “Mereka akan menyerbu. Mereka tahu kita membawa batu.”
Mereka memutuskan menyembunyikan batu kedua di tempat yang hanya bisa ditemukan dengan petunjuk dari batu pertama. Jatma mengguratkan simbol kecil di sisi gua, lalu menutup altar dengan tanah dan daun.
Malam itu, mereka tidur di balik semak tak jauh dari gua. Hanya satu api kecil menyala—cukup untuk hangat, tak cukup untuk terlihat.
Pagi berikutnya, mereka melanjutkan perjalanan menuju desa tetangga, Karangsari, di mana Buyut Temon memiliki saudara jauh. Tapi sebelum tiba, mereka menemukan desa itu telah berubah. Asap hitam membubung dari beberapa rumah, dan penduduk berkumpul di balai desa dengan wajah tegang.
Seorang lelaki tua mendekati mereka. “Kalian dari Gempolan?”
Jatma mengangguk.
“Desamu... diserang pagi ini. Banyak yang lari. Beberapa ditangkap. Kami tak bisa bantu langsung. Kami juga diawasi.”
Raras memucat. “Buyut Temon...”
“Selamat. Ia lari bersama beberapa orang ke utara.”
Jatma mengepalkan tangan. Ia tahu ini akan terjadi, tapi tak pernah siap melihat buktinya. Api yang ia coba hindari kini benar-benar membakar.
Mereka memutuskan mencari Buyut Temon. Tapi di tengah perjalanan, mereka disergap lagi—bukan oleh pengawal kerajaan, tapi oleh pasukan VOC. Seragam biru-pucat, senapan panjang, dan pemimpin mereka: Kapten Jan Voreman, lelaki Belanda dengan wajah keras dan sorot mata penuh perhitungan.
“Kalian yang disebut Jatma dan Raras?” tanyanya dalam bahasa Melayu kasar.
Jatma menegakkan badan. “Apa urusanmu?”
“Kami mendengar kalian membawa artefak berharga. Warisan kuno yang bisa memperkuat klaim siapa pun atas wilayah Rawiya.”
“Apa urusannya dengan kalian?”
Kapten Voreman tersenyum tipis. “Kami datang membawa perjanjian. Jika batu itu kami pegang, kami bisa menjamin keamanan desa kalian.”
“Dengan harga apa?”
“Dengan harga kebebasan kecil. Kalian tetap bisa hidup. Tapi Rawiya bukan lagi milik siapa pun, kecuali perusahaan kami.”
Jatma tertawa—pendek, dingin. “Lebih baik terbakar daripada dijual seperti kuda.”
Kapten mengangkat tangan. “Tangkap.”
Tapi sebelum pasukan sempat bergerak, ledakan kecil terdengar dari semak. Disusul panah menyambar dari kiri dan kanan. Pasukan VOC panik.
Rana muncul, memimpin sekelompok kecil pemuda bersenjata bambu dan tombak. Dalam kekacauan itu, Jatma dan Raras meloloskan diri.
Mereka bertemu kembali di sebuah bukit kecil, jauh dari jalur utama. Rana memeluk Jatma dan Raras, lega. “Kami dengar semuanya. Kami siap bertempur. Tapi kami butuh sesuatu untuk mempersatukan desa-desa.”
Jatma mengangkat batu pertama. “Ini... dan satu lagi. Sudah tersembunyi.”
“Kita butuh prasasti ketiga,” kata Raras pelan. “Tiga batu. Tiga bukti. Seperti yang disebut di gulungan Buyut Temon.”
Jatma menatap ke arah matahari terbenam. Lembayung menyelimuti Rawiya. Warna darah, warna tanah.
“Aku tahu di mana yang terakhir.”
Kabut menyelimuti puncak bukit Gunung Lembayung, tempat batu ketiga diyakini tersembunyi. Hanya ada satu jalan ke sana: menyusuri tebing tua yang dikenal sebagai Jalur Tumurune Jagat, jalan setapak yang menurut legenda hanya bisa dilalui mereka yang "berdarah tanah".
Jatma menatap jalur curam itu dengan diam. Di belakangnya, Rana dan Raras bersiap, membawa perbekalan seadanya. Pasukan kecil dari desa-desa sekitar kini berkumpul di kaki bukit, menunggu keputusan: apakah kisah ini akan berakhir dengan kemenangan, atau jadi dongeng sedih yang dilupakan.
“Jika kita gagal,” kata Rana, “VOC akan menguasai Rawiya. Batu-batu itu akan jadi sekadar hiasan di ruang makan tuan-tuan Eropa.”
Jatma menjawab tanpa menoleh, “Kalau kita diam, sejarah kita akan ditulis oleh tangan yang tak kenal ladang, tak pernah minum air sumur kita.”
Mereka mulai mendaki. Kabut makin tebal. Udara menipis. Raras hampir tergelincir dua kali, tapi terus berjalan. Mereka tahu: di atas sana, bukan hanya batu yang menanti. Tapi keputusan akhir—apakah Rawiya tetap hidup sebagai tanah yang merdeka dalam hati orang-orangnya, atau mati sebagai peta tak bernyawa di lembaran kontrak penjajahan.
Sesampainya di puncak, mereka mendapati goa batu kecil yang ditutupi sulur dan lumut. Di dalamnya, tak ada obor. Hanya cahaya alami yang masuk dari celah di langit-langit. Di altar batu yang terletak persis di tengah goa, terletak batu ketiga: lebih kecil dari dua lainnya, tapi paling berbeda.
Permukaannya bersih, mengilap, dengan aksara yang sangat rapi. Tapi tak satu pun dari mereka bisa membacanya.
“Ini bukan huruf Jawa, bukan juga Sanskerta,” bisik Raras.
Jatma menyentuh batu itu. Tiba-tiba ia kembali melihat penglihatan:
Seorang perempuan berpakaian seperti permaisuri, menulis di atas batu. Di belakangnya, tentara berdiri berjaga. Ia menoleh ke Jatma dan berkata:
“Jika suaramu dibungkam, biarlah batu ini yang berbicara untukmu. Rawiya tidak butuh raja. Ia butuh penjaga.”
Saat Jatma membuka mata, hujan mulai turun. Tapi hujan itu bukan air biasa. Hujan itu membawa suara guntur dan gaung peperangan dari kejauhan.
“VOC datang,” kata Rana. “Mereka tahu kita di sini.”
Jatma menggenggam ketiga batu, menyusunnya di atas altar dalam formasi segitiga. Aneh sekali: ketika ketiganya bersatu, ukiran batu menyatu pula, membentuk naskah utuh. Seperti fragmen satu kalimat panjang yang tersebar dan kini saling melengkapi.
Raras membaca pelan: “Tanah yang ditandai oleh tiga batu adalah tanah yang tidak bisa diperjualbelikan. Ia bukan milik raja, bukan pula milik pedagang. Ia milik rakyat yang mengingat.”
“Ini bukan batu biasa,” bisik Jatma. “Ini perjanjian kuno. Bukti hukum. Sekali dibacakan di hadapan rakyat, ia menjadi keputusan yang tidak bisa dibatalkan—bahkan oleh VOC.”
Pasukan VOC dan tentara kerajaan mengepung kaki bukit. Tapi mereka tak menyangka satu hal: rakyat desa-desa sudah bersatu. Buyut Temon, meski tertatih, berdiri di depan barisan, membawa bendera dari kain putih bertuliskan satu kata: “Inget”.
Di puncak, Jatma berdiri. Ia mengangkat ketiga batu dan membacakan isi prasasti dengan suara lantang. Suaranya menggema di seluruh lereng.
“Kita bukan penjaga tanah ini karena kita kuat, tapi karena kita ingat. Ingat akan ladang yang ditanami oleh kakek-nenek kita, sungai yang membesarkan kita, dan pohon yang menyimpan nama-nama kita.”
“Siapa pun yang ingin membeli Rawiya, menjual Rawiya, atau menguasai Rawiya—harus berhadapan dengan kita semua!”
Ketika Kapten Voreman maju untuk memberi perintah menyerang, rakyat desa tak gentar. Mereka bukan pasukan. Tapi mereka adalah anak tanah ini. Dan tanah ini telah menyuarakan kehendaknya.
Voreman akhirnya menurunkan senjatanya. Bukan karena takut, tapi karena ia sadar: peperangan tak akan menguntungkannya hari itu. Persatuan rakyat lebih kuat dari peluru dan emas.
Ia menoleh pada Tumenggung Rakarya yang sudah tertangkap. “Tanah ini terlalu berakar dalam. Tak bisa ditarik dengan tangan kosong.”
Beberapa minggu kemudian, Rawiya dinyatakan sebagai wilayah mandiri oleh perjanjian lokal yang ditandatangani rakyat, dan—anehnya—diakui diam-diam oleh beberapa pejabat VOC yang lebih bijak dari Voreman. Tak ada perang besar. Hanya sebuah bukit yang tetap dijaga, tempat tiga batu disusun rapi dalam rumah bambu kecil.
Jatma tak pernah kembali ke hidup lamanya. Ia tinggal di Rawiya, membantu menanam kembali ladang, mengajar aksara pada anak-anak, dan menuliskan ulang sejarah yang hampir hilang.
Raras menjadi penjaga perpustakaan kecil di kaki bukit. Ia menyimpan salinan prasasti dalam berbagai bentuk: kayu, lontar, bahkan kain.
Rana melatih pemuda-pemuda desa agar tahu caranya menjaga, bukan hanya dengan senjata, tapi juga dengan pikiran.
Rawiya hidup kembali. Bukan karena ia menang. Tapi karena ia mengingat.
TAMAT