Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Lembaran Terlupa
1
Suka
41
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Perpustakaan sore itu seperti dunia yang menolak mati — tenang, berdebu, tapi masih bernafas lewat bisikan halaman yang dibuka perlahan.

Cahaya matahari sore menembus kaca tinggi, menimbulkan bayangan rak buku seperti barisan waktu yang berhenti bergerak.

Dira, mahasiswi tingkat dua jurusan sastra, Sejak kecil, Dira tumbuh dengan satu kalimat yang tak pernah benar-benar hilang dari telinganya:

“Ayahmu memilih pergi.”

Ibunya jarang membicarakan tentang ayahnya, seolah setiap kata yang menyebut nama kepala keluarga itu hanya akan menambah luka yang belum kering. Yang Dira tahu, ayahnya meninggalkan mereka saat ia berusia tujuh tahun—tanpa pamit, tanpa pesan, hanya kalung yang berisi foto Dira dengan ayahnya dan sepucuk surat pendek yang tak pernah ia baca karena sang ibu membakarnya malam itu juga. Sejak saat itu, ingatan Dira dengan ayahnya perlahan menghilang. Tidak dipaksakan, tetapi karena waktu yang terus berlalu.

Pada detik yang seolah berhenti, Dira menelusuri rak bagian belakang perpustakaan. Tangannya menyentuh punggung buku-buku yang berbaris rapi, seperti berjabat tangan dengan masa lalu.

Rina, sahabat baik Dira, duduk tak jauh dari sana, sibuk menandai teks untuk tugasnya.

“Kayaknya kamu udah baca semua buku di sini,” canda Rina tanpa menatap.

Dira tersenyum kecil. “Kalau semua buku bisa bicara, aku nggak akan pernah berhenti mendengar.”

Ketika ia berdiri di atas kursi kecil untuk mengambil buku dari rak paling atas, siku Dira tanpa sengaja menyenggol tumpukan di sampingnya. Sebuah buku tua terjatuh, menghantam lantai dengan suara berat — seperti sesuatu yang sudah terlalu lama menunggu untuk ditemukan.

Buku itu berdebu, lusuh, tanpa judul, tanpa nama penulis, tanpa penerbit. Sampulnya kelam dan agak hangat, seolah pernah disentuh terlalu lama oleh seseorang.

“Eh, buku apa tuh?” suara laki-laki terdengar dari arah lorong rak.

Dira menoleh. Seorang mahasiswa dengan jaket almamater pudar muncul dari balik rak. Ia tampak bukan dari jurusan yang sama — gaya bicaranya lebih santai, tapi matanya tajam memperhatikan buku itu.

Dira mengangkatnya pelan. “Entahlah... tapi aneh, kok bisa nggak ada keterangan sama sekali?”

Begitu sampulnya terbuka, aroma kertas tua bercampur logam tipis menyembul keluar — wangi yang asing tapi familiar. Tulisan di dalamnya bukan huruf latin, tapi simbol-simbol yang berputar lembut seperti sedang bergerak di permukaan halaman.

Rina menatapnya heran. “Itu bahasa apa?”

Tak ada yang bisa menjawab.

Namun, tiba-tiba laki-laki itu bersuara pelan, nyaris berbisik, “Bukan bahasa. Ini... kode.”

Dira dan Rina saling berpandangan. “Kode?” ulang Dira.

Laki-laki itu mendekat sedikit, menatap halaman dengan rasa ingin tahu yang dalam. Lalu ia tersenyum kecil dan mengulurkan tangan.

“Oh iya... aku Rafi. Jurusan teknik informatika. Aku kerja sambilan di sini, jaga perpustakaan sore.”

Dira sempat ragu, lalu menjabat tangannya, "Dira.”

Rina melirik, menambahkan singkat, “Rina.”

Mereka bertiga lalu menunduk lagi ke arah buku itu. Simbol-simbol di halamannya berdenyut perlahan — seolah mendengar nama mereka disebut. Rafi memejamkan mata, lalu menyentuh salah satu simbol dengan ujung jarinya. Halaman itu berpendar pelan, memancarkan cahaya biru keperakan yang membentuk peta — denah kampus, tapi dengan tambahan ruang yang tidak mereka kenal, terletak di bawah perpustakaan.

Dira menatap pendar cahaya itu dengan kening berkerut. Garis-garis pada peta seolah hidup, bergerak perlahan, seperti ingin menunjukkan arah tertentu.

“Memang ada ruangan ini di sini?” tanya Dira pelan, suaranya hampir tenggelam oleh dengung lampu perpustakaan yang mulai redup.

Rafi tak langsung menjawab. Ia menatap peta itu lebih dalam, matanya memantulkan cahaya biru yang berputar. “Nggak pernah lihat di denah kampus mana pun,” gumamnya. “Tapi kalau benar di bawah perpustakaan, mungkin ruang arsip lama. Atau…” ia berhenti sejenak, “bukan ruangan biasa.”

Rina menatap mereka berdua, mulai gelisah. “Aku nggak suka ini, Ra. Dari awal aja bukunya udah aneh.”

Dira menggenggam buku itu sedikit lebih erat, seperti ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak untuk berhenti. “Justru karena aneh, kita harus tahu,” ucapnya pelan — meski di dalam dadanya sendiri ada rasa dingin yang tak bisa dijelaskan.

Langkah tergesa terdengar dari ujung lorong rak. Suara sepatu menabrak lantai marmer yang bergema pelan di ruang perpustakaan yang makin sepi.

“HEI! Kalian masih di sini rupanya!”

Suara itu memecah ketegangan. Dira refleks menutup buku misterius itu, sedangkan Rina hampir menjatuhkan pulpen dari tangannya. Muncullah sosok laki-laki tinggi dengan tas selempang miring, wajahnya sedikit kusut tapi senyum lebarnya langsung menular.

“Maaf banget gue telat! Dosen gue kalau ngomong tuh kayak podcast tanpa jeda napas. Sumpah, satu jam cuma buat ngomongin metode penilaian.” Ia menepuk dadanya dramatis, lalu menatap mereka satu per satu. “Kalian ngapain di pojokan gelap gini, lagi rapat rahasia OSIS kah?”

Rina mendesah. “Arka, sumpah, kamu bisa nggak muncul tanpa bikin jantungku hampir copot?”

“Gue emang efeknya emang begitu, Rin. Menegangkan, tapi berkarisma,” balas Arka santai sambil nyengir lebar.

Dira menatapnya sambil menggeleng pelan. “Kamu datangnya pas banget, kita baru nemu sesuatu.”

Arka mengangkat alis. “Nemu apa? Buku bekas ujian tahun lalu?”

Rafi mendorong buku tua itu ke arah tengah meja, perlahan membukanya lagi. Cahaya biru keperakan muncul sekali lagi, memantul di wajah mereka berempat. Arka langsung diam. Mulutnya sempat terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.

“Okay,” katanya akhirnya, suaranya turun satu oktaf, “itu... bukan buku biasa.”

Rafi menatap cahaya di atas halaman yang terus berdenyut, seperti nadi yang hidup di dalam kertas.

“Kalau ini peta,” katanya perlahan, “berarti titik bercahaya ini… menunjukkan lokasi kita sekarang.”

Titik biru di tengah halaman berpendar lebih terang. Garis-garis di sekelilingnya membentuk jalur spiral yang mengarah ke bawah.

Dira menatap lantai. “Di bawah sini…?” gumamnya.

Rina sudah mulai resah. “Aku nggak yakin ini ide bagus.”

“Tenang aja, Rin,” sela Arka, menepuk pundaknya ringan. “Worst case, kita nemu tikus sebesar kucing. Best case, kita jadi headline: Empat Mahasiswa Hilang di Dunia Bawah Perpustakaan. Keren kan?”

Rina menatapnya datar. “Arka, aku sumpah—”

“Udah, udah,” potong Dira, “Kita lihat aja dulu, ya?”

Mereka mengikuti peta itu, melangkah pelan melewati lorong rak yang makin sunyi. Semakin jauh mereka berjalan, semakin sedikit cahaya lampu yang bekerja. Hingga akhirnya mereka tiba di sudut perpustakaan — tempat jarang dikunjungi siapa pun.

Rafi menunduk, memperhatikan ubin lantai yang retak di tengah. “Ini titiknya.”

Ia berlutut, mengetuk-ngetuk ubin itu. Suara logam samar terdengar dari bawah. Arka mencondongkan tubuh. “Lo yakin bukan cuma pipa air?”

Rafi tak menjawab. Ia meraba sisi ubin itu dan menemukan celah kecil. Dengan bantuan pembatas buku logam, ia mencongkel ujungnya. Sebuah suara klik pelan terdengar, diikuti hentakan udara dingin yang keluar dari bawah lantai.

Mereka bertiga spontan mundur satu langkah. Ubin itu bergerak perlahan, membuka celah menuju tangga spiral besi yang menurun ke bawah tanah.

“Gila…” bisik Dira. “Kampus kita punya ruang bawah tanah?”

Arka menatap ke bawah, menelan ludah. “Kalo tiba-tiba ada monster, gue duluan naik, ya.”

Rina memelototinya, tapi genggaman tangannya di tasnya makin kuat. Tanpa banyak bicara, Dira menyalakan senter dari ponselnya.

“Kalau kita nggak turun sekarang, aku nggak bakal tenang.”

Rafi menatapnya — dan ada sesuatu di matanya, campuran antara logika dan rasa ingin tahu yang tak terbendung. Ia mengangguk. “Oke. Tapi hati-hati.”

Satu per satu mereka menuruni tangga itu. Udara di bawah terasa lebih dingin, lembab, dan samar tercium bau logam bercampur debu tua. Di ujung tangga, ada koridor panjang dengan lampu-lampu usang yang masih berkelip, seperti baru saja dihidupkan kembali setelah sekian lama.

Arka menelan ludah pelan. “Oke, ini udah kayak film horor. Gue tunggu plot twist-nya.”

“Diam, Arka,” bisik Rina.

Mereka berjalan lebih dalam, dan akhirnya tiba di sebuah pintu baja besar. Di tengah pintu itu, terukir simbol yang sama seperti di buku misterius tadi — hanya saja kini, simbol itu bersinar perlahan, seolah mengetahui kehadiran mereka.

Rafi menatap dinding logam besar di depan mereka. Tak ada gagang, tak ada kunci — hanya ukiran spiral berlapis simbol aneh dan tiga lingkaran kecil yang berputar perlahan.

Di tengahnya, sebuah tulisan nyaris terhapus:

"Yang mengetahui masa lalu, menahan masa kini, dan menebak masa depan — dialah yang boleh masuk.”

“Wah,” Arka nyengir, “berasa kayak lagi main escape room gratis.”

Rina memelototinya. “Kalo gratis tapi dikutuk, nggak lucu, Ka.”

Dira menyipit, matanya menelusuri ukiran di sekeliling tulisan itu. “Masa lalu… masa kini… masa depan…”

Ia menatap ke meja kecil di bawah ukiran itu. Di sana, ada tiga benda: jam pasir, buku, dan cermin kecil.

“Coba,” katanya pelan. “Kalau masa lalu itu buku, masa kini itu jam pasir, dan masa depan… cermin?”

Rafi mengangguk pelan. “Logis. Cermin memantulkan sesuatu yang belum terjadi, kayak bayangan diri nanti.”

Mereka menata ketiga benda itu sesuai urutan di dinding: buku – jam pasir – cermin. Beberapa detik tak terjadi apa-apa. Lalu, suara klik terdengar pelan.

Simbol spiral di tengah dinding berputar, perlahan menyala biru. Cahaya merambat di sepanjang ukiran, lalu pintu itu bergeser ke samping, membuka jalan ke ruang bawah tanah.

Arka menelan ludah. “Oke… yang ini udah nggak lucu lagi.”

Rina berbisik, “Kita beneran mau masuk?”

Dira menatap cahaya biru yang berdenyut dari dalam, lalu melangkah duluan.“Udah sejauh ini, masa mundur?”

Begitu pintu logam terbuka, mereka tidak langsung disambut ruangan besar — melainkan lorong sempit dengan dinding batu tua. Udara di dalam terasa lembap dan berdebu, seperti tempat yang sudah lama tak disentuh siapa pun. Di ujung lorong, ada pintu kedua, kali ini dari batu, dan di atasnya terukir tulisan samar:

“Yang membisu tapi tak pernah diam,

Yang rapuh tapi tak bisa hancur,

Yang hidup tapi tak bernapas.”

Rafi menatapnya lama, lalu mendesah. “Filosofis banget. Aku nyerah.”

“Coba pikir, ‘membisu tapi tak pernah diam’,” gumam Dira, mengusap tulisan itu dengan ujung jarinya.

“Bisa jadi waktu?” katanya ragu.

Rina, yang dari tadi memperhatikan ukiran di sekeliling pintu, tiba-tiba berkata pelan, “Kalau waktu, kenapa di ukirannya ada bentuk seperti gelombang?”

Arka mendekat, menyorot dengan senter ponselnya. “Eh, iya. Ini kayak pola suara.”

Rina tersenyum kecil. “Berarti bukan waktu. ‘Membisu tapi tak pernah diam’… bisa jadi pikiran.”

Arka menatapnya takjub. “Buset, pinter banget. Tapi ‘rapuh tapi tak bisa hancur’ itu apa? Pikiran juga?”

Rina menggeleng. “Enggak. Lihat tuh, di bawah tulisan ada empat batu kecil kayak tombol. Mungkin kita harus tekan urutan yang tepat.”

Arka jongkok, memperhatikan simbol-simbol di tiap batu: air, api, tanah, angin.

“Hmm… kalau ini soal pikiran…” katanya sambil berpikir keras, “…pikiran itu kayak angin, kan? Tak bisa dilihat, tapi bisa terasa.”

Rina menatapnya, senyum puas. “Coba pencet angin.”

Arka menekan batu dengan simbol angin. Tiba-tiba dinding bergetar pelan, lalu di tengah pintu batu muncul garis retak bercahaya. Cahaya itu berputar membentuk lingkaran, dan… klik!

Pintu batu pun bergeser terbuka, menampakkan lorong kedua — lebih gelap, tapi juga lebih luas.

Arka menatap Rina, masih setengah kagum. “Jadi, kalau aku nggak ikut, kita masih di luar tuh.”

Rina menyilangkan tangan, tersenyum sinis. “Kalau aku nggak ikut, kamu nggak bakal kepikiran pencet ‘angin’ juga.”

Rafi menepuk bahu keduanya. “Udah, jagoan, ayo lanjut sebelum aku tua di sini.”

Dira, yang diam sejak tadi, melangkah perlahan ke depan. Dalam sorot cahaya biru dari dinding, matanya menatap jauh ke arah lorong yang kini terbuka. Entah kenapa, di dada kirinya ada perasaan aneh — seolah tempat ini memang menunggunya sejak lama.

Lorong terakhir terbuka ke sebuah ruangan batu luas dengan langit-langit melengkung dan lantai marmer tua yang memantulkan cahaya samar dari obor kecil di dinding. Di tengah ruangan berdiri pintu logam besar yang tampak seperti perpaduan antara teknologi dan arkeologi — di permukaannya terukir lingkaran-lingkaran aneh berlapis, penuh simbol dan jalur tipis bercahaya.

Di atas pintu itu, terukir tulisan tua yang samar:

“Hanya yang mengingat masa lalu tanpa ingin mengubahnya, yang akan membuka jalan menuju kebenaran.”

Arka mengangkat alis. “Oke… aku resmi nggak ngerti.”

Rina memicingkan mata, menatap simbol-simbol di pintu. “Kayak puzzle,” katanya pelan. “Tapi ini aneh, polanya berubah-ubah.”

Benar. Setiap kali mereka menatapnya dari sudut berbeda, simbol itu berputar sendiri, menampilkan urutan yang baru — seperti sedang membaca balik siapa pun yang menatapnya.

Rafi menurunkan tasnya, mengeluarkan senter kecil dan notebook.

“Lihat,” katanya cepat. “Ada empat lingkaran utama, dan tiap lingkaran punya jalur ke tengah. Tapi cuma satu yang benar, tiga lainnya bakal—”

Belum sempat ia lanjut, Arka sudah memutar salah satu lingkaran. Suara mekanis keras terdengar, dan lantai di bawah mereka tiba-tiba retak terbuka sedikit, memperlihatkan kegelapan tak berdasar di bawah sana.

“ARKA!” teriak Rina.

“Aku cuma nyoba!” seru Arka panik, langsung mundur.

Rafi mendekat ke Dira. “Jangan gerak dulu. Ini sistemnya reaktif. Mungkin mirip mekanisme proteksi.”

Ia lalu menunjuk simbol di bagian atas: tiga garis sejajar dengan tanda bulan setengah. “Itu… simbol waktu. Lihat, semua simbol di sini kayak menceritakan sesuatu.”

Dira menatapnya lama. “Kayak... urutan peristiwa?”

Rafi mengangguk. “Iya. Coba lihat dari luar ke dalam — awal, tengah, akhir.”

Rina ikut menatap. “Awal ada matahari, tengah bulan, akhir… jam pasir.”

Arka menggaruk kepala. “Terus maksudnya?”

Dira berpikir sejenak, lalu melangkah maju. “Kita harus susun urutannya bukan berdasarkan bentuk… tapi berdasarkan waktu yang tidak bisa diulang.”

“Waktu yang tidak bisa diulang?” ulang Rafi.

“Ya,” jawab Dira pelan. “Masa lalu.”

Ia memutar lingkaran luar hingga simbol matahari sejajar dengan lingkaran bulan, lalu jam pasir di tengah. Seketika, cahaya di seluruh ruangan berubah menjadi biru pucat. Namun, alih-alih terbuka, pintu itu menutup rapat dan dinding di belakang mereka bergeser, membentuk cermin raksasa yang menampilkan bayangan mereka sendiri — tapi tidak identik.

Rina tertegun. “Kok... aku keliatan beda? Ini... aku, tapi bukan aku.”

Refleksi mereka mulai bergerak sendiri — menyeringai pelan. Arka mundur panik. “Oke, ini makin nggak lucu!”

Rafi menatap pantulan dirinya yang tersenyum dingin, lalu sadar: “Itu bukan bayangan. Itu proyeksi dari pilihan yang salah. Puzzle ini ngetes niat kita.”

Dira menggigit bibir. Ia menatap tulisan di atas pintu lagi.

“Hanya yang mengingat masa lalu tanpa ingin mengubahnya…”

Ia menarik napas, lalu berbisik, “Pintu ini nggak mau dibuka oleh ambisi. Cuma oleh ingatan yang tulus.”

Dira menutup matanya, meletakkan telapak tangan di atas simbol jam pasir. “Kalau ini tentang masa lalu… maka aku terima semuanya. Termasuk dia yang pergi.”

Begitu kata terakhir itu diucapkan, bayangan mereka memudar seperti kabut yang tersapu cahaya. Pintu logam perlahan bergetar, mengeluarkan bunyi berat.

Pintu terbuka.

Hembusan udara dingin langsung menyambut — bukan dingin biasa, tapi dingin yang membawa bau logam, debu tua, dan sesuatu yang… hidup. Cahaya dari lorong atas redup, sementara di balik ambang pintu itu, hanya ada gelap.

Namun beberapa langkah setelah mereka masuk, gelap itu tiba-tiba berubah — perlahan, lampu-lampu kecil di dinding menyala satu per satu, seolah ruangan itu sadar bahwa ada tamu datang setelah sekian lama.

Ruang itu luas, sangat luas. Dindingnya melengkung seperti kubah planetarium, dengan puluhan alat logam yang berdebu dan kabel menjuntai ke lantai. Ada aroma tua, tapi juga sesuatu yang lembut, seperti bau hujan pertama kali turun setelah kemarau panjang. Mereka melangkah pelan, suara langkah bergema lembut.

Lalu tiba-tiba, dari pengeras suara tua di sudut ruangan, terdengar bunyi kecil — disusul suara gesekan pita kaset. Musik pelan mulai mengalun, penuh gema.

"Sendiri berjalan

Di tengah malam nan sepi

Kian jauh melangkah

Semakin gelisah"

Nada itu menyebar ke seluruh ruangan. Suara yang khas — lembut, tenang, tapi membuat keempatnya langsung berhenti di tempat.

Rina menatap ke arah sumber suara, lalu menoleh ke teman-temannya. “Itu... Lagu Chrisye, kan?”

Rafi mengangguk pelan. “Lagu ‘Sendiri’. Tapi... kenapa ada musik di sini?”

Arka tertawa kecil, tapi suaranya gugup. “Mungkin ada orang nyalain, atau sensor gerak kali.”

Namun Dira tak menjawab. Ia berdiri kaku, matanya perlahan melembut. Senyum kecil muncul di bibirnya, bukan karena bahagia — tapi karena luka lama yang tiba-tiba menekan dari dalam.

Ia mengenali tiap nada, tiap lirik, karena lagu itu… adalah lagu yang dulu sering dinyanyikan ayahnya di ruang tamu saat senja turun.

“Dira, suka lagu ini, kan?” begitu kata ayahnya dulu sambil menepuk kepalanya lembut.

Sekarang, lagu itu menggema lagi — di tempat yang bahkan ia tak tahu eksistensinya.

Air matanya hampir jatuh.

“Ayah…” bisiknya tanpa sadar.

Rina meliriknya, wajahnya berubah cemas. “Ra? Lo kenapa?”

Dira menggeleng cepat, tapi suaranya bergetar.

“Lagu ini... ini lagu kesukaan ayahku.”

Rafi menatap Dira lama, lalu ke arah speaker yang berdebu. “Mungkin... bukan kebetulan kita nemu tempat ini.”

Arka menelan ludah, nada suaranya berubah pelan. “Berarti… tempat ini ada hubungannya sama ayahmu?”

Dira menatap ke sekeliling — ke layar-layar mati, peralatan tua, dan debu yang menari di udara. Entah kenapa, ia merasa setiap benda di ruangan itu sedang memperhatikannya. Dan saat lagu Sendiri mencapai bait terakhirnya,

"Sendiri melangkah

Di jalan remang membisu

Kunanti engkau sinar

Bersama sang fajar"

Lampu di tengah ruangan menyala, menyorot satu titik di panggung logam bundar. Di sana, di atas meja kaca, tergeletak sebuah buku hitam — sama seperti buku yang mereka temukan di perpustakaan, tetapi dengan tulisan kecil di tengah sampulnya.

Dira melangkah pelan ke arah meja itu. Setiap langkah terasa berat, seolah udara di ruangan itu ikut menahan napas. Rina, Rafi, dan Arka hanya berdiri diam di belakangnya — tidak berani bersuara, tidak berani mendekat.

Buku hitam itu tampak berumur puluhan tahun. Kulitnya retak di beberapa sisi, tapi tak ada debu di atasnya — seolah baru saja diletakkan di sana.

Dira berhenti di depannya. Tangannya gemetar, tapi matanya tak lepas dari tulisan di sampul itu.

Catatan Penting — Dr. Dirga.

Nama itu terasa menampar udara. Untuk pertama kalinya, ia mengucapkannya dengan suara bergetar, “Dirga… ayahku.”

Rina melangkah pelan. “Dira, yakin kamu mau buka?”

Dira menatapnya sekilas, lalu tersenyum tipis dan mengangguk. Tangannya perlahan membuka sampul depan.

Begitu kulit buku itu terbuka, semua lampu di ruangan bergetar — cahaya meredup, lalu menyalak kuat. Halaman-halaman buku itu bergerak sendiri, berputar cepat seolah diterpa angin dari dalam.

Dari setiap baris tulisan, keluar cahaya keemasan yang berputar seperti debu bercahaya — dan tiba-tiba, dari dalamnya terdengar suara seorang pria.

Suara yang dalam, lembut, dan mengandung rindu yang tak bisa dijelaskan.

“Jika seseorang membaca catatan ini… berarti eksperimenku gagal. Aku meninggalkan kalian bukan karena ingin, tapi karena waktu tidak memberiku pilihan.”

Dira tertegun. Napasnya tercekat. Itu — suara yang selama ini hanya tersisa samar di mimpi masa kecilnya.

“Aku menemukan bahwa ruang dan waktu tidak lurus seperti yang kita pikirkan. Ada simpul — persimpangan di mana pikiran manusia bisa membuka dunia lain. Tapi bila sedikit saja salah langkah... orang itu akan terlempar ke dimensi di mana waktu tak berjalan.”

Rafi menatap sekeliling, suaranya bergetar, “Ini… rekaman? Tapi… dari mana suaranya keluar?”

Suara itu terus bergema, tidak dari satu arah, tapi dari setiap dinding, setiap benda di ruangan itu

“Dira, kalau kau mendengar ini… mungkin kau sudah dewasa sekarang. Maaf, untuk setiap malam yang kau habiskan tanpa tahu kenapa ayahmu menghilang. Aku tak ingin pergi. Aku hanya… tersesat di tempat yang tak bisa dijelaskan.”

Air mata Dira jatuh tanpa ia sadari. Tangannya menyentuh halaman yang bercahaya, tapi sinarnya justru menelan telapak tangannya perlahan, hangat seperti kulit manusia.

“Kalau suatu hari kau membaca ini, berarti kau sudah sampai di titik yang bahkan aku tak berani capai. Dunia ini… bukan hanya satu. Dan setiap kata yang kita ucapkan, setiap pikiran yang kita simpan — menciptakan dunia lain.”

Suara itu berhenti sejenak. Lalu satu kalimat terakhir terdengar, nyaris berbisik, namun memenuhi seluruh ruangan:

“Dira… jangan ulangi kesalahanku.”

Cahaya di sekitar buku itu meledak lembut — sebuah sinar putih yang berputar seperti pusaran air. Lalu, tiba-tiba semuanya hening.

Ketika cahaya itu padam, buku di meja sudah hilang. Yang tersisa hanyalah kalung tua — kalung yang sama seperti yang pernah ia miliki waktu kecil.

Dira menatap benda itu lama, menggenggamnya dengan air mata yang jatuh tanpa suara. Di tengah keheningan, hanya gema suara ayahnya yang tersisa di kepalanya, seperti bayangan lagu yang tak pernah selesai dinyanyikan.

“Sendiri termenung

Di larut malam nan hening

Hatiku s'makin gundah

Oh mata membasah”

Rina mendekat hati-hati. “Dira… kamu nggak apa-apa?”

Dira tidak menjawab. Ia menatap ruang itu sekali lagi, dinding-dinding batu, meja besar di tengah, dan pilar yang berdiri kokoh — semuanya tampak mulai retak.

Retakan kecil muncul dari lantai, lalu menjalar seperti urat cahaya ke seluruh permukaan. Rafi tersentak. “Guys, tempat ini—” Belum sempat ia melanjutkan, gemuruh pelan terdengar. Udara di sekitar mereka berubah berat, seperti air yang mengalir mundur.

“Lari!” teriak Arka, menarik tangan Rina. Mereka semua berlari menuju tangga batu yang tadi membawa mereka turun. Suara dentuman mengikuti dari belakang — bukan seperti runtuhan, tapi seperti… ruang itu sendiri sedang dilipat, disembunyikan kembali ke tempat asalnya.

Saat mereka sampai di puncak tangga, cahaya di belakang sudah hilang. Hanya kegelapan yang tersisa. Ketika Dira menoleh ke bawah, tidak ada apa-apa lagi — bukan ruangan, bukan pintu, bukan tangga. Hanya lantai perpustakaan yang tertutup debu, seolah tak pernah dibuka siapa pun.

Rina terengah-engah, menatap sekeliling. “Tadi itu... beneran terjadi, kan?”

Arka menatap tangannya sendiri, yang masih gemetar. “Kalau mimpi, ini mimpi paling nyata yang pernah aku rasain.”

Rafi mencoba menyalakan ponselnya, tapi sinyal tak muncul. Hanya jam yang bergeser satu jam lebih cepat dari sebelumnya.

Dira berdiri paling belakang. Ia menatap rak buku yang menjulang diam di sekeliling mereka. Semua tampak seperti semula — rapi, sunyi, biasa saja.

Hanya satu hal yang berubah: di tangannya, kalung itu kini berpendar lembut, seolah menahan sisa cahaya dari dimensi lain.

Ia menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. Senyum yang tidak benar-benar bahagia, tapi juga tidak sedih — lebih seperti seseorang yang akhirnya mengerti sesuatu yang dulu tak bisa dijelaskan.

“Kayaknya ayah cuma mau bilang… dia masih di sana,” bisiknya pelan. Tak ada yang menjawab. Mereka hanya berdiri di sana, dalam keheningan yang terasa terlalu panjang untuk malam biasa.

Ketika akhirnya mereka meninggalkan perpustakaan itu, pintu besar di belakang menutup dengan bunyi pelan. Dan di pagi hari berikutnya, tak seorang pun penjaga atau dosen kampus tahu bahwa di bawah perpustakaan pernah ada ruang rahasia. Tak ada denah, tak ada pintu tersembunyi — hanya lantai batu yang seolah tak pernah disentuh.

Namun setiap malam, jika Dira melewati perpustakaan itu sendirian, ia kadang masih mendengar samar-samar dari balik dinding — melodi lembut Chrisye – Sendiri berputar pelan, seakan waktu di bawah sana belum benar-benar berhenti.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Lembaran Terlupa
chacha
Cerpen
Bronze
Penyerap Trauma
awod
Flash
Malam Naas
Afri Meldam
Skrip Film
HEMLOCK
Daffa Khoiri
Novel
Bronze
Are You a Ghost?
caberawit
Novel
be Antagonist
Antrasena
Novel
Diary Kelabu Dokter Muda
Jiebon Swadjiwa
Skrip Film
Who Did It?
Fann Ardian
Cerpen
Bronze
Sepasang Kekasih yang Mudah Mengantuk
Ron Nee Soo
Cerpen
URBAN LEGEND DESA ARUMDALU
ari prasetyaningrum
Flash
Suspicious Boyfriend
Matrioska
Novel
Gold
KKPK Friends Lullaby
Mizan Publishing
Skrip Film
The good detectiv
fasya aditya
Cerpen
Bronze
Noken Mama di Wamena
Angga Wiwaha
Skrip Film
RESITAL HUJAN (SCRIPT)
Mashdar Zainal
Rekomendasi
Cerpen
Lembaran Terlupa
chacha