Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kuceritakan tentang lelaki yang kau puja itu. Lelaki yang memakai parfum saja tak becus. Parfumnya menyengat hidungku. Beginikah lelaki yang kau puja setengah mati?
Aku nyaris mual. Kucurigai ia memiliki masalah bau badan sehingga begitu mabuk memparfumi diri. Kau tahu tidak, sebuah penelitian mengemukakan, orang yang terlalu memparfumi diri berarti sedang mengalami depresi. Depresi bisa menyebabkan seseorang kehilangan kepekaan indera penciuman. Nah, lelaki yang kau puja itu depresi!
Kami sedang di jalan setapak taman hotel. Aku sedang berjalan santai, menikmati matahari sore, dan menanti sunset ketika ia tiba-tiba datang menyapaku. Keberuntungan untukku. Kunyalakan recorder rahasiaku berbentuk pena yang kuselipkan di saku. Apa yang ditanyakan tadi? Apa aku bisa berbahasa Inggris? Of Course!
Dia tak tahu aku wartawan yang akan mewawancarainya berkenaan konsernya di Indonesia. Percakapan dengannya bakal menjadi wawancara tanpa disadarinya. Sekaligus mau mengukur lelaki yang kau puja-puji ini. Lelaki yang selalu kau puja dengan kata-kata yang mengalir bak mata air, berpelangi, berbunga, dan berkupu-kupu. Lelah jiwaku setiap usai mendengar cerita pujaanmu. Kau selalu lupa diri jika sudah bercerita tentangnya. Kau luput akan kekurangan-kekurangannya. Selalu saja kau cerita yang manis dan baiknya.
Lelaki yang kau puja itu, tentu berbusung dada. Merasa telah menggenggam para penggemar dari seluruh penjuru dunia. Dia penyanyi benar-benar menghipnotis para hawa bahkan gilak seperti kamu itu.
Ah, tidakkah kau berpikir akan konsekuensi logis dari sikap lelaki yang telah busung dadanya itu? Kau akan menjadi buih baginya! Ya, buih! Bagaimana bisa kau puja seseorang ketika dia sibuk dan tenggelam dengan cinta diri sendiri . Ia seperti mitologi Narciscuss. Ambillah pelajaran dari kisah Narciscuss.
“Well, sungguh hari yang indah….” Ia mulai membuka percakapan dengan basa-basi. Ia begitu santai. Langkahnya ringan, kedua tangan diselipkan ke saku celananya. Mengenakan kaus abu-abu berbintik-bintik cahaya dengan lengan setengah panjang. Rambutnya hitam mengkilat.
Boleh kubilang penampilannya tak ubahnya seperti penyanyi dangdut yang norak. Kau boleh korek kembali ingatanmu siapa penyanyi dangdut Indonesia yang pernah kusebut norak dan lebay. Kau saat itu ketawa melihat ekspresiku saat mengungkapkan itu. Sudah ingat siapa yang kumaksud?
“Ya, begitulah,” sahutku pendek berusaha santai juga tetapi kerongkonganku berat mengeluarkan suara. Aku melihatnya dengan ekor mata selebihnya lurus ke depan. Angin laut menolongku menyingkirkan bau parfumnya. Lega….
Ia begitu sibuk menatapku langsung di sela-sela bicara. Apa maksud tingkahnya? Kau bisa saja memaklumi sikap lelaki yang kau puja ini karena begitulah budaya di tempatnya, selalu menatap mata lawan bicara. Tapi aku tak bisa menepis pikiranku bahwa sikapnya itu akibat acuh tak acuhku.
Perilakuku tentu sangat jauh berbeda dari perlakuan para penggemar atau yang mengenal popularitasnya. Para penggemar yang terpukau, senang, bangga, dan penuh puja-puji akan dirinya. Tapi aku cuek. Maka kupikir curi-curi pandangnya itu adalah ekspresi resahnya saat tak kuberi perhatian penuh padanya. Tingkahnya tak jauh beda dengan tingkah anak-anak saat tak diberi perhatian!
“By the way, kenal saya?” tanyanya masih dalam kesantaian dan senyum.
Nah, lihat! Aku tak tahan untuk tak tertawa dalam hati mendengar pertanyaannya. Terbukti sudah. Pertanyaannya menunjukkan ekspresi resah karena aku acuh tak acuh padanya. Membuatku pun jatuh pada kesimpulan bahwa narsisistik telah bercokol dalam pribadinya.
Kau tentu telah tahu, tapi entah kau sadari, bahwa pribadi narsis sesungguhnya rapuh dan hampa di kedalamannya. Kekuatan jiwanya bergantung pada perhatian, pujian, dan pujaan orang-orang. Ketika itu tak didapat, jiwanya menciut dan lemah. Sepi dan terpuruk jiwa. Kusarankan, kau harus berpikir ulang dan bersihkan pemujaan keterlaluanmu padanya. Dirinya hanya menularkan kerapuhan bagi jiwamu. Camkan!
Aku sangat ingin bersikap kurang ajar, mempermainkan dirinya dengan menjawab sinis, “Tidak, aku sama sekali tak mengenalmu. Emang penting banget apa kenal situ? Mau artis kek, mau bos kek, mau dukun kek, I don’t care!” Tak puas dengan kata-kata itu saja, ingin kutambah lagi dengan menusukkan pertanyaan balik padanya, “Dan kau, apa mengenalku?!”
Kau tahu, pribadi narsisistik pikirannya hanya terpusat pada dirinya sendiri. Ia hanya lebih aktif mengenalkan dan dikenal dirinya saja. Sementara orang lain tak dikenal, terlupakan, bahkan tidak terpikirkan sama sekali. Dunia hanya terpusat ke dirinya.
Menyelami kedalaman dirinya membuatku –lagi-lagi-- tergelitik hati. Aku ingin tertawa. Pikiran liarku sempat membayangkan lelaki ini jatuh pada keadaan putus asa karena tak mendapat pujian dan pujaan dariku lalu menceburkan diri ke sungai. Sebelum ia menceburkan diri, sempat berkhayal jadi bunga yang akan SELALU disukai dan dicintai manusia. Seperti kisah mitologi Narciscuss itu. Akan tetapi, dalam bayang ceritaku, ia tak jadi bunga malah mati tragis dimangsa buaya. Hahaha. Parahnya lagi, saat dimangsa buaya, masih saja bermimpi bahwa manusia akan menangisi dan iba padanya yang mati dengan tragis. Huaaahahahaha…..
“Oh my God. You aresinger!!” Tak lupa kusebut namanya. Nada suaraku kubuat terdengar terkejut sambil telapak tanganku menyentuh pelipis dan bergerak lepas ke udara seperti gerak yang diperagakan aktor-aktor India saat bicara. Aku menjabat tangannya dengan erat dan mengayun-ayunkannya. Belakangan aku malu sendiri dengan tingkah lebayku ini.
Keterkejutanku yang mengandung kekaguman itu, memberi energi pada jiwanya. Kini semangat terpancar di matanya dan tersenyum puas di bibirnya, yang samar-samar ada sapuan lipstik. Ia pakai lisptik! Pujaanmu itu biasa pakai lipstik, ya, atau kau ada ide lain kenapa berlipstik bibirnya? Hmmm....
“Yeah, I am!!” sahutnya semangat dan bangga. “Kau akan menonton konser saya?” tanyanya energik.
“Tidak.” Mau kukatakan tidak akan pernah. Tapi melihat matanya yang redup, aku buru-buru melanjutkan, “Tidak akan saya lewatkan. Akan saya tonton. Konsernya besok malam bukan? Saya sangat tidak sabar menontonnya. Oh, your song is so a beautifull. So touch my heart!”
Lagi-lagi, di belakangan waktu, aku jijik dan malu sendiri dengan kata dan sikapku yang bicara hanya demi melambungkan dirinya. Ia tak tampak menyadari apa yang sedang terjadi padaku. Ia tentu sibuk dalam khayal dan sensasi yang dirasakan dari penggemar yang memuja dan memujinya. Aku kembali yakin ia benar depresi. Mungkin kelak ketika tak ada yang memuja dan memujinya lagi, dia bakal masuk rumah sakit jiwa. Aku akan sering-sering menuliskan dia sebagai tanda belasungkawaku!
“Sudahkan Anda beli tiketnya? Anda akan mendapat bonus album terbaru saya, Euforia jika membeli dari saya langsung plus aksesoris pilihan bernuansa style saya; ada topi atau gelang kulit. Saya ada bawa tiketnya sekarang. Tiket padaku terbatas. Penggemarku di kota ini begitu banyak dan berebutan mau membelinya. Anda akan sangat kecewa jika kehabisan.”
Hah?! Ia sedang jual tiket konser padaku. Gilaaak! Jadi sengaja sapa aku buat jual tiket ceritanya . Sepertinya tiket konsernya banyak tak laku sehingga ia harus turun tangan langsung menjualnya. Aku tertawa dalam hati tapi menderita juga terjebak dalam peran menjadi pengemarnya. Shit!
“Saya sangat menginginkannya, you know?! Really! Sampai sekarang saya belum mendapatkan tiket. Seperti Anda bilang, begitu banyak yang berebutan mau membelinya. Saya tak mau antri.”
Ampun, aku bisa gila di sini. Kapan bisa wawancara dengan tenang jika dia yang mengendalikan diriku. Harusnya aku tenang dan mengendalikan dirinya dengan berondongan pertanyaan. Perasaanku sudah kacau. Membuatku buntu apa yang ingin kutanyakan. Aku terus terseret bersandiwara.
“Anda mau beli tiket sekarang?”
“Sure!” sahutku keras yang sebenarnya ungkapan kaget karena sungguh niat benar ia jualan tiket. Ia mengeluarkan tiket dari tas yang melilit pinggangnya.
“Kamu tahu, saya berbuat begini setelah belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Kadang ada penggemar yang kebetulan bertemu denganku meminta atau membeli tiket dari saya biar mendapat tanda tangan sekaligus. Karena itulah, saya sertai tiket jika sedang berjalan-jalan.” Dia membela diri. Ngeles.
Sial deh gue, gara-gara jadi penggemar palsunya aku terperangkap harus membeli tiketnya. Apa bilang alasan aku tidak bawa duit? Alamaak….
“Tentu dengan senang hati saya beli. Beri saya satu tiket!”
“Hanya satu tiket?”
Ee, busyeeet. Dirayu aku beli dua tiket! “Anda hanya menonton sendiri tanpa mengajak pasangan Anda?” selidiknya.
Dia penyanyi apa agen tiket?! Kenapa tidak sekalian saja dia bujuk aku untuk memborong tiketnya?! Alamaaaaaak! Lalu lihatlah perilakunya setelah berhasil jual dua tiket. Ia seperti pedagang yang telah berhasil jual barang, lalu berlalu pergi dengan entengnya.
Aku sobek-sobek tiketnya. Sudah disobek-sobek hidungku dengan parfumnya, disobek-sobek pula uangku. Sialan! Begitukah lelaki yang kau puja?! Sudah depresi dan gila lelaki yang kau puja itu!***