Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Lelaki Yang Berjanji Untuk Tidak Menangis
2
Suka
4,285
Dibaca

“Selamat sore, Bu. Saya Adam, yang memesan satu kamar di kos ini, waktu itu saya pesan lewat instagram sama Ibu Riri.” Ujarku menjelaskan kepada seorang ibu dan bapak tua di 'Kos Doa Ibu' yang baru saja kudatangi tersebut.

“Oh… nggih Mas, sama Mbak Riri ya. Beliau pemilik kos ini rumahnya di kabupaten sebelah. Kalau saya sama suami saya penjaganya saja di sini. Panggil saja saya Bu Jo dan ini Pak Jo.” Bu Jo menjelaskan dengan ramah. Aku berjabat tangan. “Sebentar yo, Mas, ibu telpon Mbak Riri dulu.” Aku menunggu beberapa saat, kutatap kos bertingkat dua tersebut berjumlah 20 kamar, dengan posisi bangunan saling berhadapan lima kamar di lantai atas dan lima kamar di lantai bawah sebelah kanan dan kiri dengan jumlah yang sama. Setelah Bu Jo mengakhiri telepon untuk mengkonfirmasi kedatanganku kepada pemilik, aku diarahkan ke kamar nomor 7 lantai dua di sebelah kanan. Kamar dibuka, semua tampak bersih dan rapi, Pak Jo mempersilahkan. Aku menyelesaikan pembayaran dan menyerahkan beberapa persyaratan seperti KTP dan lain-lain.

Akhirnya aku bisa istirahat, batinku. Di luar gerimis turun perlahan, aku membereskan barang-barang. Demi mimpi yang ku perjuangkan, aku memberanikan diri meninggalkan Kalimantan dan memilih Yogyakarta sebagai kota tempat untuk belajar. Hal yang berpuluh tahun lalu aku rencanakan, dan berjodohlah aku dengan kos ini.

Aku keluar dengan sekantong plastik kecil berisi sampah, hasil bersih-bersih dari tas yang kubawa. Sore terasa lebih gelap dari biasanya, aroma basah tercium sudah oleh gerimis yang kian jatuh. Samar-samar kudengar suara alunan musik klasik. Aku berhenti sejenak, menajamkan pendengaran lalu menoleh ke sekeliling mencari tahu asal suara. Pandanganku terhenti pada kamar paling ujung, nomor 10, berjarak dua kamar dari tempatku. Tampak di depan kamar ada rak sepatu kecil dan keset kaki. Ada dua pasang sepatu hitam dan putih terletak di sana. Aku bisa menebak bahwa penghuni kamar tersebut pastilah seorang lelaki dan perempuan dari sepatu itu. Namun seketika aku teringat, bukankah ini kos khusus laki-laki dan tidak diperbolehkan ditempati oleh dua orang? Ah, entahlah, apa peduliku. Aku masuk, melepas baju lalu menenggelamkan diri. Rasa lelah tak butuh waktu lama merampas kesadaranku.

*** 

Esok harinya aku bangun kesiangan. Sadar akan hal itu, buru-buru aku bersiap mandi. Kos ini kamar mandi dan dapurnya di luar, di lantai satu dengan lima kamar mandi. Seusai bersiap, aku mengunci pintu, memasang sepatu. Seorang lelaki berbadan tinggi melewatiku, aku menoleh. “Pagi, Mas.” sapaku, ia membalas dengan senyum sambil terus berlalu pergi. Kulihat di bawah sana ia menyalakan motor vespa hitamnya, kemudian melaju pergi. Sesaat aku menatap kamar ujung, hanya tersisa sepatu perempuan berwarna putih di rak itu. Jadi itu penghuni kamar sepuluh, batinku.

Hari ini aku mengunjungi beberapa tempat wisata yang selama ini memang ku dambakan, sambil menghafal jalan dan mencari ide untuk bahan tulisanku yang rencananya akan ku kirim ke sebuah kompetisi di platform menulis, Kwikku. Kawasan Malioboro, Museum Sonobudoyo dan Taman Sari menjadi tujuan.

***

Aku pulang. Sempat kehujanan sebab menjelang sore mendung telah merampas senja mengantarkan hujan memenuhi takdirnya. Sayup-sayup terdengar lagi suara musik klasik, sambil membuka kunci pintu aku melirik kamar ujung, tampak dua pasang sepatu berwarna hitam putih, tanda lelaki penghuni kamar itu ada. Sebelum masuk, aku melihat sekeliling kos, sepi. Kamar utama tempat Pak Jo dan Bu Jo tinggal di bawah sana juga telah tertutup. Semua sudah terlelap sepertinya, padahal ini baru pukul 21.00 WIB namun hujan barangkali menjadi penyebab orang-orang tak mau jauh dari tempat tidurnya. 

Aku membuka jendela kamar, suara lagu terdengar lebih kencang. Kulihat jendela di ujung terbuka. Lama kutatap sambil mendengar lirik lagu yang sangat tidak asing bagiku.

Di wajahmu kulihat bulan, bersembunyi di sudut kerlingan

Sadarkah tuan, kau ditatap insan yang haus akan belaian

Aku tersenyum sembari menyandarkan kedua siku di jendela, ada rasa yang belum bisa kujelaskan yang membuatku semakin betah mendengarnya.

Di wajahmu kulihat bulan, menerangi hati gelap rawan

Biarlah daku, mencari naungan di wajah damai rupawan

Tiba-tiba musik itu hilang. Kerutan di sepasang alisku menjadi kalimat tanya mengapa lagu itu berhenti, aku melirik ke jendela ujung dan alangkah terkejutnya aku, di sana tampak seorang lelaki tanpa baju menatapku. Demi menutupi rasa malu dan salah tingkahku, aku tersenyum menyapa. “Lagi pengen lihat hujan juga ya, Mas? Hehe, gerah sih ini, makanya saya begini.” kalimat tak berencana itu keluar dari mulutku begitu saja, ia tak merespon namun terus melihatku dengan tatapan datar. “Lagunya tadi bagus, Mas, kenapa dimatikan ya?” lanjutku cengengesan. Lelaki itu hanya tersenyum simpul, kemudian menutup jendelanya seperti tidak tertarik untuk mengobrol atau hanya untuk sekedar berbasa-basi. Lantas buru-buru kututup jendela, malu sekali rasanya, seperti maling yang tertangkap basah. Rasa penasaranku semakin besar, mengapa tiba-tiba lagu dimatikan dan dia melihatku dari jendela, apakah dia tahu bahwa aku memperhatikannya? Aku merasa sedikit merinding. Sejujurnya aku belum terlalu banyak bertegur sapa atau berkenalan dengan penghuni kos lain. Sepertinya mulai besok aku harus mencoba berkenalan dengan mereka. Namun seketika aku tahu apa yang harus kutulis. Aku mengambil laptop, menuliskan apa saja yang baru ku alami.

***

“Lagi masak apa toh, Mas?” Pak Jo, sambil mengambil plastik dari tempat sampah menegurku.

“Iya nih, Pak Jo, saya masak mie. Bapak udah makan?”

“Sudah, Bapak biasanya pagi-pagi udah makan.”

“Pak, ngomong-ngomong, di sini yang sewa banyak mahasiswa ya, Pak?”

“Iya, Mas, tapi beberapa ada yang kerja.”

“Oh… pantesan pada sibuk Pak ya, jarang kelihatan,” aku sambil terus memasak, memancing obrolan itu, “Kalau kamar nomor sepuluh itu, Pak, penghuninya siapa?”

“Oh itu Mas Dimas namanya, dari Jakarta.” Pak Jo membawa sampah ke depan, aku mengangguk-ngangguk mendengar jawabannya sambil mengaduk mie. “Mas Dimas itu tinggal sendiri ya, Pak, di kamar itu?”

“Kenapa?” suara berat seorang lelaki bertanya, ini jelas bukan Pak Jo, gerakanku terhenti, aku berpaling. Aku melongo, malu untuk yang kedua kalinya, “Ma-maaf, Mas. Saya nggak bermaksud…” aku gelagapan. Dia berpaling masuk ke kamar mandi dengan handuk di pundak, sepertinya dia tidak suka padaku. Ah, bodo amat! Niatku kan hanya ingin menyapa para tetanggaku, apa salahnya. Pikirku, sembari pergi membawa mie ku.

Hari ini aku tidak berencana untuk pergi ke mana-mana, hanya ingin istirahat sambil menonton film. Aku menikmati waktu di kos. Film Balada Sepasang Kekasih Gila yang ditulis oleh Han Gagas dari produksi Falcon Pictures menemaniku. Setengah hari berlalu menjelang sore awan kembali mendung, Jogja akhir-akhir ini sering diselimuti hujan. Gerimis jatuh, aku keluar mengambil beberapa baju yang dijemur. Bu Jo juga terlihat buru-buru memetik jemurannya. “Hujan, Mas,” serunya, terkekeh kecil.

“Iya nih, Bu.” aku mengambil semua jemuran yang ada di lantai dua, kubawa saja masuk ke kamar semuanya. Nanti pasti anak-anak lain bisa saja mencarinya ke kamar, pikirku.

Malam harinya, aku yang sedang asik menonton dihentikan oleh ketukan pintu. “Iya?” aku membuka seperempat, lelaki yang katanya bernama Dimas berdiri.

“Kamu yang ambil jemuran saya?”

“Oh iya, ini Mas, dipilih aja. Maaf saya campur semuanya, mungkin punya tetangga lain juga ada.” aku menggeser keranjang mendekati kakinya, ia membungkuk memilih baju miliknya.

“Makasih ya, Mas, udah diamankan. Tapi lain kali nggak usah, biar istri saya aja yang ngambil. Nanti dia marah lagi kalau ada yang ngambil.” ia berkata ketus, hampir saja aku protes tidak terima atas sikapnya itu jika saja ia tidak beranjak pergi secepatnya. Aku menggerutu dalam hati. Dasar aneh lo! 

“Biar istri saya aja yang ngambil,” aku meniru gaya bicaranya, mengolok lelaki itu, “Ya kenapa istri lo nggak cepat ngambil bajunya pas hujan,” aku masih kesal. Tetapi sesaat teringat sesuatu. Istri? Bukannya kos ini tidak disediakan untuk orang berumah tangga dan hanya boleh ditempati oleh satu orang saja? Aku keheranan. Lantas kembali kesal, bodo amat, apa peduliku?!

***

Tinggal di Yogyakarta, aku membiasakan diri dengan budaya di sini. Orang-orang yang kutemui di jalanan begitu ramah, mereka sangat antusias ketika aku bertanya jalan apalagi setelah mereka tahu aku ingin mengunjungi tempat-tempat keseniannya. Beberapa hari di minggu pertama, kuhabiskan untuk jalan-jalan sekaligus menikmati masa-masa bebasnya aku dari tekanan di tempat terakhir aku bekerja, dunia pertambangan yang tak pernah benar-benar aku inginkan. 

Beberapa teman menyayangkan keputusan ku untuk mengundurkan diri dari sana, mereka menganggap bekerja di sana sudah bagus karena penghasilannya yang besar, apalagi saat mereka tahu bahwa aku akan tinggal dan bekerja di Yogyakarta yang Upah Minimum Regional nya saja masih sangat rendah. Sah-sah saja jika mereka berpendapat seperti itu, namun satu hal yang selalu kupercaya, setiap orang punya makna bahagianya sendiri. Tidak selalu penghasilan besar menjadi satu-satunya kebahagian. Berpenghasilan besar di suatu pekerjaan yang bukan duniamu, tetap terasa seperti ada yang kurang. Kita tidak akan bahagia menjalaninya. Iya, itu yang telah kurasakan. Membohongi diri sendiri adalah kejahatan yang membunuh mental sendiri. Tidak semua orang memiliki keberanian untuk memilih bidang yang ia cintai. Maka diberkatilah engkau dengan pilihan hatimu.

Minggu kedua di sini, aku disibukkan dengan beberapa panggilan interview dari lamaran yang ku ajukan secara online. Namun belum ada satupun yang membuatku tertarik akan tawaran-tawaran tersebut. Aku masih mencoba menunggu panggilan berikutnya, masih menikmati masa santai ini dengan kegiatan-kegiatan yang kusukai seperti menonton teater, pertunjukan musik, pameran lukisan, dan sebagainya.

Seperti biasa, aku selalu pulang malam. Lagi-lagi pagar kos sudah dikunci oleh Pak Jo, untung saja kami semua diberikan kunci cadangan. Malam ini masih sama, gerimis sedang syahdu-syahdunya merayu malam, menciptakan perasaan dingin dimana-mana. Bayangan kekasih melintas sejenak, namun hatiku menolak untuk mengenangnya. Biarlah saja ia tersimpan rapi dalam kenangan. Saat menaiki tangga, aku berselisih dengan seseorang. Ia menyapaku, “Baru pulang, Mas?”

“Iya nih, Mas. Kenalin saya Adam, penghuni baru di kamar 7.” uluran tanganku disambut ramah olehnya.

“Saya Andre, Mas. Masnya di sini kerja ya?”

“Iya Mas rencananya, tapi masih belum sih Mas, soalnya saya interview di beberapa tempat. Kalau Mas Andre kerja juga?”

“Kalau saya kuliah Mas. Itu saya di kamar 12.” Ia menunjuk kamar seberang, persis di depan kamarku.

“Oh iya iya, Mas. Mari ngobrol lagi kapan-kapan.” jawabku.

“Iya iya, aman Mas. Saya ke bawah dulu, mari.” ujar Andre ramah dengan logat jawanya yang kental. Aku berbalik hendak menuju kamar, namun sedikit terkejut dan terhenti sejenak melihat Dimas sudah berdiri di depan kamarku. Ia seperti menunggu kedatanganku. Wajahnya terlihat panik. Aku mendekat.

“Mas, saya boleh minta tolong nggak, Mas?” suaranya terdengar memelas, aku bingung.

“Tolong apa?”

“Minta tolong buatkan teh hangat untuk istri saya, saya nggak bisa ninggalin dia lagi demam.”

“Oh bisa, bisa. Sebentar ya, nanti saya antar ke kamarnya Mas.”

“Makasih banyak ya, Mas.” Dimas segera kembali ke kamarnya.

Tanpa pikir panjang, aku melepas sepatu, jaket dan tas, kemudian turun kembali ke dapur. Membuat teh. Kini gerimis sudah menjadi hujan deras. Aku tergesa menaiki tangga, membawa teh hangat beralaskan piring kecil. Mengetuk pintu kamar Dimas, dia membuka sedikit pintunya.

“Ini Mas tehnya.”

Ia mengambilnya, “Makasih, Mas. Mas namanya siapa?” tanyanya.

“Saya Adam,” jawabku, dia seperti menunggu kelanjutanku, “Istrinya Mas Dimas masih demam?” tanyaku lagi.

“Masih, tapi ini masih sambil istirahat. Mas Adam makasih ya tehnya.” Dimas tersenyum kecil lantas menutup pintu meninggalkan aku yang masih mematung. Kulirik ke bawah, keset kaki, dua pasang sepatu hitam dan putih terletak di keranjang kecil. Aku kembali ke kamar, menatap sekali lagi kamar Dimas sambil masih tak percaya atas apa yang baru saja terjadi. Tadinya aku mengira dia akan mempersilahkan aku masuk untuk menjenguk atau membantu apapun yang bisa kubantu untuk istrinya yang sedang sakit. Dasar orang aneh! Pikirku.

Malam kian larut, hujan terdengar jatuh patah-patah di atas genteng, aku belum bisa tidur. Sesekali aku diusik dengan soal pilihan hidupku. Masih begitu banyak mimpi yang harus dikejar, begitu banyak hal yang mesti dipelajari. Apalagi jika ingin menjadi seorang penulis film. Hal mustahil yang bisa kuraih. Namun, kalau kupikir-pikir, toh selama ini bisa pergi ke Yogyakarta saja adalah mimpi yang sangat mustahil bagiku dulu, tetap bisa terjadi. Toh selama ini setiap keinginanku bisa tercapai satu per satu, bisa dapat pekerjaan dengan gaji besar tanpa punya ijazah sarjana misalnya, semua bisa terjadi, tapi tentu tidak lepas dengan kerja keras dan proses panjang tentunya. Jangan pernah ragukan kuasa-Nya, pesan Emak terngiang.

Lamat-lamat suara alunan musik terdengar. Pelan kubuka jendela, melirik samping kanan, seperti biasa jendela di ujung telah terbuka. Sebuah lagu berkumandang.

Getaran jiwa melanda hatiku

Tersusun nada, irama dan lagu

Walau hanya sederhana, tapi tak mengapa

Moga membangkitkan

Lagu itu semakin halus memasuki alam bawah sadarku, mengantarkanku pada lelap yang menghanyutkan. Gerimis mereda sementara malam kian menua.

***

Sinar matahari silau menyentuh kelopak mata membuatku terusik dan bangkit dengan mata setengah terbuka. Terdiam beberapa saat, bersandar di dinding mengumpulkan nyawa, mulutku menguap beberapa kali. Aku menoleh ke atas dan menyadari semalam tertidur dengan jendela terbuka. Kulihat handphone, pukul 10.30 WIB. Setengah terpaksa handuk yang tergantung di balik pintu kuambil. Aku berselisih dengan Dimas, gerakannya terhenti melihatku menuruni tangga. Ia seperti baru datang, mengenakan baju kotak-kotak rapi dengan tas di pundak, dan setangkai bunga mawar merah dalam genggaman tangan kirinya. 

“Pagi, Mas.” Aku menyapa, ia tersenyum. “Istrinya udah mendingan?” tanyaku lagi.

“Sudah, ini saya mau antarkan bunga mawar. Dia senang sekali mawar merah.” Dimas menjawab sambil memandangi bunga itu, tatapannya begitu tulus lalu tersenyum bahagia. Begitukah kekhawatiran seorang suami kepada istrinya yang baru saja sakit, pikirku. 

“Syukurlah, Mas, kalau istrinya sudah sehat.” Dimas mengangguk, ia pergi naik. Aku semakin merasa aneh dengan tingkah Dimas. Tapi terserahlah, apa peduliku?

Di bawah terlihat Andre yang sedang menyalakan motornya, sepertinya ia akan berangkat kuliah. Teringat sesuatu, kuhampiri mahasiswa UGM itu.

“Kuliah, Ndre?”

“Iya, masuk pagi” Sambil memasang helm ia menjawab.

“Andre, aku mau tanya, penghuni kamar 10 itu tinggal sama istrinya di situ?” Tanyaku setengah berbisik, wajah Andre berubah seketika, seperti bingung ingin menjawab apa.

“Mas Adam sebaiknya tanya orangnya langsung aja, tapi setahu saya ndak ada, Mas. Dia tinggal sendiri di situ.” Aku manggut-manggut, sementara Andre izin pamit. Seperti ada yang aneh dengan Kos Doa Ibu ini, para penghuninya juga jarang terlihat, bahkan sejauh ini yang sering kulihat hanya Dimas dan Andre, itupun hanya sekedarnya saja. Bu Jo dan Pak Jo sendiri sibuk dengan pekerjaannya, menjaga kebersihan kos, dan membuat ketupat dari daun kelapa pesanan dari orang. Entahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja.

***

Pukul 22.30 WIB. Sebuah film baru saja berakhir kutonton, aku membuka youtube, lanjut mendengarkan podcast sepertinya menarik. Semakin malam justru terasa semakin seru untuk melakukan kegiatan di internet. Ya mumpung masih belum bekerja, ini kesempatan bagiku untuk bersantai sambil terus mencari bahan-bahan tulisan. Aku mengambil kopi kemasan di atas meja, karena belum sempat membeli teko listrik untuk memasak air aku turun ke dapur, merebus air. Malam-malam begini apalagi hujan memang paling tepat ditemani secangkir kopi, namun kopi belum lengkap jika tidak diseduh dengan air mendidih.

Saat kembali ke kamar, tak sengaja aku melihat kamar ujung. Keset kaki, rak kecil dan sepatu perempuan berwarna putih terdiam pada tempat biasanya. Tidak ada sepatu Dimas, barangkali ia belum pulang. Kuseruput pelan kopi ini, rasanya hangat pula menenangkan. Lambat laun suara musik klasik terdengar seperti biasa, namun bukan sebuah lagu, hanya suara denting piano. Pendengaranku menajam, musik itu terus berdenting. Kubuka pelan kunci jendela, mengintip jendela kamar Dimas. Astaga! Mataku membelalak terkejut, jantungku berdetak lebih kencang melihat sosok perempuan tengah menyisir rambut panjangnya di jendela itu. Aku berusaha mengontrol diri, mengatur nafas, kuperhatikan lamat-lamat, wajahnya tak terlihat hanya gerakan tangannya yang turun naik. Apakah itu istri Dimas? Aku tak berani menyapa, kututup jendela. Mencoba mencerna sesuatu. Denting piano itu terdengar lebih kelam dari biasanya, seperti menyampaikan sesuatu yang begitu menyakitkan, atau seolah menjadi musik duka atas kepergian seseorang.

Pelan kubuka lagi jendela, kulihat jendela kamar ujung itu telah tertutup namun suara piano itu masih terdengar sama-samar. Entah mengapa penasaranku semakin menjadi, meski beberapa kali aku memaklumi namun seperti ada hal aneh yang masih belum bisa ku terjemahkan sendiri. Selama ini terlalu sibuk sendiri dengan duniaku, sampai-sampai aku lupa mengenali tetanggaku sendiri. Apakah di zaman teknologi serba canggih ini jadi alasan untuk kita abai pada lingkungan sekitar? Bodohnya aku, sudah hampir sebulan disini namun tak mengenal semua tetanggaku. Kuputuskan besok untuk mencoba bertamu agar bisa mengenal mereka lebih dekat, agar tak ada lagi rasa penasaran seperti ini.

*** 

HP ku berdering, panggilan masuk.

“Iya, halo sayang.”

“Adam, kapan sih kamu ada waktu untuk kita ngomong serius?” Suara perempuan yang sedang mengomel itu Vina, pacarku yang sudah dua tahun bersamaku. Aku menghela nafas, menguap sekali dengan mata setengah terbuka, kantukku dirampas oleh panggilannya dan aku merasa sedikit kesal.

“Memangnya selama ini aku kalau ngomong becanda gitu?”

“Aku nggak bilang gitu ya, aku mau bahas soal kita yang sekarang jauh-jauhan gini.”

“Vina, bukannya kita udah bahas ya sebelum aku ke sini dan kamu setuju?”

“Kan kamu tahu aku terpaksa karena itu pilihanmu,” Vina diam beberapa saat, aku menunggu, “Aku tuh nggak setuju, dan aku pengennya kita tetap di satu kota yang sama aja.” lanjutnya dengan suara bergetar, aku tahu dia sudah mulai menahan tangis. Sejujurnya ini terlalu dini bagiku untuk berdebat dengannya. Aku bersandar ke dinding sambil memeluk bantal.

“Terus kamu maunya gimana?”

“Terus kamu maunya gimana? Selalu itu pertanyaan kamu, paling benci dengar kalimat itu tau nggak! Nggak bisa apa keinginan aku sama keinginan kamu itu disamaratakan tanpa harus mengorbankan keinginan salah satunya?” Suaranya semakin meninggi dan aku semakin pusing.

“Gimana mau disamain keinginan kita aja beda, kamu ke utara aku ke selatan. Bukannya kita udah sepakat ya sementara kamu nikmatin kerjaan barumu disana aku ngejar karirku dulu disini, kok malah dibahas ulang lagi sih.”

“Adam, masalahnya Mamah sama Papah mau minta kepastian kamu tahu nggak, aku capek tiap hari ditanyain terus. Papah bahkan pengen aku nikah sama anak temannya itu. Puas kamu?” Tut… tut… tut… Telepon dimatikan. Aku langsung mengetik pesan, meminta waktu untuk memikirkan ini semua.

Dengan langkah kesal aku mengambil handuk, mengunci pintu dan menuju kamar mandi. Saat pusing begini sentuhan air ke seluruh tubuh memang dapat sedikit menenangkan.

*** 

Sudah beberapa hari aku tak melihat Dimas. begitu pula di depan kamarnya yang terlihat hanyalah keset kaki, sepatu putih yang tergeletak di atas rak kecilnya. Karena penasaran malam itu sepulang dari luar aku pun mengetuk kamarnya. Tok.. tok.. tok.. tak ada sahutan. “Permisi…” ucapku disusul dengan ketukan berikutnya. Sepi. Mungkin mereka sedang ke luar kota, pikirku

Belakangan aku tahu setelah mencoba berkenalan dengan orang-orang di kos ini bahwa Dimas memang tinggal sendiri. Kebanyakan mahasiswa juga baru sekitar tiga bulanan menempati kos ini, tak banyak yang tahu tentang Dimas. Bahkan Bagus, orang terlama yang menyewa kos ini setahun dua bulan, juga tidak terlalu tahu tentangnya. Katanya, saat ia kali pertama datang, Dimas sudah lebih dulu ada. Maklumlah, semua sibuk dengan kegiatan dan pekerjaan masing-masing. Aku pun sebenarnya tidak perlu terlalu mencari tahu tentang lelaki itu, hanya saja rasa penasaranku yang selalu menuntut untuk mencari penjelasan membuatku tergerak. Gerak-geriknya telah kucatat dalam ceritaku. Jika dia tinggal sendiri di kamar itu, lantas siapa perempuan yang minggu lalu aku lihat, dan sering kali Dimas langsung yang berkata bahwa dia tinggal dengan istrinya. Seperti saat pertama kali ia mengambil jemuran ke kamarku, ketika ia panik meminta tolong dibuat teh hangat saat istrinya demam, dan saat ia tak sengaja kulihat membeli bunga mawar hampir setiap hari, darinya sendiri aku tahu itu untuk istrinya.

Setiap kali bertanya dengan tetangga lain, apakah Dimas tinggal sendiri semua menjawab tinggal sendiri. Aku selalu kebingungan mendengar jawaban-jawaban itu, namun tak sekalipun aku membantah jawaban mereka dengan hal-hal yang kusaksikan. Aku memilih untuk menyimpannya saja dulu sampai nanti aku sendiri yang langsung menemukan jawabannya.

Beberapa hari terakhir aku tak lagi mendengar musik-musik klasik yang biasa mengalun, juga suara gelak tawa Dimas yang sesekali menyeruak di antara alunan musik itu. Penasaranku justru semakin besar, sebab keanehan-keanehan yang kurasakan selama ini tertuang dalam tulisan. Malam ini aku bersandar di jendela, melamun. Jendela paling ujung sudah lama tertutup. Pikiranku seharusnya tertuju penuh ke Vina, namun malah terusik oleh sosok lelaki misterius itu. Apakah setiap penulis mengalami hal serupa, jika ada satu hal menarik yang ia amati di kehidupannya maka ia akan terus mengupas tuntas hal tersebut agar bisa menjadi cerita dalam tulisannya kelak? Entahlah. Namun itu yang kurasakan. 

Sudah kuputuskan untuk tetap menetap di Jogja. Vina tak habis pikir denganku, tentu saja, itu karena ia pun terdesak dengan tuntutan orang tuanya. Sedari awal dia selalu mendukung keputusanku untuk terus mengejar mimpi. Namun terkadang, ada saja hal-hal yang menghambat pendirian seseorang, yang memaksanya untuk ragu dan mempertanyakan kembali akan keputusan-keputusannya. Aku pun demikian. Sejuta keraguan menghampiri, begitu pula ketakutan selalu datang dari arah yang tak disangka-sangka, persis seperti rezeki. Namun pendirian kokoh ku itu selalu menegaskan bahwa tak mengapa jika nanti aku gagal, daripada harus hidup dalam penyesalan karena tak pernah berani mencoba. Tetapi, tak sedikit pula hal kukorbankan. Karir, percintaan, dan keluarga. 

Dari jendela kos ini tampak di kejauhan gedung-gedung hotel dan atap-atap rumah sekitar, beberapa bintang menempel di langit malam menambah nelangsa suasana hati. Suara-suara keraguan yang menolak yakin semakin bising. Saat-saat seperti ini mata menjadi begitu rapuh, pandangan mengabur, serasa ada yang sesak di dada. Sesuatu yang basah mengalir di pipi, disertai getaran bibir yang menahan tangis. Namun kesedihan selalu jujur kepada apa yang ia rasakan. Air mata tahu betul kapan ia harus mengalir. Tuhan, sekuat-kuatnya kakiku melangkah, tetap saja ia membutuhkan Engkau wajah yang mulia. Sertailah.

*** 

Aku menatap layar laptop, entah menit keberapa aku masih bingung ingin menuliskan apa kelanjutan cerita ini. Semenjak kali terakhir melihat Dimas, sejak itu pula kalimat dalam naskah terhenti. Sumber inspirasi hilang, entah bagaimana melanjutkannya.. Aku menyaksikan beberapa pengunjung kafe tempatku berada sekarang, seorang pria bercengkrama dengan gadisnya, beberapa kumpulan anak muda berjumlah lima orang dalam satu meja, seorang perempuan menyendiri di meja paling pojok dengan sebuah buku, dua remaja lelaki yang sibuk dengan ponselnya, dan aku dengan kebingunganku. Deadline kompetisi tinggal sebulan lagi, semoga Dimas masih kembali ke kos, lagi pula aku tak mendengar dia telah pindah. Info terakhir yang kudengar dari Bu Jo, ia pulang ke Jakarta sebentar. Sebentar yang entah versi mana.

Aku mengambil ponsel, mencari sebuah nama, lalu menelponnya. Terhubung, namun tak diangkat, bahkan hingga panggilan ketiga. Vina barangkali teramat kecewa padaku. Sepanjang jalan pulang, di motor aku memikirkan banyak hal. Tentu saja, bukankah saat berkendara begini di setiap jalanan seperti begitu banyak jajanan kenangan berjejer. Dan kau melihatnya bergantian, mengenang kembali setiap rasa. Berhenti di perempatan lampu merah, memperhatikan sekitar orang-orang dengan ketergesaannya, seperti memberi ruang untukku mensyukuri segala sesuatu.

Pelan kubuka kunci pagar dari luar, memasukkan motor, menaiki tangga, mengambil kunci kamar dari tas, menoleh ke kamar ujung dan hanya menemukan keset kaki di sana. Tanpa kehadiran dua pasang sepatu hitam putih dan rak kecilnya. Gerakanku terhenti, melihat-lihat ke sekitar, semua pintu tertutup. Pukul 23.45 WIB, tentu saja semuanya telah sepi. Kudekati kamar Dimas lalu mengetuknya pelan meski aku tahu akan berujung percuma. Entah mengapa seketika ada perasaan sedih menghampiri, aku yang telah terbiasa dengan segala kemisteriusannya kini seperti harus kehilangan sebelum semua pertanyaan terjawab. 

*** 

Keesokan hari saat aku membuka pintu kamar hendak turun mandi, kulihat seorang perempuan berdiri di depan kamar Dimas. Tak peduli wajah kumal khas bangun tidur kudekati ia, “Maaf Mbak,” aku terbata, perempuan itu menoleh.

“Mbak ini istrinya Mas Dimas?” Perempuan yang kutanya tampak heran dan sedikit serba salah. Perempuan itu menjawab setengah berbisik.

“Apa? Meninggal?” Suaraku meninggi, benar-benar tak percaya.

***

Satu bulan kemudian.

Aku membaca kembali cerita pendek yang telah ku publish di Kwikku, sebuah aplikasi baca tulis yang sedang populer karena selalu mengadakan kompetisi besar untuk siapapun yang suka menulis.Salah satu yang ku ikuti adalah kompetisi bertajuk Spill Your Stories, sebuah cerita pendek bertema My Stupid Boss dan The Story Next Door. Kisah Dimas telah kujadikan salah satu cerita di The Story Next Door dengan judul Lelaki Yang Berjanji Untuk Tidak menangis.

Aku kembali tersentuh, saat membaca di halaman-halaman terakhir cerita itu, ketika aku tahu dari adik perempuannya bahwa Dimas telah meninggal dunia.

*** 

Suatu malam, Dimas membawa pacarnya, Alta, makan malam di rumah. Dimas memang ingin mengenalkan pacarnya itu kepada keluarganya. Ayah dan Ibu senang sekali kepada Alta, begitu pula Tyas adiknya, mereka menerima apa adanya. Alta masih berkuliah di Universitas Yogyakarta. Dimas, setiap akhir pekan selalu mengunjungi Alta ke Jogja, menghabiskan waktu bersama. 

Alta tinggal di sebuah kos bernama “Kos Putri Ibu”, meski dikhususkan untuk perempuan, namun kos tersebut terbilang cukup bebas. Dimas bahkan menginap di sana ketika sabtu dan minggu. Sebagai sepasang kekasih yang saling mencinta tentu saja pertemuan mereka tak lepas dari bercinta. Kamar nomor sepuluh paling ujung di lantai dua itu adalah saksi betapa sepasang kekasih ini selalu melepas hasrat. Sebentar lagi, setelah Alta wisuda mereka juga akan menikah. Keputusan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak keluarganya.

Malam itu, purnama kesepuluh di sebuah tahun, pada akhir pekan yang hujan, mereka baru saja selesai bercinta.

“Seminggu menanggung rindu…” ucap Dimas pelan seraya mencium pelan pipi Alta.

“Lagunya, sayang.” Talia meminta dengan manja, lalu Dimas bangkit dari tempat tidur, membuka jendela kamar lantas mengambil salah satu piringan hitam di atas meja meletakkannya pada gramofon. Ia kembali berbaring di samping Alta, mereka menikmati musik itu sambil berpeluk mesra.

Di wajahmu kulihat bulan

Bersembunyi di sudut kerlingan

Sadarkah tuan, kau ditatap insan

Yang haus akan belaian

*** 

“Kamu hati-hati ya, sayang.” Alta mengusap lembut bahu Dimas ketika kereta yang mereka tunggu telah tiba.

“Kamu semangat ujiannya ya, kalau ada apa-apa kabarin aku.” Dimas memeluk kekasihnya, cukup lama dari biasanya. Mereka saling lambai, tak peduli dengan laju kereta yang akan memisahkan mereka. Lambaian itu terhenti hanya jika salah satu telah hilang dari pandangan.

Namun mau tak mau, Dimas harus menerima kenyataan bahwa itu adalah kali terakhir ia melihat Alta sebab beberapa hari kemudian kabar maha kejam itu telah sampai ke telinganya. Alta ditemukan tak bernyawa di kamar kosnya, diduga hal tersebut baru diketahui setelah tiga hari penghuni kamar sekitar mencium bau yang kurang sedap. Segala penyelidikan telah dilakukan. Tak ada tanda-tanda kejahatan, kematian itu murni tanpa sebab selain karena memang ia meninggal dunia panggilan Tuhan yang tak bisa seorang pun membantahnya. Alta tak pernah memiliki riwayat penyakit apapun. Kos itu ditutup. Lagi pula meski dibuka tak seorang jua berani tinggal disana. Cerita beredar kemana-mana.

Dimas mendatangi pemilik kos, ia menawarkan untuk membeli kos tersebut. Setelah berpikir cukup lama, pemilik akhirnya setuju untuk menjualnya. Hampir semua tabungan ia kuras demi bisa memiliki kos itu. Semua impian yang dibangun perlahan harus hilang begitu saja. Sebulan setelah kejadian itu, ayah dan ibunya begitu khawatir melihat kondisi Dimas yang tak pernah lagi tersenyum. Ia seperti orang ling lung yang tak punya harapan. Sebagai orang tua yang memiliki banyak kekayaan, mereka rela melakukan apa saja asal anak lelaki satu-satunya itu bisa kembali seperti semula. Ayah Dimas mendukung penuh ketika suatu hari anaknya mengutarakan niat ingin membeli kos tersebut. Ia dan istrinya sering diam-diam menyusul Dimas yang masih saja pergi ke Jogja setiap akhir pekan.

Ia tidur di kamar sepuluh itu. Sendirian. Mereka khawatir Dimas akan melakukan hal-hal di luar nalarnya. Namun tampaknya Dimas baik-baik saja. Dia datang hanya untuk tidur, menikmati waktu libur. Minggu sore ia kembali ke Jakarta, bekerja seperti biasa. Dimas kembali beraktifitas seperti biasa. Ia pun sudah bisa tersenyum kembali.

Suatu hari di meja makan, Tyas memulai pembicaraan. “Kak Dimas Sabtu besok ke Jogja?”

“Iya dong, kan kasihan Alta kalau Kakak nggak nengokin dia ke sana.” Jawab Dimas antusias sambil mengambil lauk dan sayur. Ayah, Ibu dan adiknya saling tatap canggung.

“Abang,” suara lembut ibunya tersenyum, “memangnya Alta masih ada di sana?” tanyanya hati-hati. Dimas menatap ibunya heran.

“Loh, ibu gimana sih, bukannya Alta memang kuliah disana. Sebentar lagi kan wisuda, dan akan jadi menantu ibu.” Dimas tertawa kecil. Tyas memberikan kode kepada ibunya, untuk mengiyakan saja. Mereka membiarkan Dimas melakukan apapun, sepanjang itu membuatnya terlihat baik-baik saja. Meski sebenarnya Dimas sedang tidak baik-baik saja. Mereka bertiga selalu menyusul setiap kali Dimas ke Jogja.

“Abangmu itu sakit, Tyas.” Ucap Ayahnya prihatin, mereka dalam mobil, parkir di depan kos yang sudah lama sepi itu.

“Kak Dimas merasa Kak Alta masih ada. Apa kejiwaannya terganggu ya, Bu?” Tyas berpikir, sesekali menatap kamar di lantai dua itu. Ibunya menangis. Mereka memutuskan mengunjungi seorang Dokter Psikologi.

*** 

Setahun setelah kejadian itu. Dimas merenovasi bangunan kosnya. Tak banyak yang diubah, hanya cat bangunannya yang diubah menjadi sedikit lebih cerah dan beberapa hal yang ia ganti, seperti nama kos yang menjadi Kos Doa Ibu. Dimas membuka kembali kos tersebut dengan wajah baru, khusus untuk laki-laki. Ia meminta bantuan temannya, Riri, untuk menjadi pengelolanya. Riri beberapa kali datang ke sana, dalam rangka mempersiapkan pembukaan kembali kos itu.Riri tahu semua tentang temannya itu, setelah berdiskusi dengan Ayah dan Ibu Dimas, ia pun mau membantu agar temannya itu bisa sembuh perlahan. Bu Jo dan Pak Jo, yang tak jauh tinggal dari Kos tersebut pun bersedia kembali untuk menjadi penjaga kos setelah sebelumnya mereka berhenti karena kasus kematian Alta.

“Semoga dengan wajah baru ini, orang-orang bisa melupakan kejadian itu dan menganggapnya sebagai hal biasa.” Ujar Riri ketika ia mengobrol bersama Pak Jo dan Bu Jo. Riri membuka iklan di berbagai sosial media bahwa Kos Doa Ibu dibuka dan menerima penyewa baru. Dimas dianggap sebagai penyewa pertama, memancing orang-orang agar tertarik tinggal disana. Maklumlah, cerita yang beredar dari orang-orang setempat membuat beberapa orang jadi berpikir dua kali untuk tinggal disana. 

*** 

Kini semua pertanyaanku telah terjawab. Dimas yang sempat dianggap gila oleh beberapa orang, justru adalah salah satu lelaki hebat yang pernah kutemui. Kekuatan cinta telah membuatnya bertahan sejauh ini membawa perubahan. Ia berhasil membuat tempat itu tetap hidup sebagaimana ia meyakini bahwa kekasihnya Alta tak pernah mati. Lima tahun berlalu, penyakit delusi yang dialaminya telah membuatnya bertahan sejauh ini. Mungkin begitulah caranya menikmati luka kehilangan. Tyas, adiknya yang hari itu bercerita kepadaku saat ia datang menjenguk kamar Dimas bilang bahwa Dimas tak pernah sekalipun terlihat menangis. Sebab ia sendiri pernah berkata bahwa ia berjanji untuk tidak menangis. Kini aku benar-benar memahami bahwa perasaan cintanya kepada Alta begitu magis. Dari hari pertama aku menginjakkan kaki di kos ini, alunan musik klasik yang terdengar adalah musik yang selama ini ia dan kekasihnya nikmati seusai bercinta. Hampir setiap malam ia hidup dengan kekasihnya yang telah mati. Ketika ia datang mengambil bajunya ke kamarku, seolah nyata ia katakan istrinya ada di kamar, begitu pula saat ia meminta tolong dibuatkan teh hangat, dan binar matanya penuh cinta saat menceritakan bahwa Alta suka sekali bunga mawar. 

Kini aku paham mengapa sepatu putih perempuan di rak kecil itu selalu ada sebagaimana isi kamar mendiang Alta yang tak pernah sedikitpun diubah dalamnya, gelak tawa tengah malam saat ia berbicara sendiri, aku menyebutnya cara lain menikmati kehilangan tanpa tangisan. Dan belakangan aku pun menyadari, bahwa perempuan yang kulihat di jendela malam itu adalah memang penampakan arwah Alta yang tak pernah mengganggu siapapun. Ia hanya hidup disana. Dan Dimas, meninggal dunia saat pulang ke Jakarta. Di rumah orang tuanya ia pergi dengan tenang, persis seperti kekasihnya, ia meninggalkan jasadnya di kamar saat tidur.

Aku tak berniat pindah kos. Kisah ini terlalu romantis dan magis bagiku. Aku menjalani kehidupan seperti biasa. Sepulang kerja, sesekali aku masih mendengar alunan musik klasik dan jendela ujung yang terbuka malam hari. Pastilah itu si lelaki yang berjanji untuk tidak menangis sedang memadu cinta bersama kekasihnya disana. Meski aku tahu hingga kini kamar itu dibiarkan kosong. Mendadak aku tahu apa yang harus kulakukan untuk kelanjutan hubunganku dengan Vina.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Lelaki Yang Berjanji Untuk Tidak Menangis
Rolly Roudell
Novel
Richard
yuyun septisita
Novel
Bronze
Miracle When Sunset
Dyah Ayu Lestari Ginting
Flash
Pertama dan terakhir.
Yulia Fahri
Novel
Arishta
Tamara Lutfiana Putri
Novel
Bronze
Puisi Untuk Nabila
ringgoseno
Novel
CRUCIAL DAYS
Nu
Novel
Top Secret's
Nunu
Novel
The Broken Wings
Aisy Permata
Cerpen
Bronze
Perihal Kematian
Anjrah Lelono Broto
Novel
Linea Recta
tianyan
Novel
Gold
Luka Dalam Bara
Noura Publishing
Flash
Bronze
CINTA RENATA
Maldalias
Novel
Bronze
Mata Hati Telinga
Prily R. Madansary
Novel
Bronze
Boyfriend Hunting
Stella
Rekomendasi
Cerpen
Lelaki Yang Berjanji Untuk Tidak Menangis
Rolly Roudell
Flash
SEMBUH
Rolly Roudell
Flash
KARAM
Rolly Roudell
Flash
Berkunjung
Rolly Roudell
Cerpen
Bronze
Kerja / Dikerjain?
Rolly Roudell
Novel
Beda
Rolly Roudell
Flash
Vey
Rolly Roudell
Skrip Film
Pamit
Rolly Roudell
Flash
GELAS PLASTIK
Rolly Roudell
Skrip Film
Kita, Kota dan Dosa
Rolly Roudell
Flash
Ingkar
Rolly Roudell
Flash
Gloomy Sunday
Rolly Roudell