Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Lelaki Misterius Yang Setiap Malam Datang Ke Gereja
1
Suka
27
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Ditulis Agustus 2025

Tatapan mata itu, senantiasa mengusik, dan sering kali berakhir mengacaukan perasaannya. Ada yang tak beres, tidak mungkin dan jelas ini mustahil. Mimpi-mimpi bodoh ini senantiasa mampir seolah mengejek sistem pertahanan yang telah dia buat sedemikian rupa. Mengikisnya, sedikit demi sedikit sembari nyengir ditambah tawa haha hihi.

Bukan saja perasaannya yang berhasil diobrak-abrik imbas tatapan matanya yang menghanyutkan. Saraf-saraf di otaknya kian mencipta jalinan yang hebat. Makin hari makin kuat. Bagaimana tidak? Dia tak pernah libur kerja. Shift sore sampai pagi, selalu begitu. Bahkan di hari Minggu. Bos bilang dia adalah karyawan teladan. Menepuk pundaknya di depan karyawan-karyawan lain. Bersandiwara sebaik mungkin untuk menciptakan karakter tokoh bos yang beruntung dikaruniai karyawan yang kerja macam jongos. Sebuah anugerah karena kemurahan hatinya yang kerap memberi 500 perak pada pengamen, meminjamkan mobil rongsok pada tetangga hamil yang sudah mau brojol, dan menyelipkan dengan penuh gaya sebuah amplop tebal di kotak gereja. Amplop tebal. Benar-benar amplopnya yang tebal.

Dan yang namanya budak, tetaplah budak. Apa bisa naik tahta sebagai perwira? Dan bodohnya. Dia menikmati posisi ini, posisi jongos di toko baju anak yang ramainya tak karuan terlebih menjelang idul fitri. Bosnya, mustahil akan mengangkat dia ke jabatan lebih tinggi. Senyum ramah, melayani, sabar menjawab dan menanti, adalah kombinasi sempurna sifat seorang jongos. Dan bodohnya, lagi-lagi dia begitu menikmati pekerjaan ini. Entah ini fitrahnya atau bukan. Tapi semenjak tatapan mata itu berlangsung lebih lama, dia memutuskan melakukan hal yang tak ada dalam program kerjanya. Mengepel lantai teras toko tanpa diminta, tanpa dibayar lebih.

Dan malam ini, dia telah memegang sapu beserta alat pel dan teman sejawatnya. 

"Sora, please deh. Jangan terlalu baik di hidup yang makin jahat ini." Temannya Resti berseloroh dari meja kasir. Matanya masih embap karena diputus tunangannya. Alasannya aneh bin ajaib. H min satu bulan pernikahan, calon lelaki Resti mendapat ilham jika hubungan mereka bakal menciptakan peperangan di anak cucu macam Pandawa Kurawa. Padahal, usut punya usut calon lelaki Resti mendua meski cincin sudah melingkar di jarinya. Ilham hanya dijadikan sebuah alasan, dijadikan kambing hitam. Mana ada lelaki yang sudah cuil asas perilakunya dapat ilham segala? dasar manipulatif.

 Sebagai jawaban, Sora hanya terkekeh sembari mempertontonkan gummy smile-nya. Sebuah model senyum yang sedang digandrungi oleh anak-anak muda era sekarang. 

"Gak usah buang-buang energi, Ra. Nanti kalau ada cowok cakep, tajir, muda, main ke toko ini tak kabarin, deh."

"Yang ada kau embat sendiri, Res!"

"Tenang aja. Udah trauma aku sama yang namanya laki-laki," jawab Resti dengan ketus. 

"Idih, terus sekarang gimana? belok dong? takut deh." Sora berseloroh lumayan keras, membuat Resti cepat-cepat mempertemukan ibu jari dan jari telunjuk, memberi isyarat 'Huss jangan keras-keras."

"Asli ya. Tuh mulut kalau malam kayak gak ada remnya." Resti mendekat kearah Sora. Ekspresi wajahnya jutek sekaligus gemas. Gemas ingin mendamparatnya.

"Maap." Respon Sora tanpa ada rasa sesal sedikit pun. Sebenarnya hal seperti itu, sudah biasa bagi mereka. Saling menertawakan nasib satu sama lain sudah jadi pasal sehari-hari menemani shift sore sampai pagi. Anggap saja sebagai jurus pengusir kantuk. Dan bagi orang-orang sederhana nan biasa-biasa saja seperti mereka. Menertawakan kesedihan bisa jadi sebuah seni untuk lebih bahagia dalam menjalani hidup. 

"Mau bareng atau nitip gak?" Seperti biasa, tiap malam Resti akan mengajak atau menawari Sora jika barangkali dia mau nitip nasi goreng di Kang Mamang seberang jalan. Karena sudah langganan dan sudah seperti karib sendiri (Resti yang hobi bawa semua uneg-unegnya untuk disetorkan ke Kang Mamang), imbasnya mereka diberi harga dibawah bandrol. Mungkin Kang Mamang kasihan betul dengan nasib mereka. Penghasilan pas-pasan tapi kerja ugal-ugalan. Mau cari yang lain, kriteria gak sejalan. Maunya yang hot jeletot, kekinian. Padahal, lebih banyak ongkos bedaknya dibanding pendapatan. Lagian, body mereka gak mendukung untuk itu. Jadi intinya, jualan produk atau jualan body ? entahlah.

"Enggak. Lagi ngirit. Lagian nanti juga dapat dari Pak Bos," jawab Sora bohong. 

"Idih. Ngarep dapat sisa jajannya Pak Bos? Yang ada udah pada diembat sama kucing-kucing garong wati. Kayak gak tahu Pak Bos, aja." 

"Lagi diet." 

"Serius, Ra. Ngakak ghaib deh."

"Ngakak aja sana. Gak perlu dighaib-ghaibin."

"Oke deh. Bye, Sora."

"Bye."

Sora menghela napas panjang. Diliriknya jam dinding di atas belakang meja kasir. Ah, sebentar lagi dia akan datang. Dan benar saja. Terdengar suara sebuah mobil yang dipelankan dari seberang jalan. Pastilah itu mobilnya. Dugaannya benar, sebuah mobil Pajero putih dengan nomor plat cantik memasuki gerbang gereja. Sekonyong-konyong dipelankan proses mengepel. Merapal doa kepada Tuhan agar tak ada pembeli, berdoa semoga Resti kecantol lama di tempat Kang Mamang.

Mobil diparkir. Sesosok lelaki dengan rambut keriting mengombak sebahu lebih panjang memakai kaos putih. Kalung salibnya berkilau terkena lampu jalan. Selama perjalanannya menuju pintu gereja, digerakkan alat pel maju mundur, kanan kiri tak seirama dan tak bernada saking falsnya.

***

"Bodoh. Cukup. Jangan lagi bertindak bodoh seperti ini." Sora menghardik diri sendiri

Meskipun bolehlah dikata aku ini jomlo dari lahir. Jangan sekali-kali melakukan hal sinting itu lagi. Sora meninju bantal kapuknya yang tak lagi terasa menul-menul.

Mata Sora terpejam, tangannya memijit dahinya. Kadang-kadang membuat gerakan seolah-olah ingin membuang semua ingatan di lintas kejadian itu.

Pandangan Mereka bertemu, dan lelaki gondrong itu, masih sama. Tanpa ekspresi. Saat itulah. Saat krusial itulah Resti memergokinya. Tertawa cekikikan, merontokkan sedikit demi sedikit benteng pertahanannya. Urat malu pun seolah membanjiri seluruh tubuhnya.

"Oh. Jadi ini alasan kamu ngepel malam-malam? cowok gondrong itu?"

Alamak. Hilangkan ingatanku soal itu, Ya Tuhan. 

Kerjasama antara Resti dan arah angin pelak membuat ekspresi lelaki gondrong itu sedikit berubah. Sora tak mengerti maksud dari gurat wajah dan tatapan matanya.

Barangkali dalam otaknya timbul prasangka aneh soal penjaga toko yang mengepel lantai di malam hari. Barangkali timbul prasangka dalam benaknya jika terdapat sosok wanita sinting yang terus menatapnya tiap dia ke Gereja. Astaga, bodoh sekali. Nanti malam, dia tak mau lagi melakukan itu. Cukup. Cukup!

****

Satu hari, dua hari sampai 3 hari Resti masih membahas soal itu. Dia tak lagi menawari Sora untuk nitip nasi goreng. Namun menyilahkan agar dia berlama-lama di depan toko, pura-pura mengepel lantai seperti sebelumnya. Selama 3 hari itu, Sora absen melakukan hal bodoh itu lagi. Sikap Resti yang ekstra lebai menimbulkan tanya dari rekan-rekan sejawat yang lain. Untungnya, tak ada yang bocor dari mulut tipisnya. Dan alhasil, timbullah desas-desus yang sangat melenceng jauh. Sora sudah menerima lamaran seorang duda. Kenapa tak sedikit pun terbesit pikiran kalau dia dilamar seorang perjaka? apa dia tak layak? apa cie-cie-nya Resti terbaca sebagai kabar bahagianya dengan seorang duda? Jaka sembung bawa thaitea. Gak nyambung bestea.

Hari ke empat, kelima, keenam, ketujuh. Perlahan namun pasti, Resti sudah tidak semenyebalkan seperti kemarin. Desas-desus kemarin juga makin tak terdengar. Semua sibuk dengan masalahnya masing-masing. Dan Sora, sejujurnya masih sibuk dengan masalahnya sendiri juga. Masalah yang sama seperti satu bulan terakhir. Seminggu tak melihat dirinya, hati Sora sedikit kacau. Ralat, bukan sedikit tapi separuh lebih banyak. Tidur jadi tak nyenyak, makan jadi tak berselera, hidup Sora jadi tak berwarna. Hidupnya jadi sekadar hidup karena bernapas, namun tak berjiwa.

Dan malam ini adalah tepat hari ke delapan Sora berpuasa. Puasa menunggu suara deru mobilnya, puasa memperhatikan sosoknya keluar dari mobil dan puasa dari menatap matanya. Katanya waktu memang tidak sepenuhnya menyembuhkan, tapi membuat kita terbiasa. Ya, semoga saja lambat laun Sora mulai terbiasa dengan berpuasa. 

"Mau nitip ga? akhir-akhir ini kamu makin kurus aja, Ra!"

Sora melirik jam dinding. Jam 11 malam. Biasanya jam segini lelaki gondrong itu memasuki gerbang gereja. 

"Enggak. Nunggu gajian aja." Sora memang sedang tak berselera untuk makan. Dia sedang mode menabung. 

"Jangan gitu dong. Kamu kayak sakit gitu, Ra. Makanlah dikit. Aku traktir mau ya, Ra! Lama-lama gak tega aku lihat mukamu kusut macam kain pel." 

"Gak deh. Makasih."

Sora melanjutkan pekerjaan melipat dan menata baju pada tempatnya semula. Pekerjaan ini tidaklah susah-susah amat tapi teramat membosankan. Dia harus mondar mandir mencari tempat asal baju yang kesasar jauh di negeri seberang. 

"Ra!" 

Demi apa! Sedang asyik merapikan tumpukan baju, si Resti manggil dengan nada macam Suzanna yang lagi manggil tukang Sate.

"Astaga. Ngagetin aja. Ngapain masih di sini? aku gak nitip."

"Maaf ya soal si gondrong itu. Kamu sakit malarindu kan Ra. Aku udah dari Kang Mamang keless. Ini buat kamu. Jahe anget!"

Sora mengerti eksprei wajah Resti. Dia betul-betul menyesal. Dan lebih menyesal karena tidak mungkin Sora akan melakukan hal konyol itu lagi, setelah akhirnya beberapa rekan sejawatnya curiga dengan tingkahnya yang dulu (mengepel lantai malam hari).

"Makasih." Sora menerima jahe anget dalam plastik beserta sedotannya. 

Resti balik badan menuju meja kasir.

Resti udah dari Kang Mamang dan itu artinya ..., ternyata lumayan juga dia menghabiskan waktu menata bin mondar-mandir tapi gak kerasa karena melamun. Sora menghela napas panjang. Kenapa pula punya perasaan yang serba menyiksa seperti ini? apa benar kata Resti? Dia kena malarindu? Apa semua sakit yang dia rasa karena rindu pada sosok lelaki gondrong itu? diputuskanlah untuk meminum jahe mumpung masih hangat. Kalau ditinggal melamun, keburu dingin.

Sembari minum jahe anget, matanya terpancang pada gambar bebek, pelangi, hello kitty yang di sablon di satu baju. Bisakah Bebek menikah dengan Hello Kitty? mungkin pada awalnya terdapat culture shock. Merasakan panas, hujan hingga akhirnya tercipta sebuah pelangi alias keindahan.

Astaga. Berhenti melamun, Ra!

"Ra! Sora!" 

"Apa! uhuk uhuk. Demi apa, suara Resti yang menggelegar sontak membuat cairan hangat jahe menyembur dari mulutnya.

"Sini!" Resti melambaikan tangannya dengan heboh. 

Sora menurut demi melihat gurat wajahnya yang serius. Dan saat langkah Sora mendekat ke arah Resti, pintu kaca toko dibuka. 

Sontak dia menoleh dan ...

Alamak! sesuatu yang hilang selama seminggu kini telah kembali. Tatapan mereka bertemu, mulut Sora sedikit ternganga hingga tersadar cepat-cepat mengatupkannya setelah Resti menepuk pundaknya.

"Layani, Ra." bisik Resti pelan dengan gurat senatural mungkin. Sora, berterimakasih untuk hal ini pada Resti. Mungkin, dia juga telah menyesal telah membuat Sora kehilangan beberapa kilo di minggu terakhir.

"Selamat datang Tuan. Ad...ada yang bisa kami bantu?" Sedikit grogi, Sora membuka kalimat pertama pelayanan. Terlebih jarak mereka hanya satu meter jauhnya. Malam ini, Sora bisa melihatnya lebih dekat. Rambutnya sudah dipotong sebahu, sedikit lebih rapi dibanding seminggu yang lalu. Dan malam ini, Sora bisa melihat dengan jelas wajah yang ternyata lebih rupawan saat penglihatannya lebih dekat. Matanya berbentuk almond, tajam namun hangat dalam menatap. Hidungnya bangir sempurna, bibirnya tipis dagu belah dua dan di bagian bawah pipi kanan kirinya terdapat jambang tipis yang membuatnya tampak sangat macho.

"Hallo ..!" 

"Eh iya,"

Astaga Sora. Bodoh sekali kamu. Kenapa pula melamun di saat-saat seperti ini? Sungguh pertemuan pertama yang bikin malu tujuh turunan. 

"Saya mau cari baju anak laki-laki untuk usia 5 tahun," suaranya tegas dan mantap. Cocok sekali jika jadi orator. Segera Sora menyesuaikan diri. Menunjukkan tempat baju anak yang diminta. Sora memberi jarak agar dia bisa memilih dengan nyaman. 

Kenapa dia membeli baju anak? apa ternyata dia sudah punya anak? kalau iya, double bin kuadrat lah tembok yang membatasi kami.

Ngomong apasih kamu, Sora!

"Saya mau ini." Dia membawa baju setelan anak dan menunjukkan pada Sora. Kalau dilihat dari waktu dalam memilih pakaian, ada kemungkinan dia sudah punya anak karena tahu betul ukuran dan selera anaknya. Bisa juga karena dia belum punya anak dengan alasan untuk beli kado. Atau bisa jadi, dia memang tipe orang yang simpel terlepas sudah punya anak atau belum.

"Baik, akan saya bawa ke kasir. Silahkan tunggu di meja kasir atau Tuan bisa lihat-lihat lagi, barangkali ada yang Tuan sukai." Setelah beramah tamah Sora membawa pesanannya menuju meja Resti.

Adapun lelaki gondrong itu juga menyusulnya ke kasir. 

Sora dan Resti bekerja secara profesional meskipun jelas akan banyak ledakan tanya, terutama dari Resti setelah kepergian lelaki gondrong itu dari toko. Demi kenyamanan pelanggan, Sora memberi jarak agar transaksi berjalan dengan privat dan nyaman. Sora berdiri di samping pintu untuk mengucapkan terimakasih dan sampai jumpa saat lelaki gondrong itu keluar. 

Dan tepat setelah laki-laki itu masuk ke mobil yang diparkirnya, Resti memekik heboh. 

"Heh! kenapa, Res? Bikin jantungan aja!"

"Aku ngerti, Ra. Aku percaya sekarang kalau suatu saat Tuhan itu berhenti menghitung!" jelas Resti yang makin Sora tak mengerti. 

"Apa sih! Gak paham, Res!" Sora menjawab ketus sembari memperhatikan mobil Pajero yang mulai menjauh dan hilang dari pandangan. 

Tumben dia langsung pergi. Biasanya jam segini masih di gereja.

"Nih, dia minta ngasih ini sama kamu."

Sebentar. Apa?

Spontan segera langkahnya menuju ke meja Resti memerhatikan secarik kertas bertuliskan nomor gawai. 

"Maksudnya ..., dia mau aku menghubungi nomornya?" gumam Sora.

"Jelas dong." Resti menepuk jidatnya.

"Tapi, kenapa gak minta nomorku aja sama kamu? kesannya kayak aku yang mendekati dia duluan."

"Apasih, Ra. Jaka sembung pakai daster. Gak nyambung sister. Waktu dia sempit, jadinya dia ngasih nomornya. Dan dengan ngasih nomornya, itu membuat kamu leluasa untuk memulai atau tidak sama sekali. Dia menghargai kamu, Sora."

"Oh, gitu ya. Nyambung sih. Yang gak nyambung Jaka sembung kok pakai daster." 

Baik Sora maupun Resti tertawa terpingkal bersama-sama.

****

"Terimakasih," ucapnya setelah berdiam begitu lama di bawah pohon-pohon yang dihiasi lampion warna-warni. Dia, yang akhirnya Sora ketahui bernama Noah mengajaknya bertemu di festival lampion di kota mereka. Para karyawan kaget saat Sora minta izin tak menjaga toko. Desas-desus yang kemarin redup pun santer menyeruak kembali. Dan untungnya, Resti tak menggubris segala pertanyaan yang dilontarkan padanya dan berakhir bibir manyun dan kadang-kadang sumpah serapah yang dilontarkan oleh beberapa rekan sejawat di balik punggung Resti. Untuk ini, Sora sangat berterima kasih padanya. Teman yang baik. Dan Pak Bos, tentu saja memberi izin. Kelewat betul kalau sampai tak memberi izin padanya. Sebenarnya para karyawan punya jatah libur 4 hari dalam sebulan. Dan Sora, selama setahun belakangan ini, tak sekalipun mengambil jatah libur itu. 

"Untuk apa?" jawab Sora kemudian sembari menatap lampion dan kerumunan orang yang jalan-jalan seperti mereka.

"Tatapan matamu."

"Hah!?" Sontak mereka bertatap mata. Tatapan mata yang sama saat Sora pura-pura mengepel lantai depan toko dan tatapan matanya saat melewati depan gereja. 

"Makasih, Sora." Ucapnya lebih jelas, membuat debar jantung Sora makin hilang kendali.

Apa aku bisa mati gara-gara jantung yang teramat cepat memompa? oh gawat.

Dihirupnya napas dalam-dalam dan dikeluarkan pelan-pelan. 

"Kamu grogi? Yuk cari minum." 

Ajak Noah membuat Sora makin merasa malu. Apa seterlihat itu? Apa begini rasanya jomlo sedari dini? kikuk dikit ketahuan.

"Oh, ya. Oke, No." Namanya Noah dan teman-temannya acap memanggil, 'No'. Kalau ada yang mendengar ucapan Sora, pastilah akan merasa ganjil. Bagaimana bisa seseorang mengucapkan kata 'Oke' dan 'No' secara bersamaan? sebuah persetujuan sekaligus penolakan yang jalan bebarengan.

Seperti hubunganku dengannya.

Ngomong apa sih kamu, Sora. Astaga.

Mereka memutuskan menuju stand kopi yang tidak terlalu ramai. Memilih menu dan duduk di meja kosong. Dari situ, Sora bisa menatap deretan pohon yang bersinar kemerlapan oleh cahaya lampion. 

"Indah, ya!" Gumam Noah.

"Iya." Jawab Sora setuju, pendek. Bukan karena tak ada pembahasan. Tapi rasa grogi itu masih menyerang.

Alamak kenapa sih di saat-saat krusial begini?

"Kenapa ...?" Dari sekian banyak kata-kata di dunia. Kenapa Sora mengawali pertanyaan kepadanya dengan kata 'kenapa'? 'kenapa' saja. Kesannya mendramatisir suasana.

"Kenapa apanya?" 

"Kenapa berterimakasih dengan tatapanku, No?" Lambat laun, Sora mulai mengatasi groginya dengan memaksa melepaskan pertanyaan yang sedari tadi bercokol di hati.

"Oh ya. Sudah lama aku tak menerima tatapan tulus seperti kamu. Hangat sekali. Tatapan itu mengingatkanku pada ibuku yang sudah meninggal setahun yang lalu." Dia tersenyum lalu menunduk. Sora bisa melihat matanya yang berkaca-kaca sebelum menunduk.

"Maaf." 

"Tak perlu minta maaf, Sora." Dia tersenyum. Matanya tak lagi berair. Dan dua pesanan kopi telah sampai di atas meja. 

"Ngomong-ngomong. Kenapa tiap malam kamu sering datang ke gereja?" usai meneguk varian kopi dengan harga paling murah, keluarlah pertanyaan yang sedari dulu disimpan oleh Sora.

"Emmm ..." Dia mengetuk-ngetukkan ibu jarinya di atas meja.

"Semacam pengakuan dosa, Sora. Aku melepaskan segala keluh kesah pada pastor. Ya, begitulah." 

Setelah menyimpan dalam pertanyaan penyebab ibunya meninggal, Sora juga harus menyimpan lagi pertanyaan apa kiranya dosa yang membuat tiap malam dia ke Gereja. Akalnya buntu. Stok pertanyaan habis. Sora memutuskan meminum lagi kopiku. 

"Kamu tidak tanya, dosa apa yang telah kulakukan, Sora?" Dia tersenyum sekaligus heran.

"Semua orang punya dosa, No. Tak perlu diumbar ke manusia yang bukan maha tahu dan maha pengampun. Lagi pula, tidak etis jika aku bertanya hal itu, No." Sora balas tersenyum padanya diikuti anggukan Noah yang dalam dan kilat matanya yang menunjukkan penyesalan. 

"Berapa lama kamu kerja di toko?" Suasana mulai cair dengan pertanyaan yang lebih sederhana untuk awal ketemu.

"Sekitar 3 tahun."

"Apa rencana kamu selajutnya setelah bekerja di toko itu?" 

"Saat tabunganku sudah cukup. Aku mau kuliah, No." 

"Jurusan apa, Sora?" 

"Pinginnya bisnis, No. Aku pingin kaya. Pingin kaya raya," jawab Sora terkekeh dan tak lagi grogi. Noah pun terkekeh, suasana menjadi lebih menyenangkan.

"Jadi kaya itu, enak gak enak, Sora!" responnya kemudian setelah tawanya selesai.

"Tapi lebih banyak enaknya kan?" jawab Sora tak percaya begitu saja. Meskipun Sora, jelas belum pernah kaya. 

"Yang jelas, waktumu akan jauh lebih sibuk ngurusin bisnis." 

"Jadi karyawan juga sibuk, No. Dan hasilnya gak seberapa. Lebih baik sibuk tapi hasilnya gede kan?" tangkis Sora tak mau kalah. 

"Seorang bos, selama dia gak tidur artinya bekerja. Mereka akan ngurus, monitoring, evaluasi cari link baru, pokoknya semua dari awal hingga akhir, Sora. Waktunya habis buat menghasilkan uang untuk pekerja. Apa dia benar-benar bisa 'nikmatin' uangnya?"

"Jelas dong. Bosku itu bisa jalan kemana-mana. Bahkan sering gonta-ganti pacar segampang dia membayar mereka" Eh, segera Sore menutup mulut.

Alamak, ngapain sih ngomongin aib bos segala.

"Ra. Bos mu mungkin bisa beli apa pun yang dia mau. Tapi dia gak bisa beli kenikmatan yang diberi Sang Pencipta. Maksudku, aku gak masalah kamu mau kaya, Ra. Aku setuju, karena dengan kaya kamu bisa mengetahui banyak hal. Menyusuri tempat mana pun yang kamu mau. Bisa membantu banyak orang. Aku hanya ingin, kamu menikmati hidupmu sekarang. Jangan sampai kamu fokus menabung sampai tak pernah kelihatan beli nasi goreng."

"Eh, kok." 

Aku maupun Noah tertawa terpingkal bersama-sama.

"Makasih, No. Serasa dapat nasehat dari Pastor," canda Sora.

"Ah, bisa aja. Ngomong-ngomong udah saatnya aku gak dengerin pastor lagi. Aku mau dengerin kata hati, Sora."

"Eh, maksudnya?" Sors tak mengerti. Obrolan mereka agaknya berbelok-belok, kadang landai kadang curam. Kadang santai kadang serius. 

"Aku gak akan ke gereja depan toko lagi, Sora. Aku mau pergi." Tukasnya sembari menggoyang-goyangkan gelas kopinya yang tinggal seperempat.

"Kemana?"

"Mencari jati diri, Sora." 

Sora tertegun. Terlalu banyak kalimat yang dia ucapkan yang mana sebagian besar mengandung rahasia. 

"Kemana?"

"Ke suatu tempat dimana aku bisa mengenal lebih soal diriku. Aku minta maaf, Sora. Aku mengajakmu bertemu hanya untuk membuatmu semakin tak tak mengerti. Aku hanya ingin mengucapkan perpisahan, terutama berterimakasih atas tatapan matamu yang tulus itu."

"Kenapa rasanya ..., seolah-olah ini adalah sebuah perpisahan untuk selamanya?" Sora mengingit bibir. Ada rasa takut yang menggelayut di hatinya.

"Aku akan menghubungimu, Sora. Setelah kutemukan apa yang telah hilang."

"Mari kita cari bersama," ucap Sora kemudian.

Tatapan mereka bertemu. Saat kata-kata yang jumlahnya miliyaran tak lagi bisa menjadi perantara. Mampukah tatapan mata menyiratkan segalanya?

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Lelaki Misterius Yang Setiap Malam Datang Ke Gereja
Naila Etrafa
Novel
My Little Evil
Yalie Airy
Novel
Gold
Mermaid Melody
Mizan Publishing
Novel
Bronze
An. Samadi
Eun Yasmien
Novel
Bronze
sweet girl
naufal maulana
Novel
Gold
Mencarimu
Bentang Pustaka
Novel
Cintaku Bersemi di Negeri Saba
Lala Novrinda
Novel
Gold
Athlas
Mizan Publishing
Novel
Gold
Helen Dan Sukanta
Mizan Publishing
Novel
Bronze
ACCISMUS & PETRIKOR
Nareswari Tyaga Calya Dinhiari
Novel
Rewrite the Memories
Sekar Setyaningrum
Novel
Without You
Safina
Novel
Bronze
Neng Zulfa: Menikah dengan Gus Dingin
Puput Pelangi
Novel
Gold
Jodoh Sang Superstar
Falcon Publishing
Novel
Jika
Eric Shandy Admadinata
Rekomendasi
Cerpen
Lelaki Misterius Yang Setiap Malam Datang Ke Gereja
Naila Etrafa
Cerpen
Sepasang Kekasih November
Naila Etrafa
Novel
Aku Menyukai Senja di Matamu
Naila Etrafa
Novel
Yang Seharusnya Tak Pernah Singgah
Naila Etrafa