Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lelaki Jambu Air
Oleh: Suryawan W.P
“Pesawatmu boarding jam berapa?”
“Satu jam lagi.”
Sayup-sayup azan magrib bersahutan. Motor yang kutumpangi melaju kencang. Mungkin pengemudinya takut terlambat. Mau tak mau tanganku mencengkeram erat pegangan di samping kanan kiri sedelnya. Kucondongkan tubuhku ke depan. Aku takut kalau-kalau terlempar ke belakang. Ah, seandainya waktu bisa melambat.
Entah parfum merk apa yang dipakainya. Kuhirup dalam-dalam. Mencoba mengidentifikasi aroma yang menguar dari tengkuknya. Aku tidak terlalu yakin, tapi bau ini mengingatkanku pada aroma yang kukenal. Segar. Aroma jambu air.
Aku tersenyum geli membayangkan ide yang terlintas. Mulai sekarang aku akan memanggilnya lelaki jambu air. Tapi setelah kuingat-ingat, bukan hanya aroma yang tercium dari tubuhnya, bentuk hidungnya juga menyerupai jambu air. Begitupun warna bibirnya, semenggoda buah yang semu merah itu.
Aku tak pernah menyangka sebelumnya, lelaki jambu air akan menjadi terlihat semenarik itu. Dia memiliki senyum yang mau tak mau memaksaku untuk membalasnya. Aku telah mencuri senyum itu diam-diam semalam saat makan bersama usai kujemput dia di bandara. Begitupun juga saat sarapan tadi pagi.
Baru kali ini aku mengalami acara makan yang mendebarkan. Konsentrasiku bukan pada tiap suapan yang masuk ke mulut. Perhatianku tersita pada wajah laki-laki jambu air di depanku. Matanya yang besar dan jernih sibuk mengamati foto-foto yang diambilnya dengan kamera handphone. Sesekali dia tersenyum ketika mendapati sesuatu yang mungkin dianggapnya lucu. Sesekali itu juga aku tersenyum membalas senyumnya. Begitu terus hingga berkali-kali. Mungkin dia akhirnya tersadar kalau tengah kuamati. Saat diangkat wajahnya dan kedua mata itu menatapku, buru-buru kualihkan pandangan. Aku tak mau tertangkap basah dalam usaha curi-curi pandang.
“Kita sudah sampai.” Katanya tadi pagi saat tiba di parkiran kawasan pantai. Meski mata ini belum melihat wujudnya, namun aroma laut telah tertangkap oleh hidungku.
Dalam hatiku ada ketidakrelaan. Sebentuk rasa nyaman tumbuh ketika kududuk memboncengnya di sedel belakang. Ingin kuperlambat waktu ketika kami bisa sedekat itu.
“Seriusan kamu bawa sekop?” Matanya sedikit melotot melihatku mengeluarkan sekop dan ember kecil dari dalam ransel. Bukan itu saja, masih ada sendok, garpu, dan pisau roti. Aku hanya mengangguk sambil menyeringai kecil. Mengiyakan pertanyaannya.
“Besok aku akan ke pantai, kamu mau ikut?” tanyanya semalam.
Tanpa pikir dua kali aku langsung mengiyakan tawarannya. Gila. Mungkin ini sedikit gila. Tak pernah ada dalam sejarahku mengiyakan ajakan ke pantai dari seseorang yang tak begitu kukenal secara langsung. Ini adalah kali pertama aku bertemu setelah empat tahun mengenalnya.
Aku harus mengucapkan terima kasih pada kemajuan teknologi. Kami terpisah jarak dua kota Jogja dan Surabaya. Internet yang mempertemukan kami. Ketika aku meneruskan kuliah di Jogja, dia justru harus kembali ke Jakarta karena pekerjaan.
Kami memiliki hobi berbagi kisah di dunia maya. Aku senang membagi tulisanku di blog. Sedangkan laki-laki jambu air ini membagi ceritanya melalui gambar. Dari dulu aku mengagumi foto-foto yang diunggahnya di blog pribadi. Dari komentar-komentar di tiap unggahan yang terkadang malah keluar dari topik, keakraban kami di dunia maya terjalin.
Agak heran ketika sekarang aku berada di dekatnya. Bagaimana bisa selama empat tahun ini tak pernah terlintas di pikiranku mengenai betapa menariknya laki-laki jambu air ini. Mungkin karena keadaan yang membuatku tak bisa melihatnya dengan cara yang berbeda. Aku hanya menganggapnya sebagai teman berbagi cerita di blog saja. Tidak pernah ada kesempatan menjadi lebih.
Sejak pertama kali mengunjungi blognya, aku tahu kalau dia memiliki pacar dari foto-foto miliknya. Saat itu pun aku juga sedang memiliki kekasih. Namun aku tidak terlalu peduli. Toh yang aku kagumi adalah karya-karyanya. Tidak ada urusan dengan statusnya.
“Aku akan sering datang ke Jogja. Adikku kuliah di sini.” Semalam ia membuka percakapan saat makan malam di lesehan sekitar Malioboro dekat tempatnya menginap.
“Azril?”
“Kok kamu tahu? Iya, dia keterima di UGM.”
Jangankan lelaki jambu air, aku pun takjub dengan daya ingatku sendiri. Aku adalah pengingat yang baik untuk hal-hal yang tidak penting. Samar-samar masih kuingat seorang bocah bercelana pendek biru yang duduk di samping ibunya. Ada nama Azril di sisi kanan seragam putihnya. Itu adalah salah satu dari beberapa foto adik dan ibu dari lelaki jambu air yang diunggahnya di blog. Waktu cepat sekali berjalan. Bocah berseragam SMP itu sudah mau kuliah saja. Aku merasa beruntung karena masih bisa mengingatnya. Pertemuanku semalam layaknya pertemuan dua teman lama. Aku tidak asing dengan hal-hal yang dibicarakannya.
Dari semua yang kuingat, kehidupan di kampusnya dulu, gunung hutan dan lautan yang disambanginya, juga termasuk orang-orang yang menjadi bagian dari hidupnya, ada satu nama yang aku hindari. Aku berusaha keras untuk tak menyebut nama Karina Syakina Adam. Gila, lagi-lagi ini gila. Aku heran sendiri bagaimana bisa aku mengingat nama lengkap seseorang yang kukenal pun tidak. Karina adalah wanita yang dulu wajahnya sering ada di foto-foto milik lelaki jambu air. Sudah setahun ini lelaki jambu air tak lagi mengunggah foto kekasihnya. Aku bukannya tak ingin tahu seperti apa hubungan mereka sekarang, aku hanya tak ingin merusak momen kami berdua. Aku takut mendengar jawaban yang tak kuharapkan. Saat ini aku hanya ingin ada aku dan lelaki beraroma jambu air.
Setelah perjalanan lebih dari dua jam dari kota Jogja, kakiku yang pegal karena terlalu lama duduk akhirnya bebas merasakan deburan ombak. Telapak kakiku menikmati pasir putih kecoklatan yang basah. Sejauh mata memandang, biru yang terbentang.
Dalam sekejap saja lelaki jambu air sudah jauh dari jangkauanku. Dengan polaroid di tangan, dia hanyut dalam dunia yang dicintainya. Mataku mencoba mengikuti ke manapun laki-laki yang mengenakan tshirt dan jeans hitam itu pergi. Sayangnya pandanganku terbatas. Tubuhnya timbul tenggelam di antara celah-celah bebatuan karang. Tiba-tiba saja ada perasaan takut kehilangan.
Laki-laki jambu air itu sampai di atas batu besar. Dia meneriakkan namaku kencang. Dilambaikan tangannya padaku. Kubalas lambaian tangannya. Aku pun meneriakkan namanya. Tak kalah kencang. Dia meneriakkan lagi namaku. Lebih kencang. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Dengan sebuluh bambu yang terbawa ombak dan entah datang dari mana, kugoreskan namanya di pasir basah, kemudian namaku, lantas kulingkari dengan bentuk hati.
Aku juga tak mau kalah dibanding lelaki jambu air. Bukan dia saja yang punya mainan. Di tepian pantai kusiapkan sekop, ember, garpu, sendok, dan pisau roti yang kubawa dari rumah. Di bayanganku sudah ada istana pasir dengan menara-menara tinggi beratap kubah-kubah bulat. Istanaku dikelilingi benteng panjang serupa tembok besar China.
Cekrek cekrek
Aku kaget. Lelaki jambu air sudah ada di belakangku. Selembar foto keluar perlahan dari kameranya. Dikibas-kibasnya foto itu. Kemudian dia tersenyum nakal kepadaku. Aku yakin dia mengambil gambar dari poseku yang berantakan. Terang saja. Banyak pasir di rambut, muka, dan tangan. Aku tengah sibuk dengan benteng istana pasirku.
“Mukaku jelek kan? Hapus! Hapus!”
“Nggak bisa lah, ini kan polaroid.” Katanya yang diikuti tawanya. Membuat mata besarnya itu menyipit.
Lelaki jambu air menggelengkan kepala sambi berdecak kecil memandangi istana pasir yang telah jadi. Sesekali diarahkan bidikan polaroidnya. Dia pasti tak mengira pembicaraan saat makan malam kutanggapi dengan serius.
“Kalau kamu mau nyari foto, terus aku ngapain?”
“Kamu bisa bikin istana pasir mungkin.” Jawabnya asal sambil mengunyah suapan ayam goreng.
Beberapa kali dia mengambil fotoku bersama istana pasir yang telah kubuat. Dia mengitari istana pasir. Berharap menemukan sudut yang tepat untuk fotonya.
“Tunggu jangan kesitu!” teriakku sambil menarik tangannya.
Terlambat. Lelaki jambu air telanjur melihat tulisan nama yang kugoreskan di pasir pantai tadi.
“Wah nama siapa yang kamu tulis?” lirikan matanya menyelidik.
Masih ada bentuk hati yang tinggal separuh beserta namaku. Sedangkan tulisan namanya hanya tersisa jejak yang sudah tidak terbaca karena tersapu ombak. Bahkan laut pun tak ingin dia tahu perasaanku.
Seharian bermain di pantai, kami pun kembali pusat kota. Mengapa waktu mendadak menjadi singkat saat kita sedang merasa bahagia? Dan kini aku sudah di perjalanan mengantarkannya menuju bandara untuk pulang ke Jakarta. Aku masih ingin mengulangi hari kemarin, hari ini, dan hari bersamanya. Kalau aku boleh meminta satu permintaan, Tuhan aku ingin waktu sekarang ini melambat.
“Kamu lihat bulan itu? Halomoon.” katanya sambil tetap mengemudikan motor. Kepalanya hanya sedikit menoleh ke samping.
Aku menoleh ke samping. Kulihat bulan malam ini sangat besar dan terang. Ada cincin besar yang melingkarinya. Kupandangi terus bulan yang seolah mengikuti ke manapun kami berjalan. Aku rasa bulan pun ingin tahu tentang apa yang akan terjadi setelah ini.
Apa yang akan terjadi setelah ini? Aku pun tak berani berandai-andai. Meski sudah empat tahun mengenalnya, ini baru pertama kali aku bertemu dengannya. Apakah ini cinta? Tidakkah ini terburu-buru untuk mengatasnamakan cinta? Bagaimana kalau aku tidak punya kesempatan bertemu dengannya lagi?
Motor masih melaju cukup kencang. Kukumpulkan nyaliku. Terserah dengan apa yang akan terjadi setelah ini. Kuberanikan diri untuk memindah genggaman tanganku dari pegangan di samping sedel ke pinggangnya. Kepalaku kurebahkan di punggungnya. Aroma jambu air yang terhirup semakin kuat. Kalau sampai ini yang terakhir kali aku bisa membauinya, akan kusimpan aroma ini dalam ingatan kuat-kuat.
Bulan bercincin masih mengikuti kami. Tanganku melingkar di pinggangnya. Lelaki jambu air melambatkan motornya.
Yogyakarta, 19 Agustus 2014
Cerpen ini telah dimuat di majalah Femina edisi Oktober 2014