Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
LELAKI
ADA satu musim dalam hidupku yang tak pernah bisa ku jelaskan secara logis. Musim yang hadir seperti kenangan tak lazim bersama mimpi yang terlipat rapi di dalam koper tua yang kusimpan di kepalaku.
Aku menyebut musim itu dengan pengasingan.
Saat itu aku tinggal di Pattaya. Sebenarnya tak ada alasan yang spesifik kenapa aku memilih pergi ke sana, aku hanya merasa perlu untuk menjauhi Jakarta yang terlalu keras, terlalu cepat berubah, dan lihai menyamar sebagai ambisi.
Aku percaya manusia sesekali perlu hanyut, layaknya kapal tanpa jangkar, agar tahu ke mana sebenarnya ingin berlabuh.
Di satu sore berwarna tembaga. Seorang perempuan duduk sendiri di pantai, membawa sepasang sepatu balet dan buku kecil di pangkuannya. Ia terlihat seperti seseorang yang tertinggal dari kereta terakhir untuk pulang, atau memang memilihnya untuk tak ikut.
Belakangan aku tahu Ia adalah seorang guru tari, datang ke Pattaya, mencari ide untuk pementasan. Aku juga tahu, ia sedang mencari sesuatu yang tak bisa ditemukan di atas panggung. Dirinya sendiri.
Obrolan kami tak terdengar seperti percakapan biasa. Lebih mirip dua bayangan yang saling mendekati tanpa bersentuhan. Terkadang suara kami hilang ditelan angin, selebihnya kami saling bertukar napas. Dari kekosongan itu, sesuatu kemudian tumbuh. Tak bernama. Kami merasa nyaman dalam ketidakpastian.
Beberapa hari setelahnya, kami mulai berbagi atap. Kami bukanlah sepasang kekasih, hanya dua jiwa yang, sepakat untuk saling menemani, saling mengusir kesepian. Pattaya menjadi semacam ruang antara, rumah, sekaligus pelarian. Tempat dimana kami boleh memilih menjadi manusia tanpa riwayat.
Dalam malam, kami menyatu. Jiwa kami telah lama kehilangan cahayanya. Tubuh yang menyentuh tubuh, menjadi tanda bahwa kami masih hidup. Aku belum sepenuhnya mengerti apakah itu cinta, atau hanya cara paling sederhana melawan kesendirian.
Seperti semua hal yang terasa terlalu indah untuk menjadi sebuah kenyataan, masa itu pun perlahan menguap. Aku kembali ke Jakarta, tanpa kata perpisahan. Meleburkan diri dalam rutinitas, kebisingan, di tengah kota yang tak pernah tidur. Sebuah kalimat yang sempat terucap darinya, “Kalau kau rindu, pandang langit malam. Aku akan melakukan hal yang sama.”
Waktu memudar dalam hitungan bulan, hingga hari itu, sepucuk surat tiba. Sebuah pemberitahuan tersurat di setiap kata-kata yang tertulis. Ia sedang mengandung. Anak perempuan. Hasil dari malam yang mungkin tak pernah pantas disebut cinta, meski maknanya masih membekas. Ia ingin menamainya dengan, Leil Fattaya. Seperti malam yang mengubah segalanya.
Aku membaca surat itu dengan perasaan yang sama saat aku menemukan kembali halaman dari buku harian yang pernah kubakar. Membuatku termenung sejenak, sebelum akhirnya kusadari, kalau dunia kadang memang butuh kejutan yang tak mungkin selalu bisa direncanakan.
Maka suratnya hanya kubalas dengan sebuah jawaban singkat: Mari kita menikah.
Orang tuaku tak pernah menyetujuinya. Karena kami berasal dari dunia yang berbeda, katanya.
Begitu pun dengan keluarganya.
Tapi sejak kapan hidup harus menunggu izin dari yang tak menjalaninya?
Kami pun tetap menikah. Diam-diam, dan seadanya. Tanpa gaun mewah, tanpa dokumentasi, hanya dua hati yang saling meyakini.
Tiga bulan kemudian, seorang anak lahir. Rambutnya hitam, matanya tenang seperti ibunya. Ia juga membawa aroma yang asing, seperti angin yang datang dari pantai yang jauh. Aku sepakat untuk menamainya Leil Fattaya.
Ia bukan lahir dari sebuah cinta yang dirancang. Ia lahir dari sebuah kisah yang tak ingin berakhir.
Sejak malam itu, aku tak lagi menatap langit untuk mencarinya, melainkan untuk mengingat.
Malam yang mengubahku menjadi seorang ayah. Malam yang membuktikan bahwa hidup bisa tumbuh bahkan dalam keterasingan.
Leil Fattaya, jika suatu hari nanti kau membaca ini, ketahuilah, kau hadir dari keterasingan yang tak sengaja kami pilih. Dari satu-satunya tempat yang membuat kami meyakini pilihan takdir.
***
PEREMPUAN
Aku datang ke Pattaya bukanlah karena keindahannya, aku hanya tak ingin pulang. Jauh di dalam benakku, aku adalah seonggok makhluk dari dimensi lain, menjelajahi dunia yang masih asing untuk menemukan satu denyut baru yang belum pernah kujamah.
Aku seorang penari. Sejak kecil, tubuhku lebih fasih berucap dibanding suaraku. Saat anak-anak lain sibuk mengeja huruf pertama, aku sudah melayang di ruang tamu, di hadapan ibu yang akan membalasnya dengan senyuman tipis. Tapi waktu, seperti debu halus, mengendap di persendianku. Aku kemudian kehilangan arah. Panggung tak lagi terasa nyaman. Musik terdengar seperti gaduh. Tubuhku seperti melupakan caranya bicara.
Aku pergi ke Pattaya tanpa peta dan tujuan pasti. Di antara pasir dan waktu yang melambat, aku menunggu sesuatu yang tak kutahu itu apa. Hingga dia datang. Lelaki itu. Tubuhnya tegap, langkahnya letih. Hidupnya seakan sudah terlalu lama bersandar di pundaknya. Dalam ucapannya, ada keteduhan yang membuatku ingin percaya.
Kami tak langsung bicara. Kalimat datang seperti ombak kecil, lalu mereda, kembali ke tengah lautan. Keheningan di antara kami membuat kami nyaman. Kami dua orang yang duduk di halte mimpi, menunggu sesuatu yang tak kunjung sampai.
Kami tinggal bersama di kamar kecil yang menghadap laut. Setiap pagi, aku menari di balkon, hanya dengan tubuh dalam balutan kimono tipis. Matahari yang menyusup, melukiskan siluetnya di dinding dan lantai, seolah cahaya sedang belajar memahami bentuk. Dia duduk di kursi rotan yang sudah hampir patah, kopinya di tangan, pandangannya menyapu setiap lekuk gerakanku seperti seorang arsitek yang merekonstruksi puisi. Kadang ia mencatat sesuatu, kadang hanya diam.
Malamnya, tubuh kami menyatu tanpa suara. Hanya kulit yang saling mengerti dan napas yang pelan menyulam jarak. Dalam pelukannya, aku bukan lagi makhluk asing. Aku menjadi perempuan, yang lelah, rapuh, ingin tetap menari. Menginginkan hidup di dalam denyut alam lain.
Kami tak pernah bercerita tentang masa lalu, pun masa depan. Kami hanyalah dua komet yang saling bersilangan sesaat, sebelum melaju ke arah yang berbeda. Kami tahu, ini bukanlah kisah yang bisa dibawa pulang. Namun kami tak sanggup meninggalkannya begitu saja. Jadi kami diam. Membiarkan waktu melarutkan segalanya perlahan, bagai pasir yang hilang tersapu ombak.
Dan benar, akhirnya kami pulang.
Aku kembali ke studio yang sama, langkah yang sama, suara musik yang sama. Tapi tubuhku… tak lagi bicara. Seolah ia memilih diam, menjaga sesuatu yang tak bisa dibagi, tak bisa dijelaskan, bahkan oleh gerak.
Sampai suatu hari, aku terlambat haid. Dua minggu. Tiga minggu. Empat minggu. Aku tahu tubuhku tidak pernah berdusta.
Namanya sudah kupilih sebelum ia lahir, Leil Fattaya. Sebuah nama yang kubisikkan di tengah malam, pada laut, pada angin di kota asing ini. Nama yang mengandung jejak tempat segalanya bermula—dan mungkin, diam-diam, juga berakhir.
Aku nyaris membiarkannya menjadi rahasia yang larut bersama senja. Tapi dia—makhluk kecil di dalam tubuhku—memanggil dengan tendangan lirih. Memberi tanda jika dirinya tak ingin hanya menjadi masa lalu. Ia ingin hadir. Dikenang. Diakui.
Maka kutulis sepucuk surat. Singkat. Berisikan kabar, bukan sebuah permohonan. Kukirimkan ke alamat yang tak lengkap, berharap semesta menyampaikannya. Tak lama, ia membalas. Singkat. Tegas. Mari kita menikah.
Pernikahan kami berlangsung tanpa sorai. Tanpa bunga, dan doa. Tapi hari itu, diisi dengan sebuah keheningan yang hangat. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa sendirian di dunia ini.
Ia lahir saat langit menangis pelan. Tangisnya menggema bagai alarm dari semesta, seolah berkata: “Aku di sini.” Dalam wajah kecil itu, aku mengenali sesuatu, sepotong senja dari negeri asing, yang senyap, yang mengerti arti sebuah takdir.
Mungkin suatu hari nanti Leil akan bertanya dari mana ia berasal. Dan aku tak akan punya jawaban yang sederhana. Tapi kurasa, ia tak perlu tahu segalanya. Karena beberapa kisah memang tumbuh bukan dari pernikahan, melainkan dari keikhlasan dua hati yang saling menemukan.