Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari sudah menjelang maghrib. Kursi-kursi kayu di masih diduduki penduduknya, yakni guru-guru di SMA desa pelosok Sukatani berwajah kuyu, lengket, dan mau pulang. Nama Toni menjadi lem yang merekatkan pantat mereka pada batang kayu, alas duduk kursi-kursi itu yang berat karena tanggung jawab dan kewajiban—bukan karena uang gaji bulanan mereka yang akan habis tanpa bisa ditabungkan.
Toni siswa kelas dua itu punya segudang masalah. Absensi, keterlambatan, vandalisme, nilai-nilai jeblok, dan akhir-akhir ini: perundungan—seolah semua itu tidak berujung pada konsekuensi. Di sini para guru bermusyawarah perihal Toni dan segambreng kelakuannya yang berpilin pada dua keputusan terakhir yang bisa merubah nasibnya.
“Tapi dia anak kepala desa,” ujar Bu Ningrum, guru fisika, ketika seluruh ruangan mulai hening.
Bu Ningrum sudah mengucapkan itu tiga kali sepanjang rapat, seolah bismbillah dalam acara-acara sholawatan, atau gacor dan maxwin pada sesi-sesi judi online seorang penjudi. Posisinya memang cukup senior mengingat perjuangannya dalam mendidik insan-insan bangsa. Mengingat usia pengalamannya yang sudah mencapai dua puluh tahun mengajar, argumen itu didengarkan dan dihargai meski efeknya lebih terasa mengganggu daripada memurnikan hasil pendapat.
“Pak kepala sekolah,” seorang guru laki-laki mengangkat tangan dari sudut ruangan.
Sontak semua kepala menengok pada sosok itu.
“Saya akan bertanggung jawab atas Toni. Berikan saya setengah semester. Saya akan berusaha,” pungkas Pak Arif.
Mata semua orang membelalak. Bukannya dia daritadi tidur waktu kita masih membahas anggaran, seseorang berbisik pada rekan di sebelahnya.
Pak Arif dan segudang rumornya. Entah kepada siapa dia membuat perjanjian, mungkin kepada jin atau dukun tertentu. Tapi anehnya setiap siswa yang konseling dengannya selau berubah. Contohnya seperti Burhan, siswa kelas tiga yang baru lulus itu. Gosipnya ia merokok dengan Pak Arif sepanjang bulan Januari, walau belum ada bukti bahwa Pak Arif tercemplung kegiatan tercela itu. Pun begitu faktanya Burhan berubah total. Ia tidak lagi tercium seperti nikotin dan tembakau atau aroma badan sopir di terminal bus, rambutnya yang panjang menggembel ala Slash Guns N’ Roses sudah dipotong rapi, baju kusut bak kurir narkoba sekarang ia setrika, rapot yang penuh warna merah diakhiri lewat lulus dengan nilai-nilai memuaskan, dan yang terakhir sebelum meninggalkan sekolah: ia masuk Universitas Negeri. Orang tuanya sujud tujuh kali sampai mengadakan syukuran potong tumpeng, tidak lupa mengundang Pak Arif dalam silaturahmi dan disambut bagai mahaguru. Hanya Pak Arif, Burhan, kepala sekolah, dan Tuhan yang tahu kebenaran gosip itu.
“Baik, Pak Arif. Saya senang bapak berinisiatif mengemban tanggung jawab ini,” ujar kepala sekolah.
Lalu dengan kalimat itu, rapat yang membuat kepala terpening-pening dibungkus rapi. Semua guru senang karena bisa pulang setelah sempat berubah jadi tahanan pada kursi-kursi kayu keras dan kaku itu. Pahlawan mereka adalah Arif, meski mereka tidak tahu apakah betul Arif bisa membereskan masalah ini.
****
Arif mengemudikan sepeda motor Honda Astrea yang sudah ia tunggangi sejak tahun 1995. Motor tua itu bertarung dengan jalanan rusak yang setiap akhir tahun selalu dihancurkan dan dilapisi lagi dengan aspal hitam berkerikil, yang alasannya sering membuat orang desa kesal. Di pinggir jalanan itu ada sawah-sawah terbentang. Mata Arif fokus pada asap yang membumbung di kejauhan.
“Ah, jika saja ada yang berubah,” keluhnya dalam hati.
****
Toni masuk sekolah, kesiangan. Hari Senin, dia tidak bawa topi. Bisa saja dia selamat jika naik Buroq. Sayangnya, Toni tidak kepikiran. Pak Aman, seorang satpam yang sudah ditakdirkan dari lahir, mengunci gerbang dan menatapnya garang. Mereka berdua berdebat sengit. Toni membuat alasan ini dan itu. Pak Aman terus menggeleng. Entah dapat nyali darimana, Toni melompati pagar sekolah ibarat dia adalah pemuda dari Nias yang ingin membuktikan kejantanannya. Pak Aman tercengang. Toni mendarat di bawah dan segera disambut pentungan milik Pak Aman. Satpam bergulat dengan Toni di tanah. Lalu saat keduanya sudah berdiri lagi dan berhadap-hadapan, Toni melancarkan satu pukulan straight tepat ke ulu hati Pak Aman yang sudah lima puluh tahun itu. Pak Aman jatuh seketika.
Di belakang, Pak Arif berdiri menyaksikan semua adegan dengan kamera ponsel yang terbidik lurus. Toni menyadari hal itu dan tidak jadi merayakan kemenangannya melawan sang penjaga gerbang sekolah. Tangan kiri Pak Arif dikepal dan tersimpan dibalik tubuhnya.
“Mau ngapain bapak rekam-rekam saya?”
“Ya apalagi? Mau saya viralkan video ini dengan judul Anak Kepala Desa Memukul Satpam Sekolah.”
Toni memberangus seperti kuda liar, ia menghardik, “bapak jangan cari masalah sama saya. Ini namanya pelanggaran hak privasi siswa.”
Pak Arif menyimpan ponselnya. Ia balas tatap anak muda di depannya itu, “kamu ini bukan siswa. Kamu cuma preman pasar yang suka memukuli orang tua. Saya penasaran kalau saya laporkan ke polisi, kamu akan berakhir dimana ya?”
Toni tidak menyukai akhir pemikiran itu.
“Kamu mau jadi jagoan, bukan? Jangan setengah-setengah. Keluar saja dari sekolah!” Pak Arif menggerakkan jari tangan di tangan kirinya, bersiap.
Tanpa tedeng aling-aling, Toni menghambur ke arah Pak Arif. Pikirannya sederhana: lari, ambil ponsel, kabur. Ketika Toni mendekat, Pak Arif mengayunkan tangan kiri yang sudah lama tersimpan itu. Sebuah ayunan mengarah ke dada atas dari Toni yang langsung membuatnya terjerembab. Pukulan itu terbalut sarung tinju, sehingga sakitnya memang tidak seberapa. Pun begitu, Toni dapat merasakan kekuatan pukulan Pak Arif sampai ke sumsumnya.
Seperti semua anak murid kebanyakan, Toni memprotes, “bapak beraninya memukul siswa sendiri! Saya akan laporkan ini ke KPAI!”
“Lapor saja, kalau Kak Seto abangmu.”
Jawaban itu membuat Toni ciut.
Pak Arif menambahkan sebelum ia berbalik badan dan meninggalkan Toni, “lagipula kamu ini bukan siswa. Kamu ini preman dengan seragam. Kalau kamu tuntut saya menjadi guru lebih dari sekadar seragam, maka buktikan kamu juga adalah siswa lebih dari sekadar seragam.”
Pak Arif meninggalkan Toni yang meringis-ringis kesakitan. Pun begitu, mata Toni berkilatan. Bukan hanya karena amarah, tapi juga karena suatu kemasygulan ganjil.
Dua hari setelah itu, Toni tidak bisa tidur nyenyak. Pak Arif usia empat puluh tujuh tahun, berbadan buncit, terlihat lelah dan tidak sehat, juga bukan seorang kidal. Namun pukulan itu bukan sembarang pukulan. Ada teknik, ada akurasi, ada kekuatan. Pukulan yang lebih baik dari pukulan ayahnya.
Toni memandangi sarung tinju yang tergantung di sudut kamarnya.
****
Esok harinya, Toni masuk ke ruangan konseling milik guru yang memukulnya itu. Pak Arif sama sekali tidak mengindahkan kehadiran bocah itu, sibuk mengoreksi tugas siswa sambil sesekali menyeruput kopi panas. Barang sebuah pandang tak ia lemparkan pada anak itu ibarat Toni adalah kucing pasar.
“Jadi kenapa saya dipanggil ke sini, pak?”
“Menurut kamu kenapa?”
“Ya karena saya mengalahkan Pak Aman kemarin,” Toni tersenyum.
“Bangga kamu?”
“Tidak pak,” ia garang lagi.
Suasana hening sesaat. Suara kertas-kertas tugas terdengar begitu bising di tengah ruangan bisu ini.
“Jadi saya harus ngapain, pak?” tanya Toni acuh tak acuh, melemaskan otot punggung dan terhenyak pada kursi.
Pak Arif bangkit berdiri, meraih kunci, dan mengunci pintu yang menjadi satu-satunya akses mereka keluar dari sini. Toni menelan ludah, menunggu jawaban.
Itu jam satu siang setelah waktu istirahat makan siang. Sejak jam tujuh Toni sudah dikabari untuk bertemu Pak Arif di ruang konseling. Bocah itu terlambat masuk dan baru sekarang menemui Pak Arif setelah terlambat lima jam dari waktu seharusnya.
“Pak?” Ia menagih.
Tidak ada jawaban dari mulut guru BK itu. Matanya fokus mengoreksi tumpukan kertas.
Toni tahu-tahu merasa haus. Ia izin untuk keluar membeli minum. Kemudian ia ingin ke toilet, juga izin pada Pak Arif. Lalu ia bilang ia lapar dan mau makan siang walau baru saja jam istirahat berakhir. Semua hal itu tidak dijawab. Semua dibiarkan dalam keheningan ganjil yang terasa dibuat-buat tapi tetap alami. Seolah-olah memang ia pantas untuk diperlakukan seperti itu, meski di saat yang sama betapa aneh seseorang bisa mendiamkan orang lain sampai sebegitu rupa dalam situasi seperti ini.
Toni menggertakan gigi, setelah terkurung satu jam. Ia mulai bicara sendiri. Ia memainkan ponselnya. Naas, di ruangan itu tidak ada sinyal internet. Apalagi baterainya sudah mau habis akibat dari keteledorannya tidak mengisi daya semalam sebelumnya. Ia kelimpungan bingung harus apa. Mungkin ini hukumannya, ia merenung dengan raut wajah mirip Plato sedang konstipasi.
Anak itu mencari tempat di pojok dekat lemari. Lalu ia tidur. Ia menunggu Pak Arif memberikannya teguran. Ia menunggu dalam senyum picik yang mengembang di hati.
“Kesal bukan? Coba tegur saja aku ini.”
Lalu tidur itu berlanjut sampai jam tujuh malam.
Tahu-tahu semua hitam. Langit gelap, lampu sekolah mati. Toni terbangun dari tidur siang yang panjang itu. Pak Arif sudah tidak ada.
“Mati aku!”
Toni berjingkrak ke arah pintu, menggeser-geser tuas pada daun pintu. Ia tidak bergerak. Toni menggedor-gedor dari dalam.
“Tolong! Tolong!”
Tapi tidak ada siapa pun di sekolah saat itu. Harusnya Pak Aman akan mondar-mandir setiap malam untuk melakukan patroli. Sayangnya, sekarang bapak itu berada di rumah setelah diberikan cuti untuk istirahat. Penggantinya adalah satpam muda yang jarang berkeliling dan lebih rajin push rank sampai immortal ketimbang mengirimkan uang pada orang tuanya di kampung.
“Tolong! Tolong!” Toni terus menggedor pintu.
Toni mencari-cari kunci cadangan. Ia cuma temukan secarik kertas dengan tulisan tebal dan seram.
Hukuman kamu adalah menemani wewe gombel peliharanku di ruangan itu sampai pagi.
Lalu entah darimana, suara-suara menyeramkan muncul.
Toni makin membabi buta menggedor pintu.
****
Esok harinya, Pak Arif datang ke sekolah pagi-pagi. Jam 5 ia bergegas menuju ruangannya. Pemandangan itu, tidak akan dilupakannya, karena sungguh membuat harinya.
Toni terkapar lemas karena terus menggedor pintu. Ia bersandar lunglai pada meja dekat pintu tersebut. Bajunya lecak dan kotor, sepertinya karena berguling-guling. Rambut urakan. Mata kosong sambil terus mengucap kata ‘tolong’.
Pak Arif tersenyum puas.
“Apa kabar, Ton?”
Mata Toni yang sayu mendapatkan sosok Arif.
“Bapak ... bikin saya trauma,” ucap Toni pelan.
Pak Arif berjongkok di dekat Toni, “menurut kamu Pak Aman dan anak-anak yang kamu bully, perasaannya gimana ya?”
“Ampun ... ampun, pak. Saya takut setan, pak ... Saya sudah paham ... ampun pak,” mulut Toni bergetar.
“Eh, kemana jagoan SMA Sukatani?” Pak Arif tertawa terbahak-bahak.
“Ampun, pak. Saya lapar, saya ... mau makan. Ampun, pak. Saya takut wewe gombel.”
“Mau makan apa kamu?” Pak Arif membuka dompet hitam yang sudah lusuh dengan kulit yang terkelupas.
Setelah itu, mereka berdua makan nasi uduk Bu Asih di depan sekolah. Toni minta tambah tiga piring. Ia kenyang setelah ditraktir.
****
Sesi-sesi konseling berjalan dengan sesi nongkrong-nongkrong santai. Toni duduk sambil mengunyah rengginang yang bunyinya ramai ibarat kondangan. Pertanyaan sekarang bergulir mengenai keluarga Toni. Ia menjelaskan dengan senyum cerah.
“Bapak saya kalau pulang, dia cari burung. Bukan saya. Saya lebih sering sendirian di kamar. Kalau pun ngobrol, akhirnya pasti ancaman supaya saya jangan bikin masalah. Ibu saya selingkuh, dia juga sepertinya tidak tahu, pak.”
Pak Arif mengangguk takzim, mencatat pada buku jurnal miliknya.
Sering diabaikan.
“Saya kalau buat masalah, selalu dipukuli. Sakit, tapi seru pak,” Toni menelan remahan rengginang dengan senyum tersungging.
Physical abuse. Abnormalitas dalam menerima rasa sakit.
“Kamu punya cita-cita?” tanya Pak Arif.
“Saya mau foto-foto hewan-hewan, pak. Seru kerjaan itu.”
“Hewan-hewan? Selfie aja kalau cuma itu,” guyon Pak Arif.
Toni menyeringai saja saat Pak Arif tergelak.
“Ada yang lain?”
“Petinju, pak. Saya mau seperti Chris John.”
Pak Arif mengangguk.
“Itu kenapa kamu selalu memancing perkara?”
“Saya mencari lawan untuk latihan. Tapi di sekolah, cuma saya yang suka tinju.”
****
Setiap Senin dan Kamis, mereka berdua akan selalu berboncengan motor datang ke lapangan bulu tangkis dekat rumah Pak Arif. Sarung tinju selalu jadi barang wajib. Sesi konseling masih berjalan, walau diselingi juga dengan kegiatan ini. Dalam setiap pertemuan di lapangan, Toni akan berlatih dengan Pak Arif. Ketika sudah lewat satu minggu, mereka berlatih tanding. Namun Toni sadar satu hal dari gelagat aneh Pak Arif. Orang itu tidak pernah memukulnya. Bahkan ia cenderung bertahan terus dari awal sampai akhir.
“Mengapa tidak balas pukul, pak? Saya siap! Saya tidak akan lapor, pak. Tenang saja,” ucap Toni.
“Kamu saja yang pukul. Saya ingin latihan bertahan.”
“Tapi pertahanan bapak sudah mantap.”
“Manusia yang cepat puas pasti akan cepat jatuh.”
Toni menyeringai, kemudian menyerangnya seperti yang sudah-sudah.
Setiap Rabu dan Jumat, rekan-rekan Pak Arif akan menyinggung soal tangannya yang sering lebam akibat latihan itu. Bapak dirampok? Bapak habis jatuh? Bapak kenapa biru?
Pertanyaan-pertanyaan itu sering dilontarkan, yang akan dijawab oleh Pak Arif dengan jawaban dia berlatih silat. Ia terdengar seperti bercanda, meski raut wajahnya tetap serius dan dingin.
Pada suatu Kamis sore, ada sekumpulan anak-anak desa yang sedang menari dengan caping dan rumput. Kira-kira lima anak SD, bergantian bergerak dengan luwes mengikuti irama musik daerah.
“Tarian apa itu, pak?”
“Tari tani.”
“Dari sini?”
“Ya, jelas. Ini Desa Sukatani, bukan?”
Pandangan mereka berdua terkunci pada tarian anak-anak itu yang terlihat begitu senang, seolah sedang bermain di padang rumput hijau membentang.
“Mungkin tahun ini yang terakhir, tarian itu dipentaskan di balai warga,” ujar Pak Arif.
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena ladang sawah yang menguning akan berubah jadi beton-beton penopang infrastruktur pabrik sepatu, merk besar itu.”
Toni mengerutkan kening, “sepatu apa?”
“Merk luar negeri. Bufallo, kalau nggak salah.”
Percakapan itu biasa saja sebenarnya. Pun begitu, Toni merasakan intonasi gurunya dalam berbicara berubah. Ia prehatikan lamat-lamat ekspresi gurunya.
****
Sesi terus berjalan. Kegiatan Senin-Kamis masih terus dilakukan juga, ibarat mereka berdua adalah penganut Kejawen yang taat.
Sampai suatu hari wajah Arif terlihat lebih kusut. Makin hari, kantung matanya semakin bengkak. Orang-orang bertanya mengapa ia jadi lebih kurus. Toni yang kurang peka, baru sadar ketika Bu Ningrum bertanya pada guru BK itu.
“Bapak kenapa?” tanya Toni sembari memakan bekal fried chicken yang harganya bisa mencapai tiga kali ongkos makan Pak Arif.
“Pengambilan nilai. Banyak teman-temanmu yang belum kumpul tugas,” Pak Arif beralasan.
“Berapa orang, pak? Saya cari anak-anak itu. Siapa namanya?”
“Joko dan Kirzin.”
“Cuma dua, pak? Masa gara-gara dua orang bapak jadi pucat begini?”
Pak Arif tidak balas menjawab, terlalu malas.
“Sudah bilang sama ayahmu, kamu mau kuliah kehutanan?”
“Sudah, pak. Saya dipukul,” ucap Toni masih cengar-cengir.
“Di bagian mana kali ini?” Pak Arif mengusap dahi tapi balas menyengir.
Toni menggulung celana pensilnya sekuat tenaga hingga ke paha. Sebuah luka lebam terlihat.
“Ditendang, maksudnya.”
Percakapan bergulir terus. Jika tidak kehutanan, ayah kamu mau kamu kemana, tanya Pak Arif. Jadi Kades, jawab Toni. Buat apa, Pak Arif menggali terus. Supaya proyek pabrik sepatu bisa tetap berjalan dan kami sekeluarga dapat uang, ujar Toni. Memang yakin bisa terpilih sama masyarakat desa, Pak Arif menghela napas.
“Ayah saya sudah siap menyebar lagi, pak. Memang bertahun lalu waktu Pilkades bapak tidak kebagian jatah? Amplop?”
Barulah Pak Arif ingat.
“Saya terima amplop itu,” ujar Pak Arif.
“Iya, memang sudah seharusnya, pak.”
“Tapi saya berikan ke Mbah Kakung sebelah rumah saya.”
Toni memiringkan kepala, “kenapa, pak? Itu jumlahnya bukannya lumayan?”
Pak Arif menatap mata anak muda itu lamat-lamat, “karena saya guru,” jawabnya singkat.
Toni menggaruk kepala, masih tidak mengerti jelas maksud dari kalimat andalan Pak Arif yang ini.
“Mbah Kakung sebelumnya memilih Kades yang berjanji akan membantu petani-petani di desa lewat berbagai bantuan seperti pupuk, bibit, dan pembasmi hama. Kalau saya lihat, dari petani-petani di sekitar rumah saya, waktu itu tinggal Mbah Kakung yang masih semangat Pilkades. Tapi setelah pertengahan tahun, saat ia sudah pakai semua barang tani hasil bantuan itu, sawahnya gagal panen. Mbah Kakung merasa dikerjai. Esok harinya saya sudah lihat ada keranda di sebelah rumahnya, walau kakek itu sering duduk di depan rumah. Saya tanya, siapa yang meninggal. Dia jawab, aku! Aku sing matek sesuk-sesuk. Di situ, saya terdiam.
“Guru itu ada agar masyarakat bisa hidup lebih baik. Kalau kakek di sebelah saya hidup saja tidak bisa, maka lebih baik saya jadi petani saja.”
Percakapan itu berhasil membuat Toni diam sejenak.
“Mengapa harus peduli, pak?”
“Karena besok saya yang akan seperti kakek itu, kalau hari ini saya gagal.”
Toni semakin bingung.
“Menurut kamu, apa cara paling efektif memberantas korupsi di pemerintahan, Ton?”
Lalu Toni mulai berpikir dengan otaknya sampai kepalanya panas. Ia bahkan menggunakan berbagai bantuan dari internet dan AI untuk membantunya. Ia bilang korupsi harus dilawan dengan aturan, atau eksekusi, atau penjara seumur hidup, atau dimiskinkan.
“Siapa yang membuat aturan, atau mengeksekusi, atau memenjarakan seumur hidup itu?”
Toni menjawab bahwa itu adalah orang-orang yang sudah mendapatkan amanat. Orang dengan posisi tinggi yang bisa dipercaya.
“Terus, kalau misalnya saya pejabat korup. Kemudian saya lempar dua ratus miliar supaya mereka tidak penjarakan saya waktu saya disidang, apa kamu yakin orang-orang itu tetap pada pendiriannya? Dua ratus miliar, instan langsung cair. Cukup mengucapkan kalimat saja. Siapa manusia yang bisa dipercaya?”
“Ya, orang yang menerima uang itu, harus dihukum lagi oleh orang yang lebih tinggi?”
“Mau sampai mana lingkaran setan itu berlanjut, Toni?”
Toni kembali terdiam.
“Akhirnya piramid jabatan itu mencapai presiden. Mending presiden kerja sendirian kalau begitu, bukan? Itu pun juga kalau presiden bisa dipercaya. Toni, dalam hidup ini yang bisa dipercaya cuma Tuhan. Itu tidak efektif. Karena kalau kita semua menunggu Tuhan menghakimi dunia ini, maka kita semua akan mati akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintahan yang seringnya mengasongkan rakyatnya sendiri. Sama seperti Mbah Kakung. Sama seperti ratusan petani di desa ini.”
Anak muda di depannya itu menarik napas panjang, ikutan pusing karena tahu-tahu masalah dunia ini diperhadapkan di depannya.
“Hanya ada satu jalan. Kamu tahu itu apa?”
Toni tidak bisa menjawab, karena memang sudah buntu.
“Pendidikan sejak kecil.”
****
Seorang pria berusia tiga puluh tahunan duduk di pematang sawah, memandangi langit senja yang cerah tanpa asap. Ia habis lari sore untuk melengkapi sesi latihan jogging yang wajib digenapkan setiap hari. Badannya tegap dan berkeringat banyak. Ia mengeluarkan kamera dari dalam tas ransel yang dibawanya itu dan memotret nabastala dengan semua kenangannya.
“Bapak yang bilang itu, enam belas tahun yang lalu, bukan?” Laki-laki itu mengusap batu nisan yang ada di sebelahnya.
“Pendidikan sejak kecil,” ia ulangi lagi dengan mata berkaca dan hati legawa.
Sebuah kalimat yang diucapkan penuh kesabaran, sama seperti pendakian ke puncak dari sebuah pertandingan yang menentukan dan mengubah nasib banyak orang. Rasanya sekarang ia mengerti maksud perkataan sederhana nan sukar itu:
“Saya guru dan kamu siswa.”
****