Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Anak itu bernama Geri. Dia baru berusia 10 tahun. Cita-citanya ingin menjadi pelawak. Tiap hari, dia disuruh gurunya untuk membuat lawakan di depan kelasnya.
“Kemarin, aku pulang sekolah ketika hujan turun. Aku tidak bawa payung, dan pilihanku satu-satunya adalah menerobos hujan sampai ke rumah. Aku melepas sepatuku, dan memasukkannya ke dalam tas kecil. Aku mengenakan sandal yang kubawa dari rumah. Kaus kakiku kulepas, dan celanaku digulung sampai lutut. Aku berjalan hati-hati menerobos hujan. Sayangnya, saat itu banjir, air selokan meluap. Aku agak kesulitan melewati banjir itu.
“Sesekali, kakiku terperosok ke tanah yang dalam. Tiba-tiba, sandalku terlepas dan mengambang di permukaan air. Aku hendak mengambilnya dan memakainya. Karena kakiku tidak seimbang, aku jatuh ke air yang tingginya selutut itu. Baju dan tasku semua basah. Di saat itu pula, ada cicak mati mengambang di atas air. Aku ketakutan sampai-sampai aku terpeleset dan jatuh. Mukaku penuh lumpur pada saat itu. Orang-orang yang melintas di hadapanku lantas ketakutan. Hahaha…”
Begitulah lawakan Geri pada hari itu. Seperti biasa, hanya dia yang tertawa, bukan teman-temannya. Gurunya pun hanya tersenyum saja.
“Baiklah, Geri. Terima kasih atas lawakanmu hari ini. Silakan kembali ke tempat dudukmu,” kata sang guru sambil bertepuk tangan.
Semua anak bertepuk tangan sementara Geri kembali ke kursinya dengan senyum puas. Dia senang karena sudah melawak bagi temannya. Walaupun satu kelas tak ada yang tertawa, namun Geri tetap merasa tepuk tangan itu adalah pujian bagi dirinya.
***
Pulang sekolah, Geri langsung duduk di depan televisi. Dia mengerjakan PR, kemudian menonton acara favoritnya di televisi. Adiknya, Raihan, ikut menonton, sambil memakan snack jagung bakar. Raihan terlalu asyik menonton sampai-sampai snack-nya bertebaran di karpet.
“Duh, Han, kalau makan jangan di karpet! Tuh, lihat, kotor semua, kan?” bentak Geri sambil membersihkan karpet dengan tangannya.
Raihan tetap cuek, pandangan matanya terarah ke televisi. Dia tertawa-tawa saat ada bagian yang lucu. Dia makan snack dengan lahap, dan remah-remahnya mengotori karpet.
“Kak, aku bosan acara ini terus. Aku mau main video game,” pinta Raihan.
“Tidak boleh! Kalau kamu main video game terus, bisa-bisa aku yang dimarahi Mama! Dipikirnya, aku yang main!” jawab Geri.
Raihan cemberut, lalu membuang bungkus snack ke arah Geri. Si sulung pun tak terima, lantas menjambak rambut Raihan sampai adiknya itu menangis. Mama mereka datang bergegas-gegas. Dikiranya ada yang cedera.
“Hei, hei, hentikan! Ada masalah apa?” tanya Mama.
“Ini, loh, Ma, Raihan minta main video game. Aku sudah bilang tidak boleh, dia malah membuang bungkus snack-nya sembarangan,” lapor Geri.
“Kak Geri menjambak rambutku, Ma,” kata Raihan sembari mengusap air matanya.
“Aduh, kalian ini kenapa, sih, masalah sepele begitu saja, kok, diributkan? Geri, biar sajalah adikmu itu main video game. Kan, bukan cuma kamu yang suka main video game!”
“Tapi, Ma, kalau si Raihan dibiarkan main itu terus, nanti sakit matanya. Kalau matanya sakit, yang tanggung jawab siapa kalau bukan Mama?”
“Hanya sesekali saja, Nak. Si Raihan, kan, tidak lama kalau main, tidak seperti kamu. Sudahlah, jangan bertengkar terus. Mama ini capek, masak dan kerja buat kalian. Geri, jangan sampai kamu buat adikmu menangis lagi. Oke?”
Geri mengangguk. Setelah Mama pergi, Raihan sibuk dengan kontrol video game-nya. Geri hanya bisa pasrah. Dia ingin menonton televisi.
“Andai tidak ada adik, duniaku takkan sesulit ini,” pikirnya.
***
Sore hari, Geri dan mamanya pergi ke toserba untuk membeli terigu dan gula satu kilo. Di etalase toserba, Geri melihat ada sebuah mobil yang dibuka jendelanya melangkah ke jalan raya. Mobilnya bagus dan hitam mengilat. Dari jendela mobil, ada sepotong tangan melempar kertas-kertas selebaran. Geri buru-buru mengambilnya.
Ah, rupanya ada seorang pelawak tampil di gedung mall terluas di kota itu. Geri kenal pelawak itu, namanya Pak Lombardu. Orangnya ramah, lucu, dan senang menolong. Pak Lombardu sering menghibur para tamu yang sedih dengan lelucon-leluconnya yang konyol. Geri juga tahu Pak Lombardu kadang-kadang membagikan karcis gratis untuk masuk ke bioskop dan menonton film tentangnya. Pak Lombardu juga terkenal sebagai seorang aktor karena aktingnya yang luar biasa menjiwai.
Geri sudah lama menyukai Pak Lombardu. Dia sering menonton film di televisi tentangnya. Pak Lombardu kadang-kadang tampil di televisi. Geri juga sangat ingin bertemu dengannya.
“Ma, Pak Lombardu akan tampil di kota ini besok malam, di mall terbesar dan terluas itu. Bolehkah aku ke mall untuk menyaksikannya?” tanya Geri.
“Tidak,” sang mama menolak tegas. “Kamu, kan, sudah tahu kalau Mama tidak punya uang untuk pergi ke sana. Untuk makan sehari-hari saja Mama harus berpikir dua kali. Sudahlah, jangan bermimpi yang aneh-aneh. Toh, Pak Lombardu akan tampil di televisi juga, kan?”
Geri kecewa setengah mati. Dia sangat mengidolakan sosok Pak Lombardu. Dia ingin bertemu dengannya. Sayangnya, impiannya itu belum tercapai. Mau bagaimana lagi, dia hanya tinggal bertiga dengan Mama dan Raihan. Papanya meninggal karena sakit dua tahun lalu. Mama pun bekerja sebagai karyawan kantor. Gajinya tidak banyak, dan membuatnya pusing dalam mengatur keuangan keluarga. Geri tahu, percuma saja merengek-rengek minta sesuatu yang bagus ke Mama, karena, toh, pada akhirnya Mama menolaknya.
***
Esok harinya, Geri bangun agak siang. Dia membuatkan sarapan untuk Raihan dan dirinya. Mama sudah berangkat ke kantor. Sambil menggoreng telur, Geri terus memikirkan bagaimana caranya bisa bertemu dengan Pak Lombardu.
“Kak, jangan melamun. Nanti telurnya gosong, loh,” ujar Raihan begitu melihat kakaknya hanya diam saja.
Geri tidak menghiraukan perkataan adik semata wayangnya itu. Dia masih sedih karena tak dapat bertemu Pak Lombardu secara langsung. Tanpa disadari, telepon yang tergeletak di meja ruang tamu berdering.
“Kakak… ada telepon, tuh!” seru Raihan.
Geri cepat-cepat mematikan kompor dan melesat ke ruang tamu. Dia menerima telepon yang ternyata dari temannya, Alwi.
“Geri, apakah kamu tahu, Pak Lombardu tampil di mall nanti malam!” kata Alwi.
“Ya, ya, aku sudah tahu. Sekarang, kamu hendak menanyakan apakah aku ikut atau tidak, betul, kan?”
“Ya! Apakah kamu ikut, Geri?”
“Tidak! Kamu tahu sendiri bagaimana keadaan keluargaku!”
“Kasihan. Aku dengar semua anak di kelas kita akan menonton penampilan Pak Lombardu di mall, kecuali kamu. Andai saja ada yang membelikan karcis untukmu, maka kamu bisa ikut bersama kami!”
Geri hanya mengucapkan terima kasih sebagai penutup telepon. Dia kembali memasak di dapur. Setelah sarapan sudah dihidangkan, Geri dan Raihan makan bersama di dapur.
Setelah itu, Raihan mencuci piring-piring kotor dengan bantuan Geri. Kemudian mereka mandi dan belajar. Geri sebetulnya ingin menonton televisi, tetapi dia takut dimarahi mamanya nanti.
Makan siang pun tiba. Geri memasak ikan rebus dan lodeh, serta tempe goreng. Dia memasukkan makanan ke dalam rantang bekal untuk diantarkan ke Mama. Sebelumnya, dia dan Raihan makan dulu.
“Aku tidak mau ikan rebus,” kata Raihan.
“Kamu harus makan, Raihan,” bujuk Geri. “Makan seperti ini lebih bergizi daripada yang kamu kira!”
“Aku tidak mau makan ikan rebus,” ulang Raihan.
Geri membujuk Raihan berkali-kali, namun tetap saja Raihan tidak mau. Geri memikirkan cara agar adiknya bisa makan tanpa mengeluh.
“Mau pakai kerupuk?” tanya Geri sambil membuka kaleng kerupuk.
“Tidak! Pokoknya aku tidak mau ikan rebus!” jerit Raihan, lalu mulai menangis.
“Raihan, lihatlah ke atas. Ada cilok, tuh,” Geri mulai membuat lelucon.
Raihan berhenti menangis. Dia menengadah ke plafon dapur.
“Cilok? Mana, Kak? Aku mau makan cilok!” seru Raihan mulai bersemangat.
“Hihihi… bukan makanan cilok, Han. Cilok itu singkatan dari ‘cicak melongok’.”
Sejenak, Raihan terdiam. Geri sudah memperkirakan bahwa Raihan akan menangis lagi. Namun ternyata Raihan malah tertawa terbahak-bahak.
“Ahahahahaha!” tawa Raihan sampai badannya terguling ke lantai. “Hahaha… rupanya ada cicak melongok! Hahaha… rupanya… hahaha… hanya… haha… lawakan! Hahaha…”
Geri menggaruk-garuk kepalanya. Dia tidak menyangka Raihan akan tertawa mendengar leluconnya. Akhirnya, Geri berhasil membuat adiknya tertawa!
“Sudah, ayo makan! Nanti cicaknya melongok lagi, loh. Cicaknya melongok untuk mengawasi kamu selama makan. Yuk, Han!” ajak Geri yang mulai bahagia.
***
Esok harinya, di sekolah, Geri membuat lawakan seperti di rumah. Dia melawak di depan kelas.
“Teman-teman, ada cilok, tuh, di atap,” Geri memulai lawakannya.
Teman-temannya menengadah ke atas. Tak ada apa-apa kecuali seekor cicak.
“Apa yang kamu maksud ‘cilok’, Geri?” tanya gurunya.
“’Cilok’ artinya, ‘cicak melongok’!” kata Geri.
Teman-temannya terdiam, lalu mulai tertawa bersama. Geri hanya tersenyum puas.
“Ini dia!” sang guru berdiri dan menepuk bahu Geri. “Hebat sekali lawakanmu hari ini, Nak. Kamu berhasil membuat teman-temanmu tertawa. Kamu memang pantas jadi pelawak. Sebagai hadiahnya, terimalah ini.”
Guru mengeluarkan renteng cokelat koin. Geri tersenyum. Dia menerima cokelat koin itu dengan gembira.
“Itu dia hadiahnya karena berhasil membuat teman-temanmu tertawa!” ujar guru.
Geri tersenyum lagi. Dia kembali ke tempat duduknya sambil nyengir. Walaupun tak bertemu Pak Lombardu, tetapi dia bisa membuat lelucon yang hebat untuk teman-temannya.