Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hai, namaku Feya. Sekilas tentang diriku, aku bukan pecinta kopi namun selalu merasa harus meminumnya, setidaknya satu gelas per hari, setiap harinya. Bukan Espresso atau Americano, aku hanya membutuh segelas Caffé Latte tanpa tambahan gula atau sirup perasa apa pun. Aku tidak begitu menyukai manis dan itu alasan aku menyukai Caffé Latte. Rasanya tidak sepahit Espresso, sering aku berpikir rasanya cenderung hambar seperti air mineral dibandingkan pahit. Aku selalu bingung jika harus mendeskripsikannya. Semoga aku dapat bertemu dengan seseorang yang dapat memahami rasa itu, rasa yang sulit aku jelaskan itu.
Sudah dua tahun berlalu sejak aku menyatakan cinta pada sahabatku, Ali. Aku sudah mengenalnya sejak di bangku menengah pertama. Ali adalah orang yang tetap memilih untuk tetap bersamaku disaat semua teman-temanku yang lain pergi meninggalkanku. Kita masih berteman cukup baik dan dekat sampai detik ini, di Circle pertemanan yang baru dengan orang-orang yang baru. Hanya Ali satu-satunya hal yang tetap sama bagiku.
“Al, kayaknya gue suka deh sama lo” Ujarku tiba-tiba, di dalam mobilnya saat Ali mengantarku pulang.
“Kalau begitu, ayo kita pacaran” Suaranya terdengar cukup tenang, namun aku tahu Ia sangat gugup.
Aku begitu terkejut ketika mendengar kalimat yang dilontarkan Ali dan seketika panik menjulur di sekujur tubuhku. Selama aku memikirkan tentang pernyataan cinta ini, aku sudah siap akan penolakan yang hendak Ali berikan padaku. Aku tidak pernah membayangkan Ali akan mengatakan hal yang sebaliknya. Lalu untuk apa aku menyatakan cinta jika aku tidak berharap Ali mengatakan cinta padaku juga?
Sebenarnya cukup sederhana, karena selama ini aku selalu menceritakan tentang apa pun pada Ali, termasuk mengenai laki-laki yang aku kencani sekali pun. Dan kini, ketika aku menyukai Ali aku tidak memiliki tempat untuk bercerita, karena orang itu adalah Ali. Jadi, aku merasa harus mengatakan perasaan ini padanya, pada sahabatku.
“Mau nggak?” Ali mengulang pertanyaanya.
“Kasih waktu gue untuk berpikir” Suaraku sedikit bergetar, aku benar-benar gugup.
“Lo butuh waktu berapa lama?”
“Satu bulan” Menurutku satu bulan adalah waktu yang cukup untuk mempertimbangkan ajakan Ali.
Setelah malam itu banyak perubahan yang terjadi pada hubunganku dan Ali. Kita semakin instens untuk berkomunikasi, seperti layakanya sedang melakukan pendekatan. Ali selalu berhasil menghiburku, membuatku tertawa hingga perutku keram. Dan semenjak saat itu aku semakin menyukai keberadaan Ali di sekitarku.
Waktu satu bulan yang Ali berikan kepadaku cukup singkat, namun bagiku banyak sekali hal yang terjadi di antaranya. Seperti pada minggu pertama sejak malam itu, Ali memberitahuku satu hal. Satu hal yang membuatku begitu sangat terkejut dan tidak habis pikir dibuatnya.
“Gue kayaknya mau berhenti kuliah”
“Maksud lo?!?!” Suaraku tiba-tiba meninggi.
“Tenang Fe, biar gue jelasin. Gue ngerasa nggak cocok aja kuliah jurusan Teknik. Mungkin gue akan pindah jurusan, tapi tetap di kampus gue yang sekarang”
Ali adalah seorang mahasiswa jurusan Teknik Sipil di salah satu Universitas Negeri di kota kami. Aku memang mengakui bahwa di antara kami berdua, aku lah yang lebih unggul di bidang akademik. Hanya saja Ali selalu lebih beruntung. Ia dapat lolos masuk ke perguruan tinggi negeri, sedangkan aku tidak. Makanya ini adalah salah satu alasan mengapa aku begitu marah ketika mendengarnya.
“Emang nggak bisa apa lo tahan-tahan aja? Banyak loh orang yang mau di posisi lo saat ini” Aku mencoba membujuk Ali.
“Justru itu, gue nggak mau kalau orang yang tidak kompeten seperti gue ini tetap berada di situ. Masih banyak orang yang mau dan layak berada di Teknik” Ali terdengar sangat mudah menjelaskan hal ini.
Aku tidak habis pikir dengan jalan pikirannya yang aneh dan egonya yang tinggi. Ia jelas harus meneruskan apa yang sudah Ia lakukan setengah jalan ini. Jika aku menjadi dirinya, mungkin aku akan bertahan semaksimal mungkin agar dapat menyelesaikan studiku, bukan malah menyerah begitu saja dan dengan enaknya pindah ke jurusan lain.
Jika Ali sudah mengatakannya, maka tidak ada satu orang pun yang dapat menghalanginya. Tidak lama dari itu, Ali langsung mengurus kepindahannya begitu saja. Ia berhenti dan mendaftarkan diri di ilmu komunikasi. Aku berpikir ini adalah sebuah omong kosong. Bukan karena jurusannya maksudku, tetapi mengenai alasan dia memutuskan untuk memilih pindah ke Ilmu Komunikasi. Ali berkata bahwa Ia ingin pindah ke jurusan yang sesuai dengan Passion-nya, namun yang aku nilai selama mengenalnya justru Ilmu Komunikasi bukanlah gairahnya. Dia itu Introvert akut, bahkan ketika aku mengajaknya untuk berfoto saja Ia selalu enggan. Ali selalu bersikap seperti orang yang memiliki alergi pada kamera. Dia selalu tidak percaya diri di depan kamera.
Minggu kedua setelah malam pernyataan cinta itu, kita bertemu. Kita memang cukup sering Hangout berdua, sekedar menghabiskan untuk waktu bercerita atau bermain Board Game di Coffee Shop. Hari itu sedikit lain menurutku, Ali menceritakan suatu hal yang cukup sensitif. Ia bercerita perihal betapa jengkelnya Ali dengan Mamanya. Aku bertanya mengapa dan Ia menjelaskan ceritanya dengan cukup rinci.
“Dari gue kecil, nyokap nggak pernah ada buat gue. Lo tahu alasannya apa? Alasannya dia sibuk kerja” Jelas Ali dengan suara yang menggebu-gebu, terdengar begitu kesal.
“Tapi kan sekarang nyokap lo udah berhenti kerja buat anak-anaknya”
“Omong kosong” Ali menyanggah peryataanku.
“Mau bagaiamanapun juga itu adalah orang tua lo, dan lo nggak boleh bersikap seperti ini”
“Orang gue anak nenek gue, bukan dia. Dari dulu kan gue diasuhnya sama nenek gue”
Lagi-lagi pemikirannya membuatku geleng-geleng kepala. Ia sama sekali tidak memikirkan apa pun, Ia hanya mementingkan dirinya sendiri yang dinilai cukup menderita. Aku pun kasihan, namun aku percaya Mamanya sedang mencoba menebus semua kesalahannya.
Minggu ketiga setelah malam pernyataan cinta itu, Aku dan Ali berniat pergi ke toko buku. Sore itu Ali menjemputku menggunakan sepeda motornya, namun karena panas yang begitu terik, Ali ingin menukar motornya dengan mobil. Kami berdua pun kembali ke rumah Ali, untuk menukar kendaraan. Kami tidak berlama-lama, Ali hanya masuk untuk menaruh kunci motor dan menukarnya dengan kunci mobil seraya aku menunggu Ali di teras bersama Mamanya.
“Feya, Tante minta tolong ya. Tolong bujuk Ali, supaya dia mau meneruskan kuliahnya di Teknik”
“Iya Tante, Feya usahain ajak ngobrol Ali ya”
“Tolong ya Feya, kalau Tante yang ngomong Ali nggak akan mau denger”
Aku benar-benar tidak tega melihat Mamanya Ali, maka aku berjanji untuk mencoba berbicara dengan Ali sekali lagi. Satu hal yang tiba-tiba terbesit di pikiranku. Bagaimana bisa seorang Ibu justru meminta tolong pada orang lain untuk membujuk anaknya sendiri?
“Ayo” Ajak Ali padaku, ketika Ia keluar membawa kunci mobilnya.
“Kita berangkat dulu ya, Tante?” Aku menyalami Ibunya.
“Ayo Fe, naik ke mobil!”
“Lo nggak salim sama Mama lo?” Tanyaku pada Ali yang berjalan melenggang menuju mobilnya, melewati kami berdua.
“Udah” Aku tahu Ali berbohong.
Aku pun langsung menatap wajah Mamanya Ali. Terlihat dari raut wajahnya bahwa Ia benar-benar sangat lelah dan putus asa dalam mengatasi sikap Ali.
“Al, gue tahu lo belum salim. Ayo salim dulu!!”
“Ih tanggung, masa gue turun lagi dari mobil. Udah yu Fe berangkat, nanti keburu macet” Ali berbicara dari kursi pengemudi, dengan kaca mobil yang terbuka.
Aku pun lelah mengahadapi sikapnya dan rasanya juga akan sia-sia karena Ali tidak akan menuruti apa yang aku perintahkan. Jadi aku segera pamit ke Mamanya dan masuk ke dalam mobilnya. Aku merasa tidak enak terhadap Mamanya, aku merasa seperti anak yang durhaka saat aku melenggang pergi meninggalkan Mamanya Ali tadi.
“Lo tuh kebiasaan ya, harusnya lo salim sama orang tua” Aku menggerutu sebal kepadanya.
“Engga gapapa, gue juga biasanya nggak salim” Jelasnya dengan respon yang cukup santai.
“Tapi kan itu wajib!!”
“Dia juga nggak permasalahin sih, jadi tenang aja”
Aku tidak percaya Ali berpikir sedemikian rupa. Rasanya semua yang Ia lakukan tidak dapat diterima oleh akal sehatku. Aku selalu mengenalnya sebagai laki-laki yang sopan selama ini dan di sisi lain aku pun juga tahu bagaimana rasa kesalnya Ia dengan Mamanya, namun itu tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran atas semua perilakunya. Sikapnya benar-benar berada di luar nalarku.
Minggu keempat setelah pernyataan cinta itu, kita bertemu. Siang yang panas itu Ia bercerita padaku mengenai mantannya yang mengajaknya untuk bertemu beberapa hari yang lalu. Dapat dikatakan kita berdua, masing-masing baru saja putus dari pacar kita beberapa bulan yang lalu. Aku lebih dulu putus dengan mantanku, disusul oleh Ali dan mantannya yang sudah berpacaran selama 4 tahun.
“Kemarin lusa Nadia ngajak gue ketemu” Ujarnya tiba-tiba.
“Terus, lo ketemu?”
“Dia minta anterin gue untuk nyari kebaya. Buat nikahan saudaranya”
“Terus?” Tanyaku.
“Yaudah gue anterin, terus pulangnya mampir dulu ke Café Kebun Djati”
“IHHH!!!” Aku memukul Ali.
“Aw, aw!! Sakit tahu Fe” Ali memegangi lengannya yang baru saja aku pukul.
“Lagian!!! Kan gue yang ngajak lo ke sana duluan. Kenapa lo malah pergi sama mantan lo?”
“Sorry, sorry. Habisnya gue nggak tahu lagi mau kemana setelah nyari kebaya”
Aku sepertinya memaklumi bila Ali masih menemui mantannya, toh itu adalah haknya. Aku tidak memiliki apa pun untuk dapat melarangnya. Hanya saja rasanya dadaku begitu sesak ketika Ali mengajak mantannya ke Café itu, bahkan Ali saja mengetahui tempat itu dari aku yang mengajaknya dua minggu lalu. Bisa-bisanya Ia mengajak gadis lain ke tempat yang aku ingin datangi bersamanya.
***
Sudah genap satu bulan setelah malam Ali menembakku. Hari ini aku sudah berjanji akan memberikan jawaban padanya. Aku memandangi laki-laki yang sejak tadi menyeruput minuman kesukaannya itu, laki-laki yang sudah aku kenal sejak lama sebagai sahabatku. Ali tetaplah Ali, Ia tidak berubah sedikit pun walau Aku menyatakan cinta padanya atau walau aku sedang menggantungkannya selama satu bulan. Mungkin hal yang membuatku jatuh cinta pada dirinya adalah sikapnya yang apa adanya padaku dan tidak mencoba mengada-ngada hanya agar aku terkesan dan semakin menyukainya.
Aku sudah memikirkannya matang-matang. Selama satu bulan ini aku diajak untuk menjelajahi dirinya dan juga menilainya. Aku memberikan penilaian pada Ali dengan sangat teliti. Aku seperti mencatat semua kekurangan dan kelebihannya di papan pro dan kontra yang terdapat di otakku, lalu menganalisanya.
“Maaf Al, gue nggak bisa jadi pacar lo”
“Hmm, it’s okay”
“Maaf” Aku merasa bersalah.
“Nggak perlu ngerasa bersalah, santai aja” Suaranya benar-benar stabil, seperti ketika Ia mengajakku pacaran.
Nadanya yang sangat stabil itu justru memicu berbagai macam pertanyaan di otakku. Apakah malam itu, Ia benar-benar menyukaiku? Atau Ia hanya tidak tahu harus mengatakan apa padaku, makanya Ia mengajakku berpacaran? Aku merasa bersalah padanya, namun di sisi lain aku merasa lega. Hal ini terasa lebih tepat untuk aku katakan dan lakukan. Sepertinya perasaanku mengatakan bahwa aku hanya akan terluka jika bersama Ali.
Banyak hal terjadi dalam waktu satu bulan dan aku bersyukur hal itu terjadi di waktu aku mempertimbangkan tawaran untuk menjadi pacarnya. Jelas aku masih menyukainya, bahkan ketika aku mengatakan bahwa aku menolaknya. Dia selalu menjadi Ali yang aku kenal, namun beberapa sifatnya memang tidak cocok dengan prinsip hidupku. Aku berpikir bila aku tetap memaksakannya, ini hanya berakhir buruk bagi kita berdua.
***
Sudah dua tahun berlalu sejak kejadian itu, dan kami masih berteman seperti biasa. Ali tidak pernah berubah, aku pun juga tidak. Ali selalu memberikan dukungannya atas apa pun, kita selalu mendukung satu sama lain seperti yang biasa selalu kita lakukan. Kita masih sering Hangout berdua, atau sekedar keluar mencari makan siang bersama. Kami lebih sering menghabiskan waktu di Coffee Shop, ditemani dengan Caffé Latte kesukaanku dan Baileys Latte kesukaanya.
“Gue seperti biasa ya” Bisiknya padaku ketika berada di depan meja kasir.
“Apa? Baileys?” Aku mendongak ke arahnya.
“Iya hehe” Ali memamerkan senyum khasnya.
“Mas, Baileys Latte-nya satu. Terus, Caffé Latte-nya satu jangan pakai gula ya” Aku memberitahu pesanan kami pada seorang barista yang berdiri dibalik meja kasir.
Kami berdua duduk di salah satu meja yang berada di Smoking Area tepat di bawah pohon yang cukup rindang, tempat yang paling teduh di area itu. Tidak lama kemudian pelayan datang mengantarkan pesanan kami. Aku langsung menyambar gelas itu dan mengaduknya, begitu juga dengan Ali.
“Cobain deh!” Ujar Ali ketika Ia telah selesai menyeruput minumannya, lalu menyodorkan gelas itu padaku.
Aku meraihnya dan juga menyodorkan gelasku padanya. Kami berdua bertukar gelas. Aku dan Ali menyeruput minuman itu secara bersama-sama.
“Mmmh, too sugary” Aku tidak begitu menyukai rasa manis yang dihasilkan oleh minuman Ali.
“Wow, pahit banget!!!” Ali mengernyit ketika berhasil menegak minumanku.
“Enak tahu” Sanggahku.
“Engga, minuman lo nggak enak. Nih, enakan juga minuman gue” Ali mengangkat gelasnya dan menyeruput kembali minuman yang selalu dibanggakannya.
Saat itu aku menyadari satu hal, bahwa kita memang berbeda. Walaupun pada buku menu yang berada di meja kasir tertera bahwa minuman miliku dan Ali sama-sama berakhiran Latte, namun rasanya jelas sangat berbeda. Aku tidak bisa menoleransi rasa manis, sedangkan Ali tidak bisa menoleransi rasa pahit. Aku tidak akan pernah dapat mengerti bagaimana rasa nikmatnya minuman Ali, begitu pula dengannya. Tidak ada yang benar atau salah antara aku dan Ali. Kita berdua hanya tidak bisa saling menoleransi rasa saja. Dan keputusanku dua tahun lalu, untuk menolak Ali adalah keputusan yang tepat. Aku tidak menyesalinya.