Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di masa manapun, hari Minggu tetap menjadi hari libur. Seperti sekarang, aku dan ketiga temanku—Rin, Neo dan Aru—jalan-jalan ke mal seperti remaja pada umumnya. Rin sibuk memilih sepatu ditemani Neo, sedangkan aku membantu memilihkan baju yang cocok untuk Aru. Aku sebenarnya diam-diam menyukai pemuda itu.
“Sepertinya warna putih bagus untukmu.” Aku mengambil baju putih dan memberikannya pada Aru.
Radar di telingaku menangkap suara keributan di lantai tiga, lantai yang kami tempati saat ini.
“Suara apa itu?” tanya Rin khawatir, dia dan Neo mendekati kami.
Aku memfokuskan pandangan pada kerumunan yang ribut itu, layar proyeksi di mataku berubah warna merah dan bertuliskan bahaya. Orang-orang berlarian kalang-kabut, lalu salah satu wanita terlihat, jalannya cukup aneh, rambutnya acak-acakan dan tubuhnya dipenuhi darah.
Aku menge-zoom wanita itu agar lebih dekat dengan pandanganku menggunakan kendali otakku, cara kerjanya sama seperti menge-zoom kamera. Barulah aku melihat wanita itu lebih jelas, matanya berwarna abu-abu tanpa pupil di tengahnya, dia mendekati satu pria yang malang karena tidak sempat kabur lantas mengigitnya dengan beruntal, membuat Rin yang berdiri di sebelahku terlonjak dan refleks mencengkram lenganku.
Orang-orang di sekitarku berteriak saat pria yang digigit wanita aneh tadi berubah menjadi seperti dia. Mereka berlari ketakuatan, menyebar ke segala penjuru mal.
“Orang-orang dari masa lalu menyebut mereka zombie,” ujar Aru di sebelahku.
Kita harus membawa Rin dan Aru keluar dari sini. Aku bertelepati dengan Neo, ia mengangguk.
“Teman-teman, kita harus turun dari lantai tiga dan keluar dari mal ini, cari perlindungan dan kita harus menghindari gigitan mereka,” ucapku cepat.
Kami berempat berlari menuju lift terdekat, di lantai tiga masih sedikit jumlah zombie daripada manusia yang ada di sini, namun hanya menunggu waktu orang-orang di sini akan menjadi zombie.
Lift di depan kami tampak kacau, di beberapa besinya bengkok dan terdapat bercak darah.
Neo di depanku menggeleng pelan setelah dia menyalakan proteksi keamanan untuk memeriksa lift dan ia menemukan kejanggalan lift itu. “Kupikir lebih baik lewat elevator, di dalam lift berbahaya.”
Kami mengangguk. Tepat sebelum kami melangkah, pintu lift terbuka dan keluarlah lima zombie di sana, aku terkejut dan refleks berteriak, naluri manusia yang tertanam di chip kepalaku menyuruhku untuk berlari. Aku berlari sekuat tenaga disusul teman-temanku.
Hingga aku mendengar Rin berteriak, aku menoleh ke belakang. Posisi Rin paling belakang yang mana memudahkan zombie-zombie itu mengapai dan menangkap Rin.
“Rin!” teriakku kalut, aku berlari mengejar Rin, namun Neo menahan tanganku dan menggelengkan kepalanya.
“Jangan mendekat, Ran. Rin sudah terinfeksi, kita harus lari dari sini dan menyelamatkan Aru,” ucapnya tegas.
Satu zombie mendekat dan mencoba menyerang Aru, ia mengambil sepatu yang ada di rak dan melemparkan sepatu itu hingga heels yang tajam mengenai mata zombie.
“Kita harus menyelamatkan Aru! Lupakan Rin, dia sudah menjadi zombie, aku tidak ingin kau menyesal untuk kedua kalinya!” seru Neo.
Aku mengangguk walau terasa berat, aku tidak bisa merelakan temanku begitu saja, tetapi aku juga tidak bisa membiarkan orang yang kucinta berubah menjadi zombie jelek seperti itu.
“Aru! Lari! Ikuti kami!” seruku.
Kami menuruni tangga dengan tergesa-gesa, di bawah kami zombie menunggu seperti monster yang kelaparan. Tangan Aru gemetar, namun dia tidak menunjukkan ketakutannya di depanku. Neo maju ke depan, menerjang zombie dengan kakinya, dia meninju zombie yang hendak mengigit Aru, aku menyeret Aru agar segera keluar dari kerumunan zombie. Aku meninju zombie yang mendekatiku.
Kami berbelok di lorong, Neo berhasil menyusul, kami bersembunyi di toilet. Napasku terengah-engah, penampilan kami acak-acakan.
“Kenapa tiba-tiba banyak sekali zombie?” tanya Aru. “Apa kau tidak apa-apa, Ran?” Dia masih sempat menghawatirkanku padahal keadaannya yang paling menghawatirkan di antara kami.
“Terjadi malapraktik di lab yang tak jauh dari mal ini,” jawab Neo setelah memeriksa sesuatu di ponselnya.
“Hah?” Aru tampak tidak paham.
“Mungkin masyarakat tidak tahu kalau lab sebelah mal ini bukan lab kimia seperti yang orang-orang tahu. Di sana banyak ilmuwan yang melakukan uji coba pada manusia, malapraktik medis, pembuatan robot manusia, dan kini mereka mengalami kegagalan hingga membuat kelinci percobaannya menjadi zombie dan menyerang tempat terdekat, seperti mal ini,” ujar Neo.
Aku mengangguk, baru teringat kalau Neo juga berasal dari lab itu, dia percobaan pertama yang berhasil dilakukan ilmuwan di sana, robot manusia pertama yang berhasil diciptakan di jaman kami.
Setelah Neo memeriksa keadaan luar dan cukup aman untuk kami keluar, aku membuka pintu kamar mandi, keluar lorong kamar mandi dan tanpa kuduga, sekitar sepuluh zombie mengetahui keberadaan kami, aku berlari kalang-kabut, teman-teman berada tepat di belakangku. Aku harus secepatnya turun ke lantai satu.
Kami terpojok, di belakang kami ada pagar pembatas, sedangkan elevator berjarak sepuluh meter ke kanan dari tempat kami berdiri, dan sama saja bunuh diri jika memaksa ke sana, ada lebih banyak zombie di sana.
Aku melongok ke bawah, di lantai satu lebih banyak zombie, aku tidak melihat manusia yang selamat. Di bawah sana kebetulan ada kasur yang terjejer dengan tulisan diskon 30% yang masih menempel.
“Kita harus melompat ke bawah,” ucapku, Aru tampak keberatan. “Kalian duluan, aku menahan mereka dulu, jangan takut melompat, di bawah kita ada kasur.”
Neo terlihat keberatan, namun zombie itu semakin mendesak membuat Neo tanpa pikir panjang menarik tangan Aru dan melompat ke lantai satu. Aku menahan zombie itu, menendang wajahnya dan menghantamkan kepalan tanganku.
Aku berteriak saat salah satu zombie berhasil menggigit lengan kiriku. Kakiku menendang perut zombie yang menggingitkku hingga membuatnya terpental. Tangan kananku menahan zombie-zombie itu, sedangkan tanganku satunya merogoh saku celanaku dan mengambil bom yang selalu kubawa. Aku melempar bom itu ke arah zombie-zombie dan aku cepat-cepat melompat.
Duar! Boom!
Bom meledak tepat sebelum aku melompat. Aku terjatuh di kasur, sebagian tubuhku terkena dampak bom itu.
“Ran! Kau tidak apa-apa?” tanya Aru khawatir, aku mengangguk.
Aru melihat tanganku yang terkena gigitan zombie dan melihat luka-luka yang ada di tubuhku karena bom itu. “Ran? Bagaimana kalau kau berubah menjadi mereka?”
“Aku tidak akan berubah, karena virus itu hanya berlaku untuk manusia,” jawabku.
“Ha? Maksudmu?”
“Kita harus keluar dari sini! Tidak ada waktu lagi!” teriak Neo yang sedari tadi sibuk melawan zombie.
“Kita harus pergi Aru,” ucapku lantas aku menarik tangannya dan berlari, Neo di depan menghalang zombie yang menganggu jalan kami, begitu juga denganku dan Aru.
Setelah kita berhasil ke luar mal, aku terkejut melihat tempat sekitar kami dikelilingi pagar setinggi tiga meter, yang mana menahan zombie-zombie itu agar tidak menyebar ke mana-mana, berbeda dengan keadaan di dalam mal, di sini tidak ada zombie sama sekali, menyisahkan mayat-mayat manusia yang tergeletak di dekat pintu.
Aku baru menyadari bahwa ada pintu untuk keluar dari pagar-pagar yang tinggi ini, tak jauh dari pintu, aku melihat ada berpuluh-puluh pasukan militer yang menodongkan senjata, siap menembak kepala zombie yang melewati pintu itu.
Aku tahu pintu itu adalah teknologi terbaru yang mana mendeteksi apakah yang melewati pintu itu manusia atau tidak, jika bukan manusia yang lewat, pintu itu akan mengeluarkan sinyal dan berbunyi nyaring, maka dengan sigap pasukan militer akan menembakinya.
Aku terjatuh, Aru buru-buru membantuku berdiri. “Kau tidak apa-apa, Ran?”
“Apa ada yang rusak, Ran?” tanya Neo.
“Sepertinya tubuhku mulai rusak,” jawabku.
Aru menatapku dan Neo dengan pandangan bertanya-tanya. “Kenapa kau bertanya seakan-akan Ran bukan manusia? Namun robot?”
Aku menghela napas. “Aku dan Neo memang bukan manusia, kami humanoid.”
Aru terkejut bukan main. “La-lalu ... ke mana Ran selama ini jika kau menggantikannya?”
“Ran sudah tiada, dia membuatku sebelum kematiannya, lalu dia meneransfer semua ingatannya padaku. Di ingatannya paling dalam, dia menyimpan keinginan untuk menyampaikan perasaannya padamu, Ran sangat mencintamu hingga dia tidak ingin kau bersedih dengan mengetahui kematiannya,” ucapku.
Aru meneteskan air mata. “Kenapa? Kenapa dia meninggalkanku?”
“Untuk itulah tujuanku dibuat, untuk menggantikan Ran dan untuk melindungimu. Keinginan terakhir Ran adalah kau selamat, sekarang kau pergilah ke pintu itu, kau kan manusia, kau pasti akan selamat,” ucapku.
Neo mengangguk, menyetujui. Aru tampak ragu, namun akhirnya dia menurut dan melewati pintu itu, tidak ada bunyi berisik dari pintu itu, pasukan militer yang awalnya siaga kini menghampiri Aru dan memberikan pertologan.
“Ayo kita coba,” ujar Neo. “Walau kita bukan manusia, tapi kita bukan zombie kan?”
“Kau duluan saja,” kataku. “Kalau kau aman, aku akan masuk juga.”
“Selalu saja,” gumam Neo, membuatku terkekeh.
Neo memasuki pintu itu, dan tidak terjadi apa-apa padanya. Dia selamat. Aku mencoba melewati pintu itu, ragu-ragu aku melangkah.
Baru melangkahkan satu kaki, pintu itu berbunyi nyaring dan kerlap-kerlip lampu merah tanda bahaya menyala. Aku melotot, apa karena aku digigit zombie tadi hingga lampu merah itu berbunyi?
Tanpa kusadari puluhan peluru meluncur ke kepala dan tubuhku. Aku terbanting dan komponen-komponen elektronik dalam tubuhku tercecer, kulit buatan yang menempel di tubuhku tergores hingga memperlihatkan besi-besi yang menyusun tubuhku.
“Ran!” Kudengar Aru dan Neo berteriak memanggil namaku.
“Pak militer! Hentikan! Dia bukan zombie! Dia humanoid!” Aru berteriak dan menangis.
Tubuhku rusak parah, aku tak lagi berguna, aku hanya seperti onggokan sampah elektronik yang tak berfungsi. Sebelum aku menutup mata, aku teringat sesuatu, Neo juga humanoid tetapi dia diciptakan di lab secara resmi dan legal, dia terdaftar, sedangkan aku dibuat oleh seorang gadis yang suka bereksperimen, aku ini ilegal dan tidak terdaftar, pantas saja proyektor pintu itu mengenali Neo dan tidak mengenaliku.
Suara pistol tidak lagi terdengar, juga teriakan-teriakan dari Neo dan Aru, aku kehilangan kemampuan mendengar, semuanya sunyi dan tiba-tiba saja pandanganku gelap, kini aku benar-benar rusak.