Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Part-2
Sepekan ini hari terasa begitu cepat. Di lapangan, aku hampir gak punya waktu untuk sekadar mengecek ponsel di luar urusan kerja. Selain memang susah sinyal- jangan berpikir ada 5G atau 4G, sekadar bisa mengirim SMS saja sudah bagus, badan sudah sangat capek seharaian di lapangan.
Di dalam mess - container 40 feet yang disulap jadi kantor dan kamar tidur - masih ada di beberapa titik sinyal , tapi karena sudah terlalu capek dengan kegiatan sehari-hari, tidur adalah kegiatan yang paling masuk akal agar besok bisa fit lagi ke lapangan
Itu makanya aku belum sempat mencari 'jejak' hantu dari masa lalu itu.
Pernah juga kucoba mencari jejaknya, di media sosial, tapi aku tak menemukan akun dengan nama Indra Ardhana Tambunan. Wajar juga karena orang memang jarang memakai nama asli di media sosialnya. Kucoba dengan nama kecil, tetap nihil. Entahlah, begitu rapat dia menutup diri, aku pun tidak tahu.
Tetapi, setidaknya aku tahu, dia masih hidup. Meski begitu aku tetap menganggapnya hantu.
--
Kembali ke ruang tunggu bandara, tapi kali ini, di kota Pontianak. Penerbanganku dijadwalkan jam 5 sore, itu berarti lebih dari satu jam lagi. Aku membeli kopi dari sebuah kafe di bandara, dan menenggelamkan diriku dengan ponsel. Memeriksa beberapa email dan pesan yang harus di follow up. Dan, tentu saja aku tak melewatkan kesempatan untuk mencarinya lagi. Hantu itu.
..
Sampai di rumah, dan dua hari kemudian, aku masih mencoba mencari jejaknya. Tapi kalau mengandalkan jejak di internet, jelas susah juga. Tapi setidaknya aku tahu dia masih hidup. Meski gak tahu bagaimana untuk menemukannya, aku akan tetap mencari.
Dan harapan itu seolah muncul, ketika pagi ini, Nindi, staf HRD kantor datang ke ruanganku untuk minta mengingatkan jadwal interview staf drafter baru.
"Atas nama Ikram, Bu," Nindi menyodorkan map berisi berkas lamaran.
Aku membukanya untuk melihat print out gambar hasil tes, lalu kulihat data profilnya.
Aku melihat data LinkedIn calon drafterku dan tiba-tiba menemukan secercah cahaya. Ya, aku harus mencarinya di sana.
Aku langsung membuka aplikasi LinkedIn dan mengetikkan namanya besar besar
INDRA ARDHANA TAMBUNAN
Dan...jreng…
Sosok dalam foto itu tampak sangat profesional, memakai jas warna abu arang, kemeja putih dan dasi hitam. Rambutnya tersisir rapi dan senyum percaya diri( ini seperti Indra dalam ingatanku, di tahun-tahun sebelum aku menganggapnya hantu).
Di kepala Profil tertulis Profesional Teknik Sipil dengan Pengalaman 5+ Tahun dalam Manajemen Konstruksi.
Tentang Saya (nya): (wah, aku berdecak, separo marah kerika membacanya. Profesional tapi membawa uang orang!)
Saya adalah seorang profesional teknik sipil dengan pengalaman lebih dari 5 tahun dalam manajemen konstruksi. Saya memiliki keahlian dalam mengelola proyek konstruksi, memimpin tim, dan mengkoordinasikan dengan klien dan stakeholder. Saya lulus dari Universitas…..
Kau perampok, teriakku marah.
*Pengalaman Kerja:*
- *Manager, PT Super Menara Tambang (2016 - Sekarang)*
- Mengelola proyek konstruksi di semua area kerja
- Memimpin tim untuk mencapai target proyek
- Mengkoordinasikan dengan klien, dan stakeholder internal dan ekternal..
- *Project Manager, PT Rifat Anugerah (2012-2015)*
……
Aku membaca pengalaman kerjanya dengan hati penuh amarah. Bagus, kau punya jabatan mentereng, itu berarti kau punya cukup uang untuk membayar uangku yang kau bawa lari,' kan?
Aku memiliki akun premium di LinkedIn, aku akan mengirim Indra pesan detik ini juga
_
Dua hari, tak ada tanda-tanda dia sudah menerima pesanku. Tiga hari. Empat. Seminggu, masih belum ada.
Aku jadi terobsesi. Kapan punya kesempatam, di sela-sela waktu meeting, di tengah makan siang, ketika dalam mobil di bangku penumpang, aku pasti akan mengecek kalau-kalau dia membalas pesanku. Sungguh, ini bukan perasaan gadis muda 15 tahun yang lalu, ini murni aku ingin uangku kembali. Uang, bukan cinta!
Lima belas tahun yang lalu dia membawa uang milikku lima puluh juta rupiah. Aku tidak perlu menghitung harga motor yang separoh uangnya milikku. Aku hitung uangku di tabungan bersama itu. Lima puluh juta rupiah.
Aku akan menghitung berapa jumlah uangku saat ini jika ia tidak melarikan uang tersebut
. Kuhitung dengan cara paling sederhana, menggunakan angka inflasi, tidak usah hitung pakai bunga bank segala. Asumsi angka inflasi pertahun Indonesia selama dekade terakhir menurut pencarian cepat sekitar 3,5%, berarti selama 15 tahun, factor kenaikannya 1,64%, itu berarti uangku yang 50 juta sekarang nilai riil nya = 1,64 x 50 juta itu sama dengan 82 Juta. Delapan puluh juta rupiah. Angka yang tidak seberapa untuk gaji manajer. Gaji dua atau tiga bulan seorang manajer itu. Indra akan cepat membayarnya. Kalau dia punaya niat baik. Kalau.
Bagaimana kalau uang itu dikonversi dengan harga emas saat ini? Aku mengotak-atik angka, memeriksa data harga emas 15 tahun yang lalu dan harga emas saat ini. Wow. Lebih dari dua raus juta rupiah.
Sesuatu bergejolak di perutku. Suatu perasaan jika aku sedang bersemangat. Ini nilai yang boleh diperjuangkan. Itu belum termasuk uang gondok. Itu nanti akan kuhitung sendiri.
Masalahnya sekarang adalah, ia tidak membalas pesanku. Sudah minggu kedua sejak aku mengirim pesan padanya. Bagaimana dia akan membayarnya, atau bagaimana aku bisa menagih uang itu kalau dia mengabaikan pesanku!
Baik, aku akan mengubah strateginya. Aku akan menulis pesan yang jelas kali ini.
Bapak Indra Yang Terhormat,
Sudah lima belas tahun sejak Anda menyimpan kartu ATM yang saya berikan. Saya memahami bahwa , bisa jadi Anda kehilangan nomor kontak saya atau alamat terakhir saya. Maka dengan ini saya memberikan data tersebut, dan berharap Anda tidak lagi tersesat untuk mengembalikannya.
Bila Anda tersesat juga, saya beritahukan, dengan segala hormat, saya tahu alamat kantor Anda sekarang dan saya bersedia untuk menjemputnya langsung.
Miranti Dwi Prima
Send.
Aku mengirimkan pesan itu.
===
Hari kedua, ketiga, keempat, kelima. Brengsek amat dia, tidak membalas. Hari ketujuh. Masih begitu. Oke. Kau memang hantu dan tak perlu ditunggu. Akan kuiklaskan saja uang itu, toh selama ini memang aku tidak kekurangan. Aku bahkan sudah tinggal di rumah yang jauh lebih mewah dari rumah yang mau dibeli dulu. Motor? Bah, aku sekarang sudah punya mobil!
“Mama….”
Keira, anak semata wayangku yang baru duduk di kelas 4 SD, tiba-tiba mengejutkanku.
“Ya, Sayang,” aku meletakkan ponsel dan memeluknya. “Sudah siap mengerjakan PR, Kei?” tanyaku sambil membelai rambutnya.
“Beres, Ma,” Keira tersenyum, membalikkan badan. “Kalau ada mentornya, semua beres,” ia memiringkan kepalanya sedikit, tersenyum lagi pada Papanya yang tadi membantunya mengerjakan PR.
“Oke, sudah waktunya tidur,” laki-laki gagah itu, Reihan, suamiku, papa Keira, menunjuk kamar Keira. “Sudah hampir jam sepuluh, besok bangun lebih awal ya .” Ia mengelus rambut Keira.
“Oke, Pa,” Keira mengangguk. “Night, Pa, night, Ma.”
“Good night, Kei. Nice dream,” sahutku dan bangkit dari kursi.
Aku juga sudah mengantuk. Reihan kulihat jalan ke depan, dia pasti memeriksa pintu-pintu, jendela dan segala sesuatunya. Lelaki yang tertib, begitu aku selalu menyebutnya. Dia selalu bilang, itu tindakan berjaga-jaga. Apapun itu, aku selalu nyaman dekatnya.
Aku masuk ke kamar, sebelum tidur, aku masih menyempatkan diri memoles tipis krem malam ke wajahku. Reihan masuk. Dia berdiri di belakangku, menatapku lewat cermin. Lalu ia menunduk, mencium rambutku.
“Kamu sedang merekrut manajer baru?” tanyanya tiba-tiba.
“Manajer baru?” aku menggeleng, bingung. Lalu bangkit ke tempat tidur
“Aku lihat beberapa minggu ini kamu sibuk melihat profil beberapa manajer di Linkedln!”
Deg! Astaga, Reihan memperhatikan itu.
“Oh…ya, kantor perlu manajer baru untuk proyek di Sulawesi, Rei,” sahutku.
“Sudah dapat?”
Aku menggeleng. “Tidak ada yang memenuhi syarat!” aku membaringkan tubuh.
“Oh.” Reihan menyahut pelan sebelum dia menghilang ke kamar mandi.
Ya, sudah saatnya aku melupakan hantu itu. Mengikhlaskannya. Toh hidupku sudah sempurna. Reihan, seorang dokter yang menjadi pasangan hidupku, penyeimbangku. Lelaki terbaik yang dikirim Tuhan untuk menggantikan Indra. Dan kami sudah memiliki Keira. Itu sempurna!
Jam. 1.30 WIB.
Aku tersentak oleh suara ponselku. Aku lupa mematikannya. Dalam kegelapan, kuraih ponsel, berniat mematikan dan mataku terpaku pada pesan itu.
Ranti, kita perlu bicara!
Indra