Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Last Call dan Hantu Masa Lalu
0
Suka
53
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Part-1

Aku menanti penerbangan ke kota Pontianak. Sesuai jadwal, pesawat akan berangkat jam 6.30 WIB, itu berarti masih satu jam lima menit lagi.

Aku meluruskan kaki, menguap, dan merasa sangat mengantuk. Tadi supir kantor menjemput sebelum jam 5.00 WIB, dan sekitar jam empat aku sudah terbangun, walaupun malamnya masih mengerjakan bahan untuk meeting di proyek dan terpaksa tidur hampir tengah malam.

Ini penerbangan ketigaku ke Pontianak dalam sebulan. Proyek pabrik di kabupaten Sambas - dari Kota Pontianak, sekitar 225 KM- benar-benar seperti anak emasku, harus didatangi dan dikontrol sangat ketat .

Kunjungan tiga kali dalam sebulan membuktikan itu, padahal perjalanan dari Medan ke Pontianak saja sudah cukup menguras energi, dan harus dilanjutkan dengan perjalanan darat ke lokasi proyek sekitar 6-7 jam .

Tapi, mau bagaimana, ini bagian dari tugas. Sebagai PIC Engineer untuk proyek ini aku harus siap bila diperlukan. Setidaknya aku tidak harus menetap di proyek selama berbulan-bulan.

Ruang tunggu Gate 8, bandara Kualanamu Internasional sudah sangat ramai. Aroma kopi dari counter penjualan menguar, membelah pagi. Pesawatku nanti akan transit di bandara Hang Nadim, Batam, melanjutkan penerbangan ke kota khatulistiwa Pontianak, dan akan mendarat di Bandara Supadio sekitar jam sebelas waktu setempat.

Sopir sudah berangkat untuk jemput Ibu.

Aku baca pesan WA, Arfan, kepala proyek di Sambas.

Thanks, Fan. Balasku.

Bandara kian ramai. Beberapa maskapai sudah menerbangkan pesawatnya sebelum jam lima tadi. Kualanamu memang bandara yang sibuk, bahkan saat sebagian besar orang masih terlelap, bandara ini sudah menggeliat, mengantar burung-burung besi ke tujuannya .

Kulihat dari kaca ruang tunggu ada beberapa pesawat lagi yang akan berangkat. Aku menyimpan ponselku ke dalam tas, mencoba memejamkan mata yang terasa sangat berat.

Last call, bapak....

Last call...

Announcer bandara terdengar memanggil para penumpang untuk secara naik ke pesawat. Mengumumkan jadwal dan delay pesawat.

Final call…

Aku mengubah posisi dudukku, hampir memejamkan mata, ketika aku mendengar nama itu!

Last call, kepada Bapak Indra Ardhana Tambunan dan Ibu Diana Fitri Ardhana, harap segera naik ke pesawat dengan nomor penerbangan...

Indra Ardhana Tambunan! Aku menegakkan badan, koperku ikut tergeser karena tertendang kaki.

Last call, kepada Bapak Indra Ardhana Tambunan dan Ibu Diana Fitri Ardhana, harap segera naik ke pesawat dengan nomor penerbangan

Indra Ardhana Tambunan, berapa banyak orang dengan nama itu?

Suara Announcer masih terdengar memanggil.

Last call... Kepada bapak Indra Ardhana Tambunan dan Ibu…..

Tak lama kulihat dua orang lari tergopoh-gopoh. Dan aku nyaris pingsan melihatnya.

Di depan, perempuan awal empat puluh- mungkin, ya seusiaku, bertubuh tinggi langsing tampak sporty dalam balutan cardigan warna hijau sage dan blouse krem dan celana jins, memakai sneakers putih, berlari kecil.

Di belakangnya, laki-laki dengan tubuh tinggi berisi memakai kaos polo hitam dan celana jins biru, membawa dua koper mengikuti perempuan di depannya ...ya...tak salah lagi dia Indra Ardhana. Laki-laki yang 15 tahun lalu mengaku cinta mati padaku, berjanji ingin membangun hidup bersama, tapi menghilang tak ada berita.

Dia membawa semua uang tabunganku!

----

Aku duduk di kursiku, di jendela pesawat. Di sebelahku- kursi tengah- seorang laki-laki muda, di gang, seorang bapak parobaya, masih sibuk dengan teleponnya, meski dari tadi pramugari sudah memberi kode agar segera mematikan ponselnya. Aku memasang sabuk pengaman dengan tangan sedikit gemetar. Aku masih membayangkan sosok yang jelas di mataku tadi. Hantu itu!

Setelah 15 tahun?

Kami menjalani kehidupan masa muda bersama, ya aku dan hantu itu, Indra. Sama –sama kuliah di Teknik Sipil, sama-sama anak rantau. Aku merantau dari kampungku di sebuah kabupaten yang terletak di pesisir Timur Sumatera Utara, sedangkan Indra, merantau dari kampungnya di tepian Danau Toba yang indah.

Ketika tamat kuliah, kami mencari kerja bersama. Dua orang yang seolah tak terpisahkan. Indra lebih dulu mendapat pekerjaan, di sebuah kontraktor lokal, aku masih menganggur. Tapi, dia memberikan semangat dan terus membantuku mencari kerja. Dia juga membantu membayarkan sebagian uang kosku, karena uang kiriman dari kampung mulai berkurang sejak aku tamat kuliah.

Untungnya aku juga segera mendapat pekerjaan. Kami mulai berencana banyak hal. Kami mulai menabung bersama. Ya, memiliki tabungan bersama dengan kartu yang kami tahu PIN-nya.

“Nanti kita sisihkan uang untuk DP rumah,” kata Indra suatu kali,." Suara Indra terdengar begitu tulus. “Aku ingin rumah yang sederhana saja, cukuplah untuk kita dan sepasang anak," Indra tertawa kecil. Tawanya selalu menyenangkan di telingaku. Benar, ini bukan mabuk cinta biasa. Dia memang selalu bisa membuatku merasa paling dibutuhkan, paling disayang.

"Nanti kalau sudah bayar DP rumah, kita baru mikirin kredit mobil," tambahnya lagi.

"Itu nanti aja, Ndra," protesku. "Cicilan KPR lunas baru mikirin mobil "

"Oke, Ranti," dia tersenyum. "Sekarang kita kumpulkan uang, dan sementara ini, kita naik motor dulu," katanya sambil menepuk motor matic warna merah yang kami beli patungan.

Aku mengangguk. Usia kami masih muda kala itu, tapi mimpi kami melintasi tahun-tahun kedepan. Puluhan tahun mungkin. Masa muda yang naïf, kalau kupikir kini.

**

Pesawat sudah lepas landas, saat ini sudah di ketinggian puluhan ribu kaki. Tapi bayangan seseorang dan kenangan pahit itu masih bermain di mataku. Aku benci ini. Padahal, aku harusnya tengah terridur, membayar jam tidur yang terpakai untuk mengerjakan bahan meeting tadi malam.

***

Beberapa waktu kemudian, kantor tempat Indra kerja menugaskan Indra mengawasi proyek di Aceh, tepatnya di Lhokseumawe. Katanya sih hanya penempatan selama 7 bulan, sampai gedung yang mereka bangun selesai. Setelah itu, dia akan ditempatkan lagi di Medan, jadi dia tidak harus pindah kos dulu.

Jarak Lhoksuemawe - Medan sekitar 200 km, memungkinkan kami masih bisa bertemu sebulan sekali, saat Indra mendapat off, biasanya 4 hari sebulan, menggantikan hari libur di mana dia tetap harus mengawasi proyek.

Kami makin giat kerja, makin semangat menabung. Meski harus kuakui, konstribusimu dari Indra mulai berkurang, tapi tetap ada . Uang kami juga sudah mulai banyak . DP rumah 20% sudah sangat mencukupi.

"Bagaimana kalau besok kita datangi kantor pemasarannya Ranti," sore itu, usai jam kantorku Indra datang menjemput. Sebenarnya tidak tepat datang menjemput, karena dia datang pakai taksi ke kantorku. Sejak dia tugas ke Lhokseumawe, motor aku yang pakai untuk kegiatan sehari-hari, termasuk ke kantor . Jadi dia datang ke kantor naik taksi, dan pulangnya kami naik motor bersama. Singgah di warung mi Aceh langganan kami sambil melihat-lihat brosur perumahan yang kata Indra diambilnya pas ke mall siang tadi.

"Boleh juga," kataku. "Aku besok ambil cuti "

Besoknya kami datangi kantor pemasaran perumahan di daerah Medan Johor , menanyakan syarat dan melihat site plan. Aku tertarik pada rumah dengan posisi paling strategis, di sudut dan pintunya menghadap ke timur.

"Wah, yang ini memang banyak peminatnya, Kak,” petugas marketing dengan senyum manisnya mulai promosi.” Bayar boking fee saja dulu, Kak," sambungnya dengan ramah. "Unit ini banyak peminat," ia sepertinya tak berbohong. " Nanti diambil orang, sayangkan, Bang?" dia beralih ke Indra. Aku yakin, sudah banyak yang jadi ‘korban’ keramahannya.

Aku dan Indra setuju. "Besok kami datang lagi," janji Indra.

" Cutiku cuma sehari, Ndra, kamu aja yang ke sana, " kataku ketika kami sudah keluar kantor pemasaran. Aku menyerahkan kartu ATM bersama kami. "Ambil uang untuk booking fee."

"Oke," Indra mengantongi kartu itu." Sepakatkan kita ambil rumah yang di ujung?"

"Iya," aku mengangguk " Ada kelebihan tanah yang lumayan, nanti kalau ada rejeki kita bisa nambah untuk teras belakang, area santai "

"Perfect," Indra mengangguk puas.

***

Esoknya sampai sore tidak ada kabar dari Indra. Aku, karena kelelahan tidak ingat menghubunginya.

Esok paginya tidak ada kabar, aku merasa heran. Lebih heran lagi saat kuhubungi teleponnya tidak aktif. Aku tunggu sampai sore tidak ada juga kabar dari Indra. Karena cemas, esoknya, sebelum berangkat ke kantor aku mampir ke tempat kostnya.

Tapi apa yang kudapat?

“Indra?” Ibu kostnya yang mengenalku tampak heran . "Indra sudah berangkat dua hari yang lalukan, Ranti?"

"Berangkat?" Aku mengerutkan kening. Biasa dia dapat off empat hari sebulan. " Balik ke Lhokseumawe ya, Bu?"

"Indra pindah tugas ke Palembang kan, Ranti? Makanya dia tidak menyambung kos lagi. Dia sudah melunasi uang kosnya , kemarin juga motornya sudah dijual ke bengkel depan gang!"

***

Bandara Supadio, tidak seramai Kualanamu. Aku dengan gampang menemukan Iwan, sopir proyek yang menjemputku. Dia orang asli Sambas, jadi sopir selama proyek berjalan, jadi bukan sopir tetap perusahaan.

"Pak Arfan gak bisa ikut, Bu," ucap Iwan sambil mengangkat koperku ke bagasi . Dia sudah dua kali menjemputku. " Hari ini ready mix dari vendor baru mulai masuk."

Aku mengangguk, Arfan juga sudah mengabarkan hal itu tadi via WA.

"Ini langsung jalan ke Sambas atau Ibu ada perlu mampir dulu."

"Langsung aja, Wan," sahutku. Pikiranku masih terjebak pada hantu itu. Pada kebohongan itu.

***

Indra pergi dengan menguras semua tabungan bersama kami. Aku harus mengatakan bahwa itu tabungan bersama, tapi sejujurnya 90% aku yang mengisi dari gaji yang kusisihkan.

Dan motor? Brengseknya dia menjualnya, padahal separohnya adalah uangku.

Aku menangis tak henti, bukan hanya karena patah hati, tapi karena merasa ditipu oleh seseorang yang selama ini kupercaya dan ....kusayang.

**

Aku tak punya nyali untuk menceritakan kejadian ini pada siapapun. Aku menyimpan dalam hatiku yang patah, hati yang sakit, dan yang terluka. Rasa itu berubah jadi dendam dan amarah dingin yang bisa membekukan siapapun! Jika teman-teman menanyakan Indra padaku, kubilang dia sudah jadi hantu.

Mati.

***

Perlu lima tahun untuk membuang perasaan kalah dan terluka. Lukanya sudah sembuh, tapi itu tak menghapus amarah di hatiku.

Dan hantu itu muncul lagi kini.

Kali ini aku tak akan melepaskannya!

Bersambung ke part-2

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Salju Terakhir
Liliyanti
Skrip Film
Dzikir Sebuah Cincin Retak
Encep Nazori
Cerpen
Cerita Juju Pindah ke Rumah Besar
Yutanis
Cerpen
Last Call dan Hantu Masa Lalu
ranti ris
Novel
Bronze
Palung Mariana
Nisya Nur Anisya
Flash
Saat Aku Merasa Tenang Di Dalam Ruang Khayalan
Fadel Ramadan
Skrip Film
RUANG DAN WAKTU
Purnama
Flash
Yellow #2
Adel Romanza
Novel
Bronze
StarLight
Vidharalia
Novel
KABISAT
Muhamad Riyanto
Skrip Film
Maru
Rafi Abdurrahman
Novel
Bronze
Certainties
S. F. Hita
Flash
Koran Pagi
Sugiadi Azhar
Cerpen
SI FLEXING DAN SI SOMBONG
Rizki Ramadhana
Novel
Bronze
Pintu Tauhid 2
Imajinasiku
Rekomendasi
Cerpen
Last Call dan Hantu Masa Lalu
ranti ris
Flash
GHOSTING
ranti ris
Cerpen
Last Call dan Hantu Masa Lalu-Part2
ranti ris
Novel
Bronze
Perempuan-Perempuan Sam
ranti ris
Skrip Film
JANJI RIO
ranti ris
Flash
Bronze
Oleh-oleh
ranti ris
Skrip Film
SISA KEMARIN
ranti ris