Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di rumah tua peninggalan Ayah, pagi-pagi selalu dipecah oleh simfoni riuh bebek-bebek yang bersahutan di halaman belakang. Namun, pagi itu, bukan sekadar suara bebek yang menyambut pagi, tetapi ada nada lain yang tajam dan asing, membelah udara, mengiris luka-luka lama yang belum sempat sembuh.
Dua dekade sudah kaki ini berjalan, menapaki lorong-lorong kampus dan menjalani hari-hari sederhana bersama Ibu. Hidupku mengalir bagai sungai kecil yang tenang, tanpa riak besar, tanpa badai. Tapi di seberang sungai itu, badai mengendap, menunggu waktu untuk menyapa.
Kami hidup di antara aroma kayu lapuk dan debu masa lalu. Setiap suara, setiap langkah, seperti gema dari kenangan yang tak pernah benar-benar padam. Rumah ini adalah tempat segala cerita bermula dan kadang tempat segala luka kembali bertandang.
Kakak perempuanku, tinggal di desa lain bersama suami dan tiga anaknya. Ia seperti pohon yang dipaksa tumbuh cepat dan berbuah lebat, dipaksa dewasa oleh musim yang tak pernah memberi jeda. Kemiskinan dulu adalah tamu setia di meja makan kami, dan jejaknya masih membayang di setiap langkahnya.
Sehari sekali, tiap paginya, ia datang menjenguk Ibu. Tapi bukan hanya rindu yang dibawanya, melainkan juga bebek-bebek milik suaminya yang ia rawat, dititipkan di halaman belakang rumah kami. Suara-suara itu seperti gema dari masa lalu yang tak pudar tentang perut kosong, kaki kecil tanpa alas, dan sekolah yang jauh dan penuh batu.
Siang itu, matahari menggantung malas di langit. Aku duduk di teras depan rumah, membiarkan angin mengusap wajah dan memutar kenangan yang tak pernah usai. Tiba-tiba, Ibu datang, membawa suara lembutnya yang tak pernah berubah sejak aku kecil. Sambil tersenyum, Ibu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kecilnya, selembar brosur motor yang sudah agak lecek di sudutnya, tetapi masih jelas terbaca. Gambar-gambar motor berjajar rapi di kertas itu, lengkap dengan harga dan spesifikasi. Beberapa model telah dilingkari dengan pulpen merah.
“Ibu dapat ini dari anak Pak Darto yang bekerja di dealer dekat pasar,”
Ucapnya, sambil menyodorkan brosur motor dengan senyum kecil di wajahnya.
“Katanya cocok buat mahasiswa. Irit, ringan, dan nggak mahal.”
Aku menoleh padanya, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Dadaku menghangat, sehangat matahari yang menyusup di sela dedaunan. Tak kusangka, kasih sayangnya sebesar itu terhadap diriku, diam-diam, tanpa pamer, tanpa syarat. Tanganku gemetar saat menerima brosur itu. Ada rasa haru yang menekan dada. Kupandangi lingkaran merah buatan Ibu yang sederhana, tapi penuh perhatian. Ia bahkan sudah mencari tahu, memilih, dan mempertimbangkan, jauh sebelum aku tahu apa-apa.
“Nak, pilih saja motor yang kamu suka,”
Senyumnya mengembang seperti bunga yang sedang mekar.
“Tapi, Bu... uangnya dari mana? Dea takut ini jadi beban tambahan buat Ibu. Masih banyak pengeluaran lain yang lebih penting,”
Tanyaku pelan, setengah ragu, setengah tidak tega. Ibu hanya tersenyum. Senyum seorang ibu yang telah kenyang oleh pahit-manis kehidupan.
“Sudah Ibu pikirkan baik-baik. Rezeki itu datang kalau niat kita tulus. Jangan khawatir, Ibu tahu batasnya.”
Aku membuka mulut, hendak menolak dengan alasan klise
"Nggak usah, Bu. Nanti aja kalau sudah kerja."
Tapi suara langkah di belakang memotong niatku.
“Ada apa ini?” tanya Mbakku, keningnya berkerut.
Seketika suasana menjadi sunyi.
“Dea tempat kuliahnya jauh, sekitar 2 kilometer jauhnya. Kasihan kalau harus nunggu angkot tiap hari. Alangkah baiknya kalau Ibu mau belikan adikmu motor.” “Jadi adik mau dibelikan motor, rupanya enak ya bisa dibeliin motor,”
Nada suaranya datar, hampir dingin. Ia berdiri dengan tangan menyilang, pandangan tak terarah.
Seketika udara terasa lebih berat. Mbak Dewi menatap Ibu, lalu menoleh ke arahku. “Darimana uangnya, Bu? Apa iya kita mampu?”
Aku berusaha menjawab dengan tenang, namun Ibu mendahuluiku, “Alhamdulillah, Ibu sudah pertimbangkan semuanya.”
“Kenapa nggak beli motor bekas saja? Lebih murah, toh?”
katanya, nada suaranya seperti gerimis yang jatuh di atap seng, tipis tapi mengusik. Ibu mengangguk pelan.
“Memang lebih murah. Tapi barang bekas itu kadang tidak sebanding dengan risiko yang menyertainya. Kalau bisa yang baru, kenapa harus yang usang?”
“Tapi kalau dirawat, motor bekas juga bisa awet,”
Timpal Mbak Dewi, kali ini suaranya lebih nyaring. Suami Mbakku ikut angkat suara, mencoba menjadi penengah.
“Kalau memang dananya cukup, beli baru saja, Bu. Lebih terjamin, dan adik juga lebih nyaman. Biar saya bantu carikan yang cocok.”
“Iya, kamu bantu carikan yang terbaik, ya.” Ibu tersenyum.
Namun, di sela percakapan yang tampaknya hangat itu, aku menangkap sinar mata Mbak Dewi. Ada kilatan asing di sana, entah cemburu, entah kecewa, atau barangkali hanya bayangan dari masa lalunya yang belum selesai.
Untuk sesaat, seperti kilasan film lama, aku membayangkan Mbak Dewi kecil, berlari di bawah hujan tanpa payung, mengenakan seragam sekolah yang koyak di ujung lengan. Setiap pagi ia menyusuri jalan tanah sepanjang dua kilometer, menggendong harapan di punggung kurusnya sambil menahan lapar. Ia pernah menjual jajan sekolahnya demi membelikan obat batuk untukku yang kecil. Semua itu bukan sekadar cerita, tapi luka-luka yang masih membekas di matanya. Hari itu, aku resmi memiliki motor baru. Bukan kendaraan mewah, hanya sebuah sepeda motor sederhana, tapi bagiku, itu simbol cinta Ibu yang tak pernah mengenal pamrih. Brosur yang tadi kubawa kini kugantungkan di dinding kamar, seperti pajangan. Bukan karena aku belum sempat membuangnya, tapi karena kertas itu telah berubah menjadi simbol kasih yang tidak bisa dinilai dengan angka.
Malamnya, pesan dari Mbak Dewi menyelinap ke layar ponsel
“Motor baru ya? Enak betul jadi kamu. Waktu aku seusiamu, makan saja harus menunggu jagung kering.”
Kata-katanya menetes pelan, seperti hujan di musim kemarau yang tak deras, tapi menyusup ke retak tanah dalam diriku. Aku terdiam, menatap layar ponsel. Pesannya seperti batu yang jatuh di danau tenang, memunculkan riak-riak yang sulit diredam. Aku memilih menghapusnya. Kadang, obat terbaik adalah diam.
Tak lama, Mbak Dewi datang ke rumah. Suaranya menggelegar sebelum kakinya sempat menyentuh lantai rumah.
“Ibu pilih kasih! Kenapa beliin motor buat Dea? Kami yang punya anak banyak, lagi banyak utang, malah dicuekin?!”
Aku keluar kamar terdiam seperti orang bisu mendengar kata-kata yang dikeluarkan oleh Mbak Dewi. Kata-katanya seperti awan hitam yang menggumpal di dadaku, siap hujan deras. Ibu terkaget atas ucapannya tersebut dan mencoba menenangkan.
“Dewi, itu dari tabungan Bapak. Memang disiapkan untuk Dea. Bapak ingin dia bisa kuliah sampai tuntas.”
“Tuntas? Aku bahkan nggak sempat tamat SMA. Tiap hari jalan kaki, baju sobek, perut kosong... Sekarang semuanya buat dia?”
Aku berdiri pelan. Suaraku nyaris tenggelam di antara amarahnya, tapi kutahan agar tak goyah.
“Mbak… Aku tahu hidup Mbak berat dan banyak cobaannya. Tapi ini bukan perlombaan siapa yang paling menderita. Aku tak pernah minta lebih. Aku cuma ingin belajar dengan tenang.”
Matanya menatapku seperti bara.
“Kamu nggak tahu rasanya jadi aku. Menikah muda. Anak minta ini-itu. Suami dikejar utang. Aku iri. Iri karena kamu punya waktu. Punya pilihan. Punya ruang.”
Ibu meraih dan menggenggam tangan kami berdua. Suaranya lembut, tapi menembus lapisan-lapisan luka.
“Nak… jangan jadikan luka masa lalu sebagai pisau yang saling menyayat. Rezeki datang pada waktunya. Yang satu lebih dulu, yang lain menyusul. Tapi cinta Ibu, tak pernah terbagi.”
Malam itu hujan jatuh pelan, membasuh bumi dan hati kami yang lembab oleh luka dan kata-kata. Malam itu, setelah pertengkaran mereda, Mbak tidak langsung pulang. Ia duduk sebentar di ruang tengah, memangku anak bungsunya yang baru berusia satu setengah tahun. Anak itu terlelap di pelukannya, pipinya merah padam karena kelelahan. Mata Mbak menatap kosong ke lantai, sementara tangan kirinya mengusap rambut anaknya perlahan. Ada keretakan di sorot matanya, seperti jendela tua yang lama tak dibersihkan. Ia pulang tanpa berkata apa-apa. Tapi langkahnya lambat, dan punggungnya yang dulu tegap tampak lebih kecil, seolah menanggung sesuatu yang tak lagi bisa dibagi.
Matahari pagi terbit dari timur. Rumah kembali sunyi. Tapi kesunyian itu menyimpan sesuatu yang bergerak perlahan untuk keinginan saling memahami yang tumbuh malu-malu. Keesokan harinya setelah itu, Mbak datang ke rumah. Tapi tak pernah masuk. Ia hanya datang pagi-pagi, memberi makan bebek-bebeknya di halaman belakang. Kadang aku melihatnya dari balik jendela, berdiri lama memandangi tanah, seolah mencari sesuatu yang hilang. Tapi tak sekalipun ia menyapa Ibu.
Namun pada hari berikutnya, saat aku sedang menyapu halaman, Mbak menghampiriku pelan. Wajahnya lelah, tapi suaranya lebih lembut dari biasanya.
“Dea… Ibu ada di dalam?”
“Ada, Mbak. Lagi di dapur.”
Mbak tidak lagi masuk tanpa suara yang keras. Ku biarkan ia masuk dan kutinggalkan mereka berdua. Tak kudengar percakapan mereka, hanya lengang yang hening. Disaat Mbak Dewi keluar, Ibu memelukku dengan mata agak basah.
“Dewi tadi minta maaf. Katanya... dia cuma lelah dan takut kehilangan.”
Aku tersenyum kecil, menahan sesuatu di tenggorokanku.
“Nggak apa-apa, Ibu. Aku di sini bukan untuk diadu, tapi untuk menemani.”
Hari itu, dapur kembali bernyawa. Mbak duduk di lantai, mengupas bawang sambil sesekali tertawa kecil mendengar cerita Ibu. Tak ada topik tentang motor. Tak ada ungkit tentang masa lalu. Hanya obrolan ringan, tentang harga sayur di pasar dan cuaca yang belakangan tak menentu. Hubungan kami tak lagi beku, meski belum sepenuhnya cair. Seperti air sungai setelah banjir, namun masih keruh, masih membawa lumpur, tapi tetap berjalan.
Hari demi hari berlalu. Hubungan kami mulai kembali seperti dulu. Perlahan, luka itu dijahit oleh hal-hal kecil yang kami lakukan, seperti mengirim foto bebek yang ia kirim lewat WhatsApp, pesan-pesan singkat, kadang hanya pesan singkat “Jangan lupa makan.”
Pagi-pagi berikutnya, suara bebek masih bersahutan. Bukan lagi didengar sebagai gangguan, melainkan irama kecil yang menandai ritme baru dalam hidup kami. Namun di balik itu, musibah datang. Ibu tiba-tiba sakit ringan. Saat itu aku sedang berada di kosan, mengerjakan tugas mata kuliah filologi, ponselku berdering. Nama Ibu muncul di layar hp.
“Dea, Ibu demam. Kayaknya masuk angin. Tapi nggak usah panik, cuma minta kamu pulang sebentar, ya?”
Hatiku mencelos. Tanpa pikir panjang, aku mengemasi barang dan alat tulisku, lewat grup chat aku meminta izin tidak masuk di jam berikutnya, dan langsung pulang.
Sesampainya di rumah, kulihat Mbak sudah ada di sana. Ia sedang menyeduh air jahe, wajahnya serius tapi tenang. Ia menyapaku sambil tersenyum kecil.
“Kenapa kamu pulang? Bukannya harus masuk kuliah?”
“Gak apa-apa, Mbak. Hari ini aku izin. Biar bisa jagain Ibu. Gimana kalau kita bawa ke rumah sakit aja?”
“Enggak perlu, Dek. Ibu nggak terlalu parah. Insya Allah dua tiga hari juga sembuh.” Aku mengangguk.
“Iya, kalau begitu, kita rawat saja Ibu di rumah.”
Mbak mengompres kening Ibu dan aku membersihkan barang-barang yang sudah terpakai. Gerak-geriknya tak berbunyi, tapi terasa. Di matanya, kutemukan kelembutan yang selama ini tertimbun oleh amarah dan lelah yang terlalu lama tak dipeluk.
Malam itu kami berjaga bergantian. Mbak memijat kaki Ibu dengan minyak kayu putih, aku menyiapkan bubur hangat. Tak ada satu pun dari kami yang membahas pertengkaran kemarin-kemarin. Rasanya tak perlu. Semua luka sudah cukup diberi waktu. Kami tak pernah lagi membahas soal motor, atau masa lalu. Beberapa hal memang tak perlu dibicarakan. Beberapa luka tak perlu dijelaskan. Hanya cukup diberi waktu. Hubungan kami tak sebahagia seperti dulu, tapi terasa lebih dewasa. Lebih jujur. Tak perlu harmoni atau sempurna untuk tetap berjalan berdampingan.
Beberapa hari kemudian, Mbak datang seperti biasa, membawa kantong berisi tahu goreng. Ia duduk di teras, menatap halaman dengan tatapan jauh.
“Eh, Dea… minggu lalu si bebek jantan kena kutu. Aku bingung, kukira dia stres karena nggak dikasih makan. Ternyata salah pakan.” Aku tertawa kecil.
“Kasihan banget. Terus gimana?”
“Tak kasih air kunyit dan sudah mendingan sekarang. Seperti merawat anak manja ketiga,” katanya, terkekeh. Kami tertawa bersama. Tak ada lagi kecanggungan. Tak ada lagi luka yang dipertontonkan. Dan aku sadar, dalam hidup ini, yang paling mewah bukanlah motor baru, rumah besar, atau pakaian mahal. Tapi kesempatan. Kesempatan untuk memilih, untuk melangkah dengan arah sendiri. Ibu dengan segala perjuangan serta simpanan sunyinya, cintanya yang tak bersuara telah memberiku kemewahan itu. Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakannya. Langkah memang tak seirama. Tapi kami tetap melangkah maju, kadang bersisian, dan kadang saling menunggu. Mungkin harmoni bukan soal seragam, tapi soal bertahan di irama masing-masing, tanpa saling meninggalkan.