Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
LANGKAH TANPA NAMA
Bagian 1: Jejak di Batu Beku
Langit di atas kepalanya berwarna abu-abu pekat. Bukan mendung. Bukan pula senja. Hanya semacam warna mati yang menggantung, seolah enggan memutuskan apakah ia ingin hujan atau terang.
Perempuan itu berdiri di tengah jalan yang tak berpeta. Jalur berbatu terbentang di hadapannya, beku oleh dingin yang tak menyentuh kulit tapi menusuk jauh lebih dalam. Tak ada penunjuk arah, tak ada tanda kehidupan, hanya bebatuan kasar dan bayangannya sendiri yang perlahan memudar seiring langkah.
Ia berjalan. Bukan karena tahu ke mana harus pergi, tapi karena diam membuat dadanya semakin sempit. Setiap kali berhenti, ia merasa seluruh dunia seperti menahan napas. Maka ia terus melangkah.
Jejaknya mengambang di atas batu-batu yang tak bersuara. Tak ada debu yang terangkat, tak ada riak air, tak ada suara ranting patah. Seolah dunia ini hanya permukaan sunyi yang menelan suara dan waktu.
Di kejauhan, ia mendengar suara. Bukan gema. Bukan langkah lain. Tapi suara yang begitu akrab, begitu dekat—seperti bisikan seseorang yang pernah sangat ia cintai.
Namun suara itu tak pernah berseru. Ia hanya hadir, bergema samar, lalu hilang seperti napas terakhir.
Ia mengangkat wajah, menatap langit yang menggigil tanpa warna. Dunia ini seakan ditelantarkan oleh Tuhan dan lupa diberi arah pulang. Jalan yang ia tapaki bukan menuju ke mana pun. Ia hanya berputar-putar seperti doa yang tak pernah sampai. Seperti janji yang mati muda sebelum sempat tumbuh menjadi harapan.
Tiba-tiba, angin bertiup. Bukan sekadar angin. Rasanya seperti sepasang tangan, tangan yang dulu sering membelai rambutnya saat malam terlalu berat. Angin itu membelai pipinya perlahan. Ia menutup mata.
"Aku tahu ini bukan kamu," bisiknya. "Tapi aku ingin percaya sejenak."
Ia membuka mata dan melanjutkan langkah. Di dalam dirinya, ada luka yang pura-pura tidak terasa. Luka yang sudah terlalu lama dipendam hingga menjadi bagian dari dirinya sendiri. Seperti batu-batu di bawah telapak kaki, keras, dingin, tak bisa dielakkan, tapi selalu ada.
Ia terus berjalan bukan karena ingin sampai, tapi karena kehilangan terasa lebih ringan saat kakinya bergerak. Diam, baginya, adalah bentuk paling kejam dari kesendirian. Maka meskipun tanpa tujuan, langkah-langkah itu menjadi doa yang tak terucap.
Di satu tikungan yang tak ia kenali, ia menemukan sebongkah batu besar. Di atasnya, ada sesuatu yang menggores permukaan kasar batu: sebuah simbol tak dikenal, melingkar seperti spiral, seolah menggambarkan arah yang tak pernah lurus.
Ia menyentuhnya. Dingin. Sangat dingin.
Dan saat itu, ia mendengar suara itu lagi. Lebih jelas. Lebih dekat.
"Apa kau masih mencariku?" suara itu bertanya, namun tak datang dari arah mana pun.
Ia tidak menjawab. Ia tahu suara itu hanya gema dari pikirannya sendiri. Tapi ia juga tahu, terkadang pikiran menyimpan kebenaran yang terlalu menyakitkan untuk diterima.
Ia duduk di atas batu itu. Di sekelilingnya, angin mulai menggila. Pasir yang tak ada tadi tiba-tiba menari di udara. Tapi matanya tetap tenang, karena kekacauan luar tak pernah sebanding dengan badai dalam dirinya.
Ia mengambil satu batu kecil dan melemparkannya ke kejauhan. Tak ada gema. Tak ada pantulan suara. Dunia ini memang tak berniat menjawab.
“Kalau aku berhenti, apa semuanya akan berhenti juga?” gumamnya.
Tidak ada yang menjawab.
Tapi ia tahu: jalan ini tidak butuh jawaban. Hanya keberanian untuk terus menapak.
Dan setiap batu di bawah telapak kakinya, seperti kata-kata yang tak pernah sempat ia ucapkan. Keras, dingin, tak mempan oleh waktu. Tapi menyimpan sesuatu yang lebih jujur dari semua percakapan: rindu. Rindu yang tak tahu harus pulang ke mana.
LANGKAH TANPA NAMA
Bagian 2: Doa yang Tak Sampai
Langit mulai menurunkan kabut tipis. Bukan hujan, bukan juga embun. Hanya tirai abu yang perlahan turun dari langit, menyelimuti batu dan jalan yang tak pernah bergeser. Seperti dunia ini hanya dibuat untuk satu hal: diam.
Perempuan itu bangkit dari duduknya. Ia mengusap telapak tangannya yang mulai kaku. Entah karena dingin, atau karena terlalu lama tidak menggenggam apa pun yang hidup. Dalam genggamannya hanya ada sisa-sisa doa yang tak sampai. Yang dulu ia ucapkan tiap malam, dengan mata sembab dan dada kosong.
"Jika kau masih hidup," bisiknya lirih, “kenapa aku merasa mati setiap hari?”
Langkahnya kembali menyusuri jalan yang sama. Setiap belokan seolah menyerupai belokan sebelumnya. Tak ada perubahan. Tak ada tanda bahwa ia semakin dekat ke tujuan—karena memang tak ada tujuan. Hanya putaran dan pengulangan. Seperti kenangan yang terus diputar tanpa bisa dimatikan.
Lalu di satu titik, ia melihatnya.
Sebuah bangku kayu tua berdiri di tengah jalan, sendirian, seolah menantikan seseorang yang tidak pernah kembali. Di atas bangku itu, tergeletak sebuah buku. Bukan buku biasa, sampulnya dari kulit gelap, dan tercium aroma debu yang terlalu tua untuk diingat.
Perempuan itu ragu. Tapi tangannya bergerak sendiri, membuka halaman pertama.
Tidak ada kata-kata. Hanya coretan tangan, acak, gelisah. Seperti pikiran seseorang yang mencoba bicara namun tak punya bahasa.
Di halaman berikutnya, ia menemukan namanya sendiri. Ditulis dengan tangan gemetar.
Ia menelan ludah. Buku itu seperti mencatat hal-hal yang tak pernah ia bagi kepada siapa pun. Kesepian, kehilangan, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rindu, penyesalan.
Ia membalik halaman terakhir. Di sana, ada secarik kertas yang dilipat rapi.
Dengan hati-hati, ia membuka lipatan itu.
Tulisan tangan itu jelas. Tegas, namun dipenuhi goresan emosional yang tidak bisa disembunyikan:
“Aku tidak pergi karena ingin.
Aku pergi karena dunia di kepalamu terlalu sunyi bahkan untukku yang mencintaimu.”
— R.
Ia memejamkan mata. Dada itu kembali sesak. Bukan karena marah. Bukan karena kehilangan. Tapi karena satu hal yang tidak bisa ia lawan: pengakuan bahwa selama ini, ia menutup pintu bagi siapa pun yang mencoba masuk.
Ia selalu menyalahkan kepergian. Tapi hari ini, ia sadar… kepergian itu adalah akibat dari tembok-tembok yang ia bangun sendiri. Dingin. Diam. Tak bisa ditembus.
Angin kembali berhembus. Tapi kini lebih lembut. Lebih seperti pelukan daripada bisikan. Ia mendongak, dan langit itu… sejenak terlihat biru. Sekilas, hanya sebentar.
Ia berdiri dari bangku dan menatap jalan yang belum ia tapaki. Kali ini, langkahnya terasa berbeda. Masih berat, tapi bukan lagi karena tersesat. Melainkan karena ia membawa beban yang akhirnya bisa ia lihat, dan mungkin, perlahan, bisa ia letakkan.
Di sepanjang jalan, suara-suara mulai muncul. Suara tawa. Suara hujan. Suara langkah kaki kecil di tanah basah. Bukan nyata. Tapi cukup untuk mengisi kekosongan.
Ia menoleh ke belakang, ke jalan panjang yang telah ia lewati.
Tak ada jejak. Tak ada apa-apa.
Seperti semua ini memang bukan tentang sampai ke suatu tempat.
Tapi tentang menerima bahwa beberapa jalan memang harus dilalui sendirian. Tanpa nama. Tanpa arah. Tapi tidak sia-sia.
LANGKAH TANPA NAMA
Bagian 3: Bayang Tanpa Wajah
Jalan di depan mulai berubah. Bukan lagi batu-batu keras dan tanah kering, melainkan hamparan pasir halus yang seolah menyerap setiap langkah menjadi bisu. Di kejauhan, kabut menggantung rendah, membentuk dinding tipis antara kenyataan dan ingatan.
Perempuan itu tahu, ia sedang memasuki tempat yang tak bisa dijelaskan.
Setiap langkah seperti memasuki bagian lain dari dirinya, ruang-ruang yang telah lama terkunci, yang selama ini ia hindari karena takut dengan apa yang mungkin ia temukan di dalamnya.
Lalu, dari balik kabut, muncul bayangan.
Seseorang berdiri di sana.
Tak jelas wajahnya. Hanya siluet tubuh yang dikenalnya, dari cara berdiri, cara memiringkan kepala, bahkan cara tangan itu menggantung di sisi tubuh. Terlalu akrab untuk diabaikan. Terlalu menyakitkan untuk didekati.
Namun langkahnya tak berhenti.
Ia mendekat, perlahan, seolah takut suara detak jantungnya sendiri akan memecah ilusi itu. Dan saat ia hanya berjarak beberapa meter, sosok itu berbicara. Suaranya pelan, namun menggema ke dalam tulang.
“Kau tidak mencariku. Kau mencari bagian dari dirimu yang hilang.”
Ia terdiam. Kata-kata itu menikam lebih tajam dari tuduhan mana pun.
“Aku hanya bayang dari seseorang yang kau biarkan pergi, karena kau terlalu sibuk menunggu dirimu sendiri untuk kembali.”
Ia ingin marah. Tapi tak ada tempat untuk amarah di sini. Yang ada hanya cermin besar dari kenyataan yang ia tolak selama ini.
“Lalu kenapa kau masih di sini?” tanyanya akhirnya, suaranya pecah.
“Karena kau belum memaafkan dirimu.”
Kalimat itu membuat dunia di sekitarnya runtuh perlahan. Kabut mulai memudar. Langit menjadi gelap, bukan karena malam, tapi karena dalam dirinya ada sesuatu yang pecah, melepaskan kesedihan yang selama ini membatu di sudut dada.
Sosok itu tetap berdiri. Tak bergerak. Seolah menunggu sesuatu.
Perempuan itu maju satu langkah.
Ia menatap bayangan itu dalam-dalam. Dan perlahan, wajahnya mulai terlihat. Tapi bukan wajah orang yang ia cintai. Bukan R.
Itu adalah wajahnya sendiri.
Muda, polos, dengan mata yang masih penuh harapan. Wajahnya sebelum dunia menjadi berat. Sebelum ia kehilangan kepercayaan, kehilangan arah, kehilangan keberanian untuk membuka diri.
Ia gemetar.
“Aku lupa...” bisiknya. “Aku lupa siapa aku sebelum semua ini.”
Bayangan itu, yang adalah dirinya sendiri, tersenyum.
“Dan sekarang kau mulai ingat. Itu sudah cukup.”
Perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke lutut. Matanya basah, tapi bukan karena sedih. Ia merasa hangat untuk pertama kali. Seolah seluruh ruang kosong dalam dadanya diisi kembali, bukan oleh orang lain, tapi oleh bagian dirinya yang telah lama ia buang.
Kabut pun lenyap.
Dan dunia berubah lagi.
Di sekelilingnya, bukit kecil menjulang lembut, rerumputan tinggi bergoyang pelan tertiup angin. Langit bukan lagi abu. Ada semburat jingga seperti senja yang malu-malu menampakkan diri.
Ia berdiri, menatap ke cakrawala. Tidak ada lagi bayangan. Tapi juga tidak ada lagi ketakutan.
Langkahnya kembali bergerak.
Kini ia tahu: perjalanan ini bukan untuk menemukan seseorang, melainkan untuk pulang ke dirinya sendiri—versi diri yang pernah ia tinggalkan dalam luka, tapi kini siap ia peluk kembali.
LANGKAH TANPA NAMA
Bagian 4: Rumah yang Tak Bernama
Langkah-langkahnya kini tak lagi berat. Setiap hentakan kaki ke tanah membawa gema baru: bukan kesunyian, tapi semacam harmoni yang samar, seperti dengung doa dari langit yang akhirnya didengar. Atau mungkin, akhirnya diizinkan untuk ia dengarkan.
Ia menyusuri lembah kecil yang belum pernah dilihat sebelumnya. Di tengah hamparan rumput, berdiri sebuah pohon tua. Ranting-rantingnya menjulur ke segala arah seperti lengan yang lelah, tapi tetap terbuka. Daun-daunnya berwarna jingga kemerahan, menandakan musim yang tak bisa diberi nama.
Dan di bawah pohon itu, ada sebuah batu nisan kecil.
Ia terdiam.
Langkahnya tertahan beberapa meter dari sana. Tak ada nama tertulis di nisan itu. Hanya sebentuk ukiran sederhana: lingkaran tak sempurna, seperti bulan sabit yang belum genap. Simbol yang sama seperti yang ia lihat di batu sebelumnya. Spiral tanpa arah.
Ia mendekat, perlahan.
Dan untuk pertama kali, ia duduk bukan karena lelah, tapi karena ingin.
Angin kembali bertiup, membawa aroma yang sangat asing tapi menenangkan. Bukan wangi bunga, bukan bau tanah basah. Lebih seperti bau kenangan yang bersih—seperti tempat yang pernah sangat akrab tapi tak lagi bisa dijangkau.
Ia menunduk, meletakkan telapak tangannya di atas batu nisan itu.
“Aku tidak tahu siapa yang dikubur di sini,” ucapnya pelan. “Tapi aku tahu apa yang dikuburkan.”
Ia menghela napas panjang. “Harapan yang aku abaikan. Rasa bersalah yang aku simpan terlalu lama. Janji-janji yang mati sebelum sempat dilahirkan.”
Diam.
Lalu matanya menatap langit.
Langit itu tidak lagi menggigil. Warna lembut senja mulai membasuh tepinya, seolah dunia juga ikut menerima bahwa tidak semua luka harus dihapus, cukup dipahami.
Ia menutup mata.
Dan dalam keheningan itu, sebuah suara menyapanya dari dalam:
“Kau sudah berjalan cukup jauh. Tapi langkahmu tak sia-sia. Karena setiap tapak mengembalikanmu ke tempat yang paling penting: ke dirimu sendiri.”
Air matanya jatuh. Kali ini tak ditahan. Ia biarkan semuanya mengalir, air mata untuk yang hilang, untuk yang tak sempat ia ucapkan, untuk semua versi dirinya yang ia tinggalkan dalam sunyi.
Saat ia membuka mata, ia melihat sesuatu di bawah batu nisan itu.
Sebuah bunga kecil tumbuh di sela-sela batu. Tidak indah secara luar biasa. Hanya bunga liar, kelopaknya rapuh, warnanya pucat. Tapi ia tahu, bunga itu tidak ada sebelumnya.
Ia tersenyum. Dan untuk pertama kalinya, senyumnya bukan untuk seseorang. Bukan untuk masa lalu. Tapi untuk dirinya sendiri.
Ia bangkit, menyeka wajahnya, dan melanjutkan langkah.
Kini, ia tak peduli apakah jalan itu akan mengarah ke tempat lain atau hanya kembali melingkar. Karena ia tahu: arah bukan tentang tempat, tapi tentang keberanian untuk terus melangkah meski tanpa peta.
Langkah tanpa nama.
Tapi bukan lagi tanpa makna.
TAMAT