Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di dunia ini, langit bukan sekadar langit.
Ia adalah cermin dari hati manusia, satu-satunya hal yang tak bisa disembunyikan.
Sejak lahir, setiap orang memiliki warna langit pribadi, sebuah pantulan perasaan terdalam mereka, yang melayang di atas kepala dan hanya bisa dilihat oleh orang lain.
Langit biru berarti damai.
Langit jingga berarti cinta.
Langit ungu berarti kesedihan.
Dan langit abu-abu… kehilangan.
Tak ada yang bisa berbohong di dunia seperti itu.
Kata-kata bisa disembunyikan, tapi warna langit tidak.
Dimas tumbuh di bawah langit abu-abu.
Sejak kecil, warna itu tak pernah berubah.
Teman-temannya menjauh, beberapa takut, sebagian kasihan.
Namun Dimas tak peduli.
Ia tahu, di dunia ini, langit lebih jujur dari manusia.
Jadi untuk apa berbicara, kalau warna di atas kepalanya sudah berkata segalanya?
Ia hanya ingin melukis langit orang lain.
Karena hanya dengan itu, ia merasa bisa ikut hidup dalam warna yang bukan miliknya sendiri.
Setiap sore, ia duduk di tepi taman kota dengan kanvas dan cat murahan, melukis langit milik orang-orang yang lewat.
Anak kecil dengan langit kuning cerah.
Pasangan yang langitnya menyatu dalam jingga keemasan.
Dan kadang, orang-orang tua dengan langit keperakan yang tenang.
Setiap kali kuasnya menari, ia merasa sedikit lebih hidup. Bukan karena langitnya berubah, tapi karena lewat warna orang lain, ia bisa membayangkan seperti apa rasanya tidak kelabu.
Dimas tak tahu kenapa langitnya selalu abu-abu.
Mungkin karena ia kehilangan seseorang.
Mungkin karena ia belum pernah benar-benar mencintai.
Atau mungkin, seperti yang ia bisikkan pada dirinya sendiri setiap malam,
“karena aku belum menemukan alasan untuk memberi nama pada hidupku.”
Hari itu, hujan turun pelan seperti bisikan rahasia langit.
Tidak deras, tidak juga reda. Hanya cukup untuk membuat dunia tampak seolah melambat.
Jalanan kota menjadi cermin kusam, memantulkan lampu kendaraan seperti serpihan mimpi yang terendam air.
Dimas duduk di bawah atap halte tua, kanvasnya bersandar di lutut, tangannya menggambar tetesan air yang jatuh satu per satu. Menciptakan pola yang tak pernah sama, irama lembut yang hanya bisa dipahami oleh orang yang terbiasa mendengar sepi.
Ia sudah terbiasa dengan kesendirian itu.
Di bawah langit abu-abu miliknya, dunia selalu terasa datar.
Tapi hari itu berbeda.
Karena di antara kabut hujan dan siluet orang-orang yang berlalu cepat, saat itulah ia melihatnya.
Seorang gadis berdiri di seberang jalan, menatap ke langit dengan mata yang kosong tapi damai.
Namun bukan wajahnya yang membuat Dimas berhenti melukis, melainkan langit di atasnya.
Langit tanpa warna.
Bukan abu-abu, bukan biru, bukan putih.
Kosong. Seperti kanvas sebelum disentuh cat.
Dimas menatap, mencoba memastikan penglihatannya tidak salah.
Dorongan aneh muncul di dadanya.
Ia menurunkan kuas, berdiri, dan melangkah menyeberangi jalan yang basah.
Saat jarak di antara mereka tinggal beberapa langkah, Dimas berbicara pelan, hampir berbisik:
“Langitmu… tidak punya warna,” katanya pelan.
Gadis itu menoleh, tersenyum kecil.
“Dan langitmu… terlalu banyak hujan,” katanya sambil menatap ke atas kepala Dimas.
Mereka saling menatap cukup lama untuk membuat waktu berhenti.
Hujan terus turun, tapi suara di sekitar mereka perlahan menghilang.
Yang tersisa hanya dua manusia.
Dua dunia,
Dan dua langit yang saling memantulkan ketidaksempurnaan masing-masing.
“Aku Dimas.”
“Kirana,” jawabnya, masih dengan senyum itu. “Tapi kamu boleh memanggilku siapa saja. Aku belum tahu siapa diriku, jadi nama juga tidak terlalu penting.”
Sejak hari itu, mereka mulai sering bertemu di taman tempat Dimas biasa melukis.
Kirana selalu duduk di sebelahnya, menatap kanvas dengan rasa ingin tahu yang tenang.
“Kenapa kamu selalu melukis langit orang lain?” tanya Kirana suatu hari.
“Karena langitku membosankan.”
“Kalau begitu, lukis langitku.”
Dimas menatapnya heran.
“Langitmu tidak punya warna.”
“Itu justru menarik,” kata Kirana. “Kamu bisa membuatnya seperti apa pun yang kamu mau.”
Dimas diam sejenak, lalu mulai menggoreskan kuas.
Warna-warna lembut mengalir. Biru muda, putih, lalu sedikit jingga.
Ia melukis langit yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Langit tanpa warna… yang perlahan jadi hidup.
Saat lukisan itu selesai, Kirana menatapnya lama.
“Cantik,” bisiknya. “Kalau aku punya langit seperti itu, aku pasti ingin hidup lebih lama di bawahnya.”
Dimas menatapnya aneh.
“Apa maksudmu ‘lebih lama’?”
Kirana hanya tersenyum.
“Kadang, aku merasa waktuku di dunia ini lebih pendek dari orang lain.”
Hari-hari berlalu, dan sesuatu yang aneh mulai terjadi.
Langit Dimas perlahan berubah. Tak lagi sepekat abu-abu.
Ada sedikit warna biru di ujung cakrawala pribadinya.
Sementara langit Kirana, yang dulu kosong, mulai menunjukkan semburat jingga setiap kali ia tertawa.
“Langitmu berubah,” kata Dimas suatu sore.
“Begitu juga langitmu,” balas Kirana.
Mereka tertawa bersama, tapi dalam hati Dimas ada sesuatu yang aneh.
Ia takut.
Takut kalau perubahan itu mempunyai harga yang harus dibayar.
Dan benar saja.
Semakin langit mereka berwarna, Kirana semakin sering batuk, semakin lemah, semakin jarang datang ke taman.
Suatu malam, Dimas pergi ke rumah sakit tempat Kirana dirawat.
Kabut menggantung di udara, lampu-lampu kota buram seperti mata yang menangis.
Ia berlari menyusuri trotoar.
Ketika akhirnya Dimas tiba di depan rumah sakit kota, langkahnya berhenti.
Di atas gedung itu, langit Kirana membentang.
Kosong, seperti dulu pertama kali mereka bertemu.
Kirana terbaring di ranjang putih.
Ia tampak rapuh, tapi masih tersenyum ketika melihat Dimas datang membawa kanvas.
“Kamu melukis lagi?” tanyanya.
“Ya. Kali ini… langitku sendiri.”
Dimas menatap lukisan itu lama sebelum memperlihatkannya.
Langit abu-abu. Tapi di tengahnya, ada satu garis jingga lembut, seperti senja yang malu-malu muncul di balik awan.
Kirana menatapnya, mata berkaca.
“Itu indah sekali.”
Dimas duduk di samping ranjang, menggenggam tangannya erat.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu sakit?”
Gadis itu tertawa pelan.
“Karena kalau aku bilang, kamu pasti akan berhenti melukis. Dan aku nggak mau itu terjadi. Aku suka lihat kamu melukis.”
“Bodoh,” gumam Dimas, menunduk. Air matanya jatuh tanpa izin. “Aku bahkan nggak tahu warna asliku tanpa kamu.”
Kirana menatap langit yang kosong di atasnya.
“Dimas, kamu tahu kenapa langitku nggak punya warna?”
“Kenapa?”
“Karena aku nggak pernah tahu rasanya hidup untuk seseorang.”
Ia menatap Dimas, matanya lembut tapi dalam.
“Tapi sekarang aku tahu. Dan warnanya… jingga.”
Keesokan paginya, langit di atas rumah sakit berubah.
Seluruh kota membicarakannya.
Langit Dimas, yang selalu abu-abu, menjadi biru cerah.
Sementara langit di atas tempat tidur Kirana, yang selama ini kosong, menyala lembut dalam warna jingga senja.
Perawat mengatakan Kirana meninggal dengan tersenyum, menatap langit jendelanya sendiri.
Tidak ada tangisan, tidak ada rasa sakit di wajahnya.
Seolah ia hanya tertidur setelah menuntaskan sesuatu yang penting.
Sementara itu, di luar rumah sakit, Dimas berdiri membeku di bawah langit yang baru.
Biru yang menyilaukan itu membuat matanya pedih, begitu cerah tapi terasa hampa.
Ia menatap kanvas terakhir yang mereka buat bersama.
Dua langit berdampingan.
Satu kosong dengan semburat jingga.
Dan satu abu-abu, dengan sedikit biru di tepinya.
Tetesan cat di antara mereka membaur pelan, tak lagi bisa dibedakan.
Dimas menatap hasil campuran itu lama sekali.
Di benaknya, suara tawa Kirana masih terdengar samar. Tawa yang dulu membuat dunia terasa lebih ringan.
“Kamu tahu nggak, Dim?”
“Apa?”
“Kalau suatu hari nanti aku nggak ada, jangan biarkan langitmu kembali abu-abu, ya?”
Dimas memejamkan mata.
Ia merasakan angin berhembus lembut melewati wajahnya. Seolah langit itu sedang mengelus pipinya pelan, mengucapkan selamat tinggal dengan cara paling halus yang bisa dilakukan alam.
Ketika ia membuka mata lagi, warna di kanvas itu sudah berubah sepenuhnya.
Tak ada lagi batas antara langitnya dan langit Kirana.
Hanya satu hamparan warna campuran biru, abu, dan jingga. Menyatu menjadi satu gradasi hangat.
Dimas tahu, ia tidak akan pernah bisa melukis seperti ini lagi.
Karena warna itu bukan datang dari tangannya, tapi dari dua hati yang pernah saling menatap dengan jujur.
Bertahun-tahun kemudian, di galeri kecil di pinggir kota, orang-orang berdiri di depan satu lukisan yang menjadi karya paling terkenal dari pelukis jalanan bernama Dimas.
Judulnya sederhana:
“Langit yang Tidak Pernah Bernama.”
Lukisan itu memperlihatkan dua langit yang bersentuhan. Satu kehilangan warnanya, satu baru menemukannya.
Di bawah lukisan itu, ada kalimat kecil yang ditulis dengan tangan pelukisnya sendiri, agak miring, tapi penuh perasaan:
“Kita tidak bisa melihat warna langit kita sendiri,
karena warna itu hanya muncul saat ada seseorang yang menatapnya dengan tulus.”
Pengunjung datang dan pergi, tapi selalu ada yang berhenti lama di depan lukisan itu.
Beberapa menangis tanpa tahu kenapa.
Beberapa tersenyum samar, seolah mengenali sesuatu di dalam warna-warna yang lembut itu.
Di sebuah rumah kecil tak jauh dari galeri itu, Dimas duduk di beranda dengan secangkir kopi dan cat yang sudah mengering di jemarinya.
Rambutnya mulai memutih, garis di wajahnya bertambah, tapi matanya masih menatap langit dengan cara yang sama seperti dulu. Penuh rasa ingin tahu dan diam yang dalam.
Di sudut meja kerjanya, tergantung foto kecil dua orang. Seorang gadis berambut hitam dengan senyum samar, dan seorang pemuda yang tampak malu di sebelahnya.
Foto itu sudah pudar, tapi Dimas tak pernah menggantinya.
Karena ia tahu, di suatu tempat yang tak lagi bisa dijangkau, ada seseorang yang langitnya akhirnya punya nama.
Kirana.