Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku pertama kali menyadari ada yang aneh dengan langit di atas rumahku saat kelas dua SMA, pada suatu hari Rabu di pertengahan musim gugur ketika aroma tanah basah mulai merayap di udara bahkan sebelum hujan turun.
Itu bukan kesadaran yang datang tiba-tiba seperti kilat. Lebih mirip tinta yang menetes pelan di atas kertas merang, menyebar tanpa suara, mengubah segalanya secara permanen. Di sekolah, langit adalah kanvas kelabu yang luas dan membosankan, formalitas cuaca yang tak seorang pun pedulikan.
Para siswa sibuk dengan ponsel mereka, guru-guru sibuk dengan kertas-kertas ujian, dan dunia berputar pada porosnya yang dapat diprediksi dengan mudahnya, karena akan selalu seperti itu. Tapi begitu aku melangkah keluar dari gerbang stasiun kereta dan berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah, sesuatu di atmosfer mulai bergeser.
Langkah pertamaku di atas paving halaman rumah adalah batas yang tak terlihat. Di sanalah transformasi itu terjadi. Langit kelabu yang tadi kulihat di sepanjang perjalanan pulang, tiba-tiba meleleh menjadi jingga lembut yang aneh. Bukan jingga matahari terbenam yang biasanya, yang dibagikan kepada seluruh kota. Ini adalah jingga yang terasa personal, intim, seolah matahari memilih untuk tenggelam hanya untukku, di koordinat spesifik atap rumahku. Awan-awan di atasnya tak bergerak. Mereka membeku, menggantung seperti lukisan cat minyak yang belum kering, menunggu seorang kritikus seni datang dan memberinya makna.
Aku berhenti, ransel masih menggantung di satu bahu. Aku mengedipkan mata beberapa kali, berharap ini hanya trik cahaya atau kelelahan mata. Tapi langit itu tetap di sana, menolak untuk menjadi normal. Warnanya begitu dalam, begitu hidup, seolah memiliki detak jantungnya sendiri.
Ibuku keluar dari pintu samping, membawa keranjang jemuran kosong. Ia melewatiku, rambutnya yang diikat seadanya bergoyang sedikit. "Yuto, jangan lupa angkat cucian kering di kamarmu," katanya, suaranya praktis seperti suara latar dalam hidupku. Ia tidak menatap ke atas. Matanya terpaku pada tugas-tugas duniawi. Mungkin memang hanya aku yang bisa melihatnya. Atau mungkin, hanya aku yang cukup peduli untuk melihat.
Sejak sore itu, pukul 17.24, hidupku terbelah menjadi dua: dunia di bawah langit normal, dan dunia di bawah langit rumahku. Aku mulai membuat catatan. Bukan dengan kata-kata, karena kata-kata terasa terlalu kaku untuk menjelaskan fenomena ini. Aku menggunakan buku sketsa besar dan kamera analog Minolta peninggalan ayah. Setiap sore, aku akan duduk di balkon kecil kamarku yang menghadap langsung ke langit yang aneh itu.
Langit di atas rumahku tak pernah sama. Kadang, ia berlapis-lapis seperti kue, dengan lapisan biru tua, ungu pekat, dan merah muda pucat. Di lain waktu, hanya ada satu bintang yang bersinar terang di tengah hari bolong, cahayanya berdenyut lembut seperti mercusuar bagi kapal yang tersesat. Pernah sekali, dan ini yang paling membuatku merinding, langit membentuk siluet wajah seorang perempuan yang tidak kukenal. Wajahnya terbuat dari gumpalan awan, matanya tertutup, ekspresinya damai, seolah sedang tertidur dalam mimpi abadi.
Aku memotretnya dengan panik, menghabiskan satu rol film. Tapi ketika hasil cetaknya jadi seminggu kemudian, yang kulihat hanyalah langit biru kosong yang membosankan. Tak ada wajah, tak ada keanehan. Seolah kamera, sebuah alat objektif, menolak untuk mengakui apa yang kulihat dengan mata subjektifku. Langit itu adalah rahasiaku, atau mungkin halusinasiku.
“Apa kamu baik-baik saja, Yuto?” tanya Pak Suzuki, guru seni kami, ketika ia melihat tumpukan sketsa langitku yang semakin menggunung. Gambar-gambarku tidak lagi realistis. Aku mulai menggunakan warna-warna gila—hijau limau, magenta, emas—untuk mencoba menangkap perasaan yang kualami, bukan sekadar apa yang kulihat.
Aku hanya mengangguk. “Saya baik-baik saja, Pak.”
Aku baik-baik saja. Mungkin. Atau mungkin, aku sedang menunggu sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak tahu apa. Seekor anjing liar berbulu tiga warna yang sering tidur di pagar rumahku, yang kuberi nama Sora, terkadang ikut menatap ke atas bersamaku, matanya menyipit seolah ia mengerti. Tapi ia tak pernah bersuara, hanya diam menemaniku dalam kebingungan ini.
Teman-temanku di kelas bilang aku terlalu pendiam. Mungkin mereka benar. Tapi bukan salahku kalau dunia terasa jauh lebih menarik saat disaksikan dalam diam. Kebisingan percakapan mereka tentang game terbaru atau selebriti yang sedang naik daun terasa seperti siaran radio dari frekuensi yang berbeda, statis dan tidak penting.
Di sekolah, aku hanya benar-benar bicara dengan satu orang: Minami Sato.
Minami duduk di bangku tepat di belakangku. Rambutnya pendek sebahu, dan ia punya kebiasaan menggigiti ujung pulpennya saat sedang berpikir keras. Dia suka membaca novel misteri tebal yang sampulnya sudah lecek, dan sering meminjam pensil 2B-ku tanpa izin, lalu mengembalikannya dengan ujung yang sudah tumpul sempurna. Dia adalah satu-satunya orang yang menyadari obsesiku.
“Kenapa selalu langit?” tanyanya suatu kali, saat kami berjalan pulang bersama menuju stasiun. Suaranya memecah keheningan sore yang nyaman di antara kami.
Aku berpikir sejenak, mencoba merangkai jawaban yang tidak terdengar gila. “Karena… karena langit tidak pernah benar-benar sama, tapi juga tidak pernah benar-benar pergi.”
Minami tertawa kecil, suara tawanya renyah seperti kerupuk beras. “Jawabanmu persis seperti yang akan diucapkan karakter utama dalam film animasi. Tipe yang kesepian, tapi berusaha keras untuk terdengar puitis.”
Aku tidak tersinggung. Mungkin dia benar. “Mungkin hidupku memang sebuah film animasi yang aneh,” balasku pelan.
“Kalau begitu, aku ini apa? Karakter pendukung yang tugasnya memberikan komentar sinis?” guraunya.
“Bukan. Kamu adalah penonton pertama yang menyadari kalau filmnya aneh.”
Percakapan kami seringkali seperti itu. Mengambang di antara candaan dan sesuatu yang lebih dalam. Minami adalah jangkarku ke dunia nyata. Ia tidak pernah menertawakan sketsaku. Sebaliknya, ia akan melihatnya dengan saksama, dahinya berkerut.
“Warna ini… aku belum pernah melihat langit berwarna seperti ini, Yuto,” katanya suatu hari, menunjuk sketsa langit berwarna hijau giok dengan semburat perak.
“Aku juga,” jawabku jujur.
“Apa ini imajinasimu?”
“Bukan. Ini nyata. Tapi hanya di atas rumahku.”
Ia menatapku lama, matanya yang gelap mencoba mencari kebohongan di wajahku. Ia tidak menemukannya. “Kalau begitu, suatu hari nanti aku harus datang ke rumahmu. Untuk membuktikan apakah kamu seorang seniman jenius atau hanya seorang pembohong yang sangat meyakinkan.”
“Datang saja,” kataku. Tapi dalam hati, aku takut. Aku takut jika Minami datang, langit itu akan bersembunyi. Atau lebih buruk lagi, aku takut ia akan melihatnya, dan itu berarti aku tidak sendirian dalam kegilaan ini. Aku tidak tahu mana yang lebih menakutkan.
Suatu sore di hari ke-27 sejak aku mulai mencatat, langit di atas rumahku memecah dua.
Aku tidak melebih-lebihkan. Itu terjadi tepat di hadapanku. Aku sedang duduk di balkon, dengan secangkir teh barley hangat di sampingku, ketika sebuah garis tipis seperti retakan pada kaca muncul di angkasa. Garis itu merambat pelan, tanpa suara, membelah langit menjadi dua bagian yang kontras secara kasar.
Separuh di sisi kiri masihlah langit jingga matahari terbenam yang nampak akrab, hangat dan menenangkan. Namun separuh di sisi kanan adalah malam pekat yang seharusnya baru datang beberapa jam lagi. Malam yang penuh bintang berkelip, dengan nebula ungu samar yang berputar lambat seperti galaksi mini. Perbatasan di antara keduanya begitu tajam, begitu muskil, seolah seseorang menggunakan pisau bedah raksasa untuk memisahkan siang dan malam.
Jantungku berdebar kencang. Ini bukan lagi sekadar perubahan warna. Ini adalah pelanggaran hukum fisika yang paling fundamental. Aku panik. Tanganku gemetar saat meraih kamera Minolta-ku. Aku mengarahkan lensanya ke atas dan mulai memotret, jari-jariku menekan tombol shutter berulang kali, menciptakan suara klik-klak yang terdengar begitu kecil di hadapan keagungan yang mengerikan itu.
Aku tidak hanya memotret. Entah dorongan dari mana, aku menekan tombol rekam suara pada tape recorder kecil yang juga peninggalan ayah. Aku ingin menangkap keheningan yang aneh dari fenomena ini.
Malam itu, setelah langit kembali normal—seolah tidak terjadi apa-apa—aku mengurung diri di kamar. Aku memutar kembali kaset dari tape recorder itu, mengenakan headphone untuk mendengar lebih jelas. Awalnya hanya ada suara desau angin yang biasa dan napasku yang terengah-engah. Aku hampir menyerah, menganggapnya sebagai usaha yang sia-sia.
Lalu aku mendengarnya.
Di antara desau angin, ada suara lain. Sangat pelan, rapuh, seperti gaung dari tempat yang sangat jauh. Itu suara seorang perempuan.
“Halo…? Apa kau… bisa melihatku?”
Aku menekan tombol stop. Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku memutar ulang bagian itu. Lagi. Dan lagi. Setiap kali, suara itu tetap ada. Jelas, namun tak terjangkau. Suaranya bukan seperti diucapkan, melainkan seperti ditulis di udara dengan tinta yang tak terlihat, lalu dibacakan kembali oleh gema waktu. Ada nada kerinduan yang mendalam di dalamnya, sebuah pertanyaan yang lebih terasa seperti permohonan.
Malam itu aku tidak tidur. Aku menyalin rekaman suara itu ke dalam sebuah kaset kosong yang baru. Aku memutarnya berulang-ulang sampai pita kasetnya terasa hangat. Suara itu menjadi lagu pengantar tidurku yang paling aneh.
Dan entah kenapa, keesokan harinya, langit di atasku tetap terbelah dua. Seolah ia menunggu jawabanku.
Hari ke-34 sejak langit mulai berubah. Langit yang terbelah itu menjadi pemandangan sehari-hari. Aku mulai terbiasa dengannya, sebuah fakta absurd yang menjadi bagian dari rutinitas. Tapi suara di kaset itu terus menghantuiku. “Apa kau bisa melihatku?”
Aku harus menjawab.
Malam itu, aku tidak hanya duduk di balkon. Aku naik ke atap rumah. Aku memanjat melalui jendela kamar mandi, menjejakkan kaki dengan hati-hati di atas genteng yang dingin. Angin malam terasa lebih kencang di sini. Aku duduk di puncak atap, memeluk lututku, dengan tape recorder di sisiku.
Aku menunggu. Satu jam. Dua jam. Bintang-bintang di separuh langit malam tampak begitu dekat, seolah aku bisa menggapainya jika aku mau. Sora, si anjing, entah bagaimana berhasil menyusulku, duduk diam beberapa meter dariku, ekornya bergerak-gerak pelan.
“Menurutmu apa yang harus kulakukan, Sora?” bisikku pada anjing itu. Ia hanya melompat-lompat sambil mengibaskan ekornya sebagai jawaban.
Tepat saat jam di ponselku menunjukkan pukul 23:11, sesuatu terjadi. Retakan di langit itu mulai bersinar. Bukan cahaya yang menyilaukan, tapi cahaya lembut seperti kunang-kunang yang berkumpul. Dari celah yang bersinar itu, sesuatu turun.
Bukan jatuh. Lebih seperti melayang turun dengan anggun, seperti sehelai daun maple di musim gugur. Sosok seorang perempuan.
Rambutnya panjang dan hitam legam, berkibar pelan ditiup angin yang sepertinya hanya ada di sekelilingnya. Ia mengenakan seragam SMA—kemeja putih, dasi pita merah, dan rok biru tua—tapi seragam itu bukan dari sekolah mana pun yang pernah kukenal di kota ini. Wajahnya… wajahnya terasa akrab dengan cara yang aneh dan menyakitkan. Seperti seseorang dari mimpi yang terlupakan. Matanya bening bagaikan permukaan danau setelah hujan reda, memantulkan cahaya bintang dari separuh langit.
Ia mendarat di atap, beberapa langkah di depanku, tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
“Yuto,” katanya. Suaranya adalah suara yang sama persis dengan yang ada di rekamanku. Jernih, nyata, dan penuh dengan kesedihan yang tak terhingga.
Aku terpaku, lidahku kelu. Udara di sekitarku terasa berat. “Kamu… siapa?” hanya itu yang berhasil keluar dari mulutku, terdengar seperti bisikan.
“Namaku Airi.”
“Kenapa… bagaimana kamu bisa… dari langit?” tanyaku, kalimatku terbata-bata.
Ia menunduk sejenak, menatap genteng di bawah kakinya seolah di sanalah semua jawaban tersimpan. “Karena aku masih mencarimu,” jawabnya pelan.
Aku menunjuk diriku sendiri dengan bingung. “Tapi aku ada di sini. Aku tidak ke mana-mana.”
Airi mengangkat wajahnya, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum. Senyumnya tipis, rapuh, dan mungkin merupakan hal paling menyedihkan yang pernah kulihat. “Ya,” katanya. “Kamu ada di sini. Di dunia ini.”
Namanya Airi. Dan ceritanya, seperti langit di atasku, tidak masuk akal namun terasa benar.
Dia datang dari waktu yang lain. Atau lebih tepatnya, dari dunia percabangan, sebuah realitas paralel yang lahir dari satu momen tragis. Dunia di mana aku—versi diriku yang lain—mati dalam kecelakaan sepeda motor lima tahun yang lalu, dalam perjalanan pulang dari les tambahan. Di dunianya, aku tidak pernah sempat masuk SMA. Aku tidak pernah belajar menggambar langit. Aku tidak pernah mengenal nama Minami. Aku hanyalah sebuah foto hitam-putih di atas altar kecil di rumah orang tuaku.
“Di duniaku, setelah kau pergi… semuanya menjadi sedikit lebih abu-abu,” Airi menjelaskan, suaranya bergetar. Kami masih duduk di atap, sementara Sora tertidur di pangkuanku. “Aku terus mengingatmu. Bukan hanya kenangan besar, tapi hal-hal kecil. Caramu tertawa saat melihat film komedi yang payah. Kebiasaanmu menyusun pensil berdasarkan panjangnya. Semua detail tidak penting itu…”
Ia berhenti sejenak, menatap langit yang terbelah. “Kenangan itu begitu kuat, Yuto. Perasaan kehilangan itu begitu pekat. Kurasa… kurasa perasaan itu butuh tempat untuk pergi. Dan ia menemukan langit.”
Menurut teorinya yang puitis dan mustahil, langit tak sekadar lapisan atmosfer. Ia adalah semacam medium emosional universal. Tempat di mana perasaan-perasaan yang paling kuat—cinta, duka, kerinduan—tersimpan setelah pemiliknya pergi. Kenangan yang terlalu kuat untuk mati begitu saja.
“Kenangan dan perasaanku tentangmu, tentang versi dirimu yang hilang, tertinggal di sana,” lanjutnya, menunjuk ke angkasa. “Dan entah bagaimana, langit di duniamu menangkap sinyal itu. Gema itu. Mungkin karena kau masih hidup di sini. Kau adalah anomali yang menarik semua sisa-sisa perasaan itu ke satu titik: tepat di atas rumahmu.”
Langit di atasku adalah sebuah monumen. Sebuah tugu peringatan yang terbuat dari awan dan cahaya, dibangun oleh kesedihan seorang gadis dari dunia lain. Wajah di awan yang kulihat adalah wajahnya, yang tanpa sadar kupanggil dalam sketsaku. Suara di rekaman adalah suaranya, yang melintasi dimensi untuk bertanya apakah ada yang masih bisa ‘melihat’-nya, merasakan kehadirannya.
“Jadi… kau nyata?” tanyaku bodoh.
“Aku nyata di duniaku. Di sini…” ia memandang tangannya sendiri yang tampak sedikit transparan di bawah cahaya bulan, “…aku hanyalah dengung yang cukup kuat untuk mengambil wujud sementara.”
Aku menatapnya, lalu menatap langit yang terbelah. Semuanya terasa seperti mimpi. Mimpi yang absurd, melankolis, dan indah dengan caranya sendiri. Aku, seorang anak laki-laki pendiam yang menggambar langit, ternyata adalah pusat dari sebuah drama kosmik tentang cinta dan kehilangan.
“Lalu… apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanyaku.
Airi menatapku, matanya yang seperti danau itu kini berkaca-kaca. “Aku tidak tahu,” bisiknya. “Aku hanya ingin melihatmu. Sekali lagi. Untuk memastikan kau baik-baik saja.”
Di bawah langit yang terbelah antara siang dan malam, di antara dua dunia, aku duduk bersama hantu dari kenangan seorang gadis yang mencintai versi diriku yang lain. Dan untuk pertama kalinya, langit yang aneh di atasku tidak lagi terasa mengerikan. Ia terasa seperti sebuah surat cinta yang sangat, sangat panjang, yang akhirnya sampai ke alamat yang benar.
Airi tidak bisa jauh dari atap rumahku. Ia menjelaskannya dengan metafora yang terasa terlalu pas untuk dunia kami yang terbelah: tubuhnya adalah benang layangan yang talinya tersangkut di antara dua waktu, dan rumahku adalah tangan yang menahannya agar tidak terbang lepas ke ketiadaan. Jika ia melangkah terlalu jauh dari zona anomali ini—radius seratus meter dari titik di mana langit pertama kali terbelah untukku—ia bilang ia akan mulai lenyap seperti uap dari secangkir teh panas di hari yang dingin. Eksistensinya terikat oleh geografi emosional.
Maka, aku menyembunyikannya.
Pilihanku jatuh pada kamar loteng. Ruangan itu terlupakan, berdebu, dan berbau kayu lapuk serta kenangan tua. Tempat paling tinggi di rumah, titik terdekat dengan langit yang menjadi jangkarnya. Aku membersihkannya seorang diri, memindahkan tumpukan majalah lama milik ayah dan kotak-kotak berisi album foto yang sampulnya sudah menguning. Aku membentangkan kasur lipat di sudut, di bawah satu-satunya jendela bulat kecil yang menghadap langsung ke angkasa. Loteng itu menjadi dunianya, sebuah pulau terpencil di puncak rumahku.
Kehidupan kami mengendap dalam sebuah ritme yang aneh dan rahasia. Pagi hari, sebelum ibu bangun, aku akan menyelinap ke atas membawa nampan berisi sarapan sederhana—roti panggang dengan selai stroberi dan segelas susu. Malam hari, aku akan membawakannya makan malam, seringkali kami makan bersama dalam diam, duduk di lantai kayu yang dingin, diterangi cahaya remang dari lampu meja. Ia makan dengan piring kertas dan minum dari gelas plastik, seolah untuk menegaskan betapa sementaranya kehadirannya di dunia ini.
Anjingku, Sora, tampaknya memahami situasi ini lebih baik dariku. Ia akan sering menyelinap ke loteng dan tidur di kaki kasur Airi, mendengkur puas seolah ia telah menemukan pemiliknya yang hilang.
“Dia tidak takut padamu,” kataku suatu sore, sambil memperhatikan Sora yang meringkuk nyaman di dekat Airi.
“Hewan tidak peduli pada hukum fisika,” jawab Airi lembut, tangannya mengelus bulu si anjing. “Mereka hanya peduli pada kehangatan.”
Airi mengisi hari-harinya dengan hal-hal yang sunyi. Ia membaca tumpukan novel-novelku, dari fiksi ilmiah hingga misteri detektif, seolah mencoba memahami dunia yang bukan miliknya melalui cerita-cerita rekaan. Ia sering memutar ulang kaset berisi rekaman suaranya sendiri, yang kini terasa seperti artefak dari pertemuan pertama kami. Ia akan memejamkan mata, mendengarkan dengan saksama.
“Aneh sekali mendengar suaraku sendiri dari duniamu,” bisiknya suatu kali. “Terdengar seperti mimpi yang coba diingat-ingat.”
“Bagiku, suaramu memang terdengar seperti itu,” kataku.
“Mungkin karena aku memang hanya mimpi yang tertinggal,” balasnya, tanpa sedikit pun nada mengasihani diri. Itu hanyalah sebuah fakta baginya.
Ia hampir tidak pernah bertanya tentang dunia ini—tentang teknologi, berita, atau gosip sekolah. Seolah semua itu asing. Satu-satunya hal yang membuatnya tertarik adalah aku. Ia ingin tahu segalanya tentang versi diriku yang berhasil tumbuh dewasa. Apa mimpiku? Apa ketakutanku? Siapa saja temanku?
“Jadi, gadis bernama Minami ini… dia spesial?” tanyanya suatu sore, setelah aku bercerita tentang bagaimana Minami hampir memergokiku membeli dua porsi takoyaki sepulang sekolah.
Aku merasakan pipiku sedikit hangat. “Dia hanya teman. Satu-satunya yang cukup aneh untuk mau bicara denganku.”
“Di duniaku,” Airi berkata pelan, matanya menerawang ke luar jendela bulat, “kau dulu sering bercerita tentang seorang gadis di SMP. Katanya dia punya tawa yang paling menyebalkan sekaligus paling kau suka. Apa itu dia?”
Aku terdiam. Aku bahkan hampir lupa pada kenangan itu. Ya, itu Minami. Sebelum kami berada di SMA yang sama, kami sudah saling mengenal. “Aku tidak tahu kau masih mengingatnya.”
“Aku mengingat semuanya,” kata Airi. Dan dalam kalimat singkat itu, terkandung beban rindu selama lima tahun dari dunia yang berbeda.
Waktu kami habiskan dengan membuat origami dari lembaran kalender bekas, menciptakan seratus burung bangau kertas dengan harapan absurd bahwa itu bisa memperbaiki sesuatu. Kami menggambar awan di buku sketsa yang sama, pastelku dan pastelnya menciptakan langit kolaboratif yang tidak akan pernah ada. Itu bukanlah cinta yang berapi-api. Itu adalah sesuatu yang lebih halus, lebih sunyi. Seperti dua planet yang seharusnya tidak pernah bertemu, tapi kini mengorbit satu sama lain dalam sistem tata surya yang rahasia, tahu bahwa suatu hari salah satunya harus terlempar keluar.
Minami Sato, dengan intuisinya yang setajam tokoh detektif dalam novel-novel yang dibacanya, mulai curiga.
Kecurigaannya tidak datang dalam satu tuduhan besar, melainkan dalam serangkaian observasi kecil yang ia kumpulkan seperti bukti di tempat kejadian perkara.
“Nilaimu di ujian fisika terakhir turun,” katanya saat kami makan siang di atap sekolah. “Biasanya kau dapat nilai sempurna.”
“Aku hanya kurang tidur,” elakku
Beberapa hari kemudian, saat kami berjalan menuju stasiun. “Kamu makin aneh, Yuto. Kau selalu pulang cepat, tidak pernah membalas pesan setelah lewat jam lima sore, dan matamu… matamu punya tatapan seperti orang yang baru saja bertemu hantu.”
Aku hampir saja menjawab, “Karena aku memang baru saja bertemu hantu.” Tapi aku menelan kata-kata itu kembali bersama dengan onigiri-ku.
“Hanya banyak pikiran,” jawabku lagi, sebuah kalimat klise yang tak memuaskan siapa pun.
Minami menatapku tajam. “Pikiran, atau seseorang?”
Puncaknya terjadi pada suatu Jumat sore yang muram. Hujan baru saja reda, menyisakan bau aspal basah dan langit berwarna abu-abu seperti beton. Aku mencoba bergegas pulang, tapi Minami mencegatku di gerbang sekolah.
“Aku mau ikut ke rumahmu,” katanya, bukan sebagai permintaan, tapi sebagai pernyataan.
“Untuk apa? Rumahku berantakan,” aku mencoba mencari alasan.
“Aku tidak peduli. Aku hanya ingin memastikan kau tidak membangun laboratorium aneh di kamarmu atau semacamnya,” guraunya, tapi matanya serius. “Kau aneh, Yuto. Dan sebagai temanmu, adalah tugasku untuk mencari tahu seberapa aneh.”
Aku tidak bisa menolaknya. Sepanjang perjalanan di kereta, jantungku berdebar tak karuan. Aku mengirim pesan singkat ke ponsel lamaku yang kutinggalkan di loteng untuk Airi: “Jangan bersuara. Ada teman datang.” Sebuah tindakan putus asa yang bodoh.
Saat kami tiba di depan rumahku, langit di atasnya, yang biasanya berwarna mustahil, hari ini tampak normal. Abu-abu dan membosankan, seolah ia ikut bersembunyi. Seolah ia tahu rahasianya dalam bahaya.
Kami masuk. Ibuku sedang tidak di rumah. Suasananya sepi.
“Jadi, di mana laboratorium rahasiamu?” tanya Minami, mencoba mencairkan suasana yang tegang.
“Di kepalaku,” jawabku singkat, sambil membuatkannya teh di dapur.
Saat aku kembali ke ruang tamu, aku melihat Minami berdiri mematung di bawah tangga, matanya menatap ke arah langit-langit, tepat di bawah posisi loteng.
“Aku dengar sesuatu,” bisiknya.
“Itu hanya suara tikus,” kataku cepat, terlalu cepat.
“Bukan. Itu suara perempuan,” tegas Minami, matanya menyipit. “Seperti… bersenandung.”
Darahku seolah membeku. Aku teringat Airi punya kebiasaan bersenandung pelan saat ia membaca. Aku panik. Dari sudut mataku, aku melihat ke luar jendela. Langit yang tadinya abu-abu biasa, kini berubah menjadi abu-abu pekat yang mengancam, seperti air yang dikotori tinta hitam. Awan bergerak dengan cepat, berputar-putar gelisah tepat di atas atap rumahku.
“Tidak ada siapa-siapa di atas,” kataku, suaraku lebih tegas dari yang kuduga. Aku berjalan ke arah jendela dan dengan sengaja menutup tirainya. “Mungkin itu hanya suara dari televisi tetangga.”
Minami menatapku lama, tatapannya bergantian antara wajahku yang pucat dan langit-langit. Ia tahu aku berbohong. Dan aku tahu dia tahu. Sebuah jurang kecil tercipta di antara kami saat itu, diisi oleh rahasia yang tidak bisa kubagi.
“Baiklah,” katanya akhirnya, nadanya datar. “Aku harus pulang.”
Ia bahkan tidak menyentuh tehnya.
Malam itu, setelah Minami pergi, aku naik ke loteng. Airi sedang duduk di tepi kasur, memeluk lututnya. Wujudnya tampak sedikit transparan, seperti sinyal televisi yang terganggu oleh badai.
“Maaf,” bisikku.
“Tidak apa-apa,” jawabnya. “Dia hanya khawatir padamu.” Ia menatapku, matanya yang bening tampak sedih. “Pasti sulit, hidup di antara dua dunia.”
Ya, sangat sulit. Dan aku merasa, sebentar lagi aku harus memilih salah satunya.
Hari ke-43. Airi mulai rapuh.
Kerapuhannya tidak datang tiba-tiba. Ia merayap masuk ke dalam eksistensinya seperti retakan halus pada porselen. Kulitnya yang biasanya pucat kini menjadi semakin transparan, terutama di bagian tepi jari-jarinya. Terkadang, jika cahaya dari jendela menerpanya dengan sudut yang tepat, aku bisa melihat menembus dirinya, melihat pola kayu di dinding loteng. Napasnya menjadi seringan kepakan sayap kupu-kupu, hampir tak terdengar.
Suatu pagi, aku membawakannya sarapan. Ia mencoba meraih cangkir teh yang kusodorkan, tapi tangannya melewati cangkir itu begitu saja, seolah tangannya terbuat dari asap. Cangkir itu jatuh ke lantai dengan suara pecah yang memekakkan telinga di keheningan loteng. Kami berdua menatap pecahan keramik dan genangan teh di lantai, terdiam. Itulah pertama kalinya kami tidak bisa lagi menyangkal apa yang sedang terjadi.
“Aku rasa… waktuku hampir habis,” katanya malam itu. Suaranya terdengar jauh, meski ia duduk tepat di hadapanku.
“Tidak,” balasku cepat, nadaku penuh penyangkalan. “Tidak. Tetap di sini. Aku akan cari cara. Pasti ada caranya.”
Aku menggenggam tangannya. Rasanya dingin. Bukan dingin karena suhu, tapi dingin seperti kabut pagi yang tidak memiliki kehangatan sendiri. Dingin yang hampa.
Airi menggeleng pelan, senyum sedih terukir di bibirnya yang pucat. “Dunia ini tidak dirancang untuk menampung paradoks, Yuto. Kehadiranku di sini, dan kehadiranmu yang masih hidup… ini adalah sebuah kesalahan kosmik. Sebuah anomali. Cepat atau lambat, alam semesta akan menyeimbangkan dirinya sendiri. Langit akan menutup celah itu.”
“Aku tidak peduli dengan alam semesta!” suaraku meninggi, sarat dengan keputusasaan. “Aku tidak peduli dunia mana yang benar atau mana yang salah. Aku hanya… aku hanya tidak mau kehilanganmu.”
Ini adalah pengakuan yang paling jujur dan paling menyakitkan yang pernah kuucapkan. Aku tidak sedang berbicara pada hantu dari masa lalu atau gaung dari dunia lain. Aku berbicara pada Airi, gadis yang membuat origami bersamaku, yang memahami sketsa langitku tanpa perlu penjelasan.
Airi menatapku lama sekali. Tatapannya menembus diriku, seolah ia sedang melihat dua Yuto sekaligus: aku yang ada di sini, dan bocah laki-laki yang telah tiada di dunianya.
“Di duniaku,” ia memulai, suaranya bergetar, “setelah kau pergi, semuanya berhenti. Ibumu tidak pernah tersenyum lagi dengan cara yang sama. Ayahmu menjual semua koleksi musiknya. Teman-temanmu… mereka tumbuh dewasa dengan lubang di hati mereka. Kepergianmu meninggalkan bekas luka yang tidak pernah sembuh.”
Ia mengulurkan tangannya yang tembus pandang, menyentuh pipiku. Aku hampir tidak bisa merasakannya, lebih seperti hembusan angin dingin.
“Aku ingin kamu hidup, Yuto,” lanjutnya. “Aku ingin kamu merasakan semua hal yang tidak bisa dirasakan olehnya. Lulus SMA, masuk universitas, jatuh cinta, membuat kesalahan, menjadi tua. Aku ingin setidaknya satu versi dirimu mendapatkan akhir yang bahagia. Bahkan… bahkan jika itu berarti aku harus berhenti ada untuk selamanya.”
Air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Di hadapan pengorbanan sebesar itu, argumenku yang egois terasa begitu kecil dan tidak berarti.
Malam terakhir datang tanpa peringatan, seperti gemuruh yang ditelan oleh kesunyian yang pekat.
Aku tahu itu malam terakhir karena langit di atas rumahku memberitahuku. Aku sedang duduk di balkon, ketika celah yang biasanya hanya berupa garis tipis, mulai melebar. Ia terbuka seperti mulut luka yang tidak bisa dijahit lagi, menganga lebar dan menakutkan. Dari celah itu, tumpah cahaya yang belum pernah kulihat sebelumnya—cahaya hijau aurora, ungu nebula, dan emas dari bintang-bintang yang tak kukenal. Angin bertiup kencang, membawa aroma aneh seperti ozon setelah badai petir dan wangi bunga yang tidak tumbuh di dunia ini.
Aku berlari ke loteng. Airi sudah berdiri di sana, di bawah jendela bulat, dimandikan oleh cahaya dari dunianya. Ia tidak lagi transparan. Untuk saat ini, ia tampak padat dan nyata, lebih nyata dari apa pun di sekitarku.
“Sudah waktunya,” katanya, suaranya tenang.
“Yuto,” panggilnya lagi, memaksaku untuk menatap matanya. “Besok, atau lusa, atau kapan pun kau siap, jika kau menggambar langit ini lagi… jangan masukkan aku ke dalamnya. Gambarlah langit yang kosong. Biarkan aku benar-benar pergi. Berjanjilah padaku.”
Aku ingin bilang tidak. Aku ingin berteriak. Aku ingin berlari ke atap dan memohon pada langit yang kejam itu. Aku ingin mengurung waktu di dalam stoples dan menyembunyikannya di bawah tempat tidurku.
Tapi aku tidak melakukan semua itu. Mulutku terkunci oleh kesedihan. Yang bisa kulakukan hanyalah berjalan ke arahnya. Aku tidak tahu apakah aku bisa menyentuhnya, tapi aku tetap mencoba.
Aku memeluknya.
Dan untuk satu detik yang singkat dan abadi, ia terasa nyata. Padat. Hangat. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang samar di dadaku, atau mungkin itu hanya detak jantungku sendiri yang menggema. Aku bisa mencium aroma rambutnya, wangi seperti hujan musim panas. Untuk satu detik itu, rasanya kami benar-benar ada di dunia yang sama, di waktu yang sama.
Lalu, seperti yang selalu ia katakan, ia lenyap.
Ia tidak menghilang dengan kilatan cahaya atau suara dramatis. Ia hanya… tiada. Satu saat ia ada di dalam pelukanku, saat berikutnya yang kupeluk hanyalah udara malam yang dingin. Kehangatannya memudar dari pakaianku. Cahaya dari celah di langit meredup, dan celah itu menutup dengan perlahan, seperti kelopak mata yang mengantuk.
Ia lenyap seperti kabut yang tak pernah sempat disapa oleh matahari pagi.
Di loteng yang kembali sunyi dan kosong, hanya ada aku dan seekor anjing yang menatap bingung ke tempat di mana Airi tadinya berdiri.
Hari-hari setelah kepergian Airi terasa seperti film dengan warna yang telah disedot habis. Semuanya menjadi monokrom dan hampa. Langit di atas rumahku kembali menjadi normal yang menyakitkan. Biru saat cerah, abu-abu saat mendung. Terlalu biasa. Terlalu membosankan. Aku membencinya karena kenormalannya.
Aku berhenti menggambar. Buku sketsaku tergeletak di meja, tertutup debu. Kamera analog Minolta kusimpan kembali di dalam kotaknya di bawah tempat tidur. Aku berhenti naik ke loteng. Pintu menuju ke sana kututup rapat, seolah dengan begitu aku bisa mengunci kenangan di dalamnya.
Minami mencoba bicara padaku. “Kau terlihat lebih baik,” katanya suatu hari, sebuah ironi yang menyakitkan. “Tapi juga… lebih kosong.” Aku hanya tersenyum tipis. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa aku berduka untuk seseorang yang secara teknis tidak pernah ada?
Waktu berjalan tanpa ampun, menyeretku menjauh dari malam itu. Seminggu. Sebulan. Setahun.
Sampai hari ini. Tepat satu tahun kemudian.
Aku pulang sekolah seperti biasa. Kereta, jalan setapak, gerbang rumah. Aku sudah berhenti berharap, sudah berhenti melihat ke atas. Tapi saat langkahku menjejak paving halaman, sebuah perasaan yang akrab menyergapku. Sebuah perubahan di atmosfer. Dengan ragu, aku mengangkat kepala.
Langit di atas rumahku berubah lagi.
Warna jingga yang lembut dan tidak lazim, seperti kenangan hangat, membentang di angkasa. Dan di sana, di antara awan-awan tipis, satu bintang bersinar terang di tengah sore. Aku menahan napas. Lalu aku melihatnya. Siluet samar dari wajah seorang gadis. Bukan gambar yang jelas, lebih seperti jejak yang ditinggalkan, sebuah gema visual. Wajah itu tersenyum—senyum yang kukenal baik, senyum yang rapuh dan sedih dan indah—sebelum perlahan memudar dan menyatu kembali dengan awan.
Aku tidak tahu apakah itu nyata. Mungkin hanya imajinasiku. Mungkin hanya mataku yang lelah. Atau mungkin, itu adalah bukti bahwa kenangan, sama seperti energi, tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan. Ia hanya berubah bentuk. Kenangan yang menolak untuk benar-benar mati.
Aku berdiri di sana untuk waktu yang lama, membiarkan angin sore meniup rambutku. Lalu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku masuk ke dalam rumah, naik ke kamarku, dan membuka buku sketsaku yang berdebu.
Aku mengambil pensil pastelku, dan aku mulai menggambar langit lagi. Aku belum tahu apakah aku akan menepati janjiku.
Setelah langit di atas rumahku menyala kembali tepat setahun setelah kepergian Airi, aku mulai memahami sesuatu tentang waktu. Para guru di sekolah mengajarkannya sebagai sebuah garis lurus yang membentang dari masa lalu ke masa depan, sebuah jalan satu arah yang tak bisa diulang. Mereka salah. Waktu lebih mirip sungai. Ia memang mengalir ke satu arah, tapi terkadang, di tikungan tertentu, ia menciptakan pusaran air yang membuat daun-daun yang jatuh berputar di tempat yang sama untuk sesaat, mengenang titik di mana mereka menyentuh permukaan air sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan.
Rumahku adalah salah satu dari pusaran air itu.
Setiap tahun, di tanggal yang sama, pada pukul 17.24, langit di atas atap rumahku akan berhenti menjadi biasa. Fenomena itu menjadi ritual sunyi, sebuah hari peringatan yang hanya diketahui olehku dan alam semesta. Langit tidak lagi terbelah menjadi dua atau membentuk wajah yang jelas. Keajaibannya menjadi lebih halus, lebih personal, seolah ia tahu aku sudah mengerti bahasanya.
Pada peringatan tahun kedua, langit senja diwarnai oleh semburat hijau pucat yang tak masuk akal, dan selama beberapa menit, turun hujan gerimis yang beraroma seperti bunga melati, meskipun tidak ada satu pun awan hujan di angkasa. Aku duduk di balkon, tidak lagi dengan kamera atau buku sketsa, hanya dengan dua cangkir teh barley hangat. Satu untukku, satu lagi untuk udara kosong di sampingku.
Pada peringatan tahun keempat, tidak ada perubahan warna yang dramatis. Langit tampak normal, tetapi dari angkasa terdengar alunan musik yang sangat samar, seperti suara kotak musik yang diputar dari jarak yang sangat jauh, memainkan melodi yang belum pernah kudengar namun terasa dekat. Aku memejamkan mata, dan aku bisa membayangkannya di sana, di loteng, bersenandung pelan mengikuti irama itu.
Aku berhenti mencoba menangkap atau membuktikannya. Kamera analog Minolta-ku tetap tersimpan di dalam kotaknya di bawah tempat tidur, menjadi kapsul waktu dari sebuah musim panas yang aneh. Aku mengerti sekarang. Kehadiran Airi, dan langit yang menjadi mediumnya, bukanlah sebuah teka-teki yang perlu dipecahkan. Itu adalah puisi yang hanya perlu dirasakan. Tidak semua hal harus dibuktikan untuk bisa dipercaya, terutama hal-hal yang berkaitan dengan hati.
Ibuku, yang tidak pernah sekali pun mengomentari langit di atas rumah kami, suatu hari di peringatan tahun kelima, menepuk pundakku saat aku berdiri di halaman menatap ke atas. Langit saat itu dihiasi oleh awan-awan tipis yang bergerak membentuk spiral yang lambat.
"Ayahmu juga suka sekali menatap langit dari sini," katanya pelan. "Dia bilang, langit di atas rumah ini punya cerita yang berbeda."
Aku menoleh padanya, terkejut. "Ayah bilang begitu?"
Ibuku tersenyum tipis, senyum yang jarang kulihat. "Iya. Dia tidak pernah menjelaskannya. Tapi terkadang, aku merasa dia sedang mendengarkan sesuatu yang tidak bisa didengar orang lain."
Mungkin, aku tidak pernah sendirian dalam kegilaan ini sejak awal.
Waktu di SMA terasa cepat sekaligus lambat tanpa kehadiran Airi. Minami masih duduk di bangku di belakangku, masih meminjam pensilku, dan masih membaca novel-novel misterinya. Ia tidak pernah lagi bertanya tentang suara di loteng atau malam ketika ia datang ke rumahku. Ia seolah mengubur insiden itu dalam-dalam, memberiku ruang untuk bernapas. Tapi aku tahu, ia tidak melupakannya.
Keheningan di antara kami tentang topik itu bukanlah keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang penuh pengertian. Seperti dua orang yang sama-sama menyaksikan sebuah bintang jatuh, mereka tidak perlu membahasnya untuk tahu bahwa momen itu spesial dan nyata.
Menjelang kelulusan, saat bunga sakura mulai berguguran dan udara dipenuhi oleh perasaan akan sebuah akhir dan awal yang baru, kami duduk berdua di tepi lapangan sekolah setelah semua orang pulang.
"Jadi, apa rencanamu setelah ini, Yuto?" tanya Minami, sambil melempar kerikil kecil ke lapangan berpasir. "Tetap akan menggambar langit?"
"Mungkin," jawabku. "Aku mendaftar ke universitas seni di Tokyo. Jurusan desain arsitektur. Aku berpikir… mungkin aku bisa merancang bangunan yang memiliki langitnya sendiri."
Minami tertawa kecil, suara yang selalu berhasil membuatku merasa lebih ringan. "Itu jawaban yang sangat Yuto sekali. Selalu ada langit dalam semua pemikiranmu."
Kami terdiam sejenak, membiarkan angin sore meniup helai-helai rambut kami.
Lalu, dengan suara yang lebih pelan, ia menatap ke luar jendela kelas yang terbuka, ke arah langit biru yang mulai memudar. "Kau tahu," katanya, seolah bicara pada dirinya sendiri, "setelah hari itu… hari di mana aku datang ke rumahmu… aku jadi lebih sering memperhatikan langit."
Aku menoleh padanya.
"Aku rasa," lanjutnya, matanya masih menatap jauh, "langit memang punya cara sendiri untuk menyimpan perasaan kita, ya. Seperti laci raksasa yang menampung semua kerinduan, kebahagiaan, dan kesedihan yang tidak bisa kita ucapkan."
Jantungku berdebar pelan. Aku tidak menjawab. Aku hanya tersenyum, sebuah senyum tulus yang kurasa baru kali ini kuberikan padanya. Ia mungkin tidak tahu detailnya—tentang gadis dari dunia lain, tentang langit yang terbelah—tapi ia memahami esensinya. Ia memahami perasaannya. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Sebelum kami berpisah hari itu, aku merogoh tasku dan mengeluarkan salah satu buku sketsaku. Aku merobek satu halaman dengan hati-hati. Bukan gambar langit anomali yang berwarna-warni, melainkan sketsa pensil sederhana dari langit mendung biasa di atas stasiun kereta, dengan detail kabel-kabel listrik yang menjuntai dan seekor burung gagak yang bertengger di atasnya.
"Untukmu," kataku sambil menyodorkannya. "Terima kasih sudah menjadi penonton pertamaku."
Minami menerimanya, menatap gambar itu lama. "Aku akan menyimpannya," katanya lembut. "Sebagai bukti bahwa bahkan langit yang paling membosankan pun bisa menjadi indah jika dilihat oleh orang yang tepat."
Beberapa hal memang seharusnya tetap menjadi rahasia yang terkunci di antara langit dan hati. Jauh, indah, tak tersentuh, namun kehadirannya selalu terasa.
Tahun-tahun berlalu seperti halaman-halaman kalender yang diterbangkan angin. Aku lulus dari SMA, meninggalkan kota kecilku, dan pindah ke Tokyo. Aku tinggal di sebuah apartemen sempit di Setagaya, dengan jendela yang menghadap ke dinding beton gedung sebelah. Langit hanyalah sepotong kecil warna biru atau abu-abu yang terjepit di antara bangunan tinggi.
Kehidupan di kota besar begitu riuh dan cepat. Jadwal kuliah yang padat, pekerjaan paruh waktu di sebuah kedai kopi, suara kereta yang tak pernah berhenti, dan lautan manusia yang tak kukenal. Aku belajar merancang rumah, menggambar denah, dan membuat maket. Aku belajar tentang beban struktur dan estetika minimalis. Aku belajar untuk hidup di dunia yang sangat, sangat normal.
Buku-buku sketsaku dari masa SMA kusimpan di dalam sebuah kotak kayu, bersama dengan kamera Minolta dan kaset-kaset tua. Terkadang, pada malam-malam ketika aku merasa sendirian atau kehilangan arah, aku akan membuka kotak itu. Aku akan membuka salah satu buku sketsa, dan jemariku akan menyusuri goresan pastel yang kubuat bertahun-tahun lalu. Warna jingga, ungu, dan hijau giok itu masih terasa begitu hidup, seolah menyimpan sisa-sisa kehangatan matahari dari dunia lain. Kenangan itu tidak memudar. Ia hanya berhibernasi.
Aku tidak pernah bertemu Airi lagi dalam kehidupan nyata. Tentu saja tidak. Ia adalah anomali, sebuah gema yang telah kembali ke sumbernya.
Tapi aku sering bermimpi tentangnya.
Mimpi-mimpi itu selalu sama dalam esensinya. Kami tidak berada di loteng atau di atap rumahku. Kami berada di tempat-tempat yang tidak nyata: di dalam gerbong kereta yang melaju tanpa rel di tengah lautan bintang, di sebuah kafe di dasar danau yang tenang, atau hanya duduk di bangku taman di bawah pohon yang daunnya terbuat dari cahaya.
Dalam mimpi-mimpi itu, kami tidak pernah membahas tentang perpisahan kami atau tentang dunia yang berbeda. Kami membicarakan hal-hal yang paling sepele.
"Kopi di sini rasanya aneh, seperti hujan," katanya di salah satu mimpi, sambil menyeruput cangkir imajiner.
"Bagaimana kau tahu rasa hujan?" tanyaku.
"Aku pernah merasakannya sekali," jawabnya sambil tersenyum.
Kami akan menertawakan lelucon yang tidak lucu, mengomentari bentuk awan yang menyerupai anjing gemuk, atau hanya diam, menikmati kebersamaan yang tidak mungkin. Kehadirannya dalam mimpiku tidak terasa menghantui. Sebaliknya, terasa menenangkan.
Dan di setiap akhir mimpi, tepat sebelum aku terbangun, ia akan selalu menatapku dengan matanya yang bening dan berkata, "Terima kasih sudah hidup, Yuto."
Kalimat itu akan membangunkanku dengan lembut, seperti sentuhan sinar matahari pagi. Aku akan berbaring di tempat tidurku yang sempit, menatap langit-langit apartemenku, dan merasakan gelombang perasaan yang aneh—campuran antara kesedihan yang manis dan rasa syukur yang mendalam. Aku akan bertanya-tanya, apakah itu benar-benar hanya mimpi? Atau sebuah pesan yang dikirim melintasi dimensi? Sebuah kenangan dari dunia yang pernah kehilangan aku, yang memastikan bahwa aku baik-baik saja di sini.
Sepuluh tahun setelah aku meninggalkan rumah, sebuah telepon datang dari ibuku. Mereka akan menjual rumah tua itu dan pindah ke apartemen yang lebih kecil di dekat pantai. Ia memintaku pulang untuk terakhir kalinya, untuk merapikan barang-barang yang masih tertinggal.
Perjalanan pulang dengan kereta terasa seperti perjalanan menembus waktu. Pemandangan gedung-gedung pencakar langit Tokyo perlahan berganti menjadi rumah-rumah beratap rendah dan petak-petak sawah. Kota kelahiranku tidak banyak berubah, masih sama sepinya, sama lambatnya.
Rumah itu terasa lebih kecil dari yang kuingat. Catnya sedikit mengelupas, dan tamannya sedikit lebih liar. Saat aku masuk, bau kayu dan debu yang familier menyambutku. Aku berjalan melewati kamar-kamarku yang kosong, lalu menaiki tangga menuju loteng.
Pintu loteng berderit saat kubuka. Ruangan itu kosong, kecuali beberapa kotak yang belum sempat dipindahkan. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela bulat, menerangi partikel-partikel debu yang menari-nari di udara. Langit di luar jendela sedang biru biasa. Tapi detak jantungku tidak biasa. Rasanya setiap sudut di ruangan ini masih menyimpan gaung dari bisikan dan tawa kami.
Setelah selesai membantu ibu membereskan beberapa barang, aku melangkah keluar ke balkon kecil di kamarku. Tempat di mana semuanya dimulai. Dan di sanalah, di sudut balkon yang terlindung dari hujan, terselip di antara pot bunga yang sudah retak, aku melihatnya.
Selembar kertas kecil yang sudah menguning dan rapuh. Sebuah origami berbentuk burung bangau.
Aku tahu ini bukan salah satu dari ratusan bangau yang kami buat bersama. Yang itu sudah lama kubuang. Ini berbeda. Ini sendirian. Ia pasti ada di sana selama ini, tersembunyi, menunggu. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya. Kertasnya terasa begitu tipis, seolah bisa hancur menjadi debu jika aku tidak hati-hati.
Aku tidak berani membukanya, takut merusak lipatannya yang sempurna. Tapi saat aku memutarnya dengan lembut, aku melihat ada tulisan tangan kecil di salah satu sayapnya. Tulisan tangan yang kukenal. Tinta birunya sudah memudar, tapi masih bisa terbaca. Hanya satu kalimat.
“Langit tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menunggu kita untuk menatapnya lagi.”
Aku menutup mataku, memegang erat burung kertas itu di telapak tanganku. Sebuah kehangatan menjalari dadaku. Ini bukan perpisahan. Ini adalah penegasan. Sebuah tanda bahwa apa yang terjadi bukanlah halusinasi seorang remaja kesepian. Itu nyata. Airi itu nyata.
Aku membuka mataku dan mendongak ke atas.
Langit hari itu berwarna biru biasa. Dengan beberapa awan putih yang bergerak malas. Tidak ada warna jingga yang mustahil, tidak ada bintang di siang hari, tidak ada suara kotak musik. Langit yang terlalu biasa untuk dikenang.
Tapi bagiku, saat itu, langit itu terasa begitu dalam. Begitu penuh. Terlalu dalam untuk dilupakan.
Aku berdiri di sana, di balkon rumah masa kecilku untuk terakhir kalinya, dengan sebuah origami rapuh di tangan dan sejuta kenangan di hati. Aku tidak lagi mencari keajaiban di angkasa. Karena aku sadar, keajaiban itu sudah kutemukan. Dan ia tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya telah menjadi bagian dari diriku.
Dan aku tahu—di mana pun aku berada, di bawah langit mana pun aku berdiri—aku tidak pernah sendirian.