Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku pertama kali menyadari ada yang aneh dengan langit di atas rumahku saat kelas dua SMA, pada suatu hari Rabu di pertengahan musim gugur ketika aroma tanah basah mulai merayap di udara bahkan sebelum hujan turun.
Itu bukan kesadaran yang datang tiba-tiba seperti kilat. Lebih mirip tinta yang menetes pelan di atas kertas merang, menyebar tanpa suara, mengubah segalanya secara permanen. Di sekolah, langit adalah kanvas kelabu yang luas dan membosankan, formalitas cuaca yang tak seorang pun pedulikan.
Para siswa sibuk dengan ponsel mereka, guru-guru sibuk dengan kertas-kertas ujian, dan dunia berputar pada porosnya yang dapat diprediksi dengan mudahnya, karena akan selalu seperti itu. Tapi begitu aku melangkah keluar dari gerbang stasiun kereta dan berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah, sesuatu di atmosfer mulai bergeser.
Langkah pertamaku di atas paving halaman rumah adalah batas yang tak terlihat. Di sanalah transformasi itu terjadi. Langit kelabu yang tadi kulihat di sepanjang perjalanan pulang, tiba-tiba meleleh menjadi jingga lembut yang aneh. Bukan jingga matahari terbenam yang biasanya, yang dibagikan kepada seluruh kota. Ini adalah jingga yang terasa personal, intim, seolah matahari memilih untuk tenggelam hanya untukku, di koordinat spesifik atap rumahku. Awan-awan di atasnya tak bergerak. Mereka membeku, menggantung seperti lukisan cat minyak yang belum kering, menunggu seorang kritikus seni datang dan memberinya makna.
Aku berhenti, ransel masih menggantung di satu bahu. Aku mengedipkan mata beberapa kali, berharap ini hanya trik cahaya atau kelelahan mata. Tapi langit itu tetap di sana, menolak untuk menjadi normal. Warnanya begitu dalam, begitu hidup, seolah memiliki detak jantungnya sendiri.
Ibuku keluar dari pintu samping, membawa keranjang jemuran kosong. Ia melewatiku, rambutnya yang diikat seadanya bergoyang sedikit. "Yuto, jangan lupa angkat cucian kering di kamarmu," katanya, suaranya praktis seperti suara latar dalam hidupku. Ia tidak menatap ke atas. Matanya terpaku pada tugas-tugas duniawi. Mungkin memang hanya aku yang bisa melihatnya. Atau mungkin, hanya aku yang cukup peduli untuk melihat.
Sejak sore itu, pukul 17.24, hidupku terbelah menjadi dua: dunia di bawah langit normal, dan dunia di bawah langit rumahku. Aku mulai membuat catatan. Bukan dengan kata-kata, karena kata-kata terasa terlalu kaku untuk menjelaskan fenomena ini. Aku menggunakan buku sketsa besar dan kamera analog Minolta peninggalan ayah. Setiap sore, aku akan duduk di balkon kecil kamarku yang menghadap langsung ke langit yang aneh itu.
Langit di atas rumahku tak pernah sama. Kadang, ia berlapis-lapis seperti kue, dengan lapisan biru tua, ungu pekat, dan merah muda pucat. Di lain waktu, hanya ada satu bintang yang bersinar terang di tengah hari bolong, cahayanya berdenyut lembut seperti mercusuar bagi kapal yang tersesat. Pernah sekali, dan ini yang p...