Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Prolog: Lima Kali Gagal
Langit sore itu mendung, seperti hatinya. Laptop di pangkuan Alam memunculkan satu notifikasi email. Ia sudah tahu isinya bahkan sebelum membuka. Tangannya gemetar sedikit, meskipun ia mencoba tenang. Ditekanlah ikon amplop itu, dan terbukalah pesan yang telah ia tunggu selama berminggu-minggu.
> "Dear Alam Prasetya,
Thank you for applying to Harvard University…
We regret to inform you that..."
Selesai. Itu yang kelima. Lima kali mencoba. Lima kali juga ia gagal. Rasa sesak merayap ke dadanya, perlahan tapi pasti, seperti kabut yang tak diundang. Tangannya menutup laptop pelan. Bukan karena tak bisa menerima, tapi karena hatinya mulai lelah.
Di luar kamar, suara ibunya memanggil dari dapur. “Lam, kamu mau teh hangat?”
Alam menggumam, “Nanti, Bu.”
Ia bersandar ke dinding, memandangi atap. Kosong. Tak ada kata yang bisa ia rangkai untuk menjelaskan perasaannya saat itu. Tapi dari jauh, ada gema kenangan masa kecilnya. Tertawa… ejekan… lemparan penghapus… tangisan.
Itu bukan kali pertama ia merasa kalah.
Sudah sejak kecil, hidupnya penuh dengan perasaan ditolak. Dulu waktu SD, teman-temannya sering memanggilnya dengan nama-nama aneh “Anak Miskin Jenius,” salah satunya. Seolah otaknya yang encer adalah sebuah kutukan karena ia tak punya uang untuk beli sepatu baru.
Namun anehnya, di setiap penolakan, ada seseorang yang tak pernah menolak: Ibunya. Ayahnya. Irfan teman kecilnya. Dan itu yang membuatnya belum sepenuhnya menyerah.
Alam menarik napas dalam. “Ya udah, Harvard... mungkin kita memang belum berjodoh.”
Ia menatap jendela. Langit mulai gelap, tapi ia tahu, di balik awan kelabu itu, matahari tetap ada.
Bab 1: Masa Kecil yang Pahit
Alam masih ingat bau bangku kayu itu. Meja tua dengan goresan-goresan nama yang tak jelas, dan papan tulis hijau yang mulai mengelupas di sudut-sudutnya. SD tempat ia menimba ilmu dulu mungkin tak akan masuk daftar sekolah favorit siapa pun. Tapi di sanalah semuanya bermula kenangan, luka, dan pelajaran yang tak ada di buku paket.
Alam kecil bukan anak yang suka ribut. Ia tipe yang lebih sering diam, menatap dari jauh, mencatat dalam hati. Bajunya tak pernah baru, sepatu warisan kakaknya sudah tak ada sol bagian belakangnya, dan tasnya sebuah tas lusuh yang dulu hadiah dari sekolah sering sobek di bagian resleting. Tapi satu hal yang selalu ia bawa pulang utuh: nilai sempurna di lembar ujian.
Di kelas, Alam adalah anak yang selalu duduk paling depan. Bukan karena rajin semata, tapi karena duduk di belakang berarti jadi sasaran empuk Lusi dan Darwis. Mereka akan menyembunyikan buku, menjambak rambut, kadang bahkan mencoret punggungnya dengan spidol saat guru tak melihat.
"Anak miskin sok pintar!" begitu Lusi tertawa saat nilai ulangan Alam diumumkan tertinggi.
Darwis menimpali, “Ngapain rajin, lulus juga ujung-ujungnya nyangkul!”
Tawa mereka menggema, membuat wajah Alam memerah, bukan karena marah, tapi malu. Ia tak mengerti apa salahnya jadi pintar. Ia tak pernah membanggakan nilainya, tak pernah merendahkan teman. Tapi tetap saja, tiap keunggulannya jadi bahan ejekan.
Anggi, yang sering ikut-ikutan, suka menarik tas Alam saat pulang sekolah....