Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pukul lima tiga puluh pagi. Langit masih berselimut kelam, menggigil dalam pelukan malam yang belum reda. Embun belum selesai menuliskan puisi di ujung-ujung daun, dan angin masih membelai sisa mimpi yang enggan dilepas. Di sebuah rumah mungil di ujung gang sempit, gang yang dindingnya dihiasi lumut dan kisah-kisah lama, lampu menyala lebih awal daripada matahari. Di sanalah, Raka membuka matanya perlahan, seolah tak ingin membangunkan dunia yang masih terlelap dalam dekapan sunyi.
Raka bukan penghuni kos yang penuh canda malam. Ia bukan anak gedongan dengan halaman luas dan suara piano yang melayang dari balik tirai. Ia adalah putra tunggal dari perempuan tangguh, yang menyulam fajar dan senja dengan kerja keras dan cinta, tinggal di rumah tua yang temboknya dihuni retak-retak kecil dan kenangan yang tak pernah selesai. Ibunya adalah penjaga pagi, pemilik warung sembako yang tak mengenal kata libur, tidak pernah benar-benar tidur, hanya sekadar menepi dalam jeda yang sempit.
Ayahnya? Entah di kota mana kini menjadi bayang samar dalam kisah makan malam. Pulang hanya sesekali, seperti hujan yang tak bisa ditebak musimnya. Hanya suara ibu yang menggema dari dinding ke dinding, menjadi nyanyian sunyi yang perlahan-lahan mulai akrab.
Raka, satu-satunya anak dalam rumah itu, tumbuh menjadi tiang yang menopang diam. Ia belajar menahan berat hidup tanpa keluh, tanpa gugat. Setiap pagi, bahkan sebelum ayam sempat menyalak hari, ia sudah bangun. Ia menata rak beras seperti merangkai harapan, menyusun telur seolah menjaga keseimbangan semesta. Ia mendorong galon ke teras, seperti mendorong masa depan yang berat namun tetap harus digerakkan. Tak ada keluhan, hanya senyuman ibu yang setia, meski terkikis waktu dan lelah. Dalam senyum itu, Raka membaca doa-doa yang tak pernah terucap, hanya melayang diam ke langit yang belum terang.
Usai membereskan warung, ia mandi dengan air sumur yang menggigit tulang. Menyeduh teh hangat, menggigit roti sederhana dan tidak pernah mewah, tapi cukup mengisi ruang kosong di perut. Sepeda motornya tua dan sering batuk-batuk. Ia dorong perlahan keluar halaman, memutar gas dua, tiga kali, hingga mesin bersuara. Suara itu bukan sekadar mesin, itu adalah napas kehidupan yang enggan tapi tak pernah menyerah. Dan saat roda berputar, Raka melaju, membawa serta mimpi-mimpi yang diam-diam ia sematkan di dada. Mimpi sederhana, namun menyala seperti lilin dalam badai.
Di kampus, Raka bukan siapa-siapa. Ia tidak duduk di barisan depan, tak terpampang di poster kegiatan, tak hadir dalam deretan pemilik IPK cumlaude. Ia hadir dalam diam yang bekerja, dalam catatan yang tak pernah lepas dari tangannya, dalam tatapan yang menyimpan tekad meski tubuh lelah. Ia adalah akar yang tersembunyi, namun menyangga pohon agar tetap tegak. Jadwal kuliahnya tak tentu. Kadang pagi buta, kadang malam sehabis senja. Tapi Raka tidak pernah mengeluh. Ia duduk di kursi kayu ruang D.205, dengan tubuh lelah tapi hati menyala.
Pernah suatu hari ia harus presentasi. Teman satu kelompok menghilang tanpa kabar. Ia berdiri sendiri di depan kelas, suara bergetar, tapi tetap menyampaikan slide demi slide yang ia siapkan semalaman. Dosen hanya mengangguk, lalu berkata, “Argumenmu masih lemah.” Raka diam. Di dalam kepalanya, malam-malam revisi menjerit minta dihargai. Ia tahu, dunia kadang terlalu sibuk untuk memahami orang-orang seperti dirinya.
Setelah kuliah, bukan waktu istirahat yang menanti. Ia menjadi kurir, mengantar paket dari satu rumah ke rumah lain, menyusuri gang-gang kecil yang tak tercatat di peta digital. Ia belajar memahami pelanggan yang cerewet, yang kadang tak tahu lelahnya menjadi Raka. Tapi ia sabar. Dari pekerjaan itu, ia mendapat tambahan untuk sekadar mengisi perut atau tangki bensin motor tuanya yang makin rewel. Ia mulai mengenal aroma dapur para ibu yang memasak dengan cinta dan keterbatasan.
Tugas-tugas datang bersamaan seperti badai. Laptopnya tua, sering ngadat di tengah malam. Ia kerap meminjam laptop teman, dengan senyum penuh harap dan malu yang diam-diam disembunyikan. HP nya retak, seperti hidupnya yang pernah ingin patah tapi tetap ia genggam. Ia pernah duduk lama di pojok ruang baca, menahan tangis yang nyaris tumpah, bukan karena lelah, tapi karena tak punya uang untuk memfotokopi referensi. Ia menatap satu halaman lama-lama, berharap hafalan bisa menggantikan lembaran yang tak bisa ia bawa pulang.
Kafe? Liburan? Nongkrong? Itu bukan kamus hidupnya. Uang bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk bertahan. Makan sekali sehari adalah hal biasa. Tapi ia tetap tersenyum, agar tak ada yang bertanya, "Kamu kenapa?" Ia menolak ajakan kerja kelompok di luar, bukan karena tak mau bersosialisasi, tapi karena secangkir kopi bisa merobohkan dompetnya yang ringkih. Maka ia berbohong kecil, demi menjaga harga diri yang ia rawat sepenuh hati. Kadang ia tertawa palsu, hanya agar sunyinya tak terlalu terasa di telinga orang lain.
Semester tujuh, ia menjalani KKN. Lokasinya jauh, di desa yang sinyalnya seperti doa, kadang sampai, kadang tersesat di langit. Teman satu tim sering menghilang, sibuk dengan urusan pribadi. Ia yang menulis laporan, menyusun acara, mengurus dokumentasi. Ketika ditanya kenapa sendiri, ia hanya menjawab lirih, “Yang lain ada urusan, Pak.” Tanpa nada getir, hanya ketabahan yang telah menjelma kebiasaan.
Tak banyak yang tahu malam-malam itu ia habiskan mendesain spanduk demi uang tambahan. Laptop pinjaman, tidur beralas tikar. Kadang listrik mati, sinyal hilang, hati goyah. Tapi ia tetap bertahan. Karena baginya, pendidikan adalah satu-satunya pintu yang mungkin masih terbuka, saat semua jendela telah dikunci oleh keadaan.
Pernah ia dihadapkan pada dilema, ikut ujian tengah semester, atau menjaga warung saat ibunya sakit. Ia memilih ibunya. Menyambut pelanggan dengan senyum yang dibuat-buat, lalu menghadap dosen dengan mata lelah, memohon ujian susulan. Tak semua dosen memahami. Ada yang menolak. Tapi Raka tetap pulang dengan kepala tegak, meski lututnya goyah. Ia tahu, ia tidak sedang mengejar nilai. Ia sedang mengejar kehidupan yang lebih layak, untuk dirinya dan perempuan yang telah mengorbankan segalanya demi masa depannya.
Semester delapan datang seperti badai yang memeluk, bukan memukul. Skripsi, kerja, tekanan, semua datang sekaligus. Ia berkali-kali ke perpustakaan demi buku-buku yang tak mampu ia beli. Ia mengirim email ke dosen pembimbing, berharap dibalas, meski tahu kadang harapan hanya menjadi penghuni abadi di kotak masuk. Ia tetap mengetuk pintu ruang dosen, bahkan saat tak ada yang membukakan. Karena ia percaya, perjuangan sejati sering berjalan sendiri.
Suatu malam, ia pulang dalam demam yang membakar. Tapi tugas harus dikumpul esok pagi. Maka ia tetap menulis, meski jari-jari gemetar. Ibunya datang membawa teh hangat, membisik pelan, “Kalau lelah, berhenti dulu, Nak.”
Tapi Raka menggeleng, mata merah, napas berat.
“Aku nggak boleh kalah sekarang, Bu. Tinggal sedikit lagi.”
Bagi Raka, setiap paragraf skripsi adalah potongan hidup. Bukan sekadar teori, tapi juga peluh, malam tanpa tidur, dan ketakutan bahwa semua ini mungkin tak akan cukup. Judul skripsi berganti, revisi datang silih berganti, dosen sulit ditemui. Tapi ia tetap datang, mengetuk, menunggu, menulis. Ia percaya, bahkan ketika harapan tinggal serpih kecil di saku kemeja lusuhnya.
Ia sempat bertanya dalam hati, apakah ia bisa lulus? Apakah toga itu akan benar-benar mengubah segalanya? Tapi setiap kali ragu menghampiri, ia menatap ibunya yang sedang menakar beras, atau foto ayah yang tersenyum samar dari kota jauh. Dan ia pun kembali percaya, bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk mereka yang diam-diam selalu mendoakan.
Ia memang akhirnya lulus. Tapi kisah ini bukan tentang kelulusannya.
Kisah ini adalah tentang langkah-langkah yang terus bergerak meski lelah.
Tentang pagi-pagi yang dimulai dengan dorongan galon dan sapu.
Tentang siang yang membakar sambil mengejar komplain pelanggan.
Tentang malam-malam sunyi yang ditemani laptop tua dan cahaya remang.
Tentang seorang anak muda yang percaya, bahwa jika kaki tak berhenti melangkah, langit pun tak akan pernah menutup jalan.