Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
LANGIT TAK BISA DIABAIKAN
OLEH : ALIFA
Senja terakhir di bulan Agustus itu membawa hawa yang aneh. Tidak panas, tidak dingin, tapi cukup membuat siapa pun ingin diam lebih lama di atap. Alia duduk bersila di sebelah Yudha di atap kos putri, membiarkan langit malam perlahan menggulung senja. Dari kejauhan, suara adzan magrib terdengar samar, teredam oleh lalu lintas kota yang tak pernah sepenuhnya tenang.
“Kau tahu nggak,” kata Yudha, menyenggol bahu Alia dengan pundaknya. “Langit itu kayak ingatan. Kalau terang, kita bisa lihat segalanya jelas. Tapi kalau mendung…”
“Yang kita punya cuma siluet,” sambung Alia, tersenyum kecil.
Yudha tertawa lirih. “Kamu selalu bisa menebak kalimat yang belum sempat aku selesaikan.”
“Karena kamu nggak pernah berubah. Masih suka menyamakan langit dengan hal-hal yang kamu nggak ngerti.”
Alia tidak sedang mengejek. Justru sebaliknya, ia menyukai cara Yudha melihat dunia—dengan perbandingan, dengan metafora. Dunia selalu jadi lebih luas saat dibicarakan bersamanya.
Di antara mereka, dua gelas kopi instan sudah setengah dingin. Di pangkuan Alia ada buku sketsa kecil dengan halaman penuh coretan mimpi: gambar rumah dengan pagar putih dan taman kecil, tulisan tangan tentang toko buku impian, dan daftar kota yang ingin mereka jelajahi bersama setelah menikah.
Yudha menarik napas panjang. “Aku masih pengin kita tinggal di Jogja. Punya rumah mungil, halaman depan buat tanam melati, belakang buat gantung baju.”
“Dan ruang kerja kecil untuk kamu nulis skrip drama indie yang nggak bakal dibeli TV nasional,” kata Alia menyambung, membuat mereka berdua tertawa.
Malam terus menua, bintang mulai muncul di sela awan tipis. Alia meletakkan kepalanya di pundak Yudha. Detik itu, waktu seperti berhenti sebentar. Dunia mengecil, menyisakan hanya dua orang dan langit.
“Kita nikah habis wisuda, ya?” tanya Yudha pelan, seolah takut kata-katanya terlalu berat untuk malam yang terlalu indah.
Alia diam. Jari-jarinya mencari tangan Yudha dan menggenggamnya perlahan. “Kamu yakin?”
Yudha menoleh, menatap mata Alia. “Aku yakin sama kamu. Sama kita.”
Tak ada janji megah. Tak ada cincin atau bunga. Hanya langit yang biru kelam dan sepasang anak muda dengan harapan yang besar, lebih besar dari kota yang sedang mereka tinggali.
“Kalau gitu,” kata Alia, “habis wisuda, kita cari kontrakan kecil dulu. Yang penting bareng. Nggak perlu langsung rumah sendiri.”
“Dan kamu tetap lanjut kerja di media komunitas itu?”
Alia mengangguk. “Aku suka nulis buat orang-orang yang nggak pernah muncul di headline. Kamu?”
“Freelance nulis dulu. Nunggu peluang film dokumenter masuk.” Yudha tersenyum. “Kita bakal sibuk, tapi akan cukup.”
“Hidup sederhana tapi penuh makna,” gumam Alia, mengutip tulisan yang pernah mereka tempel di dinding kamar kosnya.
Yudha mengecup pelipisnya pelan. “Langit ini akan jadi saksi kita.”
Alia menatap langit, yang perlahan makin gelap. “Semoga langitnya nggak berubah.”
“Mungkin langit bisa berubah warna. Tapi dia selalu ada di atas kita. Nggak pergi ke mana-mana.”
Dan malam itu, mereka duduk sampai lampu-lampu kota mati satu per satu. Tidak banyak bicara lagi, tapi tak satu pun dari mereka merasa perlu mengucapkan apa-apa. Dunia terlalu riuh, tapi langit malam tahu: ada dua hati yang saling menunggu di antara diam.
Matahari siang memantul di jendela kaca ruang baca fakultas. Udara bulan Oktober terasa pengap, meski kipas angin berputar malas di langit-langit ruangan. Alia sedang menandai lembar-lembar tugas akhir di depannya, sementara Yudha datang tergesa, membawa setumpuk kertas dan wajah yang lebih serius dari biasanya.
“Lia,” ucapnya tanpa duduk. “Aku perlu ngomong.”
Alia mengangkat kepala. “Kamu kayak baru abis dikejar deadline.”
Yudha tidak tertawa. Ia menarik kursi dan duduk tepat di hadapannya. Napasnya berat, dan matanya tak bisa diam. Bukan gugup, tapi nyaris seperti ketakutan.
“Aku keterima kerja. Di London,” katanya, pelan, seolah takut suaranya terlalu keras bisa menjatuhkan semua rencana yang sudah mereka bangun.
Alia mengerjap. “Apa?”
“Perusahaan media dokumenter. Yang waktu itu aku apply cuma buat coba-coba. Mereka kirim email kemarin sore. Aku masuk shortlist, terus interview online tadi pagi. Dan... mereka mau langsung kontrak habis wisuda.”
Keheningan menggantung, panjang dan dingin. Suara lembaran kertas jatuh dari meja terdengar lebih nyaring dari biasanya.
“Jadi kamu bakal pergi?” tanya ...