Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bulan ingat betul, senja di kota ini selalu punya cerita indah untuk mereka. Sejak pertama kali mata mereka bertemu di lorong sekolah menengah, saat Langit yang selalu ceria itu dengan gampangnya bisa membuat aku yang pendiam ini tersenyum, kota ini sudah jadi saksi bisu setiap langkah perjalanan cinta mereka. Mereka tumbuh bersama, dari cinta monyet yang malu-malu hingga ikatan dewasa yang rasanya tak bisa lagi digoyahkan oleh apa pun. Sepuluh tahun itu bukan waktu yang sebentar, cukup untuk bulan mengukir setiap detail wajah Langit, tawanya, dan semua mimpinya di sudut hati terdalam nya.
Bulan, bekerja sebagai desainer grafis dari rumah. Jiwanya rasanya sehalus sentuhan kuas digital di layar komputer. Rambutnya hitam legam, biasanya dia gelung rapi, membingkai wajah oval dengan sepasang mata cokelat yang seringkali menyiratkan kesedihan, tapi bisa langsung bersinar terang jika Langit ada di dekatnya. Langit, dia seorang arsitek muda yang ambisius, dengan senyum lebarnya yang menular dan energi yang rasanya tidak pernah habis. Dia itu jangkar untuk bulan dan langit adalah oase ketenangan buatnya. Mereka seperti dua kutub yang saling melengkapi, saling menarik dalam harmoni yang sempurna. Atau setidaknya, bulan pikir begitu.
Hari itu, di tanggal spesial , mereka merayakan hari jadi yang kesepuluh di sebuah kedai kopi langganan di pinggir kota. Udara di luar memang dingin sekali, menusuk tulang, tapi kehangatan dari secangkir kopi favorit bulan dan sorot mata Langit itu berhasil membuatnya merasa sangat aman. Langit meraih tangan bulan, membelai cincin perak sederhana yang dia beri bertahun-tahun lalu. "Bulan," suaranya lembut, tapi penuh tekad yang membuat jantung bulan berdesir. "Kita sudah melewati banyak hal, ya. Canda, tawa, bahkan air mata. Aku nggak bisa bayangin hidupku tanpa kamu." langit menatapnya, jantung bulan berpacu kencang. Dia tahu persis apa yang akan terjadi selanjutnya.
Langit mengeluarkan kotak beludru merah marun dari saku jaketnya. "Aku ingin kita punya lebih banyak malam bersama. Malam yang abadi. Maukah kamu, Bulan, jadi istriku, jadi cahaya untuk langit di setiap malam tanpa pernah pudar?" Air mata bulan langsung menetes, dia tidak bisa menahannya. Bulan mengangguk tanpa ragu, suaranya tercekat. "Ya, Langit. Selamanya, ya." mereka berpelukan erat, janji pertunangan yang ...