Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bulan ingat betul, senja di kota ini selalu punya cerita indah untuk mereka. Sejak pertama kali mata mereka bertemu di lorong sekolah menengah, saat Langit yang selalu ceria itu dengan gampangnya bisa membuat aku yang pendiam ini tersenyum, kota ini sudah jadi saksi bisu setiap langkah perjalanan cinta mereka. Mereka tumbuh bersama, dari cinta monyet yang malu-malu hingga ikatan dewasa yang rasanya tak bisa lagi digoyahkan oleh apa pun. Sepuluh tahun itu bukan waktu yang sebentar, cukup untuk bulan mengukir setiap detail wajah Langit, tawanya, dan semua mimpinya di sudut hati terdalam nya.
Bulan, bekerja sebagai desainer grafis dari rumah. Jiwanya rasanya sehalus sentuhan kuas digital di layar komputer. Rambutnya hitam legam, biasanya dia gelung rapi, membingkai wajah oval dengan sepasang mata cokelat yang seringkali menyiratkan kesedihan, tapi bisa langsung bersinar terang jika Langit ada di dekatnya. Langit, dia seorang arsitek muda yang ambisius, dengan senyum lebarnya yang menular dan energi yang rasanya tidak pernah habis. Dia itu jangkar untuk bulan dan langit adalah oase ketenangan buatnya. Mereka seperti dua kutub yang saling melengkapi, saling menarik dalam harmoni yang sempurna. Atau setidaknya, bulan pikir begitu.
Hari itu, di tanggal spesial , mereka merayakan hari jadi yang kesepuluh di sebuah kedai kopi langganan di pinggir kota. Udara di luar memang dingin sekali, menusuk tulang, tapi kehangatan dari secangkir kopi favorit bulan dan sorot mata Langit itu berhasil membuatnya merasa sangat aman. Langit meraih tangan bulan, membelai cincin perak sederhana yang dia beri bertahun-tahun lalu. "Bulan," suaranya lembut, tapi penuh tekad yang membuat jantung bulan berdesir. "Kita sudah melewati banyak hal, ya. Canda, tawa, bahkan air mata. Aku nggak bisa bayangin hidupku tanpa kamu." langit menatapnya, jantung bulan berpacu kencang. Dia tahu persis apa yang akan terjadi selanjutnya.
Langit mengeluarkan kotak beludru merah marun dari saku jaketnya. "Aku ingin kita punya lebih banyak malam bersama. Malam yang abadi. Maukah kamu, Bulan, jadi istriku, jadi cahaya untuk langit di setiap malam tanpa pernah pudar?" Air mata bulan langsung menetes, dia tidak bisa menahannya. Bulan mengangguk tanpa ragu, suaranya tercekat. "Ya, Langit. Selamanya, ya." mereka berpelukan erat, janji pertunangan yang akan mereka resmikan dalam dua minggu ke depan rasanya begitu nyata, begitu dekat. Dunia terasa sempurna saat itu. Semua mimpi yang mereka rajut bersama rasanya akan segera menjadi kenyataan.
Dua minggu berlalu begitu saja, rasanya terlalu cepat. Rencana pertunangan sudah sangat matang. Undangan sudah disebar, tempat sudah dipesan, bahkan gaun yang akan dipakai sudah tersimpan rapi di lemari bulan. Sore itu, Langit menjemputnya untuk yang terakhir kalinya sebelum hari besar mereka. "Aku mau kita makan malam di tempat pertama kali kita kencan, ya," kata Langit, matanya berbinar penuh kebahagiaan yang meluap-luap. Bulan tersenyum, memegang lengan Langit erat saat mobilnya melaju pelan di jalanan kota yang mulai padat.
Langit bercerita panjang lebar tentang impiannya membangun rumah untuk mereka berdua, dengan taman luas dan jendela besar yang menghadap ke arah pegunungan. Bulan mendengarkan dengan penuh cinta, sesekali menyela dengan ide-ide desain interior versi dia. Tawa memenuhi kabin mobil, bercampur dengan lagu-lagu romantis yang mengalun pelan dari radio. Setiap detik rasanya begitu berharga, begitu penuh harapan.
Tapi, di persimpangan jalan menuju tempat tujuan mereka, takdir menunjukkan wajahnya yang paling kejam. Sebuah truk yang melaju kencang dari arah berlawanan, entah kenapa, tiba-tiba kehilangan kendali. Langit, dengan naluri pelindungnya, langsung membanting setir. Dalam sepersekian detik yang terasa begitu lama, bulan merasakan benturan keras yang tak terbayangkan, tubuhnya terlempar ke depan, dan kegelapan langsung menelannya. Semuanya terjadi begitu cepat, tak ada waktu untuk berpikir, hanya insting dan ketakutan yang mendalam.
Ketika bulan sadar, semua terasa seperti mimpi buruk yang paling mengerikan. Aroma darah yang amis, suara kaca pecah yang berserakan, dan teriakan panik orang-orang mengisi udara. Kepalanya terasa berdenyut hebat, pandangannya buram. Dia merangkak keluar dari puing-puing mobil yang sudah tak berbentuk, berusaha mencari Langit. "Langit! Langit!" panggilnya lirih, suaranya serak, tenggorokannya perih. Di balik setir yang ringsek, Langit tergeletak tak berdaya, darah merembes dari kepalanya, membasahi jok mobil. Bulan berteriak histeris, mencoba menariknya, memanggil namanya berulang kali, tapi tidak ada respons sama sekali. Orang-orang mulai berdatangan, ambulans dan polisi tak lama kemudian tiba, memecah kesunyian malam yang mematikan.
Di rumah sakit, kabar itu menghantam bulan seperti godam raksasa. Langit, kekasihnya, tunangannya, belahan jiwanya, telah pergi. Meninggal di tempat kejadian. Dunia yang bulan kenal, yang dia bangun bersamanya, langsung runtuh saat itu juga. Dia menjerit, air mata membasahi wajahnya tanpa henti, tapi tidak ada yang bisa menghentikan rasa sakit yang merobek-robek dadanya. Bulan hanya ingin ikut pergi bersama Langit, mengakhiri semua penderitaan ini.
Keluarga Langit datang. Ibu Rina, dengan wajah pucat dan mata sembap, memeluk erat. "Bulan... ini bukan salahmu, Nak. Ini takdir Tuhan." Ayah Ardi, yang biasanya tegar, tidak bisa menyembunyikan air matanya. Mereka tidak menyalahkannya sama sekali. Mereka tahu bulan mencintai Langit lebih dari apa pun. Mereka tahu betapa hancurnya bulan saat itu.
Tapi, di tengah kerumunan pelayat yang berduka, ada sepasang mata yang menatapnya dengan nyalang. Mata itu adalah milik Bintang, saudara kembar identik Langit. Bintang punya rupa yang sama persis dengan Langit, senyumnya, garis wajahnya, tapi sorot matanya kini penuh bara, dingin, dan penuh amarah. Jika Langit adalah senja yang hangat dan menenangkan, Bintang adalah malam yang dingin dan penuh badai. Dia mendekat, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Kau," desisnya, suaranya serak menahan amarah yang membuncah. "Kamu bersamanya. Kamu yang seharusnya melindunginya! Kamu penyebabnya, Bulan. Kamu membuat langit meninggal !" Dia tidak peduli dengan air mata bulan, tidak peduli dengan penjelasannya yang mungkin tidak akan pernah keluar. Di benaknya, hanya ada satu kebenaran: bulan telah mengambil Langit darinya. Dendam itu mulai tumbuh, mengakar kuat dalam jiwanya yang hancur, mengubahnya menjadi seseorang yang bulan tak kenali.
Momen pemakaman Langit terasa seperti kabut tebal bagi bulan. Dia merasakan pelukan simpati, mendengar bisikan duka dari sana-sini, tapi semua terasa jauh, tidak nyata. Yang terasa nyata hanya dinginnya batu nisan bertuliskan nama Langit, dan pandangan membara Bintang yang tidak pernah lepas dari bulan. Bintang menjaga jarak, dia tidak mendekati bulan sama sekali, tapi setiap kali mata mereka bertemu, bulan merasakan tusukan tajam di hatinya. Seolah-olah tatapannya itu belati yang siap menghujam nya kapan saja.
Dua minggu setelah pemakaman, sebuah pertemuan keluarga diadakan. Bulan duduk terpaku di sofa, tubuhnya gemetar hebat. Bulan tahu ada sesuatu yang sangat penting akan dibahas. Ayah Ardi, dengan suara berat, akhirnya membuka percakapan. "Ada wasiat dari Langit, yang baru kami temukan setelah kepergiannya." Dia menyerahkan sebuah surat yang sudah sedikit menguning, tulisan tangan Langit yang rapi dan sangat bulan kenal.
Bulan membacanya, air matanya kembali menetes, membasahi kertas itu. Dalam surat itu, Langit menulis tentang impiannya untuk bulan. Dia ingin bulan selalu bahagia, terlindungi, dan tidak akan pernah sendirian. Dia menulis tentang Bintang, saudara kembarnya yang selalu jadi sandaran terbaiknya. Dan di bagian akhir surat, sebuah permintaan tulus yang langsung meruntuhkan seluruh pertahanan bulan "Jika suatu saat aku tak ada, aku ingin Bulan tidak pernah merasa sendiri. Aku percaya Bintang akan menjadi pendamping terbaiknya, menjaganya seperti aku menjaganya. Dia tahu bagaimana membuat Bulan tersenyum."
Sunyi mencekam ruangan. Bintang, yang tadinya duduk dengan ekspresi kaku, kini berdiri tegak, rahangnya mengeras, tangannya mengepal kuat. "Ini gila!" desisnya, suaranya dipenuhi amarah. "Aku nggak akan menikahi pembunuh saudaraku!" Matanya menatap bulan dengan kebencian yang terang-terangan.
Ibu Rina mendekat, mengusap punggung Bintang. "Nak, ini permintaan terakhir Langit. Dia sangat mencintai Bulan, dan dia ingin kamu melindunginya."
"Melindunginya?" Bintang tertawa sinis, tawa yang menusuk hati dan membuat bulan merinding. "Aku ingin dia menderita! Aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan!" Dia menunjuk bulan, seolah bulan adalah sumber segala penderitaannya.
Meskipun penolakan Bintang sangat keras, wasiat Langit itu adalah sebuah ikatan yang tidak bisa dia hindari. Langit sudah mempercayakan bulan padanya. Setelah perdebatan panjang dan tekanan dari seluruh anggota keluarga, Bintang akhirnya setuju, tapi dengan satu syarat: pernikahan itu hanyalah sebuah formalitas. Dia akan memenuhi wasiat Langit, tapi dia nggak akan pernah menganggap bulan sebagai istrinya. Dia akan menafkahi secara materi, memberik tempat tinggal, tapi tidak akan pernah ada cinta, apalagi kasih sayang.
Pernikahan itu berlangsung dalam kesunyian yang mencekam. Tidak ada gaun putih yang indah, tidak ada janji suci yang diucapkan dengan cinta. Hanya ada meja akad nikah yang sunyi, dengan bulan yang berbalut kebaya sederhana dan Bintang yang mengenakan kemeja hitam, ekspresinya sedingin es yang membeku. Tidak ada senyum, tidak ada sentuhan hangat, hanya tatapan kosong yang diiringi oleh rasa sakit yang tak terhingga.
Setelah pernikahan, bulan pindah ke rumah Bintang, rumah yang dulu dua impikan akan di huni bersama Langit. Tapi, alih-alih kehangatan, yang bulan temukan hanya dinding-dinding dingin dan aura kebencian yang begitu pekat. Bintang memperlakukan nya lebih buruk dari orang asing yang tidak dia kenal sama sekali. Mereka tidur di kamar terpisah, makan di meja yang berbeda tanpa pernah saling bertemu satu sama lain. Keberadaan bulan di rumah itu adalah pengingat konstan untuk Bintang akan kehilangan Langit. Dia tidak pernah melihat bulan sebagai orang lain selain bayangan Langit yang menghantuinya.
Dendam Bintang termanifestasi dalam setiap interaksi mereka. Kata-kata tajam adalah sarapannya setiap pagi. "Kamu pembawa sial," desisnya suatu pagi saat bulan tidak sengaja menjatuhkan cangkir. "Seharusnya kamu yang mati bukan langit " Setiap kalimatnya bagai pedang yang menusuk jantung bulan. mengoyak-ngoyak perasaannya . Bulan mencoba meminta maaf, mencoba menjelaskan, tapi Bintang tidak pernah mendengarkan. Telinganya tertutup rapat oleh racun amarah dan kebenciannya yang pekat.
Bahkan sentuhan Bintang pun terasa menyakitkan. Suatu kali, bulan sedang menyapu lantai dan Bintang melintas di depannya. Dia sengaja menabrak bulan membuat sapu terlepas dari tangannya dan bulan limbung hingga tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. "Dasar ceroboh! Bahkan untuk hal sesederhana ini kamu nggak becus!" sentaknya, suaranya menusuk. Bulan terpeleset dan pergelangan kakinya terkilir. Bintang hanya menatapnya tanpa ekspresi, lalu pergi begitu saja, meninggalkan bulan tergeletak di lantai dengan air mata yang mengalir deras, menahan rasa sakit di kaki dan di hatinya
Bulan tahu, ini adalah balasan dendam Bintang. Rasa sakit fisik masih bisa dia tahan, tapi luka di batin pasti menganga lebar, tidak bisa diobati. Bulan merindukan Langit, merindukan tawanya dan pelukannya yang hangat. Bulan sering menangis dalam diam di kamarnya, memeluk foto Langit yang kini jadi satu-satunya pengingat akan kebahagiaan. Setiap hari terasa seperti siksaan, pengingat akan kebahagiaan yang pernah dia miliki dan kini direnggut paksa oleh takdir dan kebencian Bintang. Dia mengubah hidup bulan menjadi neraka, dan dia tidak tahu sampai kapan bisa bertahan.
Hari-harinya di rumah itu adalah neraka yang nyata. Bulan mencoba berbagai cara untuk mendekati Bintang, untuk menjelaskan bahwa dia juga berduka, bahwa dia juga kehilangan Langit. Bulan mencoba memberinya ruang, dia juga mencoba merawat bintang, memberinya perhatian. Bulan menyiapkan makanan kesukaan Bintang, mencoba memulai percakapan ramah, bahkan menawarkan bantuan untuk membersihkan studio arsitek Bintang yang berantakan. Tapi, semua usahanya sia-sia. Bintang selalu menanggapinya dengan dingin, atau bahkan lebih parah, dengan sarkasme yang menyakitkan. Dia seperti tembok es yang tidak bisa ditembus.
"Apa kamu pikir dengan memasak ini semua akan mengubah fakta bahwa aku akan melupakan semua kejadian itu dan tidak membenci mu lagi ?" Bintang berkata suatu malam, mendorong piring makanannya menjauh. "Jangan berpura-pura baik, Bulan. Aku tahu siapa dirimu. Aku tahu apa yang kamu lakukan."
Hati bulan mencelos, jatuh ke dasar jurang. Dia hanya ingin kebencian itu memudar, sedikit penerimaan. Tapi Bintang tidak memberikannya. Dia terus memupuk kebenciannya pada bulan. Malam itu, bulan tidak bisa tidur sama sekali. Dia memandangi langit-langit kamarnya yang gelap, merasakan kehampaan yang luar biasa. Dia bertanya-tanya, sampai kapan harus menanggung semua ini? Apakah hidupnya akan selamanya jadi tebusan atas kematian Langit? Apakah bulan memang harus hidup dalam siksaan ini selamanya?
Suatu pagi, saat bulan sedang menyiram tanaman di taman belakang rumah, Bintang keluar dengan wajah yang lebih muram dari biasanya. Bulan tahu dia baru saja bertengkar hebat dengan kliennya, dan emosinya sedang tidak stabil. Melihat bulan, bara dendamnya kembali menyala, seolah bulan adalah sasaran empuk untuk semua kekesalannya.
"Kamu!" serunya, suaranya menggelegar, membuat bulan terlonjak kaget. "Pernahkah kamu berpikir kenapa Langit begitu bodoh mempercayaimu? Mempercayai tipu muslihat ularmu itu? Kamu cuma membawa kesialan ke hidup kami. Langit mati dan aku harus hidup bersama sampah sepertimu. Bahkan tanaman ini pun akan layu kalau kamu sentuh terlalu lama!" Dia menarik paksa selang dari tangan bulan, lalu menyiramkan air ke tubuhnya sampai seluruh tubuh bulan basah kuyup seolah bulan adalah kotoran yang harus dihilangkan. tak sampai disitu bintang memecahkan semua pot tanaman hingga serpihannya mengenai tangan bulan, tubuhnya sakit, hatinya pun lebih sakit.
Bulan tersentak, seluruh tubuhnya gemetar. Tapi, yang lebih sakit adalah kata-kata Bintang. Itu adalah puncak dari segalanya, titik di mana bulan merasa tidak bisa lagi menanggung semua ini. Selama ini, dia bertahan karena rasa cinta dan wasiat Langit, dan janji untuk selalu kuat demi dirinya. Tapi kini, janji itu terasa begitu berat, membebani pundaknya hingga rasanya bulan bisa roboh kapan saja. Bulan tidak bisa lagi menahannya. Dia sudah mencapai batas kesabaran.
"Aku... aku nggak tahan lagi, Bintang," suaranya bergetar, hampir tak terdengar. "Aku tahu kamu benci aku, tapi aku nggak bisa terus seperti ini. Aku juga manusia, aku punya batas dan perasaan"
Bintang hanya menatap bulan dengan tatapan kosong, seolah tidak peduli sedikit pun. "Kalau begitu, pergi saja. Aku nggak peduli. Malah lebih bagus kalau kamu gak pernah kembali selamanya. Atau mungkin nanti ada kabar kematian mu itu sungguh anugrah"
Kata-kata itu, diucapkan dengan begitu mudah, tanpa beban, itu adalah pukulan terakhir yang menghancurkan bulan. Dia merasa seluruh kekuatannya lenyap, ditarik paksa dari dalam dirinya. Bulan berbalik, masuk ke dalam rumah. Dengan tangan gemetar, dia mengemasi barang-barang seadanya. Hanya beberapa pakaian dan foto Langit yang selalu dia bawa ke mana pun. Bulan tidak menulis surat. Dia tidak mengucapkan selamat tinggal pada siapa pun. Dia hanya ingin pergi, sejauh mungkin dari Bintang, dari rumah ini, dari semua rasa sakit ini. Dia hanya ingin menghilang.
Malam itu, di bawah kerlip bintang yang sama dengan namanya, bulan pergi. Diam-diam, tanpa suara, dia menaiki taxi malam menuju sebuah kota kecil di pesisir kota, tempat bulan kecil tinggal dulu. Dia ingin memulai hidup baru, di mana tidak ada yang mengenalnya sebagai "pembunuh Langit". Bulan hanya ingin jadi Bulan lagi, seorang Bulan yang utuh, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan.
Bintang baru menyadari kepergiannya saat pagi menjelang. Awalnya, dia merasakan sedikit kelegaan. Akhirnya, wanita yang dia benci itu pergi. Namun, seiring berjalannya hari, keheningan rumah terasa semakin pekat. Tidak ada lagi suara piring pecah, tidak ada lagi aroma masakan yang dulu dia abaikan, tidak ada lagi kehadirannya yang selalu dia caci dengan kata-kata. Rumah itu terasa kosong, dingin, dan asing. Seperti kuburan.
Dia mencoba fokus pada pekerjaannya, tapi pikirannya terus melayang ke mana-mana. Ada sesuatu yang hilang. Kehilangan yang aneh, karena dia merasa seharusnya senang. Tapi kenapa rasanya begitu hampa? Apakah dia merindukan kebenciannya? Atau dia merindukan sesuatu yang lain, yang selama ini dia tolak untuk akui? Sesuatu yang dia tidak tahu persis itu apa, tapi keberadaannya selalu ada
Setelah beberapa bulan kepergian bulan, Kepala Bintang terasa kosong dan berputar setelah menyadari kepergian bulan. Dia merasa menjadi manusia paling keji di dunia. Dia selalu mengira bahwa setelah bulan pergi, dia akan merasa bebas, dendamnya akan terbalaskan tuntas. Dia membayangkan kelegaan yang luar biasa. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Rumah yang tadinya selalu dia penuhi dengan amarah dan kebencian kini terasa mati, sunyi, mencekam. Tidak ada lagi target untuk melampiaskan frustrasinya. Kebenciannya, yang selama ini memberinya tujuan hidup, kini berubah menjadi kehampaan yang begitu besar, tak tertahankan, dan menggerogoti jiwanya.
Malam-malam Bintang dipenuhi oleh insomnia. Dia tidak bisa tidur, pikirannya berkeliaran. Dia teringat bagaimana dulu dia selalu mendengar suara tangisan bulan dari kamar sebelah. Dulu dia menganggapnya sebagai suara yang pantas bagi "pembunuh" Langit. Dia menikmati setiap deru tangisnya. Kini, kesunyian itu terasa memekakkan telinga, penuh dengan bayangan-bayangan penyesalan yang mulai muncul. Dia teringat mata bulan yang memohon, tubuhnya yang bergetar karena kedinginan saat dia menyiram nya. Rasa bersalah mulai merayap masuk, perlahan tapi pasti mengikis benteng pertahanan kebencian yang selama ini dia bangun tinggi-tinggi. Hatinya mulai terasa sesak.
Suatu sore, saat Bintang membersihkan studio Langit yang sudah lama tidak dia sentuh—sejak kepergian Langit, studio itu memang tidak pernah terjamah—tangannya menyentuh sebuah kotak kayu tua di sudut rak buku. Itu adalah kotak kenangan Langit, yang dulu sering Langit ceritakan padanya. Di dalamnya terdapat surat-surat lama yang sudah menguning, foto-foto masa kecil mereka berdua, dan sebuah buku harian kecil dengan sampul kulit yang sedikit usang. Bintang ragu-ragu membukanya. Ini adalah privasi Langit, sesuatu yang sangat pribadi, namun dorongan rasa ingin tahu dan kerinduan yang begitu kuat pada saudara kembarnya akhirnya menguasainya.
Dia membuka buku harian itu dengan tangan gemetar. Tulisan tangan Langit yang rapi memenuhi halaman-halaman. Langit menulis tentang kebahagiaan bersamanya, tentang impian-impian mereka yang sederhana namun indah, dan juga tentang ketakutan-ketakutannya yang kadang muncul. Bintang membalik halaman demi halaman, seolah mencari sesuatu. Hingga dia sampai pada halaman terakhir, yang ditulis pada pagi hari sebelum kecelakaan itu terjadi.
31 Desember Langit cerah, sama seperti hatiku. Hari ini aku akan menjemput Bulan. Aku tidak tahu kenapa, tapi ada firasat aneh yang menghantuiku sejak pagi. Mungkin cuma perasaanku saja, ya? Aku cuma ingin Bulan bahagia. Sangat bahagia. Dia pantas mendapatkan kebahagiaan itu.
Bintang membalik halaman lagi, dan menemukan sebuah tulisan yang berbeda, tulisan tangan yang tergesa-gesa, penuh coretan, seperti ditulis dalam kondisi panik dan tak menentu. Itu bukan tulisan Langit. Itu tulisan tangan bulan.
Saat itu... Truk... hilang kendali... Langit... aku harus melindunginya... dia adalah segalanya bagiku... Tuhan, jangan ambil dia dariku... aku menariknya... aku memeluknya... aku mendorongnya menjauh.. tapi sudah terlambat... darah... Langit... maafkan aku... maafkan aku...
Tulisan itu terhenti dengan goresan tinta yang samar, seperti tulisannya yang terputus di tengah guncangan hebat dan banyaknya bekas air mata di tengah kepanikan yang tak terkira. Bintang membacanya lagi, dan lagi, mengulang-ulang setiap kata, mencoba memahami. Matanya membelalak kaget. Bulan tidak melarikan diri. Dia tidak pasif. Bulan justru berusaha melindungi Langit! Bahkan dalam sepersekian detik mengerikan itu, instingnya adalah untuk menyelamatkan kekasihnya. Dia bahkan menulis 'aku mendorongnya', yang berarti bulan berusaha mendorong Langit menjauh dari bahaya yang datang.
Fakta itu menghantam Bintang seperti tsunami yang datang tiba-tiba. Selama ini, dia telah menyalahkan bulan, menghakiminya, menyiksanya, atas dasar kebohongan yang dia ciptakan sendiri dalam pikirannya. Bulan bukan pembunuh. Dia adalah korban, sama seperti dirinya. Bulan juga kehilangan. Bahkan, bulan adalah seorang penyelamat, yang di detik-detik terakhir hidup Langit, berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkannya. Dia mempertaruhkan nyawanya untuk orang yang dia cintai.
Rasa bersalah yang teramat sangat membanjiri Bintang. Tubuhnya gemetar hebat, kakinya lemas, seolah tak mampu menopang bobot tubuhnya sendiri. Tangis yang selama ini dia tahan, kini meledak. Dia menangis bukan hanya karena kehilangan Langit, tetapi karena betapa kejamnya dia terhadap bulan. Dia telah memperlakukan seorang wanita yang sangat Langit cintai, dan yang juga mencintai Langit dengan seluruh jiwanya, dengan begitu keterlaluan. Dia telah merusak jiwanya, melukainya secara fisik dan mental, atas dendam buta yang tidak berdasar sama sekali. Air matanya terus mengalir, membasahi pipinya yang basah. Penyesalan itu begitu pekat, begitu menusuk.
Kepala Bintang terasa kosong, pusing, setelah membaca buku harian itu. Dia merasa menjadi manusia paling keji dan tidak berguna di dunia. Dia harus menemukan bulan. Dia harus meminta maaf. Bukan hanya sekadar maaf yang terucap di bibir, tapi penebusan atas semua luka yang telah dia torehkan. Dia harus memperbaiki semua kesalahannya.
Dengan informasi yang terbatas dari hasil melacak gps di handphone bulan—dia hanya tahu bulan pergi ke sebuah pesisir kota—Bintang mulai mencari. Dia pergi ke berbagai kota kecil, menanyakan ke setiap penginapan, warung kopi, dan toko. Perjalanan itu adalah bentuk penebusan dan penyesalan baginya. Setiap langkah adalah pengingat akan kesalahannya, setiap keringat yang menetes adalah bukti penyesalannya. Dia tahu bulan pasti membencinya, sangat membencinya. Tapi dia harus mencoba. Dia berhutang maaf kepadanya, dia berhutang segalanya.
Setelah hampir dua minggu mencari, menyusuri setiap sudut kota, Bintang akhirnya menemukan bulan di sebuah toko bunga kecil di pinggir kota. Bulan, dengan rambutnya yang kini dipotong sebahu dan mata yang sedikit lebih kosong dari sebelumnya, sedang merangkai buket bunga mawar. Dia tampak lebih kurus, namun aura ketenangan memancar darinya, seolah dia telah menemukan kedamaian dalam kesederhanaan hidup ini. Bulan terlihat berbeda, lebih rapuh, namun juga lebih kuat.
Bintang melangkah masuk, jantungnya berdegup kencang, suaranya menggedor-gedor dadanya. Suara bel di pintu membuat bulan mendongak. Mata mereka bertemu. Ekspresinya yang awalnya datar, berubah menjadi kaget, lalu ketakutan yang jelas terlihat. Bulan menjatuhkan bunga yang sedang dia rangkai, bunga-bunga itu jatuh berserakan di lantai.
"Bulan..." suara Bintang serak, bergetar.
Bulan melangkah mundur, matanya penuh kecurigaan, seolah melihat hantu. "Untuk apa kamu di sini?" suaranya dingin, namun ada getaran ketakutan yang tak bisa dia simpan.
Bintang mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah, menunjukkan bahwa dia tidak punya niat buruk. "Aku... aku datang untuk meminta maaf, Bulan."
Bulan hanya bisa tersenyum pahit. "Maaf? Setelah semua yang kamu lakukan padaku? Kamu gak tau seberapa sakit semua perlakuan dan sikap kamu sama aku, kamu gak tau seberapa sakit aku kehilangan langit dan harus menghadapi kebencian dari kamu juga. Kamu gak akan pernah ngerti semua itu bintang. Kamu gak akan pernah tau seberapa menyedihkan nya aku selama ini"
"Aku tahu," Bintang mengangguk, kepalanya menunduk. "Aku tahu kata maaf aja gak akan pernah cukup untuk menebus itu semua. Tapi aku harus mencoba. Aku sudah membaca buku harian Langit. Aku tahu yang sebenarnya. Aku tahu kamu nggak bersalah. Aku tahu kamu berusaha melindunginya. Aku... aku begitu buta, Bulan. Aku minta maaf. Aku benar-benar menyesal, rasa penyesalan dan rasa kehilangan itu ngehantuin aku setiap harinya setelah kamu pergi"
Bintang mulai bersimpuh di lantai sambil memegang tanganku, Air mata mulai menggenang di mata Bintang.Aku tidak pernah melihatnya serapuh itu, apalagi menangis di depanku. Dia tak pernah menunjukkan kerapuhannya di depan siapa pun bahkan sampai bersimpuh seperti itu, terutama padaku. Melihat air mata tulus di mata Bintang, dinding pertahanan yang telah aku bangun tinggi-tinggi agak sedikit runtuh. Aku melihat penyesalan yang mendalam, bukan lagi kebencian yang membara. Ada secercah harapan yang samar-samar terlihat.
"Aku tahu sulit bagi kamu untuk percaya," Bintang melanjutkan, suaranya tercekat karena tangisnya. "Aku nggak minta kamu untuk maafin aku sekarang juga, bulan.Aku cuma ingin kamu tahu, aku menyesal, amat sangat menyesal atas semua yang sudah kulakukan. Aku ingin menebus semua kesalahan aku sama kamu"
Bulan terdiam. Rasa sakit itu masih ada, membekas jelas di setiap sudut hatinya. Tapi tatapan Bintang yang penuh penyesalan adalah sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah dia lihat darinya. Bulan melihat Langit di wajah Bintang, dan untuk pertama kalinya, bulan tidak merasakan sakit yang menusuk, melainkan kerinduan yang bercampur aduk dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Apakah itu?
Selama beberapa hari berikutnya, Bintang tidak pergi. Dia menginap di penginapan terdekat dan setiap hari datang ke toko bunga kecil milik bulan. Dia tidak mendesak, tidak menuntut. Dia hanya duduk di bangku, membantu bulan merapikan bunga, atau sekadar menemaninya dalam diam. Kadang dia mencoba memulai percakapan kecil, menceritakan kejadian lucu dari masa kecilnya dan Langit, atau sekadar bertanya tentang keseharian bulan. Dia menunjukkan kesabaran yang luar biasa.
Perlahan, sangat perlahan, bulan mulai berbicara dengannya. Awalnya hanya seperlunya, lalu sedikit demi sedikit, bulan mulai membuka diri. Dia menceritakan bagaimana dia bertahan hidup di kota kecil ini, bagaimana bulan menemukan kedamaian dalam merangkai bunga, bagaimana dia mencoba membangun kembali hidupnya. Bintang mendengarkan dengan sabar, tidak pernah menyela, tidak pernah menghakimi. Dia membiarkan bulan meluapkan semua kemarahannya, semua kesedihannya, semua luka yang selama ini hanya bulan pendam sendiri.
"Kamu tahu, Bintang," kata bintang di suatu sore, saat mereka duduk di bangku taman dekat toko bunga, menatap senja yang perlahan turun. "Aku sering berpikir, kenapa harus aku yang selamat? Kenapa bukan Langit? Rasa bersalah itu selalu menghantuiku setiap saat, setiap malam."
Bintang meraih tangan bulan lalu mengusapnya lembut. Itu adalah sentuhan pertama yang tidak menyakitkan, sentuhan yang justru membawa kehangatan yang asing namun menenangkan. "Langit menginginkanmu hidup, Bulan. Dia ingin kamu bahagia. Itu sebabnya dia menulis wasiat itu. Dia percaya kamu akan menemukan kebahagiaanmu lagi."
Pertemuan mereka dipenuhi oleh percakapan panjang tentang Langit, tentang kenangan manis yang mereka bagi bersamanya, tentang rasa kehilangan yang sama-sama mereka rasakan. Melalui percakapan ini, bulan melihat Bintang bukan lagi sebagai orang yang kejam, tapi sebagai seorang pria yang terluka parah, yang juga sedang berjuang untuk berdamai dengan kepergian saudara kembarnya. Bulan melihat Bintang yang rapuh, yang juga berduka, yang berusaha menebus kesalahan terbesarnya dengan tulus. Dia melihat Langit dalam senyum tipis Bintang, dalam caranya memandang, dalam setiap kemiripan yang bulan duga tak akan pernah dia temukan lagi. Proses ini terasa begitu berat, namun juga begitu menenangkan.
Proses pemulihan dan penerimaan di antara mereka tidaklah instan. Bulan masih memiliki bekas luka yang sangat dalam, baik di fisik maupun di jiwanya, dan Bintang harus bekerja sangat keras untuk menebus semua kesalahannya. Dia tidak hanya mengucapkan maaf, tapi juga menunjukkannya melalui tindakan nyata. Dia menjaga jarak fisik, menghormati ruang pribadi bulan, dan selalu memastikan bulan merasa aman dan nyaman di dekatnya. Dia berusaha keras untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Bintang sering membantu bulan di toko bunga. Dia mempelajari nama-nama bunga, cara merangkai, bahkan mengantarkan pesanan sendiri. Dia melakukannya dengan sabar, tanpa keluhan, seolah ini adalah caranya untuk menyembuhkan luka-luka yang dia torehkan. Perlahan, tawa bulan mulai kembali. Dia merasakan hatinya menghangat setiap kali mendengar tawa itu, sebuah suara yang dulu dia kira tak akan pernah dia dengar lagi darinya. Itu adalah tanda bahwa benih-benih kebahagiaan mulai tumbuh kembali.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam sederhana di rumah bulan tinggal di kota itu, hujan turun deras, diiringi petir yang menyambar. Bulan teringat pada malam kecelakaan itu. Wajahnya memucat, tangannya gemetar. Bintang yang duduk di hadapan nya menyadarinya. Dia meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Bulan, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, suaranya penuh kekhawatiran.
Bulan menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku... aku teringat malam itu, Bintang. Suara hujan... benturan... aku nggak bisa melupakannya. Itu terus menghantuiku."
Bintang beranjak dari kursinya, mendekati bulan. Dia duduk di samping bulan lalu menangkup kan kedua tangan nya di pipi bulan, menatap matanya dalam-dalam, penuh empati. "Aku tahu itu sulit, Bulan. Aku tahu betapa beratnya itu. Tapi kamu nggak sendirian sekarang. Aku ada di sini. Kita akan menghadapinya bersama-sama." Perlahan, Bintang merengkuhku dalam pelukan hangat. Untuk pertama kalinya, dia tidak merasakan ketakutan dalam pelukan Bintang. Bulan merasakan kehangatan, perlindungan, dan kesedihan yang sama. Bulab menangis di bahu Bintang, membiarkan semua rasa sakit yang terpendam keluar, meluapkan semua kesedihan yang selama ini dia tahan.
Sejak malam itu, ikatan di antara mereka tumbuh semakin kuat, semakin dalam. Mereka tidak lagi berbicara tentang masa lalu yang menyakitkan, melainkan tentang masa depan yang mungkin bisa mereka bangun bersama. Bintang berbicara tentang proyek arsitektur barunya, dan bulan bercerita tentang rencana mengembangkan toko bunganya. Mereka menemukan bahwa kami memiliki banyak kesamaan minat, di luar bayang-bayang Langit. Mereka bisa berdiskusi, berbagi ide, dan tertawa bersama.
Bintang sering mengajak bulan menjelajahi kota kecil itu, menemukan tempat-tempat indah yang tersembunyi. Mereka berbagi cerita, tawa, dan sesekali, sentuhan tangan yang disengaja. Setiap sentuhan terasa seperti penyembuh, menghapus luka-luka lama. Perlahan, benih-benih cinta mulai tumbuh di antara mereka, bukan cinta yang sama dengan Langit, tetapi cinta yang baru, yang lebih matang, yang tumbuh dari abu kehancuran dan penyesalan. Ini adalah cinta yang dibangun dari kepingan hati yang patah, yang kini saling melengkapi.
Bulan mulai melihat Bintang bukan hanya sebagai saudara kembar Langit, tapi sebagai individu yang unik, dengan kebaikan hati yang tersembunyi di balik lapisan amarah dan kebencian yang selama ini dia kenakan. Dia melihat Bintang yang rapuh, yang juga berduka, yang berusaha menebus kesalahan terbesarnya dengan tulus dan penuh kesabaran. Dia melihat ketulusan di mata Bintang, sebuah janji bahwa dia tidak akan pernah menyakitinya lagi. Itu adalah janji yang bulan butuhkan.
Suatu hari, Bintang mengajaknya kembali ke kota mereka dulu tinggal. Kali ini, bukan dengan paksaan, melainkan dengan harapan dan ajakan yang tulus. Dia ingin mereka berdamai dengan masa lalu, di tempat di mana semua kenangan manis dan pahit terjadi. Bulan ragu-ragu, takut. Tapi dia percaya pada Bintang. Dia tahu bintang kini akan menjaganya.
Mereka mengunjungi makam Langit bersama. Bintang meletakkan sebuket bunga tulip di nisan Langit, hasil rangkaian tangannya sendiri. "Langit," bisik Bintang, suaranya sedikit bergetar, namun penuh ketenangan. "Aku sudah menemukan Bulan. Aku akan menjaganya, seperti yang kamu inginkan. Dan aku sudah belajar untuk mencintainya, seperti yang kamu lakukan." bulan tersenyum, air matanya menetes, bukan karena sedih, tapi karena haru. Dia merasakan kehadiran Langit, namun kali ini bukan dengan kesedihan yang mendalam, melainkan dengan rasa syukur dan kelegaan. Seolah dia merestui.
Kembali ke kota mereka adalah sebuah langkah besar bagi bulan, sebuah perjalanan emosional yang panjang. Rumah yang dulu penuh siksaan, kini perlahan berubah menjadi tempat yang nyaman, hangat, dan penuh kedamaian. Bintang telah mengubah banyak hal. Dia membuatkan studio kerja baru untuk bulan di rumah, membangun taman bunga kecil di belakang rumah yang bisa bulan rawat, dan bahkan menyingkirkan semua barang yang mungkin memicu kenangan buruk bagi bulan. Dia berusaha keras untuk membuatnya merasa kembali di rumah.
Mereka mulai membangun kembali hidup selangkah demi selangkah, dengan sabar dan penuh pengertian. Bintang selalu memastikan bulan merasa dihargai, dicintai, dan aman. Dia memasak untuknya, membaca buku bersamanya di malam hari, dan selalu ada untuk mendengarkan setiap keluh kesah bulan, bahkan hal-hal kecil sekalipun. Luka-luka lama masih ada, namun mereka kini menjadi bekas luka yang menceritakan kisah tentang daya tahan, pengampunan, dan kekuatan cinta yang luar biasa.
Cinta mereka bukanlah cinta yang meledak-ledak seperti kembang api di langit malam. Itu adalah cinta yang tenang, matang, yang tumbuh dari pemahaman mendalam tentang penderitaan masing-masing. Mereka adalah dua jiwa yang pernah hancur, terpisah oleh dendam dan kesalahpahaman, namun kini saling menyembuhkan, saling melengkapi. Mereka menemukan kekuatan dalam kerapuhan masing-masing.
Pada suatu malam yang indah, Bintang mengajak bulan ke bukit kecil yang dipenuhi ladang bunga. Mereka duduk di kursi dekat pohon. Dibawah langit malam yang cerah serta cahaya terang, Bintang meraih tangan bulan, membelai cincin pernikahan yang kini melingkar di jari manisnya, yang dia berikan dengan janji baru.
"Bulan," kata Bintang, matanya penuh cinta dan penyesalan yang telah terhapus oleh kebahagiaan yang perlahan tumbuh. "Aku tahu aku telah melukaimu begitu dalam. Aku tahu aku nggak pantas mendapatkan kesempatan ini lagi" Dia menunjuk ke arah cincin di jariku, dan ke arahku. "Tapi aku ingin menghabiskan banyak malam indah bersama kamu. Aku ingin menjadi seperti bintang di langit sana yang selalu menemani bulan nya memancarkan cahaya indah terang bersama selamanya"
Bulan tersenyum, air mata haru membasahi pipinya. "Kamu sudah menjadi cahaya aku, Bintang. Sebuah terang yang datang setelah badai, membawa kedamaian dan harapan baru. Aku mulai sadar aku cinta sama kamu"
"Aku juga cinta sama kamu bulan"
Bintang mencium kening bulan dengan lembut, lalu bintang mencium bibir bulan dengan lembut dan penuh perasaan. ebuah ciuman yang penuh janji, penebusan, dan cinta yang tulus. Mereka berdua tahu, Langit akan selalu ada dalam hati mereka, sebagai bagian dari perjalanan mereka. Namun, kini mereka telah menemukan kebahagiaan baru, yang dibangun di atas fondasi pengampunan, pengertian, dan cinta yang telah teruji oleh waktu dan badai paling dahsyat.
Setelah ciuman itu terlepas, mereka saling bertatapan mata lama, lalu bintang memeluk nya erat. Menumpahkan semua rasa saling percaya dan kasih yang kini saling mengikat mereka
Mereka hidup bahagia. Bintang yang dulu dipenuhi amarah dan dendam, kini menjadi pria yang lembut dan penuh perhatian. Bulan yang dulu teraniaya dan penuh luka, kini bersinar lagi, tawa riangnya sering memenuhi rumah. Mereka sering mengunjungi makam Langit, bukan lagi dengan air mata kesedihan yang mendalam, melainkan dengan senyuman dan cerita tentang kebahagiaan cinta mereka. Langit pasti tersenyum dari sana, dari tempatnya, mengetahui bahwa wasiatnya telah terpenuhi, dan dua orang yang sangat dicintainya akhirnya menemukan cahaya mereka sendiri, bersama. Sebuah akhir yang bahagia, setelah melalui begitu banyak rasa sakit.
-END-