Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Part 1 – Pertemuan di Bawah Hujan
Hujan selalu punya cara membungkam hiruk-pikuk dunia. Di Tirvana International University yang biasa riuh oleh suara mahasiswa, deru motor, dan obrolan santai di kantin, sore itu semuanya seolah diluruhkan oleh derasnya air yang jatuh dari langit. Bulir-bulir air membasahi dedaunan flamboyan di pelataran, mengguyur atap-atap tua gedung fakultas, dan menimbulkan suara ritmis yang memantul di trotoar yang mulai tergenang.
Alya menarik napas panjang, menghirup aroma tanah basah yang bercampur samar dengan bau buku tua dari tas ranselnya. Ia berdiri di bawah atap halte kecil di samping gedung Sastra, memandangi jalanan basah yang tak lagi ramai. Rambut hitam panjangnya tergerai lembap, sebagian helainya menempel di pipi. Meski pakaiannya sederhana—blus krem longgar, celana kulot hitam, dan sepatu flat yang sudah sedikit pudar warnanya—ada keanggunan yang alami pada dirinya. Alya memang tak pernah berdandan mencolok, tapi caranya membawa diri selalu menciptakan kesan mendalam.
Di tangannya, ia memeluk erat sebuah buku tebal berjudul "Dialog Agama dan Peradaban". Buku itu sudah penuh catatan kecil dan coretan stabilo warna-warni. Matanya menatap jauh ke depan, namun pikirannya melayang entah ke mana. Sejak ikut kelas diskusi lintas agama semester ini, hatinya terasa penuh. Penuh oleh pertanyaan, oleh renungan, oleh pergulatan yang tak pernah selesai.
Ia menarik napas pelan, mencoba meredakan gelisah yang samar. Hujan menjadi pelarian yang pas—menenangkan, namun penuh misteri.
Suara langkah tergesa memecah lamunannya. Seorang pria berlari kecil ke arahnya, menghindari hujan yang mulai menggila. Jaket denimnya basah di pundak, rambut cokelat gelapnya kusut dan menempel di dahinya. Ia tersenyum sopan ketika tiba di halte, lalu mengibaskan sedikit air dari kacamatanya sebelum merogoh tas selempangnya.
"Akhirnya ketemu tempat berteduh juga," gumamnya dengan nada lega. Suaranya hangat, serak tipis, seperti suara yang biasa didengar saat diskusi santai.
Alya melirik sekilas. Senyumnya pelan, tidak sepenuhnya ditampilkan tapi cukup untuk memberi isyarat ramah. "Hujannya tiba-tiba deras sekali. Tadi saya juga hampir basah kuyup."
Pria itu tersenyum lebih lebar. Matanya cokelat tua, hangat seperti warna kayu tua yang mengkilap. "Julian," katanya sambil mengulurkan tangan. "Fakultas Filsafat."
Alya menjabat tangannya singkat. Sentuhan yang hangat, ringan, namun entah kenapa meninggalkan jejak halus. "Alya. Sastra."
Julian menyandarkan punggung ke tiang halte. Ia menatap hujan dengan ekspresi tenang. Meski pakaian dan penampilannya kasual—kaos abu-abu polos di balik jaket, celana jeans gelap, dan sneakers yang sedikit belepotan lumpur—ia memancarkan keteduhan. Orang seperti ini, pikir Alya, bisa saja mudah berteman dengan siapa saja.
"Buku yang menarik," ujar Julian setelah beberapa saat hening, menunjuk buku yang Alya peluk.
Alya menatap sampulnya, lalu tersenyum. "Untuk kelas diskusi lintas agama. Minggu depan saya presentasi."
Julian mengangguk antusias. "Saya ikut kelas itu juga. Biasanya duduk di dekat jendela. Saya jarang bicara, tapi selalu memperhatikan. Kamu yang sering tanya, kan? Paling aktif di kelas."
Alya terkekeh kecil. Suaranya ringan, namun tulus. "Bukan aktif, hanya suka bertanya. Banyak hal yang belum saya pahami."
"Itu justru yang bikin kelasnya hidup," balas Julian. Matanya menatap Alya dengan ketertarikan yang tulus. Bukan tatapan menghakimi, bukan pula tatapan basa-basi. Alya mulai merasa nyaman.
Hujan terus mengguyur deras. Air memantul dari aspal dan membentuk genangan besar di beberapa sudut jalan. Mahasiswa lain mulai menghilang satu per satu, entah memilih nekat menerobos hujan atau memanggil ojek daring. Namun mereka berdua tetap di situ. Seolah hujan adalah alasan yang cukup untuk tak perlu beranjak.
"Kamu Muslim, ya?" tanya Julian hati-hati. Suaranya tetap hangat, tak ada kesan menginterogasi.
Alya menoleh. Matanya tenang, bibirnya melengkung tipis. "Iya."
Julian mengangguk. "Saya Katolik."
Ada jeda sesaat. Tapi tak ada kecanggungan. Seolah fakta itu hanya sebuah data, bukan batas. Keduanya sama-sama mahasiswa diskusi lintas agama. Keduanya sudah biasa melihat perbedaan tak perlu dijadikan jurang.
"Dari dulu saya suka ikut kelas-kelas seperti itu," kata Julian setelah diam sesaat. "Mungkin karena saya tumbuh di lingkungan yang cukup konservatif, jadi saya ingin tahu bagaimana orang lain memandang iman mereka."
Alya mengangguk pelan. "Saya juga. Keluarga saya cukup religius. Kadang saya merasa ada pertanyaan yang tak bisa saya tanyakan di rumah, jadi saya cari jawabannya di luar."
Mata Julian mengerjap lembut. "Kita mirip, ya."
Alya tersenyum, kali ini lebih lebar. Hujan mulai mereda sedikit. Rintiknya mengecil, tapi udara makin sejuk.
"Kalau boleh tanya..." Julian berbicara lagi, suaranya pelan, penuh pertimbangan. "Apa yang membuat kamu tetap percaya, meski dunia sering tak sejalan dengan keyakinan kita?"
Alya terdiam cukup lama. Tatapannya menerobos hujan yang menggantung di kejauhan. Suara air jatuh masih berbisik lembut, seolah memberi ruang bagi pikirannya untuk merangkai jawaban.
"Mungkin karena," ujarnya pelan, "kalau saya berhenti percaya, saya takut kehilangan arah. Dunia memang tak selalu adil. Tapi keyakinan membuat saya punya pegangan, walau sekadar harapan."
Julian mengangguk perlahan. Ekspresinya tak berubah, tetap lembut. Tapi dalam hatinya, ada kekaguman yang tumbuh. Perempuan ini tidak hanya cerdas, tapi juga punya kedalaman.
"Kamu tahu?" katanya lagi. "Kadang saya iri pada orang yang bisa punya keyakinan sekuat itu. Saya sendiri sering ragu, bahkan kadang marah pada Tuhan."
Alya tersenyum penuh empati. "Saya juga. Tapi mungkin iman bukan tentang tak pernah ragu. Iman adalah tentang tetap bertahan, meski ragu."
Julian menatapnya dalam-dalam. Hujan perlahan berhenti. Langit sore bergeser menjadi abu-abu muda, awan mulai menipis dan angin membawa aroma segar.
"Kamu suka baca puisi?" tanya Julian tiba-tiba.
Alya mengangguk. "Sastra adalah dunia saya."
Julian tersenyum, lalu membuka tas selempangnya. Ia mengeluarkan buku antologi puisi tipis. Sampulnya lusuh, jelas sudah sering dibuka-tutup.
"Ini favorit saya. Rilke. Letters to a Young Poet."
Alya menerima buku itu, membukanya perlahan. Matanya berbinar. "Ini indah sekali."
"Kalau kamu mau," kata Julian, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, "kita bisa tukar buku minggu depan. Saya baca bukumu, kamu baca buku saya. Lalu kita diskusikan."
Alya mengangkat wajah, menatapnya lama. Ada sesuatu dalam tawaran itu yang lebih dari sekadar berbagi bacaan. Ada jembatan yang mulai terbentang. Tipis, rapuh, tapi nyata.
Ia mengangguk pelan. "Boleh."
Langit mulai cerah. Cahaya matahari menembus sela awan, memantulkan kilau emas di atas genangan air. Mahasiswa mulai lalu-lalang lagi, suara tawa dan obrolan pelan kembali mengisi udara kampus.
Julian melirik arlojinya. "Saya harus ke perpustakaan sekarang. Tapi saya senang bisa bertemu dan bicara seperti ini."
"Saya juga," balas Alya dengan senyum lembut.
Mereka melangkah keluar dari halte. Jalanan masih basah, tapi tak lagi menghalangi mereka. Di persimpangan jalan fakultas, mereka berpisah dengan lambaian tangan ringan.
Alya berjalan perlahan menuju kantin tempat ia janji bertemu Mikayla. Tapi langkahnya terasa berbeda. Ada getar halus yang tak biasa.
Ia melirik buku puisi yang masih digenggamnya.
Entah bagaimana, ia tahu sore ini bukan pertemuan biasa.
Ada sesuatu yang baru saja dimulai.
Sesuatu yang indah, sekaligus rumit.
Dan mungkin, sesuatu yang akan mengubah cara ia memandang langit selamanya.
Part 2 – Wacana dan Waktu
Seminggu berlalu sejak sore hujan itu, namun bayangannya masih tertinggal di benak Alya. Percakapan mereka yang sederhana namun penuh makna berputar ulang seperti rekaman yang enggan berhenti. Kata-kata Julian, sorot matanya yang hangat, dan cara ia berbicara tentang iman dan keraguan—semuanya membekas lebih dalam dari yang ia sadari.
Terkadang, Alya merasa seperti sedang berada di persimpangan jalan. Terkadang, saat ia berusaha menyendiri untuk menenangkan pikirannya, bayangan Julian hadir begitu saja, tak diundang. Dan setiap kali itu terjadi, ada rasa yang sulit dijelaskan—sebuah perasaan yang aneh, antara kenyamanan yang ia rasakan dan ketidakpastian yang mulai merayap.
Hari itu, kelas diskusi lintas agama kembali digelar di ruang seminar FISIP. Ruangannya tidak besar, hanya cukup untuk sekitar dua puluh mahasiswa yang duduk melingkar di kursi-kursi kayu dengan meja kecil yang menempel di sampingnya. Dindingnya dihiasi poster-poster seminar tentang toleransi, keberagaman, dan kutipan tokoh-tokoh dunia. Cahaya matahari pagi menelusup lembut lewat jendela besar, menciptakan suasana tenang yang cocok untuk percakapan panjang.
Alya datang lebih awal seperti biasa. Ia memilih duduk di kursi dekat tengah, membuka buku catatan dan menyusun beberapa kertas presentasi yang sudah dipersiapkannya. Di depannya, dosen pembimbing, Bu Ratna, tengah merapikan berkas materi. Bu Ratna dikenal sebagai akademisi yang tegas namun terbuka, dan kelas diskusi ini adalah inisiatif pribadinya untuk menjembatani mahasiswa dari berbagai latar belakang.
"Alya, apakah kamu sudah siap untuk presentasi nanti?" tanya Bu Ratna, menghentikan pekerjaannya dan melirik Alya dengan senyum ramah.
Alya tersenyum, sedikit gugup. "Sudah, Bu. Hanya sedikit khawatir dengan respons dari teman-teman. Topiknya cukup berat."
"Jangan khawatir. Kamu akan melakukannya dengan baik. Kunci dari presentasi adalah keyakinan pada diri sendiri," jawab Bu Ratna dengan nada percaya diri, lalu kembali sibuk dengan berkas-berkasnya.
Beberapa saat setelah itu, Julian masuk. Rambutnya hari itu sedikit lebih rapi, kemeja biru tua yang dipakainya tergulung rapi di lengan, dan di tangannya ia membawa buku Dialog Agama dan Peradaban yang minggu lalu sempat Alya pegang. Saat mata mereka bertemu, Julian mengangguk sambil tersenyum. Alya membalas dengan anggukan halus.
"Pagi," sapanya ketika duduk di kursi sebelah.
"Pagi," jawab Alya pelan. Ia bisa merasakan detak jantungnya sedikit lebih cepat. Mungkin ini hanya perasaan biasa, tapi ada sesuatu dalam diri Julian yang membuatnya merasa berbeda.
Diskusi pagi itu dimulai dengan pembahasan tentang konsep pluralisme religius. Bu Ratna membuka forum dengan pertanyaan: Bagaimana kita bisa menjaga identitas keyakinan pribadi sambil tetap membuka diri terhadap keyakinan orang lain?
Satu per satu mahasiswa angkat bicara. Ada yang bercerita tentang pengalaman pribadi berinteraksi dengan komunitas lintas agama. Ada pula yang menyampaikan pandangan akademis berdasarkan bacaan mereka. Alya, seperti biasa, mengangkat tangan dengan tenang.
"Menurut saya," ujarnya pelan namun jelas, "kunci dari menjaga identitas sekaligus membuka diri adalah kesadaran bahwa iman kita bersifat personal. Keyakinan itu tumbuh dalam diri, dan memahami orang lain tidak berarti kita harus merelakan apa yang kita percaya. Tapi justru dengan mengenal orang lain, kita bisa memahami mengapa kita memilih keyakinan kita."
Beberapa mahasiswa mengangguk setuju. Bu Ratna tersenyum kecil. Julian menoleh ke Alya, matanya berbinar.
"Alya benar," kata Julian, berbicara dengan suara tenang namun tegas. "Saya ingin menambahkan bahwa pluralisme bukanlah tentang mengaburkan batas-batas keyakinan, melainkan menghormati hak orang lain untuk percaya pada apa yang mereka yakini. Saya pikir, inilah esensi dari dialog. Sebuah ruang untuk merayakan perbedaan."
Beberapa mahasiswa kembali mengangguk, menyimak dengan seksama. Bu Ratna memberikan pujian, lalu meminta peserta diskusi untuk melanjutkan. Alya mencatat kata-kata Julian dengan hati-hati. Ia tak bisa menahan senyum kecil. Julian bicara dengan ketulusan yang jarang ia temui. Suaranya terdengar seperti sebuah lirik yang dalam, bukan sekadar kata-kata.
Saat sesi diskusi terbuka, Julian pun angkat bicara. Suaranya tenang dan penuh pertimbangan. "Saya setuju dengan Alya. Dari pengalaman saya, seringkali orang takut berdialog karena khawatir kepercayaannya tergoyahkan. Padahal, dialog itu bukan tentang siapa yang menang atau kalah. Dialog adalah cara kita merayakan keberagaman dan merendahkan hati, menerima bahwa kebenaran bisa dilihat dari banyak sisi."
Alya mencatat kata-katanya. Ia tak bisa menahan senyum kecil. Julian bicara dengan ketulusan yang jarang ia temui.
Saat kelas usai, beberapa mahasiswa mulai berkemas. Alya masih sibuk merapikan catatan ketika Julian menyapanya lagi.
"Kamu bicara bagus sekali tadi," katanya.
Alya mengangkat bahu ringan. "Saya hanya menyampaikan apa yang saya rasakan. Kamu juga. Saya suka cara kamu menjelaskan konsep dialog."
Julian tersenyum. Ia lalu mengeluarkan buku dari tasnya. "Aku sudah selesai baca buku kamu. Insight-nya menarik sekali."
Alya menerima bukunya kembali. "Saya juga sudah selesai baca Rilke. Indah sekali. Kata-katanya lembut, tapi dalam."
Julian mengangguk. "Kalau kamu mau, minggu depan ada diskusi komunitas lintas agama di kafe dekat kampus. Topiknya soal Spiritualitas dan Kehidupan Modern. Aku biasanya ikut. Kalau kamu tertarik, kita bisa datang bareng."
Alya terdiam sesaat. Tawaran itu menggelitik rasa ingin tahunya. Tapi juga membuat hatinya berdebar. "Boleh," jawabnya akhirnya. "Kedengarannya menarik."
###
Di kafe kecil bernama Kepik Merah, suasana hangat dan penuh kehidupan menyambut mereka. Lampu kuning temaram menciptakan keintiman di ruangan itu, dan rak buku yang tersusun rapi di sudut ruangan mengundang Alya untuk lebih banyak merenung tentang makna hidup dan spiritualitas. Kali ini, diskusi tentang "Spiritualitas dan Kehidupan Modern" membawa Alya dan Julian semakin dekat. Mereka saling bertukar pandangan, bukan hanya tentang agama, tetapi juga tentang kehidupan, mimpi, dan masa depan.
Julian bercerita tentang keluarganya yang Katolik konservatif, tentang bagaimana ia sering merasa terjepit antara tradisi yang kaku dan pemikirannya yang lebih terbuka. Ia berbicara tentang rasa kesepian yang kadang ia rasakan dalam perjalanannya mencari makna di tengah-tengah tekanan untuk tetap setia pada ajaran agama yang diwariskan.
Alya, dengan caranya sendiri, bercerita tentang keluarganya yang Islami. Ia berbicara tentang ibunya yang selalu berharap ia menjadi perempuan yang taat, mengikuti segala ajaran agama tanpa bertanya lebih jauh. Namun, Alya merasa ada kebingungannya, sebuah pertanyaan besar yang tidak bisa ia jawab hanya dengan mengikuti tradisi. Ada bagian dari dirinya yang ingin berkontribusi pada dunia dengan cara yang lebih luas, tanpa merasa terbelenggu oleh sekat-sekat sempit agama dan adat.
Percakapan mereka tak pernah terasa membosankan. Bahkan ketika mereka berbeda pandangan, mereka tidak saling membantah. Sebaliknya, mereka mendengarkan dengan sabar, mencoba memahami tanpa menghakimi. Di tengah diskusi itu, ada banyak ketegangan yang meresap, namun ada juga banyak kehangatan yang membuat Alya merasa dekat dengan Julian. Suara Julian terdengar lebih dalam, lebih berisi, seiring berjalannya waktu.
Part 3 – Rasa yang Tak Terucap
Waktu terus berputar, dan hubungan Alya dan Julian semakin dalam—meski tanpa label, tanpa pernyataan resmi yang sering menjadi pengikat pasangan lain. Di mata teman-teman mereka, keduanya hanya terlihat seperti dua sahabat yang tak terpisahkan. Namun bagi Alya dan Julian, ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Ada sesuatu yang perlahan tumbuh, merambat dalam diam.
Pada suatu sore yang lembut, ketika langit mulai memerah menjelang senja, Alya dan Julian duduk di tangga batu yang menghadap taman belakang perpustakaan pusat kampus. Di depan mereka, bunga kertas ungu bermekaran, dan suara burung gereja sesekali terdengar di sela desau angin.
"Aku selalu suka tempat ini," kata Julian, memecah keheningan. "Rasanya tenang. Seperti semua masalah bisa ditunda sebentar."
Alya tersenyum kecil, pandangannya lurus ke depan. "Aku sering ke sini waktu awal kuliah. Kalau pusing sama tugas atau… ya, kehidupan."
Julian melirik ke samping. "Alya," panggilnya pelan.
"Hmm?" Alya menoleh sedikit, memperhatikan Julian dengan penuh perhatian.
"Kamu pernah berpikir nggak… tentang masa depan? Maksudku, tentang seperti apa hidup yang kamu bayangkan setelah wisuda nanti?" Julian bertanya dengan nada yang lebih serius, wajahnya sedikit mengernyit, seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri lebih dari sekadar Alya.
Alya menarik napas pelan. Pertanyaan itu sederhana, namun baginya, jawabannya tidak sesederhana itu.
"Pernah," jawabnya jujur. "Kadang aku bayangin jadi dosen. Atau kerja di NGO yang bergerak di bidang pendidikan lintas budaya. Tapi semakin dekat akhir kuliah, aku juga makin sadar… kadang hidup nggak semulus bayangan."
Julian mengangguk pelan. "Aku juga sering mikir begitu. Aku pengen lanjut studi. Tapi keluargaku pengennya aku kerja dulu. Papa pengen aku balik ke kota dan aktif di gereja, nerusin pelayanan di komunitas."
Alya menoleh, memperhatikan guratan resah di wajah Julian. Ada beban yang tak selalu ia tunjukkan ke orang lain. Rasa bingung, sekaligus takut. Tak hanya tentang masa depan yang tak pasti, tapi juga tentang harapan-harapan besar yang digantungkan padanya.
"Berat, ya?" tanyanya lembut, suaranya penuh empati.
Julian tertawa pendek, getir. "Iya. Tapi aku nggak mau kelihatan lemah. Aku anak laki-laki satu-satunya. Harus kelihatan kuat, katanya."
Alya tak menjawab. Ia hanya mengangguk perlahan, mencoba menunjukkan empati tanpa perlu kata-kata. Namun, hatinya terasa berat. Mengerti bagaimana rasanya hidup di bawah bayang-bayang harapan orang lain adalah sesuatu yang sangat ia pahami.
Hari-hari berikutnya, mereka semakin sering bertemu di luar jam kuliah. Entah itu mengerjakan tugas skripsi bersama di perpustakaan, atau sekadar berjalan-jalan sore di sekitar kampus. Obrolan mereka pun tak lagi sekadar soal agama dan pemikiran, tapi mulai merambah ke hal-hal kecil: film favorit, musik yang mereka dengarkan, hingga cerita-cerita masa kecil yang penuh tawa dan kenangan.
Suatu hari, Julian mengajak Alya ke toko buku bekas di pinggir kota. Tempatnya sempit, berjejal rak kayu tua yang dipenuhi buku dengan sampul lusuh. Namun ada kehangatan yang tak bisa didapat dari toko buku modern.
"Tempat ini nostalgia banget," kata Julian sambil menelusuri deretan buku.
Alya tersenyum, tangannya menyentuh punggung buku-buku tua. "Aku suka aroma buku bekas. Ada cerita yang tersembunyi di tiap halaman."
Saat itu, Julian tanpa sadar memperhatikan Alya lebih lama. Caranya tersenyum, matanya yang berbinar saat membicarakan buku, dan cara jemarinya menyusuri halaman seolah sedang menyentuh sesuatu yang berharga. Ada keindahan dalam ketenangannya yang membuat Julian tak bisa mengalihkan pandangan.
Ia sadar… hatinya tak lagi netral.
Namun rasa itu ia simpan sendiri. Setiap kali ada momen seperti itu—ketika ia merasa seolah ingin mengungkapkan sesuatu—ia justru menahan diri. Tak tahu bagaimana harus berbicara tentang perasaan yang semakin kuat ini. Tak tahu bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ada sesuatu lebih dari sekadar persahabatan antara mereka. Sesuatu yang lebih kompleks, yang datang dengan rasa takut dan keraguan.
Begitu pula dengan Alya. Setiap kali mereka bicara, ia merasa nyaman dengan Julian. Lelaki itu tak pernah menekannya. Tak pernah memaksanya menjadi orang lain. Julian justru membuatnya merasa cukup menjadi dirinya sendiri. Ia pun mulai menyadari bahwa ia tak lagi sekadar menikmati obrolan cerdas mereka, tapi juga menantikan kehadiran Julian.
Namun, meski begitu, ada suara dalam dirinya yang selalu memperingatkan, setiap kali hatinya bergetar, bahwa mungkin ada batas yang tidak boleh ia lewati.
Hati-hati, Alya. Jangan sampai kau lupa garis yang tak boleh kau lewati.
Ia masih Alya yang dibesarkan dalam keluarga Muslim. Ia tahu, jatuh cinta pada pria berbeda agama bukan hanya soal perasaan. Ada konsekuensi yang besar. Ada luka yang bisa dalam. Ia pernah mendengar cerita-cerita tentang pasangan beda agama yang berakhir dengan perpisahan karena perbedaan keyakinan. Ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika harus memilih antara cinta dan nilai-nilai yang telah diajarkan kepadanya sejak kecil.
Pada suatu malam, sepulang dari acara diskusi komunitas lintas agama, Julian menghentikan langkah saat mereka tiba di gerbang kampus.
"Alya," panggilnya pelan.
Alya menoleh. "Iya?"
Julian menatapnya dalam, ragu-ragu sejenak. Lalu ia tersenyum tipis. "Makasih ya. Buat… semua obrolan kita. Aku nggak pernah se-nyaman ini sama orang."
Alya menahan napas sesaat. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat dadanya berdebar tak karuan. Namun ia memilih tersenyum kecil. "Aku juga senang bisa kenal kamu."
Mereka lalu berpisah malam itu. Namun di hati masing-masing, ada kalimat yang tertahan. Ada rasa yang tak terucap.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan mereka semakin sulit diabaikan. Setiap kali mereka berbicara, ada percikan rasa yang semakin nyata. Mereka tidak lagi hanya membicarakan ide dan pemikiran, tapi juga perasaan yang lebih dalam—meskipun mereka tidak pernah secara eksplisit mengungkapkan perasaan itu.
Namun semakin lama mereka mencoba mengabaikan perasaan itu, semakin jelas ia tumbuh. Mereka saling memandang, tetapi tak ada kata yang keluar. Hati mereka berdebar, dan pikiran mereka terbalut kebingungannya sendiri. Rasa itu mulai menguasai mereka berdua.
Alya tahu bahwa hatinya mulai melangkah ke arah yang tak bisa ia kendalikan. Julian juga merasakannya—keinginan untuk memegang tangan Alya, untuk lebih dekat dengannya. Namun, seperti yang sering ia lakukan, ia menahan diri. Tak ada kata-kata yang bisa mengubah kenyataan bahwa mereka berasal dari dua dunia yang berbeda. Dua keyakinan yang seolah tak akan pernah bisa dipersatukan.
Dan meskipun mereka berdua tahu bahwa rasa itu semakin besar, mereka berdua juga sadar bahwa mereka tidak bisa mengabaikan batasan-batasan yang ada. Begitu banyak hal yang bisa dipertaruhkan jika mereka memilih untuk mengikuti perasaan mereka.
Tanpa disadari, hati mereka mulai tak bisa berbohong.
Rasa itu nyata.
Part 4 – Doa yang Beda, Hati yang Sama
Hujan gerimis turun pelan sore itu, membasahi halaman kampus yang mulai lengang. Semester hampir berakhir, mahasiswa disibukkan dengan tugas akhir, sidang skripsi, dan urusan wisuda. Di tengah hiruk-pikuk itu, Alya dan Julian tetap menyempatkan waktu bertemu. Meski tak pernah menyatakan secara terang-terangan, ada ikatan tak kasat mata yang kian erat di antara mereka. Sesekali, mereka mencuri pandang dan berbagi senyum—sebuah bahasa yang hanya mereka pahami, sesuatu yang melampaui kata-kata.
Hari itu, Julian menunggu di bawah pohon flamboyan, mengenakan jaket cokelat favoritnya. Matanya menelusuri layar ponsel, tetapi sesekali ia menoleh ke gerbang fakultas, menunggu sosok yang ia nantikan. Hujan mulai rintik, jatuh perlahan dan seakan menambah romantisme di suasana sore itu. Ketika seorang sosok dengan gamis biru muda dan cardigan krem muncul, mata Julian langsung berbinar. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya, selain senyuman yang menyapa.
Alya datang dengan langkah ringan, rambut hitam panjangnya diikat rapi. Wajahnya teduh seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda di matanya hari itu. Mungkin karena seminggu penuh kerja keras, atau mungkin karena perasaan yang semakin sulit ia sembunyikan. Ketika pandangan mereka bertemu, ada senyum yang hanya mereka berdua mengerti—senyum yang penuh arti.
"Lama nunggu?" tanya Alya, suaranya lembut namun penuh kehangatan.
"Nggak, baru aja," jawab Julian, menyimpan ponselnya dan menatap Alya, berusaha terlihat santai meski hatinya berdebar.
Hari itu, Julian mengajaknya ke sebuah acara komunitas mahasiswa Katolik—sebuah diskusi terbuka tentang toleransi dan pemahaman lintas iman. Alya sempat ragu, tapi rasa ingin tahunya lebih besar. Dia ingin mencoba mengerti dunia Julian lebih jauh. Ia tahu, bahwa dalam hubungan ini, ia tidak bisa hanya melihat dari satu sisi saja. Bagaimana mungkin ia bisa mengerti dirinya jika tidak memahami dunia yang ada di sekitar Julian?
Acara diadakan di sebuah aula kecil, sederhana namun hangat. Di dalam, ada mahasiswa lintas agama yang duduk melingkar. Suasana santai namun penuh rasa hormat. Julian memperkenalkan Alya pada beberapa temannya: Dave, Ray, dan beberapa anggota komunitas lainnya yang menyambutnya dengan senyum hangat. Meski awalnya merasa sedikit canggung, Alya mulai merasa nyaman. Setiap pertemuan di acara semacam ini selalu memberikan sesuatu yang baru baginya—bukan hanya pemahaman, tetapi juga tantangan untuk berpikir lebih terbuka.
Selama diskusi, topik yang dibicarakan mulai dari toleransi, pengalaman pribadi tentang hidup dalam masyarakat plural, hingga tantangan menjalani hubungan beda iman. Alya menyimak dengan saksama. Ia mendengar cerita-cerita dari teman-teman Julian yang hidup dalam keluarga Katolik yang teguh. Beberapa dari mereka berbagi pengalaman tentang bagaimana mereka berusaha menjembatani perbedaan keyakinan dalam hubungan mereka.
Sesekali, ia mencuri pandang kepada Julian, yang duduk di sampingnya, mendengarkan dengan penuh perhatian. Ada perasaan hangat di dada Alya—sesuatu yang sulit ia jelaskan, namun sangat nyata. Julian selalu bisa membuatnya merasa diterima, tidak ada tekanan, tidak ada perasaan canggung. Di samping Julian, ia merasa aman untuk menjadi dirinya sendiri.
Usai acara, mereka berjalan kaki menyusuri trotoar basah, melewati jalanan yang dipenuhi genangan air hujan. Lampu jalan mulai menyala, memantulkan cahaya kuning keemasan di genangan air yang tenang.
"Gimana acaranya?" tanya Julian, mencoba membaca ekspresi Alya yang terlihat serius.
"Aku senang bisa ikut. Banyak hal yang bikin aku mikir," jawab Alya pelan, matanya jauh, seakan merenung. "Tentang… bagaimana kita bisa saling memahami tanpa harus kehilangan jati diri."
Julian tersenyum, matanya yang lembut menunjukkan rasa syukur bahwa Alya mau mengikuti acara itu. "Itu juga yang aku rasain. Aku pengen kita bisa saling ngerti meski banyak hal yang beda."
Mereka terus berjalan dengan langkah yang pelan, menikmati kebersamaan yang meski tanpa kata-kata, penuh makna. Namun di balik itu semua, ada kecemasan yang mengganggu pikiran mereka berdua—tentang apa yang akan terjadi setelah ini.
Beberapa minggu setelah itu, giliran Alya yang mengajak Julian menghadiri kajian terbuka di masjid kampus. Temanya tentang Cinta dalam Islam. Julian, meski sempat gugup, setuju dengan senang hati. Ia merasa bahwa untuk benar-benar memahami Alya, ia harus bisa menghormati dunianya. Ini bukan hanya tentang cinta pada Alya, tapi tentang belajar untuk lebih mendalam menghargai keyakinan yang ia anut. Ia merasa bahwa perbedaan mereka harus dirayakan, bukan dijadikan tembok pemisah.
Di serambi masjid, suasana hangat dan bersahaja. Para peserta duduk bersila, mendengarkan ustaz muda yang membawakan materi dengan gaya santai dan mudah dimengerti. Julian duduk di bagian belakang, memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu. Meski tidak sepenuhnya memahami semua istilah, ia mencoba menyerap nilai yang disampaikan. Alya sesekali menoleh, memberikan senyuman lembut sebagai tanda bahwa ia merasa nyaman.
Selesai kajian, mereka duduk di beranda masjid, menikmati angin malam yang sejuk. Ada keheningan nyaman di antara mereka. Suara jangkrik yang terdengar dari kejauhan dan gemerisik angin menjadi latar yang sempurna untuk percakapan hati ke hati mereka.
"Kadang aku mikir… lucu ya," gumam Alya, menatap langit malam yang berbintang. "Kita belajar agama beda-beda, tapi inti pesannya hampir sama: cinta, kasih, damai."
Julian mengangguk pelan. "Iya. Tapi kenyataannya, kadang justru perbedaan itu bikin orang saling menjauh. Kenapa ya?" katanya, merenung.
Alya menarik napas panjang, perasaannya bergejolak di dalam dada. "Aku takut, Lian. Aku takut kita juga nanti… jadi kayak mereka. Yang akhirnya nggak bisa bareng karena perbedaan yang nggak bisa dijembatani."
Julian menoleh, menatap Alya dalam-dalam. Wajahnya terlihat serius, namun penuh kehangatan. "Aku juga takut. Tapi aku lebih takut kalau aku harus kehilangan kamu tanpa pernah mencoba."
Kata-kata itu menggetarkan hati Alya. Ia menunduk, menyembunyikan matanya yang mulai berkaca. Namun, di dalam hatinya, ia tahu—perasaan yang mereka miliki lebih kuat dari apa pun yang dapat menghalanginya. Cinta mereka adalah sesuatu yang suci dan tulus, meskipun dunia di luar sana mungkin belum siap menerima perbedaan mereka.
Malam itu, mereka saling mengerti tanpa banyak kata. Mereka tahu bahwa hubungan ini tidak mudah. Tetapi mereka juga tahu bahwa rasa yang tumbuh di hati mereka bukan sekadar kekaguman semata, melainkan cinta yang diam-diam mengakar dan semakin kuat, meski mereka belum tahu apa yang akan terjadi nanti.
Namun di balik semua tawa dan obrolan hangat, ada luka yang perlahan mulai terasa. Luka karena mereka tahu, cepat atau lambat, mereka harus memilih. Dan pilihan itu tak pernah mudah.
Di dalam doa yang mereka panjatkan di tempat ibadah masing-masing, ada nama yang mereka sebut diam-diam. Ada harapan yang mereka bisikkan, meski tahu langit mereka berbeda. Dalam hati, mereka berdoa untuk kekuatan, untuk kemampuan menjaga perasaan dan iman sekaligus.
Hari-hari berlalu dengan kehangatan yang membingungkan. Alya dan Julian, meski tak pernah meresmikan apapun di hadapan teman-teman mereka, semakin tak terpisahkan. Jadwal skripsi yang padat, seminar, hingga diskusi kelompok—seolah selalu ada alasan bagi mereka untuk berada di tempat yang sama. Tapi itu bukan kebetulan. Itu adalah kerinduan yang mereka sembunyikan dalam rutinitas.
###
Di sebuah kafe kecil dekat kampus, mereka duduk berdua. Di antara buku-buku tebal, laptop terbuka, dan secangkir kopi hangat, mereka mencoba menyelesaikan revisi skripsi mereka. Namun sesekali pandangan mereka bertemu, mencuri senyum kecil yang tak bisa disembunyikan. Itu adalah senyum yang hanya mereka mengerti—senyum yang penuh dengan kata-kata yang belum terucap.
“Alya,” panggil Julian pelan, membuat Alya mengangkat kepalanya dari layar laptopnya.
“Hmm?” jawabnya lembut.
Julian tampak ragu sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu yang berat. Lalu dengan suara yang lebih lembut, ia berkata, “Aku… aku suka kamu.”
Alya terdiam. Kata-kata itu sederhana, namun mengguncang dinding hati yang selama ini berusaha ia tegakkan. Ia menutup laptopnya perlahan, menunduk, dan akhirnya menatap Julian. Mata mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa diucapkan.
“Aku juga,” jawab Alya akhirnya, suaranya lirih namun penuh perasaan, nyaris tenggelam dalam bisingnya kafe.
Sejak hari itu, tanpa mereka sadari, status mereka berubah. Mereka tak pernah mengumumkan hubungan itu kepada dunia. Tidak ada pengakuan di media sosial, tidak ada cerita kepada teman dekat. Hanya mereka berdua yang tahu bahwa sejak percakapan sore itu, hati mereka telah bertaut lebih erat. Dan meskipun tidak ada janji manis atau janji masa depan, mereka tahu satu hal—perasaan ini begitu nyata dan tidak bisa dipungkiri.
Alya tetap Alya yang hati-hati. Ia menetapkan batas: mereka tak akan melangkah ke arah yang melanggar prinsip dan iman masing-masing. Julian menghormati itu, meski hatinya ingin lebih. Hubungan mereka menjadi ruang sunyi yang penuh makna—ada cinta, tetapi juga ada pagar yang dijaga bersama.
Namun, semakin lama mereka semakin sadar bahwa mereka hidup di atas benang tipis. Mereka tahu bahwa semakin hari, semakin dekat dengan ujian yang lebih besar—ujian untuk mempertahankan apa yang mereka miliki, atau mengakui bahwa hubungan ini mungkin akan berakhir.
Pertanyaan besar itu selalu menghantui mereka: “Jika nanti wisuda sudah lewat… kita mau apa?”
Part 6 – Kenyataan yang Tak Bisa Disangkal
Cinta mereka, yang selama ini tumbuh dalam diam, mulai terdesak oleh suara keras kenyataan. Dulu, mereka bisa meluangkan waktu bersama dengan bebas, meskipun hanya di dalam hati, meskipun hanya dalam tatapan mata yang tak perlu kata-kata. Namun, semakin mendekati garis akhir kuliah, semakin banyak mata yang memperhatikan. Dan semakin banyak pertanyaan yang tidak bisa mereka elakkan.
Alya merasakannya pertama kali dari ibunya. Suatu malam, ketika ia pulang ke rumah di akhir pekan, ibu Alya duduk bersamanya di ruang tamu. Wajah ibunya lembut, tetapi ada tatapan penuh tanya yang tak bisa disembunyikan.
"Alya," ucap ibu dengan suara lembut, tetapi penuh perhatian. "Ibu lihat kamu akhir-akhir ini sering sendiri, tapi kayaknya nggak sendiri juga." Senyum ibunya terbit samar. "Ada yang mau kamu cerita, Nak?"
Alya terdiam, seolah hatinya sedang terbagi antara keinginan untuk berbagi dan perasaan takut yang menyelimuti dirinya. Ia tersenyum tenang, namun tangannya meremas ujung kerudung yang ia pegang, mencoba menyembunyikan kecemasan yang membesar di dadanya.
"Nggak, Bu," jawab Alya dengan suara pelan, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya gelisah. "Teman-teman kampus aja, banyak tugas kelompok."
Ibunya mengangguk, tidak mendesak lebih jauh, namun Alya tahu betul bahwa seorang ibu tidak membutuhkan pengakuan untuk bisa mengerti bahwa ada sesuatu yang mengganjal di hati anaknya. Sesuatu yang tersembunyi, yang tidak bisa begitu saja diungkapkan.
Di sisi lain, Julian juga mulai menghadapi tekanan yang serupa. Sebuah sore yang cerah, saat makan malam bersama keluarganya, ibunya tiba-tiba bertanya dengan nada yang tidak bisa diabaikan.
"Julian," suara ibunya yang lembut namun penuh harapan terdengar di meja makan. "Kamu sudah makin besar. Setelah lulus nanti, Mama dan Papa ingin kamu lebih serius ikut komunitas gereja. Bahkan Pastor Damian nanya kapan kamu ikut kelas pendalaman iman." Ibunya menatapnya penuh perhatian, berharap anaknya akan menanggapi dengan serius.
Julian meletakkan sendoknya perlahan, terhenti sejenak. Matanya menatap kosong ke piringnya. "Iya, Ma," jawabnya dengan suara datar. "Nanti aku pikirkan."
Tapi benaknya penuh dengan kecemasan. Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan pada orang tuanya tentang Alya? Bagaimana ia bisa menghadapi kenyataan bahwa ia terperangkap antara dua dunia yang sangat berbeda?
Hari-hari berlalu, dan kecemasan itu terus menumpuk. Pertengkaran kecil mulai muncul di antara mereka. Bukan karena berkurangnya rasa cinta, tetapi justru karena cinta itu terlalu besar, dan mereka tidak tahu bagaimana cara mengarunginya. Cinta yang begitu kuat, namun terhalang oleh batas-batas yang mereka tidak bisa runtuhkan.
Pada suatu sore yang lelah di perpustakaan kampus, Alya menatap Julian dengan mata yang penuh kelelahan. Ia merasa dunia ini terlalu berat untuk dipikul sendirian, dan ia tidak tahu bagaimana lagi harus bertahan.
"Julian," katanya pelan, suara itu hampir tidak terdengar. "Aku capek harus terus nutup-nutupin semuanya. Aku bohong sama ibu aku, aku sembunyi-sembunyi dari teman-teman. Aku merasa seperti sedang hidup di dalam kebohongan."
Julian menarik napas panjang, matanya menunduk, terlihat bingung dan resah. "Aku juga, Alya. Papa Mama makin sering nanya soal aku ikut komunitas gereja. Aku... aku nggak tahu harus gimana." Ia meremas tangan Alya dengan lembut, mencoba memberi sedikit kekuatan, meskipun dirinya sendiri juga diliputi kebingungan.
Mereka terdiam lama. Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Cinta mereka tak bisa lagi disembunyikan, tapi kenyataan yang harus mereka hadapi semakin jelas—bahwa dunia luar tidak akan membiarkan mereka terus berjalan tanpa adanya pertanyaan, tanpa adanya keputusan yang harus diambil.
Beberapa hari setelahnya, Julian memberanikan diri untuk berbicara. Mereka duduk di bangku taman, di bawah langit sore yang mulai jingga, menikmati sisa-sisa sinar matahari yang perlahan meredup.
"Alya," suaranya pelan, penuh keraguan. "Kalau aku kompromi?" Ia menatap Alya dengan tatapan yang penuh ketulusan. "Kalau aku pindah agama, ikut kamu? Kita bisa menikah… kita nggak perlu takut lagi. Kita bisa jadi pasangan yang diterima oleh semua orang."
Alya membeku. Matanya terbuka lebar, terkejut dengan apa yang baru saja didengar. Julian menatapnya dengan penuh harapan, penuh ketulusan yang sulit untuk dijelaskan. Namun, hatinya seperti ditikam rasa bersalah yang begitu tajam.
"Lian," suara Alya tegas meskipun bergetar, "jangan." Ia meraih tangan Julian, mencoba memberi pengertian. "Kalau kamu pindah agama bukan karena kamu yakin… itu nggak adil buat kamu dan keluargamu Lian."
Julian menunduk, rahangnya mengeras, menahan emosi yang muncul begitu mendalam. "Aku cuma nggak mau kehilangan kamu, Alya," katanya dengan suara penuh penyesalan.
Alya menahan air mata yang mulai menggenang. Hatinya terasa sangat berat, tetapi ia tahu bahwa cinta yang sesungguhnya tidak bisa bertentangan dengan kebenaran dan keyakinan. "Aku juga nggak mau kehilangan kamu," jawab Alya pelan.
Malam itu, Alya berdoa lama di kamarnya. Ia berlutut di sisi tempat tidurnya, hatinya penuh dengan rasa cemas yang mendalam. Doanya bukanlah doa agar dipersatukan, bukan untuk meminta agar segala sesuatunya berjalan sesuai dengan keinginannya. Doanya malam itu adalah doa agar hatinya cukup kuat untuk melepaskan jika memang itu yang harus dilakukan. Agar ia bisa menerima kenyataan bahwa terkadang cinta yang terindah pun harus melewati batas yang tak bisa diterobos.
Di waktu yang hampir sama, Julian duduk sendirian di kapel kampus, menulis di jurnal kecilnya. Tangan Julian bergerak cepat di atas kertas, menuliskan doa yang tak pernah ia ucapkan dengan suara.
"Tuhan. Aku nggak tahu apakah aku bisa kuat tanpa dia. Aku nggak tahu apakah aku bisa memilih antara Kamu dan dia.”
Kenyataan memang tak bisa disangkal. Sebesar apapun cinta mereka, ada batas yang tak bisa mereka runtuhkan. Dan perlahan, mereka mulai sadar: jalan di depan mereka bercabang, dan mungkin mereka harus memilih jalan masing-masing. Mereka tak tahu apakah mereka bisa menghadapinya, tetapi mereka tahu satu hal: cinta mereka begitu besar, dan meskipun tidak bisa bersatu dalam hidup ini, mereka tetap akan membawa perasaan itu dalam hati mereka, di setiap langkah yang mereka ambil.
Part 7 – Titik Retak
Langit kampus sore itu mendung, seolah meniru awan gelap yang mulai menggantung di hati Alya dan Julian. Mereka sudah tidak sesering dulu berbicara tanpa beban. Keduanya seperti berjalan di atas benang tipis, takut salah langkah, takut kalimat-kalimat mereka berubah menjadi pisau yang melukai. Cinta mereka yang semula tumbuh dengan tenang, seperti aliran sungai yang jernih, kini menghadapi batu-batu tajam yang menghadang.
Hari-hari mereka seakan kehilangan cahaya, berkurang warnanya. Di ruang diskusi fakultas, tempat biasanya mereka berdiskusi tentang skripsi atau sekadar berbagi cerita, Alya duduk dengan kepala tertunduk, berusaha menahan beban yang semakin berat di dadanya. Di depannya, Julian menatap kosong pada layar laptop yang tidak benar-benar ia baca. Ia memutar pena di tangannya, berusaha mencari kata-kata yang tepat, namun tidak ada yang muncul.
Alya merasakan betapa perbedaan di antara mereka semakin nyata. Mereka sudah saling mengenal begitu dalam, tetapi sekarang mereka tak bisa lagi berbicara seperti dulu. Rasanya, setiap kata yang keluar hanya membuat jarak semakin lebar. Suasana itu semakin menekan hatinya.
"Lian…" Suara Alya akhirnya pecah setelah sekian lama diam. Nada suaranya penuh keraguan, namun sangat tegas. "Kita harus bicara."
Julian menutup laptopnya perlahan, menegakkan tubuh, lalu menatap Alya dengan pandangan yang kosong, tapi penuh perasaan. "Aku tahu," jawabnya, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Seperti mereka sudah lama tahu bahwa percakapan ini tak bisa dihindari.
Alya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang berdebar. "Kita nggak bisa begini terus. Aku nggak bisa terus bohong sama Ibu. Dan aku nggak mau kamu berbohong terus sama keluargamu. Kita… kita cuma nyakitin diri sendiri."
Julian memejamkan mata sejenak, seolah menahan sesuatu yang mendesak dari dadanya. "Aku paham, Al" ucapnya dengan suara yang lebih berat, seakan segala beban dunia berada di pundaknya. "Tapi aku nggak bisa bayangin hidup tanpa kamu."
Air mata Alya jatuh, tak tertahan. Hatinya terasa hancur, tetapi ia tahu ini adalah langkah yang harus diambil. "Aku juga nggak bisa bayangin… tapi apa kita mau terus begini? Aku takut, Lian. Aku takut dosa, aku takut aku jatuh terlalu dalam sampai aku lupa prinsipku… sampai aku lupa Tuhan aku." Suara Alya hampir tidak terdengar, tergerus oleh isak tangis yang semakin keras.
Julian menggenggam tangan Alya erat, seolah mencoba memberi sedikit kenyamanan, meski hatinya juga rapuh. "Aku juga takut, Lian. Aku juga nggak mau aku jauh dari Tuhan aku. Tapi kamu pikir aku bisa lepasin kamu begitu aja? Aku udah coba, aku udah berdoa… tapi aku selalu balik ke kamu."
Alya terisak. "Aku sayang kamu. Tapi sayang itu nggak cukup buat bikin semua jadi benar."
Kata-kata itu keluar begitu berat, tetapi sangat nyata. Meskipun sayang itu tak pernah berhenti, meskipun perasaan itu mengikat mereka dengan begitu kuat, Alya tahu bahwa kadang cinta tidak cukup untuk mengatasi semua yang ada di depan mereka. Ada hal-hal yang lebih besar yang harus mereka pertimbangkan.
Hari-hari setelah percakapan itu menjadi lebih berat. Mereka mencoba menjaga jarak, namun setiap kali bertemu pandang, hati mereka kembali terhubung. Seolah ada simpul tak terlihat yang terus menarik mereka satu sama lain, tidak peduli betapa keras mereka berusaha untuk melepaskan. Setiap kali mereka berdua berada di tempat yang sama, seperti di ruang diskusi atau di kampus, rasa itu kembali muncul, tidak bisa dihindari. Mereka mulai merasakan bahwa walaupun mereka memaksa untuk menahan perasaan mereka, cinta itu tidak bisa dengan mudah disingkirkan.
Aisyah, sahabat Alya, mulai menyadari perubahan itu. Suatu malam di kosan, saat mereka duduk bersama di ruang tamu, Aisyah mendekati Alya yang tampak termenung, jarang sekali melihat Alya yang begitu diam. Biasanya, Alya adalah sosok yang ceria, penuh dengan cerita dan tawa, tetapi sekarang, Aisyah bisa melihat ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih dalam.
"Alya, boleh aku tanya sesuatu?" Aisyah bertanya dengan hati-hati, seolah sudah lama merasa ada yang mengganjal.
Alya tersenyum kecil, meskipun senyumnya tidak sebesar dulu. "Apa, Syah?"
"Kamu sama Julian, ya?" Aisyah menatap Alya dengan lembut, mencoba menyampaikan kekhawatiran yang sudah lama dipendam. "Aku nggak mau nge-judge… aku cuma sahabatmu, aku cuma khawatir."
Alya menunduk, matanya berkaca. "Iya, Syah… aku sama dia. Tapi aku juga tahu ini salah. Aku nggak mau terus kayak gini… aku nggak mau makin jauh dari Allah."
Aisyah mengelus pundaknya, memberikan sedikit kenyamanan. "Kalau kamu butuh teman buat doa bareng, aku di sini. Nggak ada yang bisa maksa hati, Alya. Tapi jangan biarkan cinta bikin kamu lupa tujuan akhir kita."
Kata-kata Aisyah menancap dalam. Setiap kalimat yang keluar dari sahabatnya itu semakin menguatkan keputusan yang sudah mulai ia pikirkan. Alya mulai sering menghabiskan waktu sendiri, banyak merenung, dan berdoa. Ia merasa lebih tenang setelah mengikuti kajian-kajian kecil di kampus, mencoba menenangkan hatinya yang guncang. Tetapi dalam setiap doa, wajah Julian selalu hadir. Setiap kali ia berdoa untuk kekuatan, ia juga berdoa agar hatinya bisa melepas cinta yang telah tumbuh begitu dalam.
Sementara itu, Julian pun mulai lebih aktif ke gereja. Ia menghadiri pertemuan dengan Pastor Damian, mengikuti kelas pendalaman iman seperti permintaan orang tuanya. Ia merasa ada beban yang harus dipikul, sesuatu yang mengganggu jiwanya. Namun, setiap kalimat yang ia dengar dari Pastor Damian, bayang wajah Alya selalu hadir di benaknya. Ia tidak bisa menghilangkan perasaan itu, meskipun ia mencoba untuk lebih fokus kepada hubungannya dengan Tuhan dan komitmennya di gereja.
Namun, bayangan Alya tidak bisa begitu saja menghilang. Semakin ia mencoba untuk mendekatkan diri pada iman, semakin kuat perasaan itu menghantuinya. Ia tidak tahu apakah itu adalah godaan atau panggilan hati, tetapi perasaan itu seakan menjadi dilema yang tak bisa diselesaikan begitu saja.
Pada suatu malam di bawah langit berbintang, mereka bertemu untuk terakhir kalinya sebagai sepasang kekasih. Waktu yang telah mereka habiskan bersama selama ini terasa sangat panjang dan penuh makna, tetapi juga penuh dengan keperihan yang tidak bisa mereka elakkan lagi.
Di taman kecil dekat kampus, Alya berdiri dengan wajah sendu. Matanya penuh dengan kepedihan yang ia sembunyikan. Julian menghampiri dengan langkah yang berat, seperti orang yang tahu bahwa inilah akhir dari perjalanan mereka. Mereka tak berkata apa-apa selama beberapa menit. Hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani, membawa suasana yang lebih sunyi dari yang pernah mereka rasakan.
Alya yang akhirnya membuka suara, memulai dengan kalimat yang sangat berat baginya. "Lian… aku sudah putuskan. Kita nggak bisa lanjut. Aku nggak bisa terus berbohong pada diriku sendiri, sama Tuhan aku."
Julian mengangguk perlahan, matanya merah karena menahan tangis. "Aku ngerti, Al… aku ngerti." Suaranya bergetar, dan meskipun ia mencoba untuk terlihat tegar, hatinya hancur. Ia tahu ini adalah jalan yang harus diambil, meskipun itu menyakitkan.
Alya tersenyum pahit. "Aku akan selalu sayang kamu. Selalu. Tapi kita harus berhenti sekarang, sebelum kita makin jauh dan makin sulit balik."
Julian menatapnya dalam, matanya penuh dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. "Aku doain kamu bahagia, Al. Meski bukan sama aku." Kalimat itu keluar begitu tulus, meskipun ia merasa ada bagian dari dirinya yang telah hilang.
Mereka saling memandang lama, tidak ada pelukan, tidak ada genggaman tangan. Hanya air mata dan senyum pahit yang mereka tukar malam itu. Waktu yang mereka habiskan bersama, seolah mengalir begitu cepat, dan mereka tahu bahwa ini adalah akhir dari sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan cinta dan pengorbanan.
Langit malam itu terang, tapi bagi dua hati yang patah itu, langit terasa kosong, jauh dari apa yang mereka harapkan.
Selama berminggu-minggu setelahnya, mereka tidak bertemu. Masing-masing mencoba merajut ulang kehidupannya. Alya memperdalam kajiannya, mencoba meneguhkan hatinya dengan lebih banyak berdoa. Julian fokus menyelesaikan skripsinya, dan perlahan mulai membangun kembali hubungannya dengan keluarganya. Namun setiap kali mereka melewati tempat-tempat yang pernah mereka datangi bersama — perpustakaan, taman kampus, ruang diskusi — hati mereka mencubit. Kenangan itu terlalu dalam untuk hilang secepat itu.
Dan meskipun mereka tak lagi bicara, keduanya tahu… cinta itu belum benar-benar padam. Tetapi mereka sadar: cinta yang tidak bisa membawa mereka lebih dekat pada Tuhan, harus dilepas.
Part 8 – Hari Terakhir di Perpustakaan
Perpustakaan pusat Tirvana International University sore itu beraroma khas kertas tua dan kayu, tercium lembut oleh setiap orang yang melangkah memasuki ruangannya. Hujan yang baru reda meninggalkan udara basah dan dingin, sementara di dalam perpustakaan, kehangatan yang terasa begitu akrab seolah menyelimuti setiap sudut ruangan. Tempat ini, yang dulunya penuh dengan percakapan ringan dan tawa mereka, kini terasa hampa. Ruang yang pernah menyaksikan banyak kenangan indah mereka—tempat dimana Alya dan Julian berdebat, berbagi tawa, dan membaca puisi—sekarang berubah menjadi saksi bisu dari hubungan yang sudah berakhir.
Alya duduk di meja kayu panjang dekat jendela besar yang menghadap ke halaman kampus. Di depannya terbuka lembaran-lembaran skripsi yang tak benar-benar ia baca. Tangannya menahan pipi, sementara matanya kosong menatap baris-baris kata yang seakan tidak pernah bisa dipahami. Pikirannya teralihkan jauh dari tulisan-tulisan itu. Ia tidak bisa fokus. Pikirannya melayang ke kenangan yang tak kunjung pergi. Kenangan tentang Julian, kenangan tentang apa yang mereka miliki dan apa yang telah mereka lepaskan. Rasanya seperti ada beban yang terlalu berat untuk diungkapkan, seperti sesuatu yang terpendam dalam dada yang tak bisa lepas.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Sudah berminggu-minggu sejak keputusan besar itu diambil—sejak mereka memilih untuk mengakhiri hubungan yang penuh dengan kebahagiaan namun juga penuh dengan konflik batin yang tak teratasi. Alya tahu, meskipun keputusan itu benar, meskipun itu adalah yang terbaik bagi mereka berdua, hatinya masih belum sepenuhnya bisa melepaskan Julian. Ada bagian dari dirinya yang masih merindukan kehadiran Julian dalam hidupnya. Tapi ia juga tahu bahwa cinta yang salah, cinta yang tidak mengarah pada tujuan yang lebih besar, tidak bisa dipertahankan.
Alya memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir bayang-bayang yang mengganggu. Namun bayang wajah Julian muncul begitu jelas. Matanya yang lembut, senyumnya yang menenangkan, dan suaranya yang penuh kelembutan—semuanya kembali membanjiri ingatannya. Ia membuka matanya perlahan, menatap sekeliling. Di luar, hujan mulai reda, meninggalkan langit yang kelabu. Suasana itu terasa sepi, seperti hatinya yang kosong setelah perpisahan itu.
Suara langkah perlahan mendekat, memecah keheningan yang melingkupi perpustakaan. Julian, dengan sweater abu-abu kesayangannya dan tas selempang kain yang selalu ia bawa, muncul di antara rak-rak buku. Alya mengangkat kepala dan mata mereka bertemu. Ada jeda yang panjang, begitu lama dan penuh makna. Alya bisa merasakan luka itu, seperti ada sesuatu yang mengalir di udara, menghubungkan mereka kembali, meskipun mereka sudah memilih untuk berpisah.
"Boleh duduk?" tanya Julian pelan, suara yang dulu selalu terdengar penuh semangat kini terdengar lebih dalam, lebih berat, seperti membawa beban yang besar. Alya hanya mengangguk, mulutnya terasa kering, dan suaranya tercekat. Julian menarik kursi dan duduk di seberangnya. Tidak ada kata-kata yang keluar. Suasana menjadi semakin sunyi, begitu berat, seolah dunia sekitar mereka berhenti sejenak.
Waktu seolah berjalan sangat lambat. Mereka duduk dalam diam, hanya mendengar suara detak jam dinding yang berada di ujung ruangan. Alya bisa merasakan getaran dari tubuhnya, mencoba menahan rasa sakit yang kembali muncul. Rasa rindu yang begitu dalam, namun juga kesadaran bahwa jalan mereka tidak lagi searah. Julian mengeluarkan sebuah buku kecil dari tas selempangnya. Buku itu adalah Rindu, karya Sapardi Djoko Damono—buku puisi yang menjadi favorit mereka berdua. Mereka sering membaca buku ini bersama, berbagi makna dari setiap kata yang tertulis di sana, dan menikmati kebersamaan yang terasa begitu indah.
"Aku nemuin ini di kamar kemarin," ujarnya sambil tersenyum tipis. Senyum yang tidak sepenuhnya bahagia, tapi penuh dengan kenangan yang tak terungkapkan. "Kamu inget, kan, kita sering baca ini bareng?"
Alya menunduk, bibirnya gemetar menahan emosi yang datang begitu kuat. “Inget… aku inget.” Suaranya hampir pecah, dan untuk sejenak, ia menahan air mata yang sudah hampir jatuh. Mengingat kembali masa-masa indah itu, masa di mana mereka duduk bersebelahan, membaca puisi ini dengan senyum dan tatapan penuh harapan. Sekarang, semuanya terasa berbeda. Puisi yang sama, kata-kata yang dulu menjadi pengikat cinta mereka, kini berubah menjadi salam perpisahan yang tidak bisa dihindari.
Julian membuka buku itu perlahan dan mulai membaca pelan, suaranya bergetar namun tetap hangat, seperti dulu. Suara itu mengalir dalam irama yang familiar bagi Alya, membawa kenangan yang begitu kuat.
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu."
Alya memejamkan mata, air mata jatuh membasahi pipinya. Setiap kata dalam puisi itu terasa seperti pisau yang mengiris hatinya. Ia ingat betul bagaimana dulu mereka membacanya bersama, dengan penuh cinta, berharap bahwa cinta mereka akan tetap tumbuh dan berkembang. Namun kenyataannya, mereka harus melepaskan satu sama lain. Cinta yang seharusnya menjadi kebahagiaan, malah menjadi penderitaan karena tidak bisa mengarah pada tujuan yang lebih besar.
Julian menutup buku itu perlahan, seolah tak ingin mengakhirinya. "Aku nggak pernah nyesel kenal kamu, Alya. Kalau waktu bisa aku ulang… aku tetap mau ketemu kamu."
Alya menyeka air matanya dengan lengan, berusaha menahan diri agar tidak tenggelam dalam kesedihan yang begitu dalam. "Aku juga, Lian. Aku juga…" Ia mencoba tersenyum, meskipun senyumnya terasa pahit. Mereka berdua saling menatap, dan dalam pandangan itu ada ribuan kata yang tak terucap. Ada permintaan maaf, terima kasih, penyesalan, doa—semuanya bercampur menjadi satu, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mereka hanya bisa saling memandang, mencoba memahami perasaan yang bergejolak di dalam hati masing-masing.
Perpustakaan mulai sepi, lampu-lampu yang semula terang kini mulai meredup. Matahari tenggelam perlahan di balik jendela besar, meninggalkan langit yang semakin gelap. Julian bangkit dari kursinya, merapikan tas selempangnya dengan gerakan lambat. "Aku harus pergi. Nanti malam ada pertemuan keluarga," katanya dengan nada yang lebih datar, lebih jauh dari yang biasanya.
Alya mengangguk, namun tidak bisa berkata lebih. Ia berdiri, berdampingan dengan Julian, dan mereka berjalan perlahan keluar dari perpustakaan. Langkah kaki mereka bergema hampa di sepanjang lorong yang sepi. Setiap langkah terasa berat, seperti mengingkari waktu yang telah berlalu begitu cepat.
Di depan pintu, Julian berhenti. Ia menatap Alya sekali lagi, dalam dan lama, seakan ingin mengingatkan dirinya sendiri akan setiap detil dari pertemuan terakhir ini. "Selamat tinggal, Alya. Jaga dirimu."
Alya tersenyum, meskipun matanya basah. "Selamat tinggal, Julian. Semoga Tuhan selalu jagain kamu." Tidak ada pelukan. Tidak ada sentuhan. Hanya pandangan yang seolah menandai bahwa mereka pernah ada. Mungkin itu adalah cara terbaik untuk mengakhiri sebuah kisah yang telah berakhir, meskipun hati masih merasa sakit.
Julian berbalik, melangkah pergi di bawah langit yang mulai gelap. Alya menatap punggungnya yang menjauh, hingga akhirnya hilang di tikungan jalan. Dadanya sesak, namun ada ketenangan baru yang hadir. Ia tahu, ia telah merelakan. Meskipun perpisahan ini menyakitkan, ia tahu bahwa itu adalah keputusan yang tepat. Mereka tidak bisa terus bersama, karena jalan hidup mereka sudah berbeda.
Malam itu, di kamar kosnya, Alya membuka buku catatannya. Dengan tangan gemetar, ia menulis surat untuk Julian. Surat yang tak akan ia kirimkan, tapi cukup untuk menutup bab ini. Ia ingin mengungkapkan perasaannya, meskipun tahu bahwa tidak ada lagi kesempatan untuk berbicara langsung.
"Julian,
Aku akan mencintaimu selamanya. Tapi langit kita berbeda, dan aku tak bisa memaksakan takdir yang bukan milikku. Semoga kamu bahagia, meski bukan denganku.
-Alya"
Ia menutup buku itu perlahan, merasa ada sedikit kedamaian yang datang setelah menulis surat itu. Ia tahu, ini adalah akhir yang harus diterima. Meski hatinya masih terluka, ia merasa sedikit lebih ringan. Baginya, ini adalah bentuk cinta yang sesungguhnya
Bab 9 – Langit Kita Berbeda
Hari wisuda tiba, dan Tirvana International University dipenuhi dengan nuansa kegembiraan dan kebanggaan. Langit pagi itu cerah, seolah memberi senyuman pada para mahasiswa yang siap menorehkan jejak baru dalam hidup mereka. Alya berdiri di antara kerumunan, mengenakan gaun wisuda berwarna biru laut yang serasi dengan kebayanya, yang sudah dipilih dengan penuh pertimbangan. Gaun itu tidak hanya dipilih karena warnanya yang menyenangkan, tetapi juga karena ia merasa gaun ini melambangkan kedewasaan dan perubahan dalam hidupnya. Rambutnya disanggul sederhana, namun tetap cantik dengan hiasan bunga putih yang diletakkan dengan hati-hati. Meskipun penampilannya sempurna, tak banyak yang menyadari bahwa di balik senyumnya yang tampak tenang, ada kesedihan yang terselip begitu dalam.
Matanya menatap lurus ke depan, mencoba mengabaikan segala hiruk-pikuk di sekitarnya, namun pikirannya terbang jauh, melayang ke masa lalu. Ia ingat bagaimana dulu, sebelum semuanya berubah, ia dan Julian sering berjalan bersama—berbagi tawa, saling memberikan dukungan, dan berbagi cinta yang tulus. Mereka berdua telah melewati banyak hal bersama. Namun kini, semuanya terasa berbeda. Mereka berdua sudah memilih jalan yang berbeda, dan setiap langkah Alya menuju aula utama terasa penuh dengan kenangan yang meronta dalam dada. Setiap sudut kampus ini mengingatkannya pada Julian. Taman tempat mereka sering duduk bersama, berbicara tentang impian masa depan, dan berbagi rahasia hati. Perpustakaan yang menjadi tempat pertama kali mereka menghabiskan waktu bersama—di sana mereka berbincang, tertawa, dan menyusun masa depan yang terlihat begitu indah pada waktu itu. Ruang diskusi tempat mereka saling mengungkapkan pemikiran serta impian mereka, penuh dengan percakapan yang dalam dan penuh arti.
Namun kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Seiring langkah kakinya, Alya merasakan berat hati yang begitu mendalam, dan ia berusaha menekan perasaan itu. Ia ingin hari ini menjadi hari yang indah, namun rasanya begitu sulit. Semua yang terjadi seolah kembali hadir di setiap sudut yang ia lewati. Bagaimana bisa ia melupakan seseorang yang begitu berarti, seseorang yang pernah berbagi segala hal dengannya?
Langkah Alya berhenti sesaat ketika ia sampai di aula utama, tempat para wisudawan akan berkumpul untuk acara selanjutnya. Di sudut aula, ia melihat sahabat-sahabatnya, Aisyah, Mikayla, dan Arika, yang sedang berbincang dengan ceria. Mereka semua terlihat sangat bahagia, penuh dengan kegembiraan karena momen besar ini. Aisyah tersenyum lebar dan melambaikan tangan saat melihat Alya mendekat. Mikayla dan Arika ikut menyapa dengan semangat, meskipun Alya bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam suasana hatinya.
"Alya! Kamu cantik banget hari ini!" seru Mikayla dengan semangat, menggoda sambil mencubit pipi Alya dengan cara yang penuh kasih sayang. Alya tersenyum, mencoba merespon dengan semangat yang sama, tetapi di dalam hatinya, ia merasa cemas. Ada rasa berat yang menghimpit dadanya, dan senyum yang ia tunjukkan terasa setengah hati.
"Terima kasih, Mikayla," jawab Alya pelan. "Aku cuma… mencoba terlihat baik." Kata-katanya terlontar begitu saja, berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya sedang menggelayuti hatinya. Ia tidak ingin sahabat-sahabatnya khawatir, meskipun mereka semua pasti sudah bisa merasakan adanya yang berbeda dari sikapnya hari ini.
Aisyah mengamati wajah Alya dengan seksama. "Al, kamu baik-baik aja? Jangan bilang kamu masih mikirin… dia," tanya Aisyah hati-hati, dengan nada yang penuh kekhawatiran. Aisyah adalah sahabat yang paling mengenal Alya, dan ia tahu betul bagaimana perasaan Alya. Tidak ada yang bisa disembunyikan dari sahabat sejati, terutama ketika hati sedang terluka.
Alya hanya mengangguk, meskipun senyumnya terlipat sedikit. "Aku baik-baik aja, Syah. Hanya… nggak mudah." Kata-kata itu seperti tertahan di tenggorokannya, mencoba menahan perasaan yang begitu kuat. Bagaimana bisa ia mengungkapkan perasaan yang begitu rumit kepada sahabatnya, terutama ketika ia sendiri merasa bingung dengan apa yang ia rasakan?
Sementara itu, di tempat lain, Julian juga berada di antara kerumunan mahasiswa yang sedang merayakan hari besar ini. Dia mengenakan toga, meskipun senyum yang terukir di wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan yang tampak jelas di matanya. Julian berusaha untuk terlihat ceria, untuk ikut merasakan kegembiraan hari wisuda, namun hatinya terasa kosong. Ia melihat sekeliling, mencoba mencari sosok yang sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya—Alya. Ia tahu bahwa ia harus melepaskan, tetapi itu bukanlah hal yang mudah. Bagaimana bisa ia melepaskan seseorang yang telah menjadi begitu dekat, seseorang yang ia anggap akan selalu ada dalam hidupnya?
Namun, ia tahu, meskipun mereka berada di tempat yang sama, langit mereka tetap berbeda. Cinta yang dulu mereka bagi kini hanya menjadi kenangan yang membekas di hati masing-masing. Ada banyak hal yang belum mereka katakan, banyak yang belum mereka selesaikan, dan hari ini adalah hari di mana mereka harus benar-benar mengakhiri semuanya.
Julian menghela napas dalam-dalam. Saat itu, ia menyadari bahwa wisuda ini bukan hanya tentang keberhasilan akademis, tetapi juga tentang keberhasilan melepas. Melepas masa lalu, melepas hubungan yang pernah ada, dan membuka lembaran baru yang penuh dengan ketidakpastian. Tetapi, meskipun ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil, ia tidak bisa menahan perasaan yang datang begitu kuat.
Saat upacara berlangsung, mereka berdua hanya saling mencuri pandang, tidak ada kata yang terucap antara mereka. Suasana wisuda yang biasanya penuh dengan kegembiraan kini terasa hampa bagi mereka berdua. Alya bisa merasakan bahwa ada banyak hal yang belum selesai, banyak kata-kata yang tertahan, banyak kenangan yang tak bisa terhapus begitu saja. Hati mereka masing-masing bergejolak, namun keduanya memilih untuk diam, mungkin karena mereka tahu bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi.
Sesaat sebelum upacara selesai, saat para wisudawan dipersilakan untuk berfoto bersama keluarga dan teman-teman, Alya mendengar langkah kaki yang mendekat. Tanpa menoleh, ia sudah tahu siapa yang datang. Julian berdiri di sampingnya, diam sejenak, seolah tidak tahu harus berkata apa. Mereka berdua tidak segera berbicara. Hanya ada keheningan yang mengisi ruang di antara mereka.
“Julian,” kata Alya, suaranya bergetar meski ia berusaha tetap tenang. “Apa yang kita lakukan di sini, Lian?” Tanya Alya dengan lembut, mencoba untuk mengerti perasaan yang sama-sama mereka rasakan.
Julian menatapnya dengan tatapan yang dalam, penuh arti. Ada kesedihan yang tersirat di matanya, namun ada juga rasa damai yang hadir. “Aku nggak tahu, Alya. Aku hanya ingin melihatmu sekali lagi, melihat bagaimana kamu melangkah ke masa depan. Meskipun itu bukan bersama aku…” Julian menggantungkan kalimatnya, seolah tak ingin melanjutkan apa yang sudah jelas. Ia tahu bahwa mereka berdua telah membuat keputusan yang tepat, tetapi melepaskan tidak pernah mudah.
Alya menatap wajah Julian, wajah yang sangat dikenalnya. Ada rasa sakit yang tak bisa disembunyikan, namun di balik itu juga ada rasa damai yang perlahan hadir. “Kita sudah memutuskan, Jul. Kamu dan aku… kita nggak bisa bersama.” Alya tahu, ini adalah kenyataan yang harus diterima, meskipun hatinya terasa begitu berat. Mereka berdua tidak bisa terus bersama. Masing-masing harus menemukan jalan mereka sendiri.
Julian mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku nggak bisa memaksakanmu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku akan selalu mendukungmu, dari kejauhan. Kamu pantas bahagia, Alya.” Kata-kata itu keluar dengan tulus, meskipun terasa sangat sulit bagi Julian untuk mengatakannya.
Alya menahan tangis, berusaha menekan rasa perih yang menyelimuti hatinya. “Aku juga ingin kamu bahagia, Julian. Walaupun kita nggak bersama, aku ingin kamu menemukan kedamaian.” Kata-kata itu terlontar begitu saja, seperti doa yang tulus untuk pria yang pernah begitu ia cintai.
Mereka berdiri saling berhadapan, hanya beberapa langkah di antara mereka. Tak ada pelukan, tak ada ciuman perpisahan yang pernah mereka impikan. Hanya ada keheningan yang begitu sarat makna. Hanya ada tatapan yang saling mengerti, seolah berkata, "Kita pernah ada, dan itu sudah cukup."
Dengan langkah pelan, Julian mundur sedikit, memberi ruang. “Selamat tinggal, Alya.”
Alya mengangguk, dan meskipun senyumnya terlipat, ia tahu ini adalah yang terbaik. “Selamat tinggal, Julian. Semoga kamu bahagia.”
Julian berjalan menjauh, menyisakan Alya yang masih berdiri di tempat yang sama. Perasaan mereka mungkin berbeda, tetapi mereka tahu satu hal—mereka tidak bisa kembali. Masing-masing harus melanjutkan perjalanan mereka sendiri.
Setelah itu, Alya melangkah menuju bagian depan aula, tempat keluarganya menunggu. Ibu dan ayahnya tersenyum padanya, bangga melihat putri mereka berhasil menyelesaikan studinya. Alya tersenyum tipis, tetapi hatinya terasa hampa. Ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa tergantikan. Ia ingin merasa bahagia, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa kosong.
Sesaat sebelum semuanya berakhir, Alya melirik ke tempat Julian berdiri di kejauhan. Mereka saling melihat, tetapi tidak ada kata yang terucap. Hanya ada tatapan yang penuh makna, yang mengungkapkan semua yang tak bisa dikatakan. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa kembali. Langit hari itu cerah, tetapi hati mereka tetap terasa berat. Mereka tahu bahwa langit mereka berbeda, meskipun mereka pernah berbagi satu langit yang sama.
Dan pada akhirnya, meskipun langit mereka berbeda, mereka tetap membawa kenangan itu dalam hati mereka masing-masing. Kenangan yang akan tetap hidup, meskipun tak ada lagi mereka yang berjalan bersama.
"Terkadang, cinta bukan tentang menyatu, tapi tentang bagaimana kita berani melepaskan, demi sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri—iman, keluarga, dan ketulusan."-Ayara