Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Part 1 – Pertemuan di Bawah Hujan
Hujan selalu punya cara membungkam hiruk-pikuk dunia. Di Tirvana International University yang biasa riuh oleh suara mahasiswa, deru motor, dan obrolan santai di kantin, sore itu semuanya seolah diluruhkan oleh derasnya air yang jatuh dari langit. Bulir-bulir air membasahi dedaunan flamboyan di pelataran, mengguyur atap-atap tua gedung fakultas, dan menimbulkan suara ritmis yang memantul di trotoar yang mulai tergenang.
Alya menarik napas panjang, menghirup aroma tanah basah yang bercampur samar dengan bau buku tua dari tas ranselnya. Ia berdiri di bawah atap halte kecil di samping gedung Sastra, memandangi jalanan basah yang tak lagi ramai. Rambut hitam panjangnya tergerai lembap, sebagian helainya menempel di pipi. Meski pakaiannya sederhana—blus krem longgar, celana kulot hitam, dan sepatu flat yang sudah sedikit pudar warnanya—ada keanggunan yang alami pada dirinya. Alya memang tak pernah berdandan mencolok, tapi caranya membawa diri selalu menciptakan kesan mendalam.
Di tangannya, ia memeluk erat sebuah buku tebal berjudul "Dialog Agama dan Peradaban". Buku itu sudah penuh catatan kecil dan coretan stabilo warna-warni. Matanya menatap jauh ke depan, namun pikirannya melayang entah ke mana. Sejak ikut kelas diskusi lintas agama semester ini, hatinya terasa penuh. Penuh oleh pertanyaan, oleh renungan, oleh pergulatan yang tak pernah selesai.
Ia menarik napas pelan, mencoba meredakan gelisah yang samar. Hujan menjadi pelarian yang pas—menenangkan, namun penuh misteri.
Suara langkah tergesa memecah lamunannya. Seorang pria berlari kecil ke arahnya, menghindari hujan yang mulai menggila. Jaket denimnya basah di pundak, rambut cokelat gelapnya kusut dan menempel di dahinya. Ia tersenyum sopan ketika tiba di halte, lalu mengibaskan sedikit air dari kacamatanya sebelum merogoh tas selempangnya.
"Akhirnya ketemu tempat berteduh juga," gumamnya dengan nada lega. Suaranya hangat, serak tipis, seperti suara yang biasa didengar saat diskusi santai.
Alya melirik sekilas. Senyumnya pelan, tidak sepenuhnya ditampilkan tapi cukup untuk memberi isyarat ramah. "Hujannya tiba-tiba deras sekali. Tadi saya juga hampir basah kuyup."
Pria itu tersenyum lebih lebar. Matanya cokelat tua, hangat seperti warna kayu tua yang mengkilap. "Julian," katanya sambil mengulurkan tangan. "Fakultas Filsafat."
Alya menjabat tangannya singkat. Sentuhan yang hangat, ringan, namun entah kenapa meninggalkan jejak halus. "Alya. Sastra."
Julian menyandarkan punggung ke tiang halte. Ia menatap hujan dengan ekspresi tenang. Meski pakaian dan penampilannya kasual—kaos abu-abu polos di balik jaket, celana jeans gelap, dan sneakers yang sedikit belepotan lumpur—ia memancarkan keteduhan. Orang seperti ini, pikir Alya, bisa saja mudah berteman dengan siapa saja.
"Buku yang menarik," ujar Julian setelah beberapa saat hening, menunjuk buku yang Alya peluk.
Alya menatap sampulnya, lalu tersenyum. "Untuk kelas diskusi lintas agama. Minggu depan saya presentasi."
Julian mengangguk antusias. "Saya ikut kelas itu juga. Biasanya duduk di dekat jendela. Saya jarang bicara, tapi selalu memperhatikan. Kamu yang sering tanya, kan? Paling aktif di kelas."
Alya terkekeh kecil. Suaranya ringan, namun tulus. "Bukan aktif, hanya suka bertanya. Banyak hal yang belum saya pahami."
"Itu justru yang bikin kelasnya hidup," balas Julian. Matanya menatap Alya dengan ketertarikan yang tulus. Bukan tatapan menghakimi, bukan pula tatapan basa-basi. Alya mulai merasa nyaman.
Hujan terus mengguyur deras. Air memantul dari aspal dan membentuk genangan besar di beberapa sudut jalan. Mahasiswa lain mulai menghilang satu per satu, entah memilih nekat menerobos hujan atau memanggil ojek daring. Namun mereka berdua tetap di situ. Seolah hujan adalah alasan yang cukup untuk tak perlu beranjak.
"Kamu Muslim, ya?" tanya Julian hati-hati. Suaranya tetap hangat, tak ada kesan menginterogasi.
Alya menoleh. Matanya tenang, bibirnya melengkung tipis. "Iya."
Julian mengangguk. "Saya Katolik."
Ada jeda sesaat. Tapi tak ada kecanggungan. Seolah fakta itu hanya sebuah data, bukan batas. Keduanya sama-sama mahasiswa diskusi lintas agama. Keduanya sudah biasa melihat perbeda...