Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit mulai berubah jingga ketika Hana turun dari bus sore yang berhenti di depan pasar tua. Udara kota kecil ini masih sama seperti terakhir kali ia tinggalkan tujuh tahun lalu: lembut, penuh bau tanah, dan suara burung yang tak terburu-buru. Tas ransel di pundaknya sudah usang, sepatu ketsnya belel. Tapi semangat di matanya kembali menyala. Ia pulang bukan untuk lari. Ia pulang untuk mulai dari awal.
“Kamu Hana, ya?”
Suaranya terdengar serak tapi hangat. Hana menoleh dan mendapati seorang pria berdiri bersandar di motor bebek butut, senyumnya miring. Rambutnya sedikit acak, kausnya pudar, tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya yang mengingatkan Hana pada langit senja.
“Dimas?” tanyanya pelan.
Pria itu mengangguk. “Masih inget?”
Hana tertawa kecil, lalu mengangguk. “Dulu kamu suka jahilin aku di SD.”
“Sampai sekarang masih pengen, sih.”
Dimas membonceng Hana melewati jalanan sempit yang dibingkai pepohonan. Desa ini tak banyak berubah. Hanya beberapa warung berganti nama. Di tikungan dekat sungai, mereka berpapasan dengan kerbau dan anak-anak kecil bermain bola plastik.
“Kenapa pulang?” tanya Dimas akhirnya.
Hana diam sejenak. “Capek sama kota. Sama orang-orang yang cuma lihat nilai. Sama hidup yang nggak pernah kasih ruang buat jatuh.”
Dimas tidak bertanya lagi. Ia mengangguk, lalu memutar gas perlahan.
Rumah nenek Hana berdiri tua tapi kokoh. Pintu kayunya mengelupas, tapi aromanya masih sama: gabungan antara kayu tua, pandan, dan kenangan masa kecil. Nenek sudah tiada, rumah ini dibiarkan kosong selama bertahun-tahun. Tapi Hana berniat tinggal. Memperbaiki. Menghidupkan kembali.
Hari-hari pertama diisi dengan debu dan peluh. Hana membersihkan, mengepel, menambal genteng. Dimas sering datang tanpa diminta, membawa tang, cat, atau sekadar teh panas. Tak banyak bicara, tapi kehadirannya selalu terasa.
Suatu sore, saat mereka mengecat pagar, Dimas berkata, “Kamu tahu, kamu masih kayak dulu. Kepala batu.”
Hana menoleh, menahan senyum. “Dan kamu masih suka ngomel.”
“Tapi aku suka kamu yang begini. Nggak berubah.”
Itu kalimat yang sederhana. Tapi bagi Hana, dunia terasa diam sesaat. Dimas mengucapkannya seperti menyebut warna langit. Seolah itu hal biasa. Tapi Hana tahu: tidak banyak yang menyukai sesuatu yang tidak berubah. Dunia menginginkan orang terus menyesuaikan diri. Tapi di hadapan Dimas, ia merasa cukup.
Beberapa minggu berlalu. Hana mulai membuka kelas menulis kecil-kecilan di beranda rumah. Anak-anak datang dengan buku tulis dan pena warna-warni. Mereka menulis tentang hujan, tentang ibu mereka, tentang sepeda yang patah. Dimas duduk di ujung tangga, kadang ikut mendengar.
Suatu malam, setelah semua anak pulang dan langit penuh bintang, Hana duduk di tangga depan, memegang teh panas.
Dimas duduk di sebelahnya. “Aku belum pernah cerita, tapi waktu kamu pergi dulu, aku sempat nyesel.”
Hana menoleh.
“Bukan karena kamu pergi. Tapi karena aku nggak pernah bilang apa-apa.”
“Bilang apa?”
Dimas menatap ke depan. “Kalau aku suka kamu. Dari dulu. Dari SD. Dari pertama kali kamu dorong aku ke got karena aku gangguin kamu.”
Hana tertawa kecil.
Dimas lanjut, “Tapi aku pikir... mungkin kamu bakal balik. Dan mungkin aku masih bisa bilang.”
Hana diam. Di dalam dirinya, sesuatu yang lama tertanam mulai tumbuh kembali.
“Aku balik,” katanya pelan, “karena aku juga masih ingat.”
Hubungan mereka tidak pernah direncanakan. Tidak ada pernyataan, tidak ada janji, tidak juga genggaman tangan yang berlebihan. Tapi sore demi sore yang mereka habiskan bersama, perlahan membentuk sesuatu yang tidak bisa disebut teman biasa.
Hana mulai hafal suara motor Dimas dari kejauhan. Ia tahu saat suara itu mendekat, ia bisa rehat dari mengecat atau menyapu halaman, dan sekadar duduk mendengar Dimas bercerita tentang sawah yang mulai panen atau mesin traktor yang mogok lagi.
Tapi seperti langit yang tak selalu jingga, perlahan awan mulai menggelayut di langit hati Hana.
Suatu pagi, seorang perempuan datang ke rumah. Mengenakan blazer rapi, tas kulit mahal, dan wajah yang tak asing. Namanya Clara.
“Aku teman lama Hana,” kata Clara sambil tersenyum, tapi sorot matanya menilai. “Kami dulu kerja bareng di Jakarta. Aku ke sini sekalian ada proyek desa digital.”
Hana menyambut dengan ramah, meski dadanya mengeras.
Clara datang membawa dunia lama: dengan ponsel yang sibuk berbunyi, laptop yang tak pernah mati, dan pertanyaan yang menohok.
“Kamu serius mau tinggal di sini terus, Han? Bukannya sayang, ya, semua potensi kamu?”
Sore itu, saat Dimas datang, Clara masih duduk di teras. Mereka berkenalan. Clara, dengan santainya, berkata, “Wah, kamu yang sering dibicarakan Hana di kantor dulu. Yang katanya suka jahilin dia pas kecil.”
Dimas hanya tersenyum kecil. Tapi Hana melihat matanya berubah.
Beberapa hari setelah itu, Dimas mulai jarang datang. Hana mencarinya ke bengkel tempat biasa ia membantu, tapi ia hanya dapat kabar bahwa Dimas keluar lebih awal. Tak ada pesan. Tak ada penjelasan.
Clara, sementara itu, seperti menempati ruang yang tak pernah diminta. Ia menawarkan Hana kerja lagi—bukan kembali ke Jakarta, tapi jadi koordinator wilayah untuk proyek digitalisasi desa.
“Gaji tetap, kerja dari rumah, tapi tetap profesional,” bujuknya.
Hana ragu. Ia tahu pekerjaannya sekarang—mengajar menulis dan membantu perpustakaan desa—tak menghasilkan banyak uang. Tapi ia juga mulai merasa, ada sesuatu yang ia bangun dari awal, dan ia belum siap meninggalkannya.
Suatu malam, hujan deras turun. Hana berdiri di jendela, menatap halaman kosong yang biasanya dipenuhi tawa anak-anak. Suara motor tak terdengar hari ini.
Ia membuka ponselnya dan mengetik pesan pada Dimas:
“Kamu ke mana?”
Tidak ada balasan.
Lima belas menit. Setengah jam. Satu jam.
Akhirnya, layar ponselnya menyala.
Dimas: “Maaf. Aku pikir kamu butuh ruang.”
Hana menggigit bibir. Mengetik dan menghapus berkali-kali. Lalu akhirnya mengirim:
“Aku nggak butuh ruang. Aku butuh kamu.”
Esoknya, Dimas datang. Basah kuyup karena motor mogok di tengah jalan, tapi tetap membawa kantong berisi gorengan dan teh panas.
Mereka duduk di dapur. Tidak ada senyum.
“Aku pikir kamu berubah pikiran,” kata Dimas pelan.
Hana menggeleng. “Aku cuma... bingung. Dunia lama datang lagi, dan aku takut aku akan kejebak di sana.”
“Kamu tahu kenapa aku nggak pernah bilang perasaanku dari dulu?” tanya Dimas.
“Kenapa?”
“Karena aku tahu kamu akan pergi lagi.”
Diam.
“Tapi sekarang,” lanjut Dimas, “kalau kamu masih mau di sini, aku bakal di sini juga. Nggak akan pergi. Tapi aku juga nggak bisa nunggu selamanya kalau hatimu setengah-setengah.”
Hana menarik napas dalam.
“Dimas, aku jatuh cinta sama kamu,” katanya. “Tapi aku juga harus jujur: aku masih belum tahu arah. Aku takut kehilangan diriku sendiri lagi.”
Dimas menatapnya. Lalu tersenyum kecil.
“Kalau kamu jatuh, aku yang bakal bantu bangun. Tapi aku nggak akan jadi orang yang menuntun kamu ke jalan yang bukan milikmu.”
Sore itu, langit kembali berwarna jingga. Tapi bukan jingga yang sempurna. Ada abu-abu di sudutnya. Seperti ragu-ragu. Seperti hati Hana.
Tapi di balik keraguan, ada keberanian yang perlahan tumbuh.
Minggu-minggu berlalu dengan keheningan yang tak selalu nyaman. Hana sibuk mengajar anak-anak desa dan membantu proyek digital Clara. Di balik layar, jalinan komunikasi dengan Dimas tetap terjaga, tapi ada jarak yang sulit dijembatani.
Hana tahu hatinya terbelah. Antara kenyamanan desa yang menguatkannya, dan dunia lama yang menawarkan peluang. Tapi juga antara Dimas—yang sederhana tapi setia—dan Clara—yang mengingatkan pada ambisi dan mimpi-mimpi lama.
Suatu hari, Hana menerima surat dari kota. Surat dari penerbit kecil yang berminat menerbitkan kumpulan cerpennya. Tawaran itu seperti angin segar yang membelai impiannya sejak lama. Tapi surat itu juga mengingatkan pada janji yang hampir terlupakan: untuk kembali ke kota, mencari kehidupan yang lebih luas.
Ia duduk di beranda, menatap cahaya senja. Dimas datang membawa secangkir kopi hangat.
“Kamu dapat kabar bagus?” tanyanya, ragu.
Hana mengangguk. “Aku dapat tawaran dari penerbit.”
Wajah Dimas berubah, tapi ia berusaha tersenyum. “Kamu harus ambil. Ini mimpimu.”
“Kalau aku ambil, berarti aku harus pergi lagi,” ucap Hana pelan.
Dimas diam. Ada kesedihan yang tersimpan di balik senyumnya.
Malam itu, Hana sulit tidur. Ia menulis di buku harian:
“Apakah cinta harus membuat aku kehilangan bagian dari diriku? Atau aku harus memilih antara mimpi dan kenyataan?”
Keesokan harinya, Hana bertemu Clara di warung kopi kecil di pinggir desa.
“Kamu harus pilih, Hana,” kata Clara. “Kalau kamu ambil tawaran itu, aku bisa bantu. Kamu bisa hidup sesuai dengan yang kamu inginkan.”
Hana menatap mata Clara. Ada sesuatu yang dingin di sana, tapi juga ketulusan.
“Dan kalau aku memilih bertahan di sini?”
“Kalau kamu pilih itu, kamu harus siap menerima konsekuensi. Dunia nggak menunggu orang yang ragu.”
Di sisi lain desa, Dimas bergumul sendiri. Ia tahu Hana butuh lebih dari sekadar cinta sederhana. Ia mulai berpikir: apakah ia cukup untuk Hana? Apakah cinta mereka cukup untuk mengalahkan dunia yang lebih besar?
Suatu sore, di tepi sungai, Dimas menatap air yang mengalir. Ia menulis surat untuk Hana:
"Hana, aku mungkin bukan jawaban dari semua pertanyaanmu. Tapi aku janji akan ada di sini, dengan segala keterbatasanku. Kalau kamu memutuskan pergi, aku akan melepasmu dengan hati yang berat tapi penuh harapan. Tapi kalau kamu memilih bertahan, aku siap berjuang bersamamu. Pilihan ada di tanganmu. Aku percaya pada kamu."
Hana menemukan surat itu di meja makan saat pagi hari. Air matanya menetes. Ia sadar, cinta bukan soal memiliki, tapi memberi ruang.
Hari berikutnya, ia mengundang Dimas dan Clara untuk duduk bersama. Dengan suara tenang, Hana berkata,
“Aku ingin menjalani semuanya. Aku ingin menulis, aku ingin mengajar, dan aku ingin mencoba hubungan ini. Tapi aku juga ingin dunia melihat siapa aku sebenarnya—bukan hanya di kota, tapi di desa ini.”
Dimas dan Clara saling pandang.
Clara mengangguk pelan. “Aku akan tetap di sini, mendukung kamu dari jauh.”
Dimas menggenggam tangan Hana. “Dan aku di sini, selalu.”
Langit senja yang dulu hanya jingga kini berwarna penuh harapan.
Musim berganti, dan Hana menemukan ritme baru dalam hidupnya. Pagi hari ia mengajar, sore hari menulis, malamnya berdiskusi dengan Dimas atau menelepon Clara yang kini sibuk dengan proyek di kota lain.
Hubungan Hana dan Dimas semakin kuat. Mereka belajar saling mengisi, tanpa harus mengubah siapa diri mereka. Dimas yang sederhana dengan cita-cita sederhana, dan Hana yang berjiwa bebas dan penuh impian.
Suatu sore, saat matahari mulai merunduk ke balik bukit, mereka duduk di bawah pohon mangga besar di halaman rumah Hana.
“Kalau nanti aku diterima di penerbit besar, aku nggak mau lari dari sini,” kata Hana sambil tersenyum.
Dimas menatapnya penuh arti. “Aku juga nggak akan pergi. Kita jalani saja, apa pun yang terjadi.”
Hana menggenggam tangan Dimas erat. “Aku belajar satu hal. Cinta bukan tentang menemukan orang yang sempurna, tapi tentang menerima ketidaksempurnaan dan tumbuh bersama.”
Dimas mengangguk, matanya berkaca-kaca.
Hari-hari terus berjalan. Hana menerbitkan buku pertamanya, mendapat pujian yang ia impikan, tapi ia tetap pulang ke rumah di desa, ke pelukan Dimas, ke tawa anak-anak yang belajar menulis di beranda.
Mereka berdua menjadi saksi bahwa mimpi dan cinta bisa berjalan beriringan, bukan pilihan yang saling menghapus.
Di ujung senja yang lain, langit jingga kembali muncul, hangat dan penuh janji.
Hana dan Dimas menatapnya bersama, tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tapi kali ini mereka tidak takut. Karena mereka sudah menemukan pelabuhan terakhir: satu sama lain.
Tamat