Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin masa lalu, bukan sekadar hembusan melainkan bisikan tajam yang mengiris, kerap menyelinap lewat celah jendela ingatan. Ia membawa serta aroma seragam SMA yang dulu lebih mirip jubah pemberontakan. Di koridor sekolah namaku melekat dengan cap ‘anak urakan’, bayangan buram yang meniadakan masa depan, menjebakku dalam bingkai yang tak menyisakan ruang untuk harapan. Namun, setiap langkah pulang ada pintu lain yang terbuka, sebuah ruang senyap yang justru memancarkan cahaya. Di balik dinding rumah, aku adalah anak Ibu yang tak pernah melewatkan waktu shalat, dan diam-diam di antara lipatan sajadah menaruh harap dalam heningnya malam. Dua dunia itu bak siang dan malam yang tak pernah bersua, bagaikan kepingan mozaik. Identitasku yang rumit saling tarik-ulur namun tak pernah putus.
Ketika ijazah SMA tergenggam di tanganku, hidupku membentang di persimpangan jalan memberikan dua pilihan. kuliah atau kerja? Ibu hanya menatap dengan sorot matanya yang menyimpan samudra doa yang tak terucap, lalu berbisik lirih kepadaku, “Cobalah shalat istikharah, Nak.” Kalimat itu bukan sekedar nasihat tetapi juga jangkar di tengah badai keraguan. Malam itu, dalam sujud yang terasa begitu panjang, kuserahkan seluruh benang hidupku pada langit, berharap secercah petunjuk menembus kabut hati. Jawaban itu tak datang dalam kilatan cahaya, melainkan tumbuh perlahan mengakar kuat dalam niat yang membimbing langkahku. Kupilih salah satu tempat di ujung timur yang menanamkan Al-Qur’an dan kitab kuning di hati-hati yang kosong. Tempat sunyi itu menjelma menjadi ladang hikmah, di mana aku mulai menata reruntuhan masa lalu dan mencoba membangun pondasi masa depan dari puing-puing yang tersisa.
Setahun berlalu, aku naik ke tingkat dua. Namun, benang semangatku mulai terbelit antara ambisi duniawi dan panggilan jiwa yang mendalam. Keinginan untuk melampaui diri mendorongku mengambil Pendidikan Ekonomi di salah satu Universitas, sebuah lompatan ke dalam jurang ketidakpastian. Namun, bagaikan siang dan malam yang tak pernah bersatu. Jadwal kuliah dan Ma’had terus bertabrakan, menciptakan celah-celah kosong dalam kehadiranku. Absenku menumpuk, dan kabar itu akhirnya sampai ke telinga guru. Kekecewaan tak terucap, hanya terpancar dari sorot matanya yang teduh, seolah menanyakan ‘mengapa?’. Suatu hari, beliau datang ke kosku. Tak ada teguran keras, hanya harapan yang pernah kutitipkan yang terlihat. Dengan lirih beliau menyuruhku untuk masuk lagi. Setelah semester pertama aku menyerah. Kuserahkan segala ambisiku pada Ma’had, berharap bisa kembali fokus pada jalur yang kupilih.
Tetapi hidup bagaikan candaan, seperti biasa tak menyukai jalan yang mulus selalu ada lika-liku tak terduga. Beberapa bulan kemudian, aku naik ke tingkat tiga. Lagi-lagi bisikan untuk kuliah muncul, kali ini di tempat yang berbeda yaitu salah satu institut swasta yang gedugnya berbalut warna hijau telur asin yang berada di seberang jalan raya. Di sanalah ujian sesungguhnya menantiku, badai yang tak hanya mengguncang tetapi juga merobohkan pondasi hidupku yang tidak kusangka-sangka.
Namun, ujian terbesar itu bukan hanya soal akademik atau pilihan hidup, melainkan kenyataan pahit yang menanti di rumahku. Tempat yang dulu menjadi pelabuhan hangat bagiku kini berubah menjadi ladang luka yang dalam. Pulang ke rumah, ku dapati sepi yang tak biasa. Bukan lagi kehangatan yang menyambut, melainkan udara dingin yang menusuk. Meja makan yang biasanya riuh kini sunyi, kursi-kursi berjarak seolah ikut menjauh. Perceraian orang tuaku tak diumumkan dengan lantang, melainkan terukir dalam retakan dinding hati, di setiap sudut rumah yang dulu teduh kini hancur. Di tengah reruntuhan itu, aku berdiri sebagai anak sulung, menatap adik kecilku, matanya memantulkan ribuan pertanyaan yang tak terucap, seolah mencari jawaban di wajahku. Langit seolah runtuh menimpaku, pikiranku buntu diselimuti kabut tebal keputusasaan. Kuliah dan Ma’had kutinggalkan, tak ada lagi semangat yang tertinggal, hanya kekosongan yang menganga. Malam-malam kulewati, dalam diam menatap dinding kamar yang bisu seolah ia bisa memberi jawaban dari riuhnya isi otakku. Bahkan sempat terpikir untuk pergi jauh meninggalkan segalanya, termasuk bayangan masa depanku.
Dalam kegelapan itu, satu-satunya pelabuhan yang tersisa adalah hubunganku selama tiga tahun dengan seseorang. Kami telah melewati banyak hal bersama, bahkan orang tua kami pun telah saling menerima. Segala kebutuhannya kucoba penuhi, setiap keinginannya kuturuti, dan aku selalu berusaha hadir di sisinya. Namun, ketika ia mulai sering pergi mendaki gunung bersama teman-teman lelakinya hubungan kami mulai terombang-ambing. Ombak asmara kami pun berubah menjadi badai, putus-nyambung tanpa kepastian. Malam itu, saat kabar perpisahan orang tuaku datang menghantam, aku mencurahkan segala luka dan harap pada dirinya untuk mencari seikat penghiburan dalam dekapan kata-katanya. Namun malam yang sama, ia memilih untuk pergi, memutuskan hubungan kami tanpa kata. Hatiku yang sudah remuk kini hancur berkeping-keping, terhempas oleh gelombang kesepian yang tak bertepi.
Meski hatiku remuk dan sepi menyelimuti, malam-malam yang sunyi itu perlahan membuka ruang bagi bisikan lembut yang mulai menembus kekosongan jiwa, membawa secuil harapan yang tak pernah kuduga akan kembali hadir. Dalam tidur, aku bermimpi bertemu seseorang yang memakai kain putih bersih dengan tongkat di tangannya berdiri di atas gunung, pemandangan yang terasa begitu nyata. Beliau berpesan lembut bak suaranya seperti embun pagi, “Lanjutkan Ma’had-mu,” amanah yang menggetarkan seluruh jiwaku. Aku terbangun merenungi pesan itu. Entah darimana dan bagaimana, dari serpihan-serpihan yang tersisa kudapati kekuatan untuk kembali melangkah.
Pesan itu menjadi lentera kecil di tengah gelapnya hatiku, menuntunku untuk bangkit meski hati masih rapuh, dan perlahan aku mulai menata kembali langkahku menuju masa depan yang penuh ketidakpastian. Aku kembali ke kampus memendam kesedihan dalam diam, seperti menyimpan permata rapuh yang tak ingin di sentuh. Bibirku jarang bicara namun mataku menyimpan ribuan cerita yang tak terucap. Kesedihan itu kusimpan, menjadikannya penguat langkah. Pelan-pelan kuselesaikan Ma’had empat tahun lamanya. Setelah selesai, keberanian untuk melanjutkan kuliah kembali tumbuh, meski jalanan terjal dan penuh bebatuan rintangan.
Perjalanan itu tak selalu mulus, keterbatasan materi menjadi bayangan yang terus menghantui setiap langkahku, menguji sejauh mana tekad dan semangatku mampu bertahan. Tugas menumpuk dan skripsiku menanti di ujung tanduk. Seringkali, aku harus menumpang di warnet hingga larut, atau meminjam jari-jemari teman yang murah hati. Di tengah segala kesibukan dan perjuangan itu, tak kusangka hati ini mulai terbuka kembali untuk sebuah perasaan baru yang datang tanpa diduga, membawa warna dan sekaligus ujian tersendiri dalam hidupku.
Di tengah pergumulan dengan skripsi, cinta datang seperti hujan sore, diam-diam, tanpa aba-aba, tanpa janji. Aku jatuh hati pada seorang wanita, namun cinta itu memilih jalan lain tak seiring dengan harapanku. Hatiku patah, bukan sekadar retak lagi melainkan hancur. Pikiranku kacau, skripsi terbengkalai seolah semuanya sia-sia. Tapi dari luka itu, aku belajar bahwa mencintai seseorang sepenuh hati adalah perkara berat bila tak bersambut, sakitnya menembus tulang meninggalkan jejak yang tak terhapuskan, bahkan oleh waktu. Meski hati masih terluka dan sempat terpuruk, aku tahu perjuangan harus dilanjutkan. Dengan segala keterbatasan yang ada, aku bertekad menyelesaikan skripsiku sebagai bukti bahwa luka bukanlah akhir dari segalanya.
Dengan hati yang masih perih, kutulis skripsi itu hingga rampung. Di akhir cerita, ada orang tua dan sahabat-sahabatku yang setia seperti mercusuar yang tak pernah padam, mendorongku hingga tiba di hari itu. Hari di mana toga kukenakan, dan mimpi lama akhirnya terwujud, bukan sekadar impian melainkan kenyataan yang bisa kuraba. Di bawah langit yang dulu kutitipkan harapan aku berdiri siap menulis bab baru kehidupanku. Langit di atas sajadah, tempat semua harapan dan doa terukir, kini menjadi saksi perjalanan panjangku menuju masa depan yang lebih bermakna.