Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Langit Bandung, Luka Tarutung
1
Suka
330
Dibaca

Namaku Irfan, anak tunggal dari keluarga kecil yang sederhana. Aku lahir di sebuah kota kecil di Sumatra Utara bernama Tarutung. Kota itu sejuk, dikelilingi perbukitan dan udara yang tenang. Di sanalah aku tumbuh dengan segala kesederhanaan hidup. Kadang dapur kami penuh dengan aroma nasi hangat, kadang kosong hanya tersisa air putih dan doa. Tapi kami tetap bahagia.

Ayahku seorang pekerja serabutan. Kadang jadi tukang, kadang bantu-bantu di ladang orang. Ibuku seorang ibu rumah tangga yang selalu punya cara menutupi kekurangan, entah dengan menjahit, atau menjual gorengan ke tetangga. Walau hidup kami tak selalu mudah, aku tumbuh dalam kasih sayang yang tulus.

Namun waktu itu, kehidupan di Tarutung makin sulit. Lapangan kerja sempit, harga-harga naik. Akhirnya ayah memutuskan kami pindah ke Bandung, katanya di sana lebih banyak peluang. Aku masih ingat hari ketika kami meninggalkan rumah kecil di Tarutung. Aku menatap langit biru terakhir di sana — langit yang sejuk, jernih, dan tenang. Dalam hati aku berjanji, suatu hari nanti aku akan kembali dalam keadaan sukses.

Tapi ternyata Bandung tidak seindah yang kubayangkan.

Aku melanjutkan sekolah di SMP Karya Bhakti. Kota ini ramai, penuh hiruk-pikuk dan wajah asing. Awalnya aku canggung, tapi cepat belajar menyesuaikan diri. Namun di balik seragam sekolah dan senyum tipis, aku menyimpan banyak tekanan.

Sejak SMP aku sudah mulai bekerja sepulang sekolah. Kadang bantu-bantu jadi kenek bangunan, kadang bantu orang cuci mobil. Teman-temanku mungkin sibuk main bola atau nongkrong di warung, sementara aku mengangkat semen dan pasir. Kadang aku pulang dengan tangan kotor dan badan pegal, tapi di dada ini ada sedikit rasa bangga. Aku tahu aku sedang berjuang untuk keluargaku.

Masuk SMA Yadika Soreang, hidup tak jadi lebih mudah. Malah lebih sulit. Uang sekolah sering tertunggak berbulan-bulan. Aku pernah didatangi guru BP karena SPP-ku menumpuk. Aku hanya bisa menunduk dan bilang pelan, “Nanti saya bayar, Bu…” meski dalam hati aku tidak tahu kapan “nanti” itu akan datang.

Aku bahkan sempat berpikir untuk berhenti sekolah, tapi ibuku selalu berkata,

“Sekolah terus, Nak. Jangan menyerah. Tuhan pasti buka jalan.”

Dan benar, suatu hari Tuhan kirim seseorang — seorang kenalan lama ayah yang tiba-tiba datang membawa uang, tanpa diminta. Katanya, “Ini buat anakmu sekolah, jangan berhenti.” Saat itu aku menitikkan air mata. Rasanya seperti Tuhan mengulurkan tangan tepat ketika aku hampir jatuh.

Berkat itu, aku bisa lulus SMA. Tapi setelah lulus, kehidupan menamparku lagi. Aku mulai bekerja sebagai ojek online. Awalnya semangat, meski hujan, panas, aku terus jalan. Enam bulan pertama berjalan baik. Aku bisa bantu bayar kontrakan, bisa beliin ibu sedikit beras lebih. Tapi kemudian nasib berubah. Motor yang kupakai kredit, dan karena telat bayar beberapa kali, motor itu akhirnya ditarik leasing.

Hari itu aku merasa seperti dunia runtuh. Motor itu bukan sekadar alat kerja, tapi simbol kecil bahwa aku masih bisa bertahan. Saat ditarik, rasanya seperti separuh semangatku ikut hilang. Sejak hari itu, aku menganggur hampir satu tahun penuh.

Sampai akhirnya, seorang teman menawari kerja di toko miras ilegal. Awalnya aku ragu. Tapi karena terdesak, aku menerimanya. Di sana, uang mengalir mudah. Gajinya besar, bahkan lebih dari dua kali lipat kerja ojek dulu. Aku bisa beliin baju baru, traktir teman, bahkan bantu orang tua sedikit. Tapi setiap kali menatap diri di cermin, ada sesuatu yang terasa kosong.

Aku tahu uang itu tidak benar. Aku tahu hidupku bergantung pada hal yang salah. Tapi kadang, perut lapar tidak sempat menunggu moral berbicara. Aku bertahan dua tahun di sana, sampai suatu pagi, toko kami digerebek aparat. Semua barang disita, dan toko ditutup permanen.

Malam itu aku duduk lama di depan rumah. Bandung yang biasanya ramai terasa sunyi. Aku menatap langit yang kelabu, dan rasanya seperti langit itu ikut menertawakan nasibku. Dalam sekejap, semua yang kupunya lenyap. Aku kehilangan pekerjaan, kehilangan arah.

Sudah tiga bulan aku kembali menganggur. Setiap malam aku mendengar bunyi token listrik pertanda hampir habis. Kadang aku diam memandangi angka-angka di meteran itu, seperti sedang menghitung sisa semangatku.

Pacarku masih bertahan di sisiku. Ia sederhana, sabar, dan pengertian. Tapi jujur, aku sering merasa tidak pantas untuknya. Kadang dia hanya minta satu hal kecil — “Telponan sebentar, ya?” — tapi aku tak bisa menuruti. Bukan karena tak mau, tapi karena tak punya kuota.

Akhirnya aku sering keluar rumah malam-malam, berdiri di depan pagar tetangga hanya untuk menyambung Wi-Fi gratisan. Kadang berhasil, kadang tidak. Saat berhasil, aku cepat-cepat kirim pesan:

“Maaf ya, sayang. Aku baik-baik aja.”

Itu saja sudah cukup membuatku lega, walau hanya beberapa menit sebelum sinyal terputus lagi.

Setiap malam aku merasa seperti kalah. Tapi di tengah keputusasaan itu, ada satu hal yang tidak pernah hilang: keinginan untuk bangkit. Aku masih ingin membuat orang tuaku bangga, ingin membuat pacarku percaya kalau aku bukan laki-laki gagal.

Kadang aku ingat langit Tarutung — birunya yang jernih, damainya yang menenangkan. Dulu, aku pernah melihat langit itu sambil berkata dalam hati: “Aku akan kembali dengan senyum, bukan dengan luka.” Tapi kini aku sadar, luka juga bagian dari perjalanan menuju senyum itu.

Hidup memang tak selalu berjalan lurus. Kadang kita harus jatuh dulu supaya belajar berdiri lebih kuat. Mungkin Tuhan sedang mengujiku, bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menguatkan.

Aku tak tahu apa yang menungguku besok. Tapi malam ini, sambil menatap langit Bandung yang suram, aku tersenyum kecil. Aku sadar, langit di manapun tetap sama — yang berbeda hanya cara kita melihatnya.

Langit Tarutung mengajarkanku tentang ketenangan.

Langit Bandung memberiku luka.

Tapi mungkin, luka inilah yang suatu hari akan berubah menjadi cahaya.

Aku menarik napas panjang dan berbisik pelan,

“Aku belum selesai. Aku akan bangkit, entah bagaimana caranya.”

Dan malam itu, di bawah langit Bandung yang kelabu, aku berjanji pada diriku sendiri —

suatu hari nanti, aku akan menulis kisah baru. Kisah di mana Irfan bukan lagi anak kalah,

tapi seseorang yang berhasil menyalakan harapan dari reruntuhan hidupnya sendiri.

🪶 “Langit Bandung, Luka Tarutung”

Sebuah kisah nyata tentang anak muda yang jatuh, tapi tak pernah berhenti bermimpi karna ia yakin suatu saat nanti dia akan menjadi orang yang bisa dibanggakan.

Tentang luka yang berubah jadi kekuatan, dan langit yang, meski kelabu, selalu menyimpan harapan dari Tuhan yang maha esa dan maha tau, maka dari itu saya masi harus memperanyak berdoa supaya saya diberikan kekuatan untuk menghadapi semuanya amin.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Langit Bandung, Luka Tarutung
jimmy charter hutabarat
Cerpen
Harus Bersama
Mariana Sibuea
Cerpen
Tentang Teman dan Waktu
Aura R
Cerpen
Bronze
Elysera Surga yang Terkurung
go han
Cerpen
Uang Saku
Muhammad Azmi Fahreza
Cerpen
Bronze
Jalan Cemara No. 8
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Rajo Angek Garang
Gia Oro
Cerpen
Toko Buku Kecil di Kaki Bukit
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Integritas Ketua KPUD
Yovinus
Cerpen
Bronze
Kelas Tambahan Di Hari Rabu
Cinta Ayumi
Cerpen
Jejak Lembut di Lantai Gelap
Astri Rahmawati Dewi
Cerpen
Bronze
Menari Bersama Semesta
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
GADIS TOMBOY TER DE BEST
ari prasetyaningrum
Cerpen
Narasi Perempuan
Meilisa Dwi Ervinda
Cerpen
Bronze
Di Balik Layar
Agisna
Rekomendasi
Cerpen
Langit Bandung, Luka Tarutung
jimmy charter hutabarat
Cerpen
Bronze
Api dari Kuburan Sebelah
jimmy charter hutabarat