Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku mengenali mata itu pertama kali di pemakaman Prameswari, salah satu rekan kerjaku di kantor yang sama. Tak seperti mata orang-orang terdekat Prameswari yang sembab, mata itu dingin, kelam dan tak bernyawa. Seolah ia turut mati bersama jiwa Prameswari yang tak lagi ada.
Hari itu cuaca mendung, semesta turut menghantarkan kepergian Prameswari. Gadis ceria berwajah mungil itu pergi dengan cara tak terduga, tanpa sakit tak pula bencana. Tak ada yang tahu sebab pastinya, juga kronologi kenapa Prameswari yang sehat walafiat hingga kemarin meninggal secara tiba-tiba.
Aku dan beberapa rekan kantor datang melayat. Aku tak bertanya apa-apa, sedang yang lain hanya diberi penjelasan bahwa ia meninggal secara tiba-tiba. Pagi tadi keluarganya menemukan Prameswari dengan tubuh yang dingin di atas kasur, sudah tak bernyawa. Tak ada lagi yang bertanya setelah penjelasan sederhana itu, lagi pula bukan waktu yang tepat untuk memenuhi keingintahuan penyebab Prameswari meninggal saat dalam keadaan berduka seperti ini.
Aku tak terlalu memperhatikan yang datang. Meski tak begitu dekat dengan Prameswari, aku cukup terpukul dengan kepergiannya yang tiba-tiba. Seolah aku sedang ditampar kenyataan bahwa yang sehat raga juga bisa pergi menghadap yang kuasa kapan saja.
Aku baru menyadari jika pelayat sangat ramai saat akan melakukan prosesi pemakaman. Halaman rumah duka sesak oleh orang-orang yang berduka, juga yang sibuk untuk mempersiapkan kepergian Prameswari. Meski hanya sedikit yang diperbolehkan mengikuti prosesi pemakaman, aku menjadi salah satu yang terpilih. Dan di sanalah, tepat saat tubuh Prameswari memasuki liang lahat, aku bertemu pandang dengan mata kelam itu untuk pertama kalinya.
Sejak menemukan mata itu, aku tak lagi fokus memperhatikan prosesi yang ada. Sorot itu meski telah berlalu adu pandang denganku, justru semakin membawaku ke tingkat rasa penasaran yang begitu meluap. Seolah dalam sorot kelam itu ada luapan yang ingin tumpah, menjerit ingin dikeluarkan.
Gerimis mulai mengguyur, aroma tanah mulai tercium, satu-persatu pelayat mulai meninggalkan pemakaman, juga si pemilik mata kelam itu. Aku dan rekan kantor yang menjadi sahabat Prameswari juga turut meninggalkan pemakaman. Hari itu, yang aku tahu aku hanya penasaran dengan kelamnya mata itu, bertanya-tanya siapa Prameswari baginya hingga ia menyatukan banyak perasaan di sana, tanpa airmata kehilangan.
Pertemuanku berikutnya dengan si mata kelam terjadi di kedai kopi dekat halte bus kota saat aku pulang kerja. Aku baru menyelesaikan pesanan saat si pemilik mata kelam memasuki kedai. Kami bersitatap sebentar saat berpapasan. Dan ia kembali sempurna menyedot seluruh atensi yang aku punya.
Aku memilih duduk di meja paling pojok agar mudah memperhatikan si pemilik mata kelam. Bersama aroma arabika aku mulai menelitinya, perawakannya juga sedikit gerak tubuhnya yang begitu serampangan. Tubuhnya jakung meski tak tegap, ia tampak kurus dengan kaos hitam yang kedodoran. Rambutnya dibiarkan berantakan, seperti tak terurus, ditambah dengan warna kulit coklat gelap habis dipanggang surya.
“Tak ada meja kosong, boleh saya duduk di sini?”
Aku terkesima sebentar, suaranya begitu berat, sarat lelah tapi aku justru terpikat. “Silakan!”
Ia menarik kursi dengan satu tangan, sedang tangan lainnya meletakkan sebungkus kretek di atas meja.
“Kita pernah bertemu,”
Aku mencerna kalimat itu, tak ada unsur tanya di sana artinya ia mengingat aku di pemakaman Prameswari.
“Pemakaman Prameswari.” Lanjutnya melihat aku yang tak kunjung merespon.
Aku mengangguk kecil, ragu harus bereaksi bagaimana. Sejujurnya tanya tentang perannya dalam dunia Prameswari sudah gatal ingin keluar dari tenggorokan, tapi aku menahan diri demi sopan santun.
Pesanannya datang, dari aromanya arabika toraja, seperti pesananku.
“Pra sering bercerita tentangmu.” Tambahnya.
Aku tercengang, kebingungan dengan empat kata yang ia rangkai. Pasalnya aku dan Prameswari tidak berteman dengan baik. Kami memang saling mengenal selama tiga tahun aku bekerja di kantor yang sama dengannya, namun bekerja di divisi berbeda. Aku sibuk dengan deret angka di divisi keuangan, sedang Prameswari lihai dengan ide-ide marketingnya yang begitu brilian.
Tak ada yang begitu berkesan dengan hubungan kami sebagai rekan. Setidaknya tidak dalam ingatanku. Prameswari sosok yang ramah, aku tahu ia dan rekan kerja lainnya sering menghabiskan waktu bersama di luar kantor. Sedang aku akan memilih mengemas secepat kilat barangku, tidak pernah terlambat sedikit saja untuk jam pulang. Begitu juga jam masuk, aku selalu tepat waktu.
Maka jika aku hadir dalam ceritanya kepada orang lain, itu hanya sesederhana obrolan lalu, seperti ia menceritakan tentang rekan-rekan kantor lainnya.
“Setidaknya dulu, dua tahun lalu. Sebelum ia menikah.”
Dan di sinilah pertanyaan itu hidup. Laki-laki bermata kelam ini kenapa begitu hancur melebihi suami Prameswari yang semua orang tahu seberapa romantis pasangan itu.
Prameswari, si perempuan beruntung. Begitu semua orang menyebutnya. Ia berhasil bekerja di perusahaan saat usianya masih 21 tahun, saat itu ia masih menyusun tugas akhir. Usia 24 tahun ia sudah menjabat sebagai supervisor termuda. Bukan hanya karirnya yang melejit hingga menduduki kepala marketing di usia 28 tahun, tapi juga proyek yang ia pegang tidak pernah memasuki kata gagal. Prameswari seperti dewi keberuntungan yang dimiliki perusahaan.
Tidak cukup disana, bersamaan dengan kenaikan jabatannya, Prameswari dilamar oleh kekasihnya, seorang dokter gigi yang sudah memiliki klinik sendiri dan beropersi dengan stabil. Setahun setelah pernikahan mereka dikarunia seorang putri mungil yang begitu cantik. Kisah keluarga kecil yang romantis dan harmonis itu tak pernah berhenti menghiasi peredaran gosip di kantor. Mulai dari cleaning service hingga direktur utama kami yang belum berumah tangga hingga hari ini.
Maka, akan sangat janggal mendengar, Prameswari sering menceritakan tentang aku kepada lelaki bermata kelam ini, kecuali dalam konteks sekilas.
“Kau adiknya?” Tanya itu akhirnya keluar, meski aku juga sudah tahu bahwa Prameswari anak tunggal dalam keluarganya.
Laki-laki itu bergeming. Ia mengambil sebatang rokok, menyulutnya dengan cepat.
“Kau tidak penasaran apa yang dia ceritakan?” ia mengalihkan pertanyaan, sembari meyodorkan rokok itu padaku, aku menggeleng pelan. Meski sesekali bersentuhan dengan nikotin, sekarang bukan waktu yang tepat.
“Barangkali tentang perempuan membosankan yang hanya hidup pada kubikelnya, bus kota dan kamar kosan yang begitu pengap.” Jawabku asal, aku tak memiliki ide cerita apa yang akan Prameswari ceritakan tentangku kepada orang asing, saat kami sendiri adalah asing.
“Perempuan yang hidup pada dunianya sendiri,” Aku tak kaget, ini penilaian kesekian. “dan begitu hidup,” Aku memusatkan pandangan. “katanya, seperti aku.”
Ia tersenyum tipis, namun cukup membuat degup di dadaku hadir.
Aku menarik napas pelan, mengisi rongga dada, menenangkan debar yang telah lama tak pernah datang.
“Kau tahu, kita semua hidup di dunia sendiri. Prameswari juga. Ia hidup dengan segala kemewahan kehidupan yang banyak orang idamkan. Ia juga hidup di sana.” Balasku menanggapi. Ayolah, kita semua memiliki pilihan dalam hidup, dan menikmati dengan cara yang berbeda-beda.
Lelaki itu tertawa sinis. “Kau salah, Pra tidak begitu. Ia menangis setiap pukul dua belas malam, karena lelah dengan topeng yang ia gunakan. Begitu fajar tiba ia akan menjadi Pra yang kalian kenal, si ceria ramah tamah dan penuh kehidupan yang menyenangkan. Pra bahkan tak punya kebebasan hanya untuk sekedar memilih. Ia hidup dengan topeng yang telah diberikan lingkungannya sejak kecil. Pra pecundang, ia tak hidup itu sebabnya ia memilih mati, bodoh.”
Aku terhenyak, apa yang sedang dibicarakan laki-laki ini.
“Jika saja ia berani melakukan satu hal yang menjadi pilihannya, impiannya, barangkali ia akan tertawa dengan lepas atau setidaknya menangis dengan sekuat tenaga. Tapi Pra pengecut, ia bahkan tak berani memilih cinta yang ia mau. Pra lebih memilih yang dunia tawarkan sebagai kesenangan dan membunuh kebahagiaannya sekuat tenaga. Itu kenapa ia mati, karena sudah tidak sanggup menghadapi kebodohannya.”
Laki-laki itu masih berapi-api, matanya nyalang tak lagi kelam. Memerah seperti menahan begitu banyak kelumat yang selama ini enggan pergi. Sesuatu yang juga aku lihat di pemakaman kala itu.
“Pra tak mati karena Tuhan menggariskan demikian, Pra mati karena itu satu-satunya keinginan yang akhirnya ia wujudkan. Pra menelan semua pil pahit kehidupannya yang penuh sandiwara kebahagiaan, meninggalkan putrinya karena lebih merindukan neraka. Pra mati karena ia membunuh kehidupannya yang membosankan.”
Aku semakin bisu, gejolak dalam dadaku tak lagi desiran halus. Ia berubah ombak menggulung disertai badai yang tak henti.
“Atas dasar apa kau mengatakan demikian?”
“Prameswari adalah kekasihku, bahkan masih saat ia meminum pil bunuh diri malam sebelum kita bertemu.”
Aku terhenyak, bisu.