Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Lampu Merah
0
Suka
53
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Lampu lalu lintas di perempatan itu memang agak janggal. Selain sambungan las yang ada di batang leher lampu itu, posisi lamputl jalanan itu memang sedikit aneh. Area perempatan ini lebat penuh pohon. Hanya di sudah mendekati lampu, pohon-pohon bak tidak mau menyentuh tangkai lampu itu.

Tulisan ini adalah kesaksian dari apa yang telah kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Apa yang kudengar, dan apa yang kurasakan sendiri. Waktu itu, aku kebagian untuk menjaga shift malam. Ini adalah Rutinitas biasaku sebagai satpam. Aku bekerja sebagai satpam area perumahan elit di salah satu kawasan di Tangerang Selatan. Biasanya aku ditemani oleh temanku, Rudi. Tapi dia izin. Sedang menemani istrinya yang sedang hamil tua katanya. Anaknya akan lahiran sedikit lagi.

Lampu itu banyak menyisakkan misteri. Kudengar cerita dari Mas Aman, satpam paling senior di sini. Sering terjadi kecelakaan di area perempatan ini. Padahal area perumahan elit seperti ini, harusnya jarang sekali terjadi kecelakaan. Ya dikarenakan, memang jarangnya kendaraan yang lewat. Yang lebih aneh lagi adalah, kecelakaan yang terjadi selalu kecelakaan tunggal. Entah nabrak pohon, nabrak pagar, nabrak hydrant, nabrak pos satpam, pokoknya selalu aja ada yang ditabrak.

Terhitung sejak Mas Aman jadi security di sini, sudah ada 5 kali kejadian kecelakaan seperti itu. Aku sendiri, tidak pernah lihat langsung kalau ada kecelakaan. Paling baru terjadi, sekitar enam bulan yang lalu. Pasangan muda-mudi habis mabuk-mabukkan dari klub malam, bawa Pajero. Saat lewat perempatan itu, mobil mendadak oleng ke kanan. Dan tandas saja, mobil menabrak pagar perumahan.

Beberapa kali juga polisi mendatangi tempat ini, untuk melakukan investigasi. Ya, kecelakaan yang terjadi di perempatan ini selalu menelan korban jiwa. Setidaknya dari 5 kali kecelakaan, 5 orang meninggal dunia. Wajarlah polisi menyambangi perempatan ini. Namun yang aneh adalah ketika ahli nujum dan dukun juga berdatangan ke sini, setiap ada yang meninggal. Ketika ditanya Mas Aman, mereka jawabnya ingin melihat-lihat, mencari wangsit, atau semacamnya. Biasanya kalau datang, mereka melepaskan alas kaki, dan berjalan-jalan di aspal dingin.

"Mas, sendirian aja malam ini ya?" Ujar seseorang dari ujung jalanan.

"Eh, iya Pak." Aku menyahut.

Orang itu memakai jaket hitam. Rambutnya agak panjang, cenderung gondrong. Ia mengenakan celana bahan warna senada. Sepatunya basah karena hujan.

"Boleh saya masuk pak?" Tanyanya, sambil terus bejalan ke arahku.

"Iya, ya silahkan pak. Hujannya lumayan pak. Mari, masuk."

Orang itu memantapkan langkah masuk ke dalam pos satpam.

Aku menghela napas lega. Setidaknya, malam ini aku tidak sendirian saja di sini. Ada teman untuk mengobrol, paling tidak sampai hujan reda.

"Saya numpang copot sepatu ya pak. Basah soalnya."

"Iya, pak. Silahkan pak."

Orang itu mencopot sepatunya, beserta kaos kakinya.

Kuperhatikan lamat-lamat orang itu.

"Ah, maaf ya. Saya kelihatan mencurigakan sepertinya ya? Saya ini polisi. Saya kebetulan hendak menginvestigasi lagi daerah sini. Saya merasa ada yang janggal." Ia beranjak duduk di bangku plastik tukang bakso di belakangku.

"Oh, enggak kok pak. Tapi supaya bisa sama-sama tenang, boleh saya lihat KTP-nya pak. Mencegah terjadinya kesalahpahaman pak."

"Oh tentu pak. Saya gak keberatan."

Ia mengeluarkan KTP dari dompet hitamnya. Terlihat namanya tertera di kartu itu:

Joko Prayitno.

Pekerjaannya, polisi.

Sudah cukup aku menilik. Jelas-jelas, ia adalah atasanku dalam soal menjaga keamanan.

"Bapak, namanya siapa pak?"

"Nama saya Bahrul."

"Nama panjangnya?"

"Bahrul Kamaruddin." Ucapku mantap.

"Oh ya, ya, ya. Aslinya Jawa Tengah pak?"

"Ya pak."

Obrolan diantara kita berdua pun terus berlanjut. Yang kutahu adalah, Pak Joko ini sudah menjadi polisi selama 7 tahun. Ia ditugaskan sebagai polisi bagian untuk menginvestigasi TKP.

"Saya merasa, aneh sekali pak, kasus kecelakaan di sini. Maksud saya, kalau misalnya kecelakaan biasa, harusnya tidak ada kesamaannya ya pak? Ini dari 4 kecelakaan yang terjadi, semua saksi bilang karena ada kucing yang lewat di depan mobil mereka pak. Jadinya, mobilnya nabrak."

"Kucing?"

"Iya, betul pak. Daerah sini memangnya banyak kucingnya ya?"

"Ya, kayak perumahan pada umumnya pak."

"Hmmm begitu ya?"

Pak Joko menyalakan rokoknya. Sepertinya dia sudah menahan lama untuk tidak merokok.

"Bapak, ngerokok nggak? Mau rokok?"

"Oh iya, boleh pak. Bapak kalau mau ngopi, silahkan saja ya Pak Joko. Sebentar, saya seduhkan."

"Oh iya pak, tenang pak, tenang. Hahahaha." Joko cekikikan.

Ia mengisap rokok di tangannya itu.

"Lebih aneh lagi, semua kecelakaan terjadi ketika hujan. Dari pukul satu sampai empat subuh. Selalu malam hari, saat hujan. Dan semua saksi matanya melihat seekor kucing sebelum tabrakan terjadi."

Kuikuti Pak Joko dengan menyebat sebatang kretek tebal tersebut. Kucium perlahan wangi dari kreteknya ini. Ini bukan kretek yang dijual di minimarket atau di warung. Ini kretek racikan. Ada bau cengkeh yang kuat. Persis sama seperti yang suka diisap mbahku di kampung dulu, sebelum dia kumpul sama konconya yang sama-sama kejawen. Awalnya aneh. Namun kelamaan, rasanya enak juga.

"Rokok ini racik sendiri pak?"

"Iya, betul pak. Suka tidak?"

"Enak juga pak. Rileks."

"Heheheh, kalau mau nanti saya ambilkan lagi di mobil. Masih ada dua bungkus."

"Jangan repot-repot pak. Nggak papa, nggak usah pak."

"Hehehe tenang saja, Pak Bahrul."

Waktu menunjukkan pukul 2 dinihari. Hujan di luar sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu cepat. Beruntung, di dalam pos satpam ini disediakan banyak fasilitas. Salah satunya adalah televisi. Setidaknya, saya dan Pak Joko ada hiburan sambil menunggu hujan. Kami menonton acara pertandingan bola antara Manchester City vs Liverpool.

Sambil menonton, kadang Pak Joko lanjut mengobrol. Aku kadang sempat terpikir, betapa percayanya Pak Joko ini denganku. Kenapa polisi ini bisa membeberkan laporan investigasi seperti ini ke orang lain yang bukan polisi? Namun setelah kutimbang, ya alasannya sesederhana apa sih maksud jahat yang kiranya kupunya jika aku tahu semua hasil investigasinya? Paling parah, yang kulakukan adalah cerita sama semua satpam di sini. Terus kalau sudah, bisa apa mereka?

Tayangan pertandingan itu selesai. Liverpool menang 3-0 atas Manchester City. Sebuah hal yang agaknya jarang terjadi. Pak Joko terkekeh, tim yang dijagokannya menang. Aku sendiri harus menelan kepahitan. Untuk Pak Joko yang sukanya tim Arsenal, hasil ini tidak terlalu berpengaruh. Buatku yang suka Manchester City, ini menyebalkan.

Kretek demi kretek kami hisap. Di tengah perbincangan kami, ada kendaraan yang akhirnya lewat. Cahaya lampu mobil itu menyorot dari kejauhan.

"Mobil mewah ini sepertinya," ucap Pak Joko sambil mengisap kretek yang entah sudah ke berapa.

Mobil itu melaju dengan kecepatan cukup tinggi.

Bisa kudengar deru napas mobil itu, bahkan dari sini. Jalanan sepi, biasanya dimanfaatkan oleh sopir kendaraan untuk mengebut seperti sekarang ini. Ketika mobil itu melesat, mendadak terdengar suara siulan. Kecepatan mobil itu semakin tinggi. Kuperhatikan bahwa itu adalah mobil Mini Cooper berwarna merah. Pak Joko di sebelahku berdiri perlahan.

"Mobil itu kencang sekali, pak."

Aku mengangguk.

Dalam hitungan detik, mobil itu akan segera sampai di perempatan jalan. Ketika ia baru saja akan sampai di pangkal perempatan, mobil itu berhenti mendadak.

Suara gesekkan kampas rem dengan ban menusuk telinga.

"Pak, mobilnya berhenti," ucapku.

Aku perhatikan asap yang mengebul dari ban mobil tersebut.

"Pak. Pak Joko?"

Kutengokkan kepalaku ke arah Pak Joko.

Pak Joko sudah tidak berada lagi di belakangku. Kucari-cari dimana dia.

"Pak Joko?"

Ketika kepalaku menengok kembali ke arah mobil, terlihat Pak Joko berdiri di perempatan itu, bertelanjang kaki. Masih dengan mengapit kreteknya di buku-buku jarinya.

"Pak, Pak Joko?"

Ia tidak menengok ke arahku. Aku hanya memperhatikan punggungnya dari tepi jalan.

Kuperhatikan sekilas, lampu lalu lintas yang menggantung di atas itu.

Kali ini, lampu itu berwarna merah. Mungkin itu alasan mobil itu berhenti mendadak. Kusambangi mobil Mini itu. Tentu yang dilakukannya ini berbahaya. Ia mengebut di area perumahan. Walau jalanan lengang, tetap saja kecepatan setinggi itu sangat membahayakan.

"Pak Joko, boleh bantu saya untuk tahan mobilnya dulu sejenak?"

"Hem," Pak Joko mengangguk sambil berdehem.

Aku menghela napas lega. Kukira ada yang aneh dengan Pak Joko daritadi. Ternyata dia tidak kenapa-napa.

"Pak, permisi."

Aku menghampiri jendela mobil yang berwarna hitam tersebut.

"Tolong buka jendelanya ya pak."

Jendela tidak bergeming sama sekali.

"Pak?"

Kutunggu beberapa detik. Sesekali, masih kuperhatikan lampu jalanan itu. Ia masih berwarna merah.

Jendela mobil itu terbuka perlahan. Sedikit-sedikit ia mulai turun. Air hujan mulai berubah jadi gerimis. Beberapa tetes air masuk ke dalam mobil melalui jendela itu.

"Pa, boleh saya tahu mau ke...."

Ketika kaca jendela itu terbuka sempurna, aku tak bisa melanjutkan kalimatku.

Di dalam mobil itu, tidak ada siapa-siapa.

Mobil itu kosong, tidak ada pengemudi atau pun penumpang yang duduk di dalam mobil.

"Astaghfirullah."

Masih kucoba untuk mencerna apa yang terjadi di sini. Aku yakin aku tidak salah lihat. Mobil ini tadi mengebut begitu kencangnya. Tidak mungkin tidak ada orang sama sekali di sini.

"Pak, Pak Joko, bapak lihat apa yang saya lihat?"

Kutolehkan arah pandangku ke arah Pak Joko.

Ia diam, tidak bergeming.

"Pak?"

Pak Joko tidak melakukan apapun. Kuberanikan diri untuk melihat wajahnya. Pelan-pelan aku melangkahkan kaki untuk melihatnya dari depan.

"Pak?"

Pak Joko hanya diam. Wajahnya biasa saja. Namun tidak ada gerakan apapun darinya.

Aku tahu ini tidak beres. Bisa jadi Pak Joko kesurupan.

"Pak, Pak Joko! Bangun Pak Joko!" Kucoba untuk menggoncang-goncangkan tubuhnya.

Ia tidak menjawab. Tidak juga bergerak. Sudah dipastikan, ia ini kesurupan.

Aku melangkah kembali ke arah pos satpam. Aku duduk di kursiku yang tadi. Kugapai handphone yang terletak di atas meja pos satpam. Kucoba untuk menekan-nekan pad fingerprint pada ponselku itu. Jariku bergetar. Ponsel tidak kunjung hidup. Ketika kutekan tombol power telepon pintarku, terlihat tulisan:

Kode sandi layar dibutuhkan jika tidak digunakan selama 72 jam.

"Bangsat!"

Aku mengutuk, setengah berteriak. Aku lupa sandi ponselku sendiri. Kucoba untuk meningat-ingat sandinya.

Di tengah-tengah keheningan itu, tahu-tahu Pak Joko bergerak.

Ia sekarang menghadap ke arahku, dengan tatapan kosongnya.

Kulihat pantulan sinar lampu lalu lintas dari kaca mobil Mini Cooper tak berpenghuni itu.

Lampu berubah warna menjadi kuning. Lampu itu berkedip-kedip.

Kucoba terus memasukkan kode demi kode. Tulisan Password salah berulang kali juga muncul.

Kubaca dalam hati ayat kursi.

"Allāhu lā ilāha illā huw...."

Peluhku mulai berjatuhan, meski cuaca dingin beku.

Jariku bergetar hebat. Kuusahakan supaya mataku hanya terfokus saja pada layar ponselku. Ada tiga kali kesempatan sebelum ponselku terkunci selama dua jam. Kucoba fokus, fokus, pandanganku terarah hanya pada layar.

Ketika aku masih berkutat dengan layar ponsel genggamku, kurasakan sesuatu bernapas di sisi kiriku. Kuhendak melirik ke arahnya, tapi kupaksa kembali pandanganku supaya hanya menatap ke arah layar saja.

Mahkluk itu ada di dekat pintu pos satpam. Seperti kucing, berbulu hitam lebat. Kepalanya terbalik. Badannya besar, sebesar anjing.

"Astaghfirullah," berkali-kali kuucapkan istifar.

Tak mau kupandang mahkluk itu.

Kucoba untuk memasukan kata sandi yang lain.

Salah. Sisa dua kesempatan.

Kucoba lagi.

Salah. Sisa satu kesempatan.

Kupikir-pikir, apa kata sandi ponsel ini ya?

Kuketikkan satu kata.

Ponselku terbuka.

Cepat-cepat aku membuka daftar kontak. Aku ketik nama mas aman. Segera kutekan tombol telepon.

Satu nada sambung, dua nada sambung, tiga nada sambung.

"Cepat angkat. Cepat angkat."

Kucoba untuk melihat ke arah lampu jalanan itu kembali.

Masih kedip-kedip kuning.

Tersambung!

Teleponku tersambung ke Mas Aman.

"Mas! Mas Aman!"

"Ada opo toh mas? Ini jam 3 subuh!"

"Mas! Dateng cepat ke pos satpam sekarang! Saya butuh bantuan mas! Ada mahkluk ngeri banget, Mas!"

"Mahkluk ngeri?"

"Iya, iya pokok'e cepetan datang aja, Mas!"

"Oke, oke sebentar ya."

"Eh jangan ditutup teleponnya, Mas A-"

Telepon terputus.

Seolah hilang sudah oasisku ditengah ketegangan ini, aku kembali ke situasi ini sendirian.

Kusaksikan lampu lalu lintas di depanku itu.

Warnanya telah berubah jadi hijau.

"Pak Bahrul!"

Seseorang menepukku dari samping.

Kuperhatikan lamat-lamat.

Pak Joko masih terduduk di sana. Ia sekarang berekspresi wajah normal, tidak seperti tadi.

Masih sulit kupercaya, Pak Joko barusan saja berdiri jauh di sana.

"Pak, Pak Joko sudah sadar?"

"Sadar? Hahaha, memangnya bapak kira saya kenapa? Bapak yang daritadi melamun."

Aku melayangkan pandangan ke arah mobil Mini Cooper yang tadi berhenti di perempatan. Mobil itu sudah menghilang.

"Pak, tadi mobil yang ada di sana kemana?"

"Mobil apa, Pak? Hahaha, haduh. Bapak sehat?"

Aku mengusap wajah. Mobil Mini Cooper tadi kemana? Mobilnya menghilang begitu saja.

Aku menoleh ke sebelah kiri, dekat pintu pos satpam. Aku mengantisipasi akan melihat mahkluk aneh berbulu hitam itu.

Ada gerakan buntut hitam dari sisi belakang pos satpam.

Jantungku berdegup kencang.

Kutunggu sampai mahkluk itu keluar.

Perlahan, ia keluar dari tempat persembunyiannya. Hanya seekor kucing hitam biasa, dengan payudara yang bergelantungan.

"Pak, mau rokok lagi? Malam masih panjang ini." Pak Joko menawariku rokok kembali.

"Enggak pak, enggak."

"Wajah bapak pucat sekali. Bapak kalau nggak enak badan, mau saya carikan obat?"

"Gak papa, pak. Saya aman pak."

Pak Joko tersenyum, melihat gelagat anehku.

"Yasudah pak, saya mau lanjut dulu untuk balik ke kantor. Hujannya sudah reda. Saya kira akan ada kecelakaan mobil. Sepertinya saya salah dugaan."

"Baik pak. Hati-hati di jalan pak."

Pak Joko meninggalkanku sendirian.

Kulihat waktu. Sekarang sudah pukul 4.30 pagi. Sebentar lagi akan waktunya Sholat subuh.

Aku berjongkok, mencari sarung dan sajadah. Kuniatkan diri untuk datang ke hadirat Allah.

Adzan berkumandang.

Setelah hari itu, aku ceritakan pengalamanku ke teman-teman sesama security. Aku malah dijadikan bulan-bulanan, jadi bahan olokan mereka.

"Hehehehe, payah lu Bahrul."

"Baru semalam aja sendiri, langsung ketakutan. Hahahaha." Temanku Rudi ikut mengomentari.

Hanya Mas Aman saja yang tersenyum kalem, tidak tertawa terbahak-bahak.

Setidaknya sejak hari itu, aku tidak pernah lagi ditugaskan jaga malam. Kalaupun ada, jadinya jaga bertiga. Setelah hari itu pun, aku tidak pernah lagi melihat Joko Prayitno datang ke pos satpam dengan kretek cengkehnya. Sampai hari ini.

----

Sudah lima tahun berlalu sejak kejadian itu. Kehidupanku mulai membaik. Aku dipercaya jadi seorang sopir taxi online untuk mobil-mobil mewah. Karena pengalamanku di bidang keamanan, dan kelihaianku dalam menyetir, jadilah aku dikenalkan oleh seorang kawan untuk bekerja di sini.

"Silahkan, masuk Mas." Ucap Mas Robby, seorang karyawan taxi online yang telah bekerja lebih lama dariku.

"Banyak mobil mewahnya di sini ya, mas."

"Iya, mas. Ini adalah mobil-mobil mewah yang dipinjamkan oleh para investor kita. Mereka punya mobil bagus, tapi jarang dipake mas. Nah, mereka pikir lebih baik kalau bisa menghasilkan uang juga 'kan."

"Iya, iya, iya. Pintar banget ya mas."

"Hehehem begitulah orang kaya, mas. Semua untuk cuan."

Aku menatap takjub ke area garasi basement parkir tempat ini. Mobil-mobil mewah berjejer. Mulai dari Porsche, Lamborghini, BMW, Mercy, macam-macam mobil mewah ada di sini.

"Nah, unit mobil yang akan mas bawa, yang ini ya."

Kuperhatikan seksama. Sekujur tubuhku langsung kaku.

"Kenapa mas?"

"Ini mas?"

"Iya, betul. Nanti bawa mobil yang ini, setiap sore ya mas. Bisa ikuti aja aplikasinya untuk angkut penumpang sekitar Tangerang."

"Gak boleh yang lain ya mas?"

"Waduh, yang lain udah pada diambil sopir lain, Mas. Memang ada masalah apa ya mas?"

Kutatap sekali lagi mobil itu. Mobil yang sangat familiar.

"Gak papa, mas. Oke deh, saya akan coba mas."

"Oke, mas. Ini kunci mobil Mini Coopernya ya mas."

"Oke, makasih mas."

Aku menerima kunci itu dengan berat hati.

----

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Lampu Merah
Feryan Christ Jonathan
Novel
Gold
Fantasteen Scary: Knock! Knock!
Mizan Publishing
Novel
Gold
Fantasteen The Escapist
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Wangsul Nogo
Keefe R.D
Novel
Bronze
Tumbal Pesugihan Tanah Kuburan
AWSafitry
Cerpen
Bronze
Penjaga Kubur Itu Dulu Berjualan Sate Anjing
Habel Rajavani
Novel
ZOMBI DAN MEREKA YANG TAK BISA MATI
Meliana
Novel
Gold
Dering Kematian
Bentang Pustaka
Novel
Bulan Madu yang Tertunda
Innuri Sulamono
Novel
SARI, Arwah Penasaran yang terundang
Efi supiyah
Novel
Gold
Fantasteen The Lagaziv School of Vathana
Mizan Publishing
Novel
Bisikan Malam
A.R. Rizal
Novel
Gold
Sing, Unburied, Sing
Mizan Publishing
Novel
Gold
Fantasteen Scary VE
Mizan Publishing
Flash
Hutan Angker
Nunik Farida
Rekomendasi
Cerpen
Lampu Merah
Feryan Christ Jonathan
Flash
Pergumulan Pohon Cemara
Feryan Christ Jonathan
Novel
Gelombang°°
Feryan Christ Jonathan
Cerpen
Stranger's Jacket
Feryan Christ Jonathan
Flash
Selamat Natal
Feryan Christ Jonathan
Cerpen
Celana Pensil
Feryan Christ Jonathan
Skrip Film
-Gelombang-
Feryan Christ Jonathan
Cerpen
Masak-masakan
Feryan Christ Jonathan
Cerpen
Sedan Lebaran
Feryan Christ Jonathan