Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Laki-laki yang Menyukai Perempuan Berambut Pendek
0
Suka
73
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Namanya Barin. Dia menyukai perempuan berambut pendek. Aku tidak tahu alasannya. Hubunganku dengannya sebatas teman, tetapi tidak dekat. Kami mengobrol kalau kebetulan bertemu dan duduk bersebelahan. Entah di kantin, perpustakaan, atau halaman kampus.

Kami pertama kali bertemu waktu awal kuliah. Tentu saja Barin tidak peduli padaku. Aku, si introvert yang senang mengamati sekitar. Sedangkan Barin lebih suka menunduk, membaca buku. Barin ada dalam pengamatanku hari itu. Sebetulnya, tidak ada yang menarik darinya. Dia tipe laki-laki yang bisa kutemui di mana-mana. Namun, entah kenapa, hari itu mataku terpancang pada sosoknya yang kurus dengan rambut setengah gondrong dan poni yang menutupi kening hingga hampir menyentuh matanya.

Aku berusaha mengalihkan pandanganku ke orang-orang lain di kampus ini. Tetapi, lagi-lagi, leher ini memutar kepalaku ke arah Barin. Setiap kali pandanganku tertuju padanya, dia masih menunduk. Aku mengerti bagaimana asyiknya membaca buku. Aku juga suka membaca. Tetapi aku tidak pernah betah membaca buku di area yang ramai. Aku lebih suka membaca buku di tempat yang tenang dan sepi. Kalau ramai begini, perhatianku biasanya terbagi ke mana-mana.

Anehnya Barin, dia begitu tekun membaca. Sepertinya, dia tidak hanya menyelami isi buku itu. Barin juga mengikuti setiap lekuk aksara yang ditulis di buku yang sedang dia baca. Begitu fokus sampai-sampai dia tidak menghiraukan suasana di sekitarnya. Tak peduli denganku yang terus memperhatikannya sejak tadi.

Ya, kupikir, saking tekunnya Barin sampai-sampai dia tidak pernah tahu aku sering memperhatikannya. Kami kuliah beda jurusan. Barin anak seni rupa, sementara aku anak sastra.

Beda kuliah ini membuat kami jarang bertemu walau sama-sama satu kampus. Tak heran, momen bertemu Barin adalah momen yang sangat berarti buatku. Bahkan memandangnya dari jauh saja sudah membuatku senang seharian. Pernah aku malas bangun dan berangkat ke kampus gara-gara ada kuliah pengantar terjemahan. Diikuti sejarah budaya.

Sampai di kampus, masih ada waktu sekitar sepuluh menit sebelum perkuliahan dimulai. Aku duduk di depan gedung kuliah, di antara mahasiswa-mahasiswa dari berbagai jurusan. Teman-temanku berdatangan satu per satu. Kami mengobrol seperti biasa, tetapi aku sama sekali tidak bergairah. Kepalaku lunglai, jatuh ke bahu salah satu temanku. Bicaraku terseok-seok mirip orang teler.

“Kalo aku jadi kamu, mendingan bolos aja, deh,” ujar Karen. “Kamu masih punya jatah bolos, kan?”

“He-eh,” jawabku malas-malasan.

Mungkin sebaiknya begitu, pikirku seketika. Percuma ikut kelas kalau tidak mood begini. Tidak akan ada materi yang masuk kepalaku. Tetapi ibuku pasti ngomel-ngomel kalau aku bolos tanpa alasan. Dan, satu hal yang tak kumengerti, ada semacam dorongan yang membuatku memaksakan diri pergi kuliah. Entah ini firasat atau apa. Yang jelas, sesuatu itu terus mendesakki untuk bangun, mandi, sarapan secukupnya asal perut terisi, dan berangkat.

Kira-kira satu menit menjelang waktu kuliah dimulai, dosenku datang. Kami bersiap masuk kelas. Saat itulah aku melihat sosok Barin muncul dari tempat parkir, dengan rambut semi-gondrongnya, kaos belel dan jins bolong, juga ransel yang dia sampirkan ke salah satu pundaknya.

Seketika mataku terbuka lebar dan terus mengikuti ke mana Barin berjalan. Seolah ada magnet tak kasatmata yang menarik mataku untuk terus mengikuti langkah Barin, hingga sosoknya lenyap di lorong gedung. Barin sama sekali tidak menoleh padaku. Tetapi, aku senang. Aku bahagia. Mood-ku ter-charge. Jiwaku “menyala” seharian.

Sayangnya, selama dua tahun aku mengenal Barin, entah berapa kali aku memergokinya berbicara dengan beberapa perempuan. Aku pernah melihatnya mengobrol cukup akrab dengan seorang mahasiswi… entah jurusan apa, aku tidak mengenalnya. Perempuan itu sangat anggun. Rambutnya panjang dan disisir rapi dengan poni belahan samping, mengenakan blus dan rok warna senada dan pointy toe flats (selop tanpa hak dengan ujung runcing). Wajahnya cantik dan dipulas make up tipis-tipis. Laki-laki mana pun pasti tertarik padanya. Demikian juga Barin.

Aku sedih menyadari diri yang tidak berpenampilan seperti itu. Rambutku panjang, tetapi aku tidak seanggun perempuan yang Barin dekati. Ibuku selalu menyuruhku berdandan dan berpakaian yang bagus kalau ke kampus. Aku tidak pernah mau menuruti karena itu bukan gayaku. Itu tidak mencerminkan diriku. Aku, ya, seperti ini. Rambut panjang yang digerai, pakai kaos oblong, jaket, celana jins, sepatu keds… Kupikir semua itu tidak ada yang salah sampai aku melihat Barin dekat dengan perempuan anggun yang kulihat itu.

Mungkin ibuku benar. Aku seharusnya mengikuti sarannya. Ah, tapi aku juga tidak mau belajar dengan gaya berpakaian yang membuatku tidak nyaman. Lagi pula, dosen-dosenku tidak pernah mempermasalahkan penampilan. Ada satu-dua dosen yang mensyaratkan mahasiswanya memakai hem dan sepatu saat mengikuti mata kuliah yang diampunya. Namun, tidak ada satu pun dosen yang mewajibkan kami berdandan atau berpenampilan menarik. Jadi, kenapa aku harus berganti gaya?

Bahkan, aku tidak lagi melihat Barin dekat dengan perempuan anggun itu. Malah, saat acara makrab, dalam remang malam karena pencahayaan di halaman kampus agak terbatas, aku melihat Barin merangkul seorang perempuan yang gayanya berbeda dengan perempuan yang dia dekati sebelumnya. Perempuan yang ini tipe-tipe tomboy, tapi tidak terlalu kelaki-lakian. Standarlah gaya anak-anak kuliahan yang sederhana. Sepertiku. Dan dia… berambut pendek.

Jadi, tipe perempuan seperti apa yang disuka Barin? Anggun, atau cenderung sederhana dan tomboy seperti Gisca. Ya, belakangan aku tahu nama perempuan itu. Gisca, anak akuntansi. Selama aku mampu, aku ingin meniru gaya perempuan yang sedang dekat atau sudah menjadi pacar Barin. Walaupun tidak sepenuhnya. Jangan harap aku mau memakai make up, rok dan pointy toe flats, ya. Tidak. Aku hanya berpikir, kalau aku bisa meniru gaya perempuan-perempuan yang disukai Barin, mungkin Barin bakal mendekatiku.

Begitu tahu Barin pacaran dengan Gisca, cewek berambut pendek itu, aku sempat terpikir untuk memotong pendek rambutku. Mungkin potongan bob sedagu adalah pilihan yang tepat buatku yang tidak mau punya potongan rambut pendek yang ekstrem seperti pixie. Tapi, apakah Barin akan langsung tertarik padaku?

Ini spekulasi. Belum tentu Barin lantas menyukaiku karena rambutku pendek. Kalau dia punya kriteria lain dalam memilih pasangan yang tidak aku punya, bisa saja aku tetap dianggap teman. Lalu, aku akan menyesal sudah memotong rambutku.

Tidak, tidak. Aku tidak boleh berubah hanya untuk menarik perhatian seseorang. Lagipula, orang-orang bakal curiga dengan penampilan baruku nanti. Teman-temanku akan bertanya apa yang membuatku memotong rambut. Aku bisa saja menjawab, “ingin ganti penampilan. Bosan punya rambut panjang terus.” Tetapi, bagaimana kalau mereka tidak percaya?

Daripada memancing opini publik, kubiarkan rambutku terus tumbuh, memanjang. Aku baru akan memotong rambutku jadi pendek kalau rambutku bermasalah. Seperti bercabang atau rontok parah.

Aku berusaha menjaga keputusanku agar tak berubah. Tetapi Barin putus dari pacarnya itu kira-kira dua bulan setelah aku mengetahui mereka pacaran. Barin menjomblo. Seharusnya ini menjadi kesempatan bagiku untuk menggaet perhatiannya dengan caraku sendiri. Aku berusaha mencari tahu apa yang menjadi minat Barin. Supaya kalau aku punya kesempatan mengobrol dengannya, aku tahu apa saja yang harus kukatakan atau tanyakan.

Dengan hati-hati aku bertanya pada teman-temanku yang mengenal Barin. Aku tidak mau sampai ada orang lain yang tahu bahwa aku diam-diam menyukai laki-laki itu. Aku malu. Belum tentu Barin menyukaiku. Aku tidak mau beredar desas-desus soal perasaanku yang mungkin diketahui Barin. Aku khawatir dia semakin tidak menyukaiku dan mencoret namaku dari daftar nama temannya. Aku ingin menjaga hubunganku dengan Barin tetap baik, tidak ada konflik apa-apa. Kalau sampai Barin menjauhiku gara-gara dia tahu aku menyukainya, entah bagaimana hari-hariku ke depan. Karena sekarang pun, aku dan Barin berjarak cukup jauh. Jangan sampai jarak di antara kami membentang kian jauh lagi.

Tidak mudah menggali informasi tentang Barin. Teman-temanku yang mengenal Barin bisa dihitung dengan jari. Rasanya habis berbulan-bulan aku mencari informasi tentang kesukaan Barin. Sampai akhirnya, secara tidak sengaja aku bertemu dia di sebuah toko buku di dekat kampus. Aku hendak mencari buku tentang analisis wacana. Barin sedang duduk di sana, dengan kedua tangannya memegang sebuah buku.

“Hai,” sapaku pelan.

Barin menoleh. “Hai! Beli buku?”

Aku menggeleng. “Nggak. Mau baca-baca aja. Buku apa, tuh?”

Toko buku yang kami datangi ini memberi pilihan kepada pengunjung untuk membeli buku atau membacanya saja, dengan catatan, bukunya harus dirawat dengan baik.

Barin memperlihatkan sampul depan buku yang dia baca. “Tentang sejarah seni rupa di Indonesia.”

“Oh. Kamu niat banget, ya, belajar seni rupa? Suka menggambar?”

Barin menutup bukunya lalu menoleh. “Begitulah,” jawabnya sambil tersenyum malu-malu. Ada sorot kebanggaan dalam matanya.

“Kenapa, kalau boleh tahu?”

Barin tidak lekas menjawab. Namun senyumnya sedikit merekah. “Aku suka menganalisis bentuk-bentuk. Bagiku, semuanya punya makna.”

“Oh, iya, ya?”

Barin mengangguk, lalu kembali membaca. Aku tidak mau mengganggunya.

Setelah percakapan itu, kupikir aku harus belajar tentang seni rupa juga. Sebagai mahasiswa sastra, aku harus punya wawasan yang banyak. Tidak melulu belajar tentang sastra atau bahasa saja. Apalagi, dalam beberapa karya sastra, terutama dari luar, biasanya terdapat deskripsi tentang desain bangunan.

Maka, aku pun rajin-rajin menyambangi toko buku dan perpustakaan kampus. Berburu buku tentang seni rupa. Harapanku, setelah wawasan seni rupaku sudah luas, aku punya bahan obrolan dengan Barin. Dia pasti senang.

Aku menemukan sebuah buku tentang kritik seni rupa. Kucoba baca, dan ternyata aku kesulitan memahaminya. Maklumlah, ini bukan bidang yang kuminati dan aku berniat mempelajarinya hanya untuk memancing perhatian Barin. Karena niat awalnya tidak baik, perjalanannya pun tidak mengesankan. Namun setidaknya, jika sewaktu-waktu aku diberi kesempatan untuk berbicara dengan Barin lebih lama lagi, ada bahan obrolan yang menarik baginya.

Eh, keburu beredar kabar kalau salah satu adik angkatanku, Ziya, punya pacar. Kabar ini cukup menggegerkan jurusanku karena Ziya selama ini dikenal sebagai cewek tomboy yang, kelihatannya, tidak butuh kehadiran laki-laki sebagai pacar. Nyatanya, Ziya berhasil menarik seorang mahasiswa seni rupa, dan orang itu adalah Barin.

Aku melongo. Bagaimana bisa? Aku tidak pernah melihat Barin melakukan pendekatan terhadap Ziya. Begitu juga sebaliknya. Bagaimana kronologinya Barin bisa berpacaran dengan cewek berambut cepak itu? Kenapa Barin memilih perempuan berambut pendek lagi? Apa dia sebetulnya belum bisa melupakan Gisca?

Apa seharusnya aku berambut pendek juga supaya Barin tidak meluputkan pandangannya dariku? Aku merasa aku lebih dekat dengan Barin ketimbang Ziya? Tetapi kenapa Barin memilih dia? Apa karena rambut cepaknya?

Pulang kuliah, aku masuk kamar, berdiri di depan cermin. Kugelung rambutku. Kubayangkan rambutku pendek. Tidak jelek-jelek amat. Malah aku terlihat lebih cantik karena leherku terlihat.

Saban hari aku melakukan hal yang sama. Tidak hanya di rumah. Tetapi juga di kosan temanku, di kampus. Aku sampai meminta pendapat pada teman-temanku seandainya aku memotong pendek rambutku. Rata-rata mereka menjawab, “coba saja.”

Namun salah seorang temanku berpendapat lain. “Jangan, deh. Biarkan rambutmu panjang begitu.”

“Kenapa?” tanyaku.

Temanku itu bilang, menggelung rambut dengan memotong rambut itu beda kasus. Penampilanku memang berubah, tetapi wajahku tidak akan terlihat sama dengan jika aku memotong rambutku pendek-pendek.

“Kenapa, sih, pengin potong rambut segala? Kamu lebih cantik berambut panjang seperti itu.”

“Ya… Ganti penampilan, masa’ nggak boleh?” dalihku.

Meski tampak ambisius dan tak peduli komentar orang, diam-diam aku memikirkan pendapat temanku. Mungkin dia benar, aku terlihat cantik dengan rambut panjang. Walaupun bisa saja Sissy berpendapat seperti itu karena dia terbiasa melihatku dengan rambut panjang melewati bahu seperti ini.

Kugerai kembali rambutku setelah hampir seharian kugelung, berpura-pura kalau rambutku pendek. Kutelan dalam-dalam niatku untuk memotong rambut sebab belum tentu hal itu bisa membuat Barin serta-merta menyukaiku. Bagaimana kalau perasaannya terhadapku sama saja, hanya sebagai teman? Aku yang akan menyesal nanti, sudah membabat rambutku hingga tersisa beberapa senti, eh, Barin tetap saja tidak menghiraukanku.

Lagipula, kupu-kupu tidak perlu dikejar. Cukuplah aku menjadi bunga yang cantik untuk membuat seekor kupu-kupu datang padaku.

***

Skripsi menyita cukup banyak waktu dan tenagaku. Setelah hampir enam bulan, rampung juga tugas akhirku itu.

Selama menyusun skripsi, aku tidak melupakan Barin. Hanya saja, aku lebih fokus berpikir untuk skripsi. Setiap kali ke kampus untuk menemui dosen pembimbingku, aku berharap bisa bertemu dengannya. Atau melihatnya dari jauh, seperti biasa. Rasanya, kebahagiaanku selama kuliah ada dalam diri Barin. Karena kalau aku tidak melihat Barin, hariku serasa hampa. Seperti ada hal berharga yang kulewatkan.

Tetapi selama aku bimbingan di kampus, tak pernah sekalipun aku melihat Barin di sana. Kami memang seangkatan, tapi nasib kami bisa berbeda. Mungkin saja Barin masih kuliah, sama-sama menyusun skripsi dan beda jadwal bimbingan, atau sudah lulus.

Dan bagaimana hubungannya dengan Ziya?

Sudah putus sejak aku mulai menggarap skripsiku. Ketika itu aku bertemu Ziya di dekanat. Penampilannya sudah berubah. Tidak banyak, tapi cukup kentara. Rambutnya tidak lagi cepak, tetapi panjang sebahu. Tampak cantik sekali. Apalagi dengan wajahnya yang berseri tatkala menggandeng tangan seorang mahasiswa. Pasti pacar barunya.

Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Ziya putus dari Barin. Sebelumnya pun, aku tidak tahu kenapa Barin putus dari Gisca. Meski ingin tahu banyak soal laki-laki itu, aku tidak pernah punya niat untuk menyelidiki. Ada yang bilang, Barin kurang perhatian. Aku tidak tahu itu benar atau tidak. Mungkin saja Barin, sebagaimana halnya laki-laki, memprioritaskan hal-hal penting. Sementara Gisca terlalu peduli pada hal-hal remeh.

Entahlah. Itu bukan urusanku. Urusanku adalah perasaanku terhadap Barin. Kangen? Tentu saja. Selalu, malah.

Saat wisuda, ketika teman-temanku bersuka cita, berfoto bersama keluarga, teman-teman atau pendamping wisuda mereka, aku mencari Barin di antara orang-orang yang datang. Ke mana pun mataku tertuju, tidak kutemukan Barin di antara mereka. Aku hanya melihat salah seorang temannya yang tidak kukenal. Mau bertanya padanya soal Barin, tapi sungkan.

Dengan riasan lengkap di wajah, aku pulang dengan tanda tanya. Di mana Barin? Bagaimana kabarnya? Semua orang tidak tahu aku sedang gundah. Riasan wajah ini benar-benar ampuh menutupi kenyataan yang aku rasakan.

Mungkin sudah waktunya aku melupakan Barin, pikirku. Bukan hanya karena dia sudah menghilang dari mataku. Kalau kupikir-pikir lagi dengan serius, memang tidak ada gunanya mengharapkan Barin. Dia hanya menganggapku teman. Tidak dekat pula. Mungkin lebih tepat disebut kenalan.

Anehnya, di saat aku berniat melupakan, saat itulah aku “menemukan” Barin di salah satu jejaring sosial. Ini terjadi setelah kira-kira tiga bulan aku lulus kuliah. Aku sudah jarang bertemu teman-temanku lagi selain melalui chatting. Kami sepakat untuk terhubung di Facebook. Aku pun memprioritaskan memilih teman-teman satu kampus. Jauh dari lubuk hatiku, aku tidak rela “mengenyahkan” Barin dari pikiranku. Aku berharap bisa berteman dengannya walau secara digital.

Mungkin karena harapanku begitu kuat, Facebook merekomendasikan Barin untuk menjadi temanku. Namun sebelum kupilih opsi “tambah teman”, kutelusuri dulu profilnya. Dari foto dan status yang kubaca, Barin mengikuti wisuda setelah gelombang yang kuikuti. Jadi saat aku wisuda, kemungkinan dia belum menyelesaikan skripsinya, atau sudah lulus sidang tetapi terlambat mengikuti gelombang wisuda yang kuikuti.

Aku membaca setiap statusnya dengan saksama. Juga komentar dari teman-temannya yang kebanyakan ditanggapi Barin. Tidak ada keterangan lokasi dia sekarang di mana. Tetapi aku menemukan sebuah foto perempuan berambut pendek tampak dari belakang, sedang memandang ubun-ubun matahari di atas laut. Firasatku langsung mengatakan kalau dia adalah pacar Barin.

Kubaca takarirnya.

Matahari telah tenggelam. Begitu juga kisah kita.

Apa itu maksudnya Barin sudah putus dengan perempuan di foto itu? Apakah dia pacar terakhirnya setelah putus dari Ziya?

Seperti biasa, aku begitu ingin tahu. Barin selalu membuatku penasaran. Aku tidak tahu dorongan apa yang membuatku ingin menyelidiki keberadaan dan keadaan Barin saat ini. Dorongan misterius itu juga yang akhirnya membuatku nekat menambahkannya sebagai teman.

Namun, kuperiksa secara berkala, Barin tidak kunjung menanggapi permintaan pertemanan dariku. Mungkin dia jarang online, pikirku.

Ah, sudahlah. Bukankah aku tidak pernah meminta lebih kepada Barin? Bukankah melihatnya saja sudah cukup, meski kali ini lewat perantara dunia maya? Tiga tahun memendam perasaan terhadap Barin, merasa bahagia saat melihatnya, itu lebih baik daripada tiga tahun kuliah tanpa pernah punya pengalaman emosional apa-apa.

Kurasa, aku harus bisa mengatakan “cukup” untuk Barin.

***

Baru beberapa bulan diterima bekerja sebagai copywriter di sebuah perusahaan digital marketing, aku sudah mendapat job untuk membuat company profile sebuah perusahaan desain interior. Aku bersyukur karenanya. Setelah satu tahun lebih bekerja serabutan jadi penerjemah, pengajar Bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus, hampir jadi jurnalis di sebuah tabloid anyar tentang pendidikan yang ternyata abal-abal, akhirnya aku mendapat pekerjaan yang serius. Walau untuk pekerjaan ini, aku harus merantau ke Jakarta, meninggalkan Bandung dan segala kenangannya.

Cukup berat meninggalkan kota kelahiranku, yang menyimpan semua kisah hidupku dari kecil sampai sekarang. Ibuku berpesan, “Kalau kangen, pulang saja. Bandung-Jakarta tidak begitu jauh.”

Aku mengangguk saja.

Kereta Argo Parahyangan melaju perlahan pada awalnya. Seperti berat meninggalkan Kota Kembang ini. Mungkin, kereta ini juga punya banyak kenangan di sini dan gelisah membayangkan kehidupan di Jakarta. Tetapi kereta ini bisa cepat kembali ke Bandung. Bisa bertemu lagi dengan orang-orang yang pernah ia temui.

Jakarta memang kota yang asing bagiku. Aku punya beberapa teman di sini, tetapi aku tidak tahu alamatnya. Lagipula, aku tidak punya banyak waktu untuk bercengkrama dengan mereka. Sesampainya di kota metropolitan itu, aku harus segera mengurus tempat tinggalku dan segera bekerja.

Bahkan, saking sibuknya, sampai-sampai aku nyaris melupakan masa lalu kalau saja aku tidak bertemu Barin. Ternyata dia bekerja di perusahaan yang menjadi klienku. Barin yang lulusan seni rupa bekerja di sana.

Aku melongo. Tidak mengira akan bertemu Barin dan tidak mengharapkannya. Ah, kenapa ketika aku hendak melupakan, dia malah muncul?

Barin menyapaku dengan ramah, seakan-akan kami sudah berteman akrab sejak lama.

“Jadi, kamu yang buat compro?”

Aku mengangguk.

“Kupikir kamu bakal nulis novel atau puisi,” goda Barin.

Aku terkekeh. “Nggaklah. Aku suka, sih, nulis puisi. Tapi kayaknya aku lebih cocok kerja jadi copywriter.”

“Gitu, ya? Aku nggak paham, sih, soal bahasa-bahasaan. Atau sastra. Taunya cuma gambar hehehe.”

Kami tertawa. Dan bukan kali ini saja kami bertemu. Hari-hari berikutnya jika datang ke kantor ini, aku selalu bertemu Barin. Pekerjaanku bertambah, tidak hanya membuat compro, tetapi juga mengelola media sosial, yang membuatku harus sering meliput kegiatan perusahaan ini.

Kadang aku dan Barin cuma saling menyapa karena harus mengerjakan pekerjaan masing-masing. Tetapi sesekali kami juga makan siang bersama atau mengobrol di lobi kalau kebetulan kami tidak sibuk-sibuk amat.

Aku berusaha untuk tidak terjebak nostalgia. Masalahnya, aku merasa hubungan kami lebih dekat ketimbang waktu kuliah dulu. Mungkin karena sekarang ada dalam gedung yang sama, tidak seperti dulu yang terpisah antara Fakultas Sastra dengan Fakultas Seni Rupa. Kalau ditanya bagaimana perasaanku, sungguh aku senang. Ini seperti sekuel dari cerita yang endingnya masih menggantung.

Aku berusaha mengendalikan diri agar tidak melibatkan emosiku lebih jauh. Namun pada satu kesempatan makan siang, mata kami bersitatap. Aku merasa Barin memberikan sorot yang tidak biasa. Aku berusaha mengelaknya. Kuajak dia membicarakan hal lain. Namun dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya, aku tidak bisa melawan pesona sorot mata Barin. Aku tidak bisa mengelak kalau jauh di lubuk hatiku, aku masih menyimpan harapan terhadapnya.

***

“Jadi, bagaimana?”

Barin menatapku malu-malu. Aku tak kalah malunya. Kepalaku menunduk, berusaha menghindari tatapan mata Barin. Kami janjian bertemu malam ini. Aku sudah tidak lagi bekerja di kantor Barin. Kontrakku sudah habis. Tetapi aku masih berkomunikasi dengannya melalui SMS, telepon, chatting, apa pun media komunikasi digital. Hampir tidak pernah kami bertatap muka setelah aku selesai kontrak dengan perusahaan tempatnya bekerja.

Sampai suatu hari, Barin mengajakku makan malam dan nonton. Sambil mengantar pulang, dia mengungkapkan perasaannya padaku. Suasana di sekitar tempat kosku sepi. Padahal malam baru merambat ke pukul setengah sepuluh, tetapi keheningan sudah menyelimuti sekitar. Kami terdiam, seolah menunggu detik-detik yang mungkin akan mengubah kisah kami selamanya.

Meski hal ini kuharap-harapkan waktu dulu, aku malah bimbang. Aku meragukan perasaan Barin. Apakah dia benar-benar menyayangiku? Dulu, Barin tidak peduli padaku. Kenapa sekarang dia tidak mau jauh dariku? Apa yang membuatnya tertarik padaku?

Tak cuma itu, aku pun meragukan perasaanku terhadap Barin. Apakah aku benar-benar menyukainya? Apakah ini yang aku inginkan saat ini? Bisakah aku menerima Barin yang sekarang, bukan Barin yang dulu yang punya selera yang tidak biasa?

Jauh dari lubuk hatiku, aku ingin menerima Barin. Tetapi aku khawatir kalau dia menjadikanku pelampiasan. Satu hal yang tidak pernah Barin ceritakan adalah soal mantan-mantannya. Kuduga, dia mungkin ingin melupakan mereka. Namun mendadak, aku curiga kalau Barin bosan dengan pola yang sudah dia buat. Dia tidak mau lagi berpacaran dengan perempuan berambut pendek. Dia ingin mencoba sesuatu yang baru dengan memiliki pasangan berambut panjang. Karena itulah dia memilihku.

Aku meminta waktu untuk menjawab. Barin memang hanya mengajakku pacaran, bukan menikah. Namun aku tidak mau salah ambil keputusan. Aku tidak mau main-main dengan perasaan.

Seminggu kemudian, Barin menagih jawaban.

“Ya,” jawabku.

Senyum puas merekah di wajah Barin. Dan sebagaimana layaknya dua sejoli yang baru menjalin hubungan kekasih, kami sering melewatkan waktu bersama walau hanya saat jam makan siang.

Setelah dua minggu usia hubunganku dengan Barin, aku masih tidak percaya kalau dia menyukaiku. Rambutku tetap panjang dan Barin tidak pernah memintaku untuk memotong rambutku. Apa dia sudah berubah? Tidak lagi melihat penampilan, tetapi hati? Apakah dia bosan dengan perempuan berambut pendek? Aku tidak tahu dan tidak pernah mau bertanya. Aku berusaha menikmati hari-hariku bersama Barin. Sejauh ini, kami tidak pernah bertengkar dan aku selalu berusaha menerima kekurangan Barin.

Yang mengganjal adalah keraguanku akan niatnya menjalin hubungan denganku. Sempat terpikir olehku untuk mengujinya dengan memotong pendek rambutku. Aku kembali mencari model rambut pendek yang sesuai dengan jenis rambut dan bentuk wajahku.

Seraya memilih-milih model dan membayangkan jika aku potong rambut betulan, aku mempertimbangkan reaksi dan perasaan Barin. Terkejut, pasti. Namun, terkejut karena apa? Pangling? Senang? Atau tidak suka?

***

Melalui jendela kamar, aku melihat Barin dan sepeda motornya memasuki halaman parkir kos-kosanku. Seperti biasa, dia lalu mengeluarkan ponsel dan memanggilku. Barin tidak mau membunyikan klakson. Takut mengganggu penghuni kosan lainnya, begitu alasannya. Dan yang biasa aku lakukan untuk menanggapi panggilan Barin bukanlah menjawab panggilan teleponnya, tetapi melongokkan kepala keluar jendela dan melambaikan tangan karena sudah pasti Barin meneleponku seraya mendongakkan kepalanya ke lantai dua, ke jendela kamarku.

Tetapi kali ini tidak. Aku menjawab panggilan teleponnya. “Oke, aku turun.”

Sekali lagi aku bercermin, menata lagi rambutku yang sudah dipotong model shaggy. Aku tidak mau model cepak atau pixie. Terlalu ekstrem buatku. Dengan potongan ini pun aku tidak tahu bagaimana reaksi dan pendapat Barin nanti.

Aku melangkah keluar kos-kosan dengan jantung berdebar-debar. Sebelum melewati pintu, kupejamkan mataku, berdoa supaya Barin tidak mempermasalahkan rambutku sampai berlarut-larut. Kalau dia kaget, itu wajar. Asalkan tidak ngamuk-ngamuk.

Barin melongo saat melihatku muncul dari pintu kosan. Mulutnya sedikit menganga. Kuduga, napasnya juga berhenti sejenak. Aku tersenyum, berusaha bersikap tenang seolah aku memotong rambut bukan untuk menguji ketetapan hatinya.

“Kenapa?” tanyaku, pura-pura tidak tahu.

“Kamu… kapan potong rambut?” adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Barin.

Aku tidak bertemu Barin selama tiga hari. Dia sedang ada proyek di Bandung dan menginap di sana selama dua malam. Kesempatan itu kugunakan untuk ke salon.

“Dua hari yang lalu.”

“Kenapa?” katanya seraya mengangsurkan helm padaku. Raut wajah, sorot mata dan intonasinya lain dari biasanya.

“Gerah. Rambutku banyak yang rontok dan bercabang. Jakarta panas banget, sih.”

“Bukannya kamu rajin perawatan rambut?”

Aku memang pernah bilang pada Barin kalau aku selalu berusaha melakukan perawatan rambut sebulan sekali. Aku tidak suka ke salon. Tetapi kalau rambutku panjang begini, aku kesulitan melakukan perawatan rambut di rumah.

“Iya, tapi tetep aja rontok.”

“Kenapa nggak bilang aku dulu kalau kamu mau potong rambut?”

Aku mendesah. “Kan, kamu lagi ke luar kota. Aku nggak tahan lagi dengan rambut panjangku.” Aku minta pemakluman.

“Tapi seharusnya kamu nunggu aku pulang dulu. Aku bisa bantu pilihkan model rambut yang cocok buatmu biar nggak kependekan seperti ini.”

Dari nada bicaranya, aku tahu Barin gusar. Tetapi, apa yang membuatnya gusar, aku tidak tahu.

“Biarinlah. Sesekali tampil beda. Nanti juga rambutku panjang lagi.” Aku berusaha menenangkan Barin supaya tidak terus marah. Tidak enak juga sudah membuatnya gusar seperti itu.

Kami langsung berangkat. Barin mengantarku ke kantorku lebih dulu. Sepanjang jalan, dia tidak berkata apa-apa. Pun setelah aku turun dari motornya dan menyerahkan helm, Barin langsung ngeloyor pergi. Padahal biasanya dia pamit dulu padaku, memastikan kapan kami bertemu lagi, atau sekadar mengucap, “bye.”

Kuduga, Barin tidak suka penampilan baruku. Dia tidak meneleponku saat jam makan siang. Bahkan dia tidak bilang kalau akan menjemputku. Kami tidak pernah melewatkan komunikasi seremeh apapun supaya tidak mengecewakan satu sama lain. Karena bisa saja Barin kerja lembur sehingga tidak bisa mengantarku pulang. Atau sebaliknya, aku ada meeting mendadak dengan klien.

Tahu-tahu, Barin sudah menunggu di depan kantorku. Begitu aku menghampiri, dia menyerahkan helm tanpa menoleh padaku.

“Hei, gimana kalau kamu ngasih helm ke salah orang?” tegurku.

“Nggaklah,” jawabnya singkat dan dingin sambil menarik resleting jaketnya.

Sepanjang jalan, aku berusaha mengajak Barin bicara. Kadang dia menjawab, tetapi lebih banyak diam.

“Kamu kenapa, sih?” tanyaku begitu kami tiba di depan kos-kosanku. “Marah, ya, gara-gara rambutku?”

Barin tidak menoleh. Juga tidak menjawab pertanyaanku.

“Barin, nggak biasanya kamu kayak gini. Kamu marah karena aku potong rambut?”

Wajah Barin begitu tenang, begitu dingin. “Nggak,” jawabnya pelan. Seolah dia ragu dengan jawabannya sendiri.

Meski sudah menduga kalau Barin akan marah, aku tidak mempersiapkan kata-kata untuk menghadapinya. “Tapi sikap kamu berubah sejak tadi pagi. Sejak melihat rambutku…”

“Karena… aku nggak suka rambutmu pendek. Kamu kayak… kayak bukan kamu yang biasanya…”

Aku tidak mengerti. “Lho? Yang berubah, kan, rambutku. Bukan aku. Kenapa, sih, sebenarnya?”

Barin tidak menjawab. Dadaku terasa sesak. Suara kendaraan dari jalan raya terdengar sayup, kontras dengan kebisuan di antara kami. Bahkan desau angin yang menggoyang daun-daun di halaman kosanku terasa lebih nyaring daripada suara Barin yang kutunggu-tunggu. Seperti inikah kalau dia sedang marah? Meski sudah beberapa kali bertemu sebelum kami jadian, aku belum sepenuhnya mengenal Barin. Banyak hal yang belum aku pahami dari pacarku ini.

Namun, bukankah itu tujuan pacaran? Untuk lebih mengenal orang yang kita cintai. Siapa tahu kami berjodoh. Daripada aku syok melihat watak aslinya setelah menikah nanti, lebih baik aku sudah mempersiapkan diri dari sekarang.

Ini hanya gerimis. Sebuah pertengkaran kecil. Aku yakin itu. Tetapi, aku merasakan lidahku pahit seharian ini. Seperti ada serbuk kopi yang menempel di lidah dan tak bisa larut dengan mengonsumsi apapun. Agaknya aku tidak butuh kopi selama berhari-hari ke depan. Apapun yang aku makan dan minum, semua terasa pahit.

Seumur-umur, baru kali ini aku punya pacar. Sekalinya pacaran, aku merana diabaikan Barin. Aku jadi menyesal sudah memotong rambutku. Barin benar, seharusnya aku bilang dulu padanya kalau mau potong rambut. Mungkin Barin punya saran potongan model apa yang cocok buatku. Atau meminta pihak salon untuk memotong rambutku model shaggy seperti ini, tapi tidak terlalu pendek.

Selama seminggu, hubungan kami jadi dingin. Aku mulai putus asa ketika Barin tidak lagi berusaha menemuiku setelah sebelumnya dia sempat menjemputku dari kos-kosan dan mengantarku pulang. Kupikir, inilah risiko paling fatal yang pernah kupikirkan, tapi aku tidak siap menerimanya.

Hingga Sabtu sore, Barin datang ke kosanku tanpa memberitahu lebih dulu.

“Selama sminggu ini aku terus mikirin kamu,” ucap Barin, lirih. “Kita… jalan-jalan, yuk!”

Aku tak langsung menanggapi. Setelah sekian hari tidak menghiraukanku, sekarang dia datang dan mengajakku pergi, seolah tidak ada masalah apa-apa di antara kami. Barin tidak lagi terlihat marah. Jarak yang terentang selama satu minggu ini mungkin memberinya kesempatan untuk merenung, terutama tentang sikapnya yang memengaruhi hubungan kami.

“Ke mana?”

Barin mengajakku ke pantai.

“Kita belum pernah ke sini,” ujarnya begitu kami sampai. Kuamati gurat-gurat di wajah Barin tidak keras seperti hari-hari kemarin. Kuharap, hatinya sudah melunak. Jarak seharusnya membuatnya merindukanku dan menyadari bahwa apa yang aku lakukan masih bisa dia maafkan.

Aku tersenyum. Angin mengacak-acak rambut kami, menarik-narik blus dan celana kulotku seperti hendak mengajakku ke laut.

“Aku mau minta maaf. Aku terlalu keras sama kamu. Nggak seharusnya aku mempermasalahkan rambutmu.”

“Aku yang salah, sih, nggak sabaran. Nggak nunggu kamu pulang dulu,” sesalku.

“Aku sebetulnya suka melihat rambut kamu pendek seperti itu. Cuma…”

Aku menoleh, menunggu Barin meneruskan kalimatnya.

“… aku berharap kamu nggak potong rambut.”

“Kenapa? Kamu nggak suka lihat rambutku tinggal beberapa senti ini?”

“Bukan begitu,” bantah Barin. Dia menatapku sambil menghela napas panjang. Seperti ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi bimbang. Kepalanya lalu menunduk, menatap pasir yang menorehkan jejak sepatunya.

“Kalau nggak mau cerita, nggak apa-apa, sih.” Aku berusaha untuk tidak memaksanya. “Nanti aja kalau sudah siap, baru cerita ke aku.”

Barin mendongak. “Aku dulu suka perempuan berambut pendek. Kesannya rapi, segar, independen, percaya diri, tahu mana yang harus dia prioritaskan. Tapi ternyata…”

Barin menggantung kalimatnya. Sementara itu, aku menebak-nebak, apa yang sebetulnya dialami Barin.

“Penampilan nggak selalu menunjukkan tabiat asli seseorang,” lanjut Barin. “Aku pernah pacaran dengan cewek berambut pendek. Awalnya kupikir kami bakal saling melengkapi. Tapi dia... terlalu mandiri. Terlalu fokus pada dirinya sendiri. Seolah-olah dia bisa menjalani semuanya tanpa butuh orang lain, termasuk aku.”

Aku terdiam, memproses kata-katanya.

“Setiap kali aku berusaha menawarkan bantuan atau sekadar menemani, dia selalu bilang, ‘Nggak usah repot-repot. Aku bisa sendiri.’ Lama-lama, aku merasa seperti orang asing dalam hidupnya. Kayak... keberadaanku nggak penting. Akhirnya, kami putus.”

Mulutku sedikit menganga, tetapi tak ada satu kata pun yang keluar.

“Bukan salah dia, sih. Mungkin memang karakternya seperti itu. Tapi sejak saat itu, aku belajar buat nggak menilai seseorang dari penampilannya. Sekarang, aku lebih percaya sama perasaan yang muncul ketika aku dekat dengan seseorang. Yang bisa bikin aku nyaman, bukan yang terlihat sempurna dari luar.”

Laut membiarkan ombak kecilnya menemui pantai dan menyeret sebagian pasirnya untuk berenang bersamanya. Aku menoleh pada Barin yang sedang menatapku dengan sorot mata teduhnya.

“Gimana rasanya punya rambut pendek?” tanya Barin tiba-tiba.

“Enak juga, sih. Nggak perlu sering-sering nyisir. Nggak perlu ikat rambut. Nggak gerah. Nggak rontok…”

Barin tersenyum.

“Tapi, kalau boleh jujur,” aku menelan ludah. Memang sulit berkata jujur itu. “Aku lebih suka rambutku panjang.”

Barin tertawa. “Kenapa?”

“Aku dari kecil senang kalau ada angin meniup rambutku. Sekarang, anginnya malah kena kulit kepalaku langsung.”

Tawa Barin semakin keras. “Nggak apa-apalah. Baru kali ini, kan, punya rambut pendek?”

Aku mengangguk sambil tersenyum.

“Tapi nanti, kalau rambutmu sudah panjang, jangan potong sependek ini lagi,” pinta Barin. “Aku suka kamu bukan karena rambutmu, tapi karena aku nyaman sama kamu."

Kutatap mata Barin, mencoba mencari kebohongan yang dia simpan di dalamnya. Tetapi tidak ada. Aku melihat kesungguhan dalam dirinya. Untuk menyayangi dan menerimaku apa adanya. Bukan membentukku sesuai seleranya.

Di depan kami, matahari perlahan tenggelam ke batas laut, meninggalkan semburat jingga yang berubah menjadi kirmizi. Ombak berdatangan, menyapu pantai, menarik pasir agar melarung bersamanya. Hari ini belum usai. Tetapi petang ini akan menghadirkan malam yang baru bagiku dan Barin.

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Selembar Daun Hijau
Katabelantara
Cerpen
Laki-laki yang Menyukai Perempuan Berambut Pendek
Rie Yanti
Novel
Kala Bulan dan Fajar
el tsuki
Novel
Bronze
My Suspicious Neighbour
Serenade18
Cerpen
Fate
Raden Maesaroh
Novel
Bronze
The Last September
lrahmaniat
Novel
Unpredictable Night
Luke Anjelina
Novel
Bronze
Persepsi
Pachira
Flash
Bronze
Terpaksa Putus karena
Nuel Lubis
Novel
Bronze
Destin
Rizka Ayu
Novel
Bronze
Maple Note
Hildan Fadhilla
Novel
Ikatan
Syifa nurul alfiah
Novel
Bronze
Stone Tower
Ananda Putri Safitri
Novel
Paintease
Delima Ami
Novel
Mencintaimu Adalah Histori
Nuriska Beby
Rekomendasi
Cerpen
Laki-laki yang Menyukai Perempuan Berambut Pendek
Rie Yanti
Cerpen
Peringkat Palsu
Rie Yanti
Flash
Memotret Hujan
Rie Yanti
Flash
Bolu untuk Awan
Rie Yanti
Cerpen
Ami Sakit Perut
Rie Yanti
Cerpen
Sehari Sebelum Melati Masuk Sekolah
Rie Yanti
Flash
Memotret Hujan (2)
Rie Yanti
Cerpen
Kakek yang Suka Duduk di Tepi Jalan
Rie Yanti