Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Arggh.” Serpihan kayu tertancap di jari kelingkingku. Ketika aku mencoba mengeluarkannya, membuat patahan itu semakin masuk ke dalam.
Hilal menghela nafas,” sudah kubilang untuk tidak bermain terlalu jauh, kau ini bebal sekali. Aku hanya terdiam, tidak berani untuk membantahnya, karena ucapan kembaranku memang benar adanya.
“Kata orang, jika sesuatu masuk ke dalam tubuh kita, maka itu akan menjadi kutukan,” ujar Paras menakuti-nakutiku. Aku yang tidak percaya dengan cerita berbau supranatural, hanya tertawa terbahak-bahak.
“Jangan konyol, itu tidak mungkin ada, di zaman modern seperti sekarang,” ujarku. Mendengar ucapanku, Paras merasa kesal karena gagal menakutiku.
Hilal mengajakku pulang, kelingkingku terasa gatal sehingga aku menggaruknya selama perjalanan. Melihat hal itu, Hilal terlihat gemas denganku.
“Bisakah kau berhenti menggaruknya, itu malah membuat patahan itu semakin masuk ke dalam, biarkan saja, besok juga keluar dengan sendirinya,” ujar Hilal. Aku mendelik, kemudian berhenti menggaruk.
Keesokan harinya, begitu aku terbangun dari tidurku. Aku terkejut, karena patahan kayu dari kelingkingku, menghilang begitu saja.
“Yeayyy, akhirnya hilang juga,” teriakku sambil berjingkrak. Karena terlalu berisik, Hilal melempariku dengan bantal.
“Berisik, Himam, ini masih jam 7, masih terlalu pagi untuk membuat kegaduhan,” gerutu Hilal. Aku pun mengecilkan suaraku, namun aku merasa senang, karena tidak ada lagi patahan di kelingkingku.
Sayangnya, kesenanganku harus berakhir, ketika aku mengalami sesuatu yang aneh ketika berangkat sekolah. Suara teriakan misterius memekikkan telingaku, aku memberitahu Hilal, namun ia tidak mempercayainya dan malah menganggapku bercanda.
“Selain, salah menjawab soal di ujian, kau pun salah mendengar, tidak ada orang berteriak disini, hanya ada suara gergaji,” ujar Hilal sambil membaca buku.
Aku pulang sekolah melewati jalan berbeda dengan Hilal, aku ingin mendengar suara itu lagi. Begitu aku sampai di hutan itu, suara itu kembali terdengar, aku merasa seperti ada yang mengawasiku. Tapi berapa kali aku mencarinya, tidak ada seorang pun disana, hanya aku seorang yang berdiri di tengah hutan.
“Ayah aku tidak ingin kau mati, mereka akan membunuhmu,” tangis suara anak kecil.
“Tidak, mereka tidak akan membunuhmu,” ujar suara seorang pria.
Aku melihat sekeliling, mengamati pohon-pohon besar yang ada di sekitarku. Namun, aku tidak menemukan keberadaan seseorang. Aku pernah melihat di film-film, bahwa ketika seseorang bisa mendengar sesuatu yang tidak bisa didengar orang lain, maka itu disebut indigo. Namun, jika memang aku punya kemampuan semacam itu, bukankah hantu-hantu itu akan menampakkan dirinya didepanku, karena hantu sangat menyukai anak yang punya mata batin.
“Apa menurut Ayah, anak itu mendengar kita?”
“Sepertinya tidak,”
“T-tapi aku merasa anak itu mendengar kita,”
“kenapa kau berpikir begitu Hal?”
“Karena aku merasa ada bagian kita ada dalam dirinya,”
Aku tidak tahan, rasanya pikiranku akan meledak. Terlalu banyak suara yang masuk ke telingaku. Kemudian, aku menarik nafasku perlahan, menajamkan pengindraanku. Setelah itu, aku melihat dengan jelas, sesuatu yang bersembunyi di dalam pohon besar itu, lebih tepatnya jiwa yang bersemayam seperti sosok manusia telanjang berwarna putih dengan pancaran cahaya.
Aku terdiam atas apa yang aku saksikan. Namun, anehnya aku tidak merasa takut, tapi aku merasa bahwa jiwa-jiwa mereka terasa menyegarkan dan hangat dalam naluriku.
“Kenapa dia menatapku, aku merasa aneh, Ayah.”
“Itu cuma perasaanmu saja, dia tidak melihat kita, dia hanya melihat pohon kita”
Aku mendekati pohon itu dan menyentuhnya.
“Aku pikir, hanya manusia saja yang berkeluarga, ternyata kalian juga,” ujarku pada jiwa anak kecil dalam pohon pinus. Anak kecil itu terkesiap mendengar ucapanku, sontak menatap jiwa seorang pria yang kupikir itu adalah Ayahnya.
“Apa menakutkan melihat manusia bisa berbicara dengan pohon seperti ini?” tanyaku. “tapi memang benar sih, tumbuhan dan manusia punya dunia berbeda, makanya kita tidak bisa saling bicara, aku pun terkejut, karena ini pertama kalinya aku bisa melakukannya.”
Jiwa anak kecil itu, menggoyangkan tubuhnya hingga sepucuk daun mengenai kepalaku.
“Namaku Hal, begini cara kami menyapa, kuharap kau tidak terkejut,” ujar Hal tersenyum. Aku lalu meraih daun dari kepalaku.
“Namaku Himam, aku tinggal di daerah sini.” Aku tampak bingung apakah harus berjabat tangan atau tidak, karena pohon tidak memiliki tangan.
“Aku Sirius, Ayah Hal, jika ingin menggandeng tangan, kau hanya perlu menyentuh batang pohon, karena itu akan terhubung dengan kami,” ujar Sirius menjawab kebingunganku.
Semenjak itu, kehidupanku mulai berubah, selalu menjadi rutinitasku untuk mengunjungi Hal dan Sirius di hutan belakang sekolah. Aku tidak hanya mengenal mereka berdua, melainkan juga jiwa-jiwa pohon yang lain, seperti Martha si pohon eboni, Edgar si pohon sonokeling, dan Rusma si pohon jati.
“Apa kalian tercipta begitu saja seperti manusia?” tanyaku penasaran. “maksudku, jiwa kalian sudah ada bersamaan dengan tubuh kalian,”
Hal menurunkan dahannya, untuk melindungiku dari terik matahari. “Tidak, kami tercipta karena diberi kesempatan untuk bisa merasa hidup.”
Aku mengernyitkan keningku heran. “Apa maksudnya?”
“Manusia-manusia yang mati kesepian, akan diberi kesempatan untuk saling merangkul, artinya kami bereinkarnasi, tapi kami tidak diberi ingatan tentang kehidupan sebelumnya, karena jiwa kami tercipta dari beberapa jiwa manusia.” jelas Sirius.
“Tapi itu tidak akan ada artinya jika kalian tidak ingat apapun,” ujarku sambil melihat langit.
“Ada yang lebih berharga dari sekedar mengingat sesuatu,” ujar Sirius yang kemudian terdiam beberapa saat, “perasaan bahwa kami pernah hidup dan ingin menjaga manusia yang kesepian, itulah paling berarti bagi kami, dan kami tidak pernah menyesalinya.”
“Aku setuju dengan Sirius, ketika ada manusia hancur dan meringkuk didekatku, aku merasa ingin melindungi dan memeluknya, padahal aku tidak mengenalnya, “ ujar Martha seperti menahan tangis.
Aku terdiam setelah mendengar ucapan Sirius dan Martha, seperti ada sesuatu yang menampar dan membawaku pada kenyataan, bahwa disatu sisi manusia adalah perusak bagi jiwa pohon-pohon seperti mereka, tapi pada sisi berbeda, manusia adalah makhluk yang ingin mereka lindungi. Mungkin karena terikat dari beberapa jiwa, mereka seakan merasa bertanggung jawab untuk melakukannya.
“Himam, besok kita akan mengadakan doa langit disini, apa kau mau ikut?” tawar Hal.
“Apa itu?” tanyaku penasaran.
“Sejenis memanjatkan doa agar kita selalu dilindungi, sekaligus memberikan persembahan pada Ramin, si penjaga,” jawab Edgar sambil melindungi sarang burung.
“Apa Ramin, itu Dewa kalian?”
Rusma sontak tertawa, kemudian dipukul oleh Martha dengan dahannya. “Maaf-maaf, hanya saja lucu, membayangkan si Pak Tua Ramin itu jadi Dewa,”
“Ramin itu adalah pohon yang paling tua disini, usianya 100 tahun, dia sudah berperan banyak untuk tetap menjaga hutan dari manusia,” jelas Hal. Aku mengangguk mengerti.
“Manusia selalu takut dengan mitos, jadi ketika ada yang mau menebang kami diam-diam, maka Ramin akan membuat semacam suara yang ia manfaatkan dari rongga batangnya, hingga suara itu terdengar seperti jeritan perempuan,” ujar Sirius. Aku pun teringat pada cerita urban legend jeritan perempuan menangis, ternyata penyebabnya adalah pohon Ramin itu.
Aku mempersiapkan diri untuk ikut dalam ritual pemanjatan doa, meski Hal bilang tidak perlu membawa apa-apa. Aku tetap membawa perlengkapan seperti buah-buahan dan susu sapi, meski aku ragu apakah pohon-pohon itu bisa mencernanya. Jika tidak bisa, maka kusiram saja dahan mereka dengan susu, dan mengubur buah di dekat akarnya.
“Kau akan kemana?” tanya Hilal dengan mulut penuh coklat.
“Hutan belakang sekolah,” jawabku. Kemudian, kugendong tas yang ternyata terasa berat.
“Oh kesana, kalo enggak salah mulai besok, ada yang ingin mencari pohon Ramin, ada banyak selebaran di meja Ayah,” ujar Hilal tidak peduli. Aku terkejut ketika mendengarnya, nafasku sontak tercekat. Lalu, aku pergi mencari Ayah di ruang kerjanya.
“Apa tidak bisa dibatalkan?” aku memohon pada Ayah.
“Tentu saja tidak, lagi pula ada apa denganmu?” tanya Ayah heran.”bukankah kau sudah tahu, alasan kita pindah ke kota ini, karena Ayah dan Ibu ada proyek Mall di hutan belakang sekolah lama.”
Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa yang menjadi proyek Ayah dan Ibuku adalah hutan belakang sekolah, aku menyesal karena tidak menyadarinya sejak awal. Padahal aku sering pergi kesana dan menghabiskan waktu bersama Hal, Sirius dan lainnya.
Aku memohon sambil memegang kaki Ayah, “ Kumohon, Yah jangan tebang pohon-pohon itu,” melihatku bersujud, membuat Ibuku lalu mendekatiku.
“Ibu mengerti perasaanmu, melihat tempat yang biasanya menjadi tempat bermainmu dan berubah menjadi tempat baru, itu pasti menyakitkan, tapi kau tahu, kami tidak punya pilihan lain,” Ibu memelukku.
“Itu bukan hanya sekedar tempat bermain, Bu, teman-temanku ada disana, Sirius, Hal, Martha dan lainnya, mereka ada di hutan itu, pohon-pohon itu tidak boleh ditebang,” tangisku.
Ketika mendengar itu, Ayah dan Ibu menjadi bingung. Aku pun menjelaskan semuanya, soal aku berbicara dengan jiwa-jiwa yang ada didalam pohon. Awalnya Ayah menganggapku gila dan kurang tidur. Tapi aku bersikeras mengatakannya tanpa keraguan sedikit pun. Kemudian aku mengajak Ayah, Hilal dan Ibu ke dalam hutan.
“Himam, kau tahu bahwa ceritamu terdengar konyol,” ujar Ayah.
“Aku akan buktikan sekarang,” ujarku dengan yakin.
Aku pun memanggil Hal, Sirius, Martha, Edgar, dan Rusma. Aku menyuruh mereka memberikan tanda menurunkan dahan, jika mereka berada disini. Selama beberapa saat tidak ada yang terjadi, namun tiba-tiba jiwa-jiwa pohon itu menurunkan dahannya satu persatu. Ayah, Hilal, dan Ibu terkejut ketika melihatnya.
Ibu dan Ayah pun mulai mempercayaiku, begitu juga dengan Hilal. Namun, keputusan untuk menebang hutan, tidak dapat dibatalkan.
“Maaf Himam, Ibu ingin membantu, tapi Ayahmu dan Ibu terikat dengan kontrak pekerjaan, dan tanggung jawab kami untuk melakukannya,” ujar Ibu mengelus kepalaku. Sirius, Martha, Hal, Edgar, dan Rusma kemudian menjatuhkan daun di atas kepalaku. Aku mengambil dan memeluknya.
“Aku sedih ketika kami harus ditebang, tapi melihatmu bersedih seperti ini, aku benar-benar tidak tahan,” ujar Hal.
Martha terisak, “Itu benar, kamu masih muda, tapi hatimu benar-benar sudah dewasa.”
Edgar dan Rusma tidak sanggup mengatakan apa-apa, tapi keduanya terlihat menahan tangis.
“Apa kau ingat apa yang aku katakana sebelumnya?” Sirius menatapku,” perasaan bahwa kami pernah hidup dan melindungi manusia dari kesepian, itulah yang paling penting, kami tidak akan hilang begitu saja Himam, selama kamu mengingat kami, maka kami akan tetap ada.”
Aku terus mengucek mataku, air mataku tetap saja tidak berhenti. Hilal kemudian merangkulku, menatapku sambil tersenyum kemudian melihat Martha, Sirius, Hal, Edgar, dan Rusma, seakan ia bisa melakukannya.
“Masih ada satu cara untuk menghentikan penebangan itu,” ujar Hilal membawaku pada secercah harapan.
Cara yang dimaksud oleh Hilal ternyata adalah membuat petisi, yang dikirimkan orang-orang di kotaku, untuk dikirim ke perusahaan Ayah dan Ibu bekerja. Aku diberi waktu seminggu untuk melakukannya oleh Ibu dan Ayah, mereka tidak keberatan dan juga menentang keputusanku. Aku mengirimkan sebanyak mungkin petisi itu, aku ingin melindungi apa yang berharga bagiku.
Beberapa bulan kemudian.
Aku mengayuh sepedaku, melempar ke sembarang arah begitu sampai di tempat itu. Untung saja, cuaca cerah saat itu, sehingga aku tidak perlu pusing dengan badai atau hujan.
Ketika sampai, aku meletakkan dua buah jeruk dan botol minum berisi susu yang kubawa dari rumah. Sebenarnya, aku bisa membeli di supermarket, tapi aku tidak ingin membuat tempat itu menjadi kotor karena kemasan plastik. Aku mulai memanjatkan doa, aku harap agar Tuhan menjaga tempat ini dan teman-temanku.
Daun jatuh di atas kelapaku, ternyata itu karena Hal, ia tersenyum padaku.
“Sudah lama ya, kau tak kesini, kupikir kau benar-benar meninggalkanku,” ujar Hal.
Sirius menurunkan dahannya untuk melindungiku dari terik matahari,”lihatlah! Pahlawan kita sudah disini, apa kabar, Himam? Kami benar-benar merindukanmu.” Ucapan Sirius kemudian sorakan Martha, Rusma, dan Edgar yang tampak bahagia.
Aku tersipu ketika mendengar pujian Sirius, aku merasa tidak pantas mendapatkan itu, karena yang menyelamatkan hutan ini, bukan hanya aku saja. Melainkan, orang-orang yang sama pedulinya pada hutan. Namun, aku merasa senang, karena hutan ini bisa diselamatkan karena petisi itu.