Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lahir dari Luka, Tumbuh dari Cinta
Sejak kecil, aku terbiasa menyebut keluarga hanya dengan dua nama: Aku dan Ibu.
Tidak ada nama ketiga. Tidak ada kata "Ayah" di foto, kartu keluarga, atau kolom wali murid saat daftar ulang sekolah. Jika ada yang bertanya siapa ayahku, Ibu hanya menjawab singkat, “Sudah lama pergi.” Dan aku, sejak usia lima tahun, tahu bahwa beberapa jawaban tidak untuk dipertanyakan lebih lanjut.
Aku tumbuh di rumah petak kecil di pinggiran kota. Atapnya dari seng tua, dindingnya separuh bata separuh kayu. Setiap malam, suara hujan seperti mengguncang langit-langit rumah, dan aku akan meringkuk di kasur busa tipis, mendengarkan Ibu melantunkan doa dengan suara pelan.
Ia tidak pernah menyebut nama Ayah dalam doanya.
Ibu bekerja sebagai penjahit rumahan. Tangannya piawai merapikan ujung kain, menjahit gamis tetangga, seragam sekolah, dan baju pesta yang tidak pernah bisa ia kenakan sendiri. Ia tidak banyak bicara. Ia tidak pernah marah, tapi juga jarang tertawa.
Dan dalam diamnya, aku belajar bahwa luka bisa diwariskan dalam bentuk sunyi.
Saat usiaku delapan tahun, salah satu teman sekolahku bertanya, “Ayahmu kerja di mana?”
Aku hanya mengangkat bahu, lalu berbohong, “Di luar kota. Jauh.”
Sepulangnya, aku merenung di pojok kamar. Aku tidak tahu siapa ayahku. Tidak tahu wajahnya, suaranya, atau bahkan namanya. Yang aku tahu hanyalah ia tidak ada. Tidak di ulang tahunku. Tidak saat aku demam. Tidak saat Ibu menangis diam-diam di malam hari.
Kadang, aku mencoba membayangkan sosoknya. Apakah dia tinggi? Apakah ia pemarah atau pendiam? Apakah ia pernah mencium keningku saat bayi?
Lalu, di waktu lain, aku hanya ingin berhenti membayangkannya.
Suatu malam, saat Ibu tertidur, aku memberanikan diri membuka laci kecil di rak lemari. Di antara benang jahit dan lipatan nota belanja, aku menemukan sebuah surat tua, tertanggal belasan tahun lalu. Bukan surat yang lengkap, hanya secarik sobekan dengan tulisan tangan terburu-buru.
“Maaf, aku tidak siap. Mungkin aku tak pernah akan siap. Jaga dia baik-baik.”
Itu saja. Tak ada nama pengirim. Tapi aku tahu itu darinya. Jantungku berdetak kencang. Dada terasa sesak, seperti ada ruang hampa yang selama ini menganga, kini tersentuh ujung luka lama.
Aku menangis malam itu. Bukan karena rindu, tapi karena aku sadar, aku dilahirkan dari seseorang yang memilih pergi.
Sejak malam itu, aku berhenti bertanya.
Aku fokus pada sekolah, membantu Ibu menjahit, dan menata hidup kecil kami dengan rapi. Tapi tetap saja, ada hari-hari di mana lubang itu menganga kembali. Hari di mana aku melihat teman-temanku dipeluk ayah mereka saat pengambilan rapor. Hari saat aku melihat anak kecil digendong ayahnya di taman.
Aku sering memperhatikan anak-anak itu dari jauh. Mereka tertawa lepas saat digendong, dipanggul, atau digandeng. Ada yang disuapi es krim, ada yang dibopong tidur di bahu ayahnya. Aku iri. Tapi lebih dari itu, aku bingung. Bingung mengapa seseorang bisa begitu mudah meninggalkan sesuatu yang tumbuh dari dirinya sendiri. Aku membayangkan, bagaimana rasanya disentuh oleh seseorang yang darahnya mengalir dalam tubuhku, tapi tak pernah sekalipun menoleh ke arahku? Rasanya seperti mengingat sesuatu yang tak pernah terjadi. Hampa, tapi tetap kurindukan.
Waktu berlalu, aku lulus SMP dengan peringkat ketiga. Ibu menangis di bangku paling belakang aula. Ia memelukku dengan erat. “Kamu hebat, Nak. Kamu kuat,” katanya. Aku hanya membalas dengan senyum kecil. Dalam hati, aku ingin berkata “Aku kuat karena tidak punya pilihan lain.”
Tapi yang benar adalah aku kuat karena Ibu.
Ketika usiaku delapan belas tahun, Ibu jatuh sakit. Ginjalnya mulai melemah. Ia sering pingsan, dan aku harus bolak-balik membawa air hangat, mengganti selang infus, dan memijat kakinya yang dingin. Rumah sakit jadi tempat kami menghabiskan banyak waktu.
Suatu sore, di bangsal rawat inap yang sepi, Ibu memanggilku dan berkata pelan, “Maaf, kamu harus tumbuh tanpa tahu siapa ayahmu.”
Aku menggeleng, menahan air mata yang hendak tumpah. “Aku tidak marah, Bu. Aku hanya… kadang rindu pada sosok yang bahkan tidak pernah ada.”
Ibu tersenyum tipis. Matanya lemah, tapi ada ketulusan yang menenangkan. “Dia bukan orang jahat, hanya… belum siap. Ibu pun awalnya tak siap, tapi kamu membuat semuanya layak diperjuangkan.”
Aku terdiam. Kata-kata itu seperti menyentuh sesuatu di dasar hatiku yang paling dalam. Aku menggenggam tangan Ibu erat-erat.
“Bu, kalau suatu hari aku bertemu dia… aku tidak tahu harus bagaimana,” kataku pelan.
“Kamu tidak harus melakukan apa-apa, nak. Cukup tahu, dan lanjutkan hidupmu. Bukan untuk dia, tapi untukmu sendiri.”
Beberapa minggu kemudian, saat Ibu mulai pulih, ia memberiku sebuah kotak kecil. Di dalamnya ada foto lama. Seorang pria muda berdiri di samping Ibu yang masih sangat muda. Mereka tersenyum, tampak lelah tapi bahagia. Wajah pria itu... samar. Tapi matanya... entah mengapa terasa tidak asing. Seperti milikku.
“Itu satu-satunya foto yang Ibu simpan,” katanya pelan. “Namanya Bima. Dia ayahmu.”
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mendengar namanya. Bima. Dua suku kata yang terasa asing, namun seperti potongan puzzle yang selama ini hilang dari hidupku.
Aku tidak tahu apakah aku ingin mencarinya. Tidak tahu apakah ia masih hidup, atau sudah punya keluarga lain, atau bahkan lupa pernah punya anak.
Malam itu, aku berdiri di depan kaca, melihat wajahku sendiri. Mataku, hidungku, garis rahangku. Lalu aku berkata pelan, nyaris tanpa suara:
“Bima.”
Bukan untuk memanggilnya. Bukan untuk mengenangnya. Tapi untuk menerima bahwa aku lahir dari dua orang, satu yang bertahan, satu yang memilih pergi.
Dan aku bukan dia.
Tahun-tahun berlalu. Aku dua puluh dua sekarang. Kuliah sambil bekerja paruh waktu di sebuah toko buku kecil. Ibu masih suka menjahit, meski tak sekuat dulu. Kadang kami duduk bersama di sore hari, hanya berbagi teh manis dan cerita-cerita kecil.
Suatu hari, sambil melipat kain, Ibu berkata, “Kamu masih simpan fotonya?”
Aku mengangguk. “Masih. Tapi sekarang, aku lihat bukan sebagai luka, tapi sebagai bagian dari cerita.”
Ia menatapku lama, lalu tersenyum. “Kamu tumbuh jadi anak yang luar biasa.”
Aku tertawa kecil. “Karena Ibu luar biasa.”
Dan di saat seperti itu, aku tahu, meski hidupku hanya dimulai dengan dua nama, itu sudah cukup. Karena nama yang tertinggal, adalah nama yang memilih tetap tinggal.
Dan aku memilih tidak menangisi kepergiannya. Sebab kini aku tahu, menjadi bahagia bukan soal memiliki segalanya, tapi tentang mampu berdamai dengan yang hilang, dan dalam perjalanan panjang ini, aku belajar mencintai bukan hanya orang lain, tapi diriku sendiri dengan segala luka, tanya, dan jawaban yang tak pernah benar-benar selesai.
SELESAI