Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
LABUHAN BERAKHIR
4
Suka
382
Dibaca

Hujan turun cukup deras, ketika kereta yang Irma tumpangi sampai di stasiun tujuannya. Wanita itu menggendong ranselnya, dan ikut mengantre untuk turun. Libur semester sudah jalan seminggu, semua orang berbondong-bondong berlibur membuat stasiun sangat penuh sore itu. Setelah berhasil menerobos kerumunan orang-orang, Irma baru bisa menghela napas lega. Ia tak langsung ke luar, tujuannya kursi panjang yang berada di dekat musholla, karena tempatnya yang sedikit menyempil kursi itu kosong, kesempatan untuk Irma yang sangat ingin meluruskan kakinya yang pegal. 

Perjalanan ini tidak hanya membuat tubuhnya letih tapi pikirannya juga, sepanjang berada di kereta Irma terus berusaha untuk tidur, tapi matanya sama sekali tak bisa terpejam. Bayangan-bayangan menakutkan yang membuatnya trauma kembali ke kotanya ini terputar sendiri. 

Udara di sekitarnya seolah mengikis membuatnya susah bernapas, selagi tangan kanannya terus memijat pelipisnya mengurangi peningnya, ponsel di tasnya berdering. Ayahnya melepon menanyakan keberadaanya, khawatir karena hujan yang tak kunjung reda. Irma mengatakan jangan risau, sebentar lagi kalau memang hujan tak kunjung reda ia akan mencari taksi online untuk pulang. Memastikan Ayah tak lagi khawatir, Irma menyelesaikan sambungan.

Gerimis masih tersisa, ketika Irma ke luar menunggu mobil online yang sudah dipesannya lewat aplikasi. Beberapa saat menunggu, ponselnya berdering, memberitahu jika sopir sudah menunggu di dekat stasiun. Irma hanya menatap jalanan yang basah dan memperhatikan gedung-gedung yang menjulang tinggi, banyak perubahan yang terjadi setelah tiga tahun ia tak pulang. Rasanya masih tidak menyangka ia kembali lagi, setelah memutuskan untuk pergi bekerja di luar kota. Ini kali pertama ia kembali pulang.

Mobil berbelok masuk ke gang perumahannya, perasaannya makin campur aduk. Tangannya keringat dingin, jantungnya berdetak tak karuan. Irma turun ketika mobil berhenti tepat di depan pagar rumah, tak langsung masuk Irma cukup lama berdiri di depan gerbang, dengan sisa gerimis yang perlahan membasahi pakaian Irma, ia masih betah menatap lama gerbang hitam rumahnya. Setitik air mulai menggenang di pelupuk matanya, memori masa lalunya kembali terputar. Perlahan ia membuka gerbang, terdengar bunyi derit pelan ketika ia membukanya, mungkin Ayah lupa membelikan minyak dan membuat busi gerbang berkarat. 

Berkat suara derit itu, pintu terbuka terlihat sosok tinggi Ayah dengan mata berbinar, seolah memang selalu menanti moment ini. Moment ketika anak perempuannya pulang. Tak ada ucapan basa-basi, Ayah langsung mendekap erat Irma, tak perlu kata-katapun Irma bisa merasakan betapa rindunya Ayah padanya. Air mata Irma tumpah seketika, perasaan bersalah karena tak pernah sekalipun pulang.

“Ibu mana Yah?” tanya Irma sambil menyeka matanya. 

Ayah tersenyum tipis, “Tidur, semalam begadang nyiapin makanan kesukaanmu nggak sabar nunggu kamu pulang, tapi kamu jangan sakit hati ya. Ibu masih sedikit marah sama kamu,” jawab Ayah menepuk pelan ujung kepala anaknya. 

Ia hanya mengangguk sebagai jawaban, dan masuk.

>>><<<

Jangkring sudah memulai konser mereka, Irma baru selesai mandi ketika ia berpapasan dengan Ibu yang baru bangun. Tangannya terulur hendak salim, Ibu hanya membalasnya sambil lalu dan berjalan melewati Irma menuju dapur hendak menghangatkan lauk. 

Perempuan itu tersentak pelan, di ujung ruangan terlihat Ayah berdiri memperhatikan, wajah Ayah tersenyum dan terlihat mengangguk pelan, seolah mengatakan, ‘Nggak apa-apa.’ 

Tidak ada percakapan ketika makan malam, Irma juga langsung pergi ke kamar selepas makan malam. Merebahkan tubuhnya yang lelah, beberapa menit matanya masih berputar-putar menatap langit-langit kamarnya, hingga akhirnya ia terjatuh tidur. 

Entah jam berapa Irma terbangun, melihat sekeliling masih sepi ia meraih ponsel, jam 1, batinnya. Ingin kembali tidur, tapi matanya terasa begitu segar, akhirnya ia bangkit dan keluar kamar. 

Hawa dingin terasa menembus setiap sendinya, Irma duduk di kursi ruang makan sambil menatap kosong wastafel yang penuh dengan mangkok dan piring yang belum sempat dicuci. Hening, sunyi, konser jangkring sudah berakhir, Irma benci situasi ini, situasi sunyi yang akan membuat otaknya kembali mengingat kenangan menyakitkan itu. 

“Aku mencintai kamu, kita menikah ya.”

Ingatannya melayang pada kejadian tiga tahun lalu, ketika kekasihnya melamarnya di warung tenda pecel lele selesai mereka nonton film di akhir minggu. Semuanya tergambar jelas di benak Irma, bahkan ia masih ingat setiap detail kejadian itu, mau bagaimanapun itu kejadian yang paling berkesan dalam hidupnya. Hal paling membahagiakan untuknya, ketika hubungan mereka yang sudah menginjak tahun ke-lima dan Juan_kekasihnya saat itu, melamarnya. 

Senyum miris muncul di wajah lelah Irma, membayangkan betapa bodohnya ia saat itu. Harusnya ketika itu Irma langsung melarang Juan, karena tahu selama ini Mama Juan tak pernah sedikitpun setuju dengan hubungan mereka, dan yang paling menyakitkan ketika Irma tahu jika Mama Juan diam-diam selalu berdoa supaya hubungan mereka segera kandas, dan terkabul. 

Ketika niat Juan semakin bulat untuk menikahinya, dan berakhir dengan Irma dan orangtuanya datang pagi-pagi ke rumah Juan karena katanya mamanya ingin bertemu. Tapi bukan pertemuan membahas rencana-rencana untuk pernikahan mereka, malah mamanya meminta Irma untuk tahu diri. Masih teringat jelas pula bagaimana mamanya dengan sombong mengatakan jika Juan jauh lebih berharga untuknya dan tak akan pernah pantas jika di sandingkan dengan Irma yang saat itu belum menjadi apa-apa. 

“Anak saya itu sekarang bekerja di perusahaan besar, dia juga lulusan universitas terbaik. Sementara anak Anda lulusan universitas swasta biasa dan sekarang kerja serabutan, saya tidak terima kalau Juan anak kesayangan saya nanti harus hidup menderita dengan anak Anda,” sambil tersenyum miring menatap orang tua Irma.

Air mata Irma jatuh tanpa aba-aba, sekuat tenaga ia menahan tangisnya, tak mau sampai Ayah atau Ibu terbangun dan tahu ia menangis. Tapi siapa sangka, jika sejak pertama Irma membuka pintu kamarnya, Ibu membuka matanya masih di dalam kamar. Dan ketika samar mendengar suara isak tangis, Ibu bangun dan melangkah pelan keluar kamarnya menuju ruang makan. Tak langsung menghampiri anaknya, Ibu berdiri di balik dinding penghubung memperhatikan dengan perasaan teriris juga, punggung anaknya yang bergetar menahan tangis. 

Irma semakin tidak bisa menahan sesak di dadanya, semua perasaan itu seperti keluar mengambang ke permukaan. Ia tak bisa menahan isak tangisnya, ia sampai mendekap mulutnya.

Sebuah tangan dari belakang terulur menjauhkan tangannya yang mendekat kuat mulutnya, di telinga kirinya berbisik suara bergetar Ibu, “menangislah.” Meledaklah semuanya malam itu, tangis Irma yang selama ini selalu ditahannya. 

Dalam heningnya malam, dinginnya hubungan ibu dan anak itu perlahan menghangat. Dulu Irma tak pernah mau lama-lama berbicara dengan Ibu, karena rasanya berdua berbicara dengan Ibu hanya penuh dengan penghakiman tak pernah sedikitpun Irma merasakan hangat lembut pelukan Ibu. Kini semua berbeda, Ibu memeluknya, menunjukkan keberpihakannya pada Irma setidaknya Ibu berharap anaknya tahu kalau ia berada di pihaknya. 

>>><<<

Tiga hari berlalu sudah, dengan satu hari Irma habiskan untuk tidur. Dan hubungannya dengan Ibu yang sudah mencair, tak sedingin saat pertama ia datang. Kini di pagi yang sangat indah ketika suara cicit burung terdengar saling bersahutan tak mau kalah, ia bangun dan merasakan udara dingin yang terasa begitu segar menerpa wajahnya ketika pagi itu ia membuka pintu belakang. 

Melihat daun-daun yang basah karena embun, Irma jadi teringat satu tempat dan ia segera kembali ke kamar, mengambil jaketnya, pergi dengan meminjam motor Ayah. Ia pergi menuju bukit yang terletak sepuluh menit dari rumahnya, salah satu tempat favoritnya ketika dulu ia suntuk. 

Tempat itu tak berubah sedikitpun, masih tetap sepi dan nyaman untuknya. Irma duduk menatap jajaran pohon di bawah sana. Entah berapa lama ia duduk, sampai telinganya menangkap suara langkah di belakangnya. Tiga tahun Irma pergi dari kotanya, jadi bisa saja tempat favoritnya ini menjadi tempat favorit orang lain juga. 

Ia tak beranjak pergi, karena bukit ini punya beberapa titik untuk duduk tanpa harus satu sama lain merasa terganggu, jadi tak akan bermasalah kalau Irma tak pergi, hingga…

“Irma?” suara lelaki terdengar memanggilnya, pelan dan penuh dengan kehati-hatian. 

Suara itu langsung membuat jantung Irma berhenti beberapa detik, suara yang mati-matian ia lupakan selama ini. Dengan gerakan patah-patah, Irma bangkit membersihkan belakang bajunya dan hendak pergi. 

“Aku setiap hari datang ke sini, dengan harapan bodoh bisa ketemu kamu padahal tahu kamu sudah pergi. Dan aku nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi,” kata Juan menahan langkah Irma yang sudah dekat motornya. 

Irma menoleh, “Untuk apa? Kenapa kamu berharap ketemu aku? Kamu yang memilih untuk meninggalkan aku, kamu yang memilih untuk menikah dengan wanita pilihan Mama kamu, kamu yang menghancurkan rencana-rencana masa depan yang kita buat bareng-bareng. Kenapa? Kenapa Juan? Belum puas kamu sakiti hati aku? Belum puas kamu hancurkan hidup aku?” semua emosi yang selama ini ditahannya tumpah begitu saja. 

Juan menatap dengan matanya yang berkantung hitam itu, tidak ada jawaban, karena yang diucapkan Irma semuanya benar. Irma sudah menaiki motornya hendak pergi karena Juan yang diam terlalu lama, hingga ia mendengar suara Juan yang pelan berkata, “Maafkan aku.”

Kerutan di alis Irma muncul, dan sebersit senyum miring menghiasi wajah Irma, “Maafmu tidak ada gunanya, karena rasa sakit yang sudah kamu berikan untukku terlalu dalam.”

“Aku masih mencintai kamu, Irma,” kata Juan, dan lelaki itu mulai menangis. 

Irma yang tadinya ingin segera pergi dari tempat itu, karena tak kuat dengan nyeri yang menyakitkan di dadanya. Ia langsung turun dari motor setelah mendengar perkataan menjijikkan yang keluar dari mulut Juan. Rasanya marah, marah sekali. Tangannya terangkat hendak menampar mulut Juan, tapi ia urungkan. Irma baru sadar bagaimana bentuk Juan saat ini, lelaki itu terlihat mengerikan, rambutnya gondrong tak terawat, matanya cekung seperti orang kurang tidur, tangan yang tadi hendak ia buat untuk menampar terjatuh di samping tubuhnya, gemetar, “Kamu yang memilih jalan ini, kamu yang memilih meninggalkan aku, jangan pernah sesali apa yang sudah kamu pilih. Anggap apa yang sekarang kamu rasakan itu karma karena menyakiti aku. Jalani hidupmu sesuai apa yang kamu pilih, jangan pernah lagi mencariku biarkan aku hidup dengan damai, cerita kita sudah lama usai.”

Irma memutar tubuhnya pergi meninggalkan Juan yang masih menunduk menangis sesenggukan. Menyakitkan memang, menghadapi kenyataan yang selama ini ia hindari. Rasanya jutaan jarum menghujam jantungnya, yang kenyataan rasa sakitnya lebih sakit dari itu. Tapi setidaknya ini awal Irma menerima rasa sakit ini, alih-alih memilih kabur lagi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Sayangku, Rena
Yusrina Imaniar
Skrip Film
Endless
Sanhyua
Flash
Bronze
LDR PROBLEM
Maldalias
Flash
Kursi Goyang Nenek
Sulistiyo Suparno
Cerpen
LABUHAN BERAKHIR
Moon Satellite
Novel
Kelana Bumi Langit
Adrindia Ryandisza
Novel
Pilar
Dwi Kurnialis
Novel
Bronze
Catatan Satya Manggala
Halimah RU
Skrip Film
EXTRAS PAKE TELOR
Sonyaa
Skrip Film
Cinta Kasih
Novia Br Sipakkar
Skrip Film
Bintang SMA 107
Yorandy Milan Soraga
Novel
Bronze
No More Utopia
Vera Herawati
Skrip Film
Sweet Taste of Demise
Rahmat Gunawan
Flash
Bronze
Si Penengah
Singkat Cerita
Flash
Perempuan dan buku
Jumadri Febriyandi
Rekomendasi
Cerpen
LABUHAN BERAKHIR
Moon Satellite
Cerpen
Bronze
PESAN TERAKHIR
Moon Satellite
Cerpen
Bronze
1001 CARA MELUPAKANMU
Moon Satellite
Novel
Bronze
The Pieces of Memories
Moon Satellite