Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jakarta pagi itu terasa lembap oleh sisa hujan semalam. Clara Amara melangkah cepat di trotoar Sudirman, tas kulit cokelatnya dipenuhi dokumen kuno untuk pameran museum esok hari. Rambut hitamnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan tertiup angin, tapi ia tak peduli. Sebagai kurator termuda di Museum Sejarah Nusantara, ia terbiasa berlari melawan waktu.
"Tolong, tunggu!" teriaknya pada tukang loak yang hendak menutup lapaknya di pinggir jalan. Matanya tertuju pada sebuah cermin persegi delapan dengan bingkai perunggu berukir naga. Ukirannya khas Dinasti Qing, tapi ada simbol aneh di sudutnya: **sepasang mata kucing yang menyala**.
"Berapa, Bang?" tanya Clara, jarinya hampir menyentuh permukaan kaca yang keruh.
"Lima ratus ribu," jawab si tukang loak sambil mengunyah sirih. "Barang ini kutemukan di gudang bekas rumah tua di Glodok. Katanya, pemilik sebelumnya tewas misterius. Tertarik?"
Clara mengerutkan kening. Sebagai ahli artefak, ia tahu cermin ini bukan sekadar barang antik—ada energi aneh yang memancar darinya. Tapi sebelum ia bisa menolak, angin tiba-tiba bertiup kencang. **Suara perempuan** berbisik dari dalam cermin:
"Bawa aku pulang…"
Dada Clara sesak. Tanpa pikir panjang, ia mengeluarkan uang dan menggenggam cermin itu.
**Museum Sejarah Nusantara, pukul 15.00**
Di ruang arsip bawah tanah, Clara mengusap debu dari cermin dengan kain mikrofiber. Simbol mata kucing itu kini jelas terlihat, menyala lembut dalam gelap.
"Kau tidak seharusnya di sini," gumamnya, jari telunjuknya menelusuri ukiran naga.
Tiba-tiba, **percikan biru** menyambar dari cermin. Clara terpental ke belakang, punggungnya membentur rak besi. Suhu ruangan anjlok. Di permukaan kaca, bayangannya berubah: seorang perempuan dengan telinga runcing dan mata hijau menyala sedang tersenyum sinis.
*"Clara… akhirnya kita bertemu,"* suara itu bergema, menusuk tulang telinganya. *"Kau adalah keturunan terakhir Kirana. Bersiaplah."*
"Bersiap untuk apa? Siapa kau?!" t...