Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Udara Makassar terasa begitu menyesakkan malam itu, bahkan bagi Rian yang baru beberapa bulan kembali ke kota kelahirannya. Debu jalanan yang bercampur dengan uap knalpot seolah enggan beranjak dari permukaannya. Ia mengendarai motor bebek bututnya menyusuri jalanan yang semakin lengang, lampu-lampu toko mulai redup satu per satu, menandakan sebagian besar aktivitas kota telah usai. Tujuannya adalah sebuah rumah tua di kawasan pinggiran, rumah yang menyimpan kenangan masa kecil yang samar-samar dan kini, menjadi satu-satunya warisan yang ditinggalkan oleh kakeknya.
Kakeknya, seorang pria tua yang eksentrik dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar kota, meninggal dunia beberapa minggu yang lalu. Rian, sebagai satu-satunya ahli waris, mau tidak mau harus mengurus rumah itu. Sejujurnya, ia tidak terlalu dekat dengan kakeknya. Pertemuan mereka bisa dihitung jari dalam setahun. Namun, rasa tanggung jawab dan sedikit rasa penasaran mendorongnya untuk datang dan melihat rumah tersebut.
Rumah itu terletak di ujung jalan buntu, dikelilingi oleh pepohonan rimbun yang membuatnya tampak terpencil dan sedikit menakutkan, terutama di malam hari. Cat temboknya mengelupas di beberapa bagian, memperlihatkan bata merah di baliknya. Jendela-jendelanya tampak gelap dan kosong, seperti mata yang kehilangan cahayanya. Halaman depannya dipenuhi oleh ilalang yang tumbuh liar, seolah rumah itu telah lama ditinggalkan dan dilupakan.
Rian memarkir motornya di halaman yang berkerikil. Suara derit rantai motor yang bergesekan dengan batu-batu kecil terasa memecah kesunyian malam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum melangkah menuju pintu utama. Pintu kayu besar itu tampak kokoh namun juga rapuh dimakan usia. Gagang pintunya terbuat dari besi berkarat, terasa dingin saat disentuh.
Dengan sedikit ragu, Rian memutar gagang pintu. Suara decitan nyaring terdengar saat pintu itu terbuka, menguak kegelapan di dalamnya. Bau pengap, debu, dan aroma kayu lapuk langsung menyeruak ke hidungnya, membuatnya sedikit terbatuk. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya, mengaktifkan fitur senter untuk menerangi jalan.
Cahaya dari ponselnya hanya mampu menembus beberapa meter ke dalam rumah, namun cukup untuk memberikan gambaran sekilas tentang interiornya. Ruang tamu tampak luas dengan perabotan tua yang ditutupi kain putih. Sosok-sosok samar perabotan itu di bawah kain kafan putih tampak seperti hantu yang sedang bersembunyi, menambah kesan angker pada rumah tersebut.
Rian melangkah masuk dengan hati-hati, merasakan lantai kayu di bawah kakinya berderit pelan seolah mengeluh karena bebannya. Suara langkahnya sendiri di tengah keheningan rumah terasa begitu keras dan mengganggu. Ia menyusuri ruang tamu, mengamati perabotan yang tertutup rapat. Ada sebuah lemari besar di sudut ruangan, sebuah sofa panjang dengan ukiran-ukiran kuno, dan beberapa kursi rotan yang tampak usang.
Ia memutuskan untuk menjelajahi ruangan lain di lantai satu. Ada sebuah ruang makan yang cukup besar dengan meja kayu panjang dan beberapa kursi. Di salah satu sudut ruangan, ia melihat sebuah bufet tua dengan pintu-pintu kaca yang buram. Di belakang ruang makan, ia menemukan dapur yang tampak lebih berantakan. Peralatan masak yang berkarat dan debu tebal menutupi hampir seluruh permukaan.
Setelah memeriksa lantai satu, Rian merasa ada sesuatu yang menariknya ke lantai atas. Tangga kayu yang terletak di dekat ruang tamu tampak gelap dan mengundang. Dengan langkah yang lebih hati-hati, ia mulai menaiki tangga. Setiap anak tangga berderit dengan bunyi yang berbeda, menciptakan melodi aneh di tengah keheningan.
Lantai atas terdiri dari beberapa kamar tidur dan sebuah lorong panjang yang gelap. Udara di lantai atas terasa lebih dingin dan pengap. Rian menyinari lorong dengan senter ponselnya, mencoba melihat pintu-pintu kamar di sepanjang lorong. Sebagian besar pintu tertutup rapat.
Ia mencoba membuka salah satu pintu ka...