Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Kursi Kosong di Teras Toko
0
Suka
70
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Kursi Kosong di Teras Toko

 Setiap sore, seorang pria tua duduk di teras sebuah toko kelontong kecil, menatap jalanan yang hampir tak pernah berubah. Ia hanya duduk dan terkadang tersenyum kepada orang lewat. Pendiam, mengangguk jika disapa. Kadang tersenyum ke anak-anak kecil yang membawa pulang permen atau sarden dari toko ibuku.

Biasanya, lelaki tua itu datang setelah adzan ashar, membawa selembar kertas koran yang dilipat, dan menyelipkannya di bawah duduknya.

Aku. Anak pemilik toko—remaja laki-laki yang tinggal di lantai atas—mulanya menganggapnya aneh. Namun, suatu sore saat pria tua itu tidak datang, aku mulai merasa ada sesuatu yang berubah di sekitar toko. Udara jadi lebih berat. Jam di dinding terlambat lima menit. Dan pintu toko seolah sulit dibuka dari dalam.

Sudah hampir dua minggu, kursi rotan di teras toko itu kosong. Seolah jalanan tak punya alasan untuk pelan, dan pintu toko jadi terlalu cepat ditutup.

Aku tak tahu namanya. Ayah hanya memanggilnya “Pak Di”. Mungkin nama lengkapnya memang sengaja dibiarkan hanyut, seperti bekas-bekas hujan di sela-sela trotoar.

Hari ketika ia tak datang pertama kali, aku tak merasa apa-apa. Kursi itu hanya kosong. Lalu dua hari, tiga hari… dan entah sejak kapan aku mulai memperhatikan: suara klakson di ujung jalan jadi lebih kasar, waktu di jam dinding toko melambat tiga atau empat menit setiap sore, dan suara langkahku di lantai dua seperti menunda gema.

Sore itu, saat toko sepi dan ibu tertidur di dalam, aku menyeret kursi itu sedikit, lalu duduk di atasnya. Kulipat koran bekas yang terselip di rak etalase dan kuletakkan di bawahku—mengikuti kebiasaan Pak Di.

Tidak ada yang terjadi. Tidak ada angin tiba-tiba. Tidak ada bayangan aneh. Tapi jantungku terasa… seperti didengarkan.

Kursi itu agak goyah, seolah menyimpan bekas tubuh yang lebih tua dariku, lebih berat, atau lebih sabar. Aku memandangi jalan seperti yang biasa ia lakukan. Tapi yang kulihat bukan orang lewat—melainkan bayanganku sendiri di kaca toko, sedikit bengkok, seperti tak sepenuhnya berdiri di dunia ini.

Entah bagaimana, aku merasa…

Bersalah karena tak menanyakan siapa dia.

Bersalah karena tak pernah bertanya kenapa ia duduk di situ hampir setiap hari.

Bersalah karena menganggapnya hanya bagian dari pemandangan toko, seperti pot geranium di sudut atau kaleng-kaleng kopi yang disusun serong.

Aku duduk lebih lama. Mencoba menunggu sesuatu, padahal aku sendiri tidak tahu apa. Barangkali harapan. Barangkali penjelasan. Tapi yang datang justru rasa aneh di dada—seperti ketika seseorang memanggil namamu dalam mimpi, dan kau tak bisa membalas.

Dari dalam toko, suara jam berdetak pelan.

Tapi kali ini—aku yakin—ia berdetak mundur.

Keesokan harinya, aku kembali duduk di sana. Tak ada yang memintaku. Bahkan Ayah tidak bertanya ketika melihatku menarik kursi itu sedikit ke kiri, agar tidak silau oleh pantulan kaca etalase.

Dari dalam toko, Ayah memanggil,

“Rafi”

Aku tidak menjawab, menatap jalan yang belum berubah.

Beberapa saat kemudian, Ayah berkata sambil menata botol sirup di rak, suaranya datar seperti sedang bicara ke udara,

“Pak Di sering duduk di sana sejak kau masih SMP. Waktu kamu pertama kali belajar naik sepeda motor pun, dia ngelihat.”

Aku tak ingat itu. Tapi sejak semalam, dalam pikiranku… Pak Di seperti bagian dari memoriku yang tertinggal di luar.

Kursi itu mulai mengeras, atau tubuhku yang belum cukup tenang. Di bawah, koran yang sama masih ada, kini mulai lembap oleh udara. Terdapat lingkaran basah di salah satu sudutnya—bekas cangkir mungkin?

Entah dorongan apa, tanganku mengambil koran itu. Tanggal di pojok kanan atas: 15 Juli 2017. Lima tahun lalu.

Dan di halaman belakangnya, diselipkan potongan kecil kertas tipis—warna kecokelatan seperti sisa memo tua.

Tulisan tangan di sana samar:

"Kalau aku tak kembali, aku tidak berhenti. Aku tak ingin jadi beban. Aku tetap di sini."

Tanganku gemetar. Untuk pertama kalinya, khayalanku sedang duduk bersama seseorang yang belum selesai berpamitan.

Aku masih memegang kertas kecil itu ketika suara sepeda tua melintas di ujung jalan. Bunyinya familiar—karena pernah menjadi bagian dari suatu sore yang belum selesai dalam pikiranku.

Ada satu suara lain muncul dalam kepalaku. Gema samar dari masa lalu.

" Fi. kamu harus belajar diam, ya."

Suara itu...

Lembut, agak serak. Dan aku yakin—itu bukan suara Ayah. Bukan pula guru sekolah atau tetangga.

Aku mencoba mengingat sore apa itu. Mungkin aku baru pulang main layang-layang, lututku lecet, meringis. Lalu seseorang—lelaki tua dengan topi lusuh—menyerahkan kain basah dan menyuruhku diam. Seperti… mengajarkan cara menahan ribut dunia di dalam diri sendiri.

Aku menengadah dari koran tua itu. Jalan masih sepi. Dada mulai terasa seperti halaman kosong yang menunggu sesuatu dituliskan ulang.

Bisa jadi aku mengenal Pak Di lebih dari yang kupikirkan.

Dan itu artinya, aku juga mungkin—pernah menyakitinya.

-------

Malamnya, aku turun ke dapur saat Ibu sedang menjemur kerupuk mentah di atas loyang. Kompor masih menyisakan hangat. Ayah duduk di kursi kayu dekat jendela, membaca majalah lama yang sudah dilipat-lipat halamannya.

Aku berhenti sejenak. Kadang yang berat bukan pertanyaannya, tapi menunggu waktu yang tepat untuk menyelipkannya.

“Ayah,” kataku akhirnya. “Pak Di dulu... kerjanya apa?”

Ayah tak menoleh. Tapi halaman majalahnya berhenti bergerak.

“Yang sering duduk di toko?” aku ulangi.

Ayah menghela napas. “Entahlah. Mungkin pensiunan guru. Atau pegawai kelurahan. Enggak pernah cerita.”

Ibu menoleh sebentar. “Dulu dia sering bawa buku.”

Aku diam. Bayangan Pak Di, tangannya menggenggam bolpen meski tak menulis, kembali muncul. Seperti menyentuh sisi hidup seseorang yang... tadinya kupikir tidak penting.

“Kenapa nanya?” tanya Ayah akhirnya.

“Tidak apa-apa,” jawabku. “Cuma... tadi aku duduk di kursi yang biasa didudukinya.”

Ibu berhenti menyusun kerupuk, bertanya heran. “Terus?”

Aku tak langsung menjawab. Lidahku kering. Tapi sebelum kata-kata keluar, Ayah mendahului—suaranya pelan, seperti sedang membuka pintu yang lama tak disentuh.

“Dulu... kamu pernah menyenggol Pak Di. Waktu kamu tergesa masuk,” katanya, lalu terdiam sebentar. Nafasnya menggantung, seolah menahan sesuatu yang sejak lama tertahan. “Dan... kamu tidak minta maaf.”

Aku menatapnya. Tak tahu harus merasa apa.

Ayah menunduk sedikit, lalu tersenyum kecil—seperti menerima sesuatu yang sudah telanjur terjadi.

“Kamu enggak sengaja.”

Ia diam sejenak, matanya melihat ke arah kursi itu, seperti menyimpan sesuatu yang tidak ingin dijelaskan. “Ayah juga pernah lupa menanyakan kabar beliau.”

Aku tak ingat peristiwa itu. Tapi tubuhku—dadaku—bereaksi.

Dan itu lebih menakutkan daripada lupa.

Malam turun seperti biasa, tapi hawa di dalam kamar rasanya ganjil. Langit-langit terlihat lebih rendah. Lampu kuning pucat di meja belajar memantulkan bayangan wajahku di kaca jendela—namun ada sesuatu yang tak pas. Seolah bayangan itu duduk lebih tegak dariku.

Aku membuka kembali potongan koran dan kertas kecil yang kutemukan. Kubaca berulang, mencari celah atau makna tersembunyi. Tapi tak ada petunjuk tambahan. Hanya kalimat itu:

"Kalau aku tak kembali, aku tidak berhenti. Aku tak ingin jadi beban. Aku tetap di sini."

Kata “tetap di sini” menghantam pelan.

Apa mungkin… itu ditulis untukku?

Kepalaku menyangkal. Tapi dadaku tidak. Ada ruang dalam diriku yang mulai panas, seperti luka lama yang baru diusap air. Dan dari sana muncul satu kesadaran: aku belum minta maaf.

mungkin karena menyenggolnya waktu itu. Juga karena menganggapnya hanya bayangan, hanya bagian dari lanskap toko. Atau karena aku tidak pernah benar-benar melihatnya.

Aku mendekat ke jendela. Kursi rotan itu masih di luar. Sunyi.

Dan tiba-tiba, aku perlu melakukan sesuatu. Mungkin bukan untuk didengar, mungkin untuk dihantarkan.

Kupakai jaket. Lalu turun perlahan, melewati dapur gelap dan pintu belakang toko. Malam lembap. Jalan lengang.

Aku duduk di kursi itu, menghela napas dalam. Lalu, dengan suara rendah:

“Pak Di... maaf. Saya—”

Tenggorokanku tercekat. Tak ada kata lain yang keluar. Tapi di dalam, sesuatu seperti pecah pelan. Ringan.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa kursi itu... tidak kosong. Tapi, batinku belum selesai.

------

Besoknya, aku bangun lebih awal dari biasanya. Tak ada alasan khusus, kecuali perasaan aneh yang menggantung sejak semalam.

Permintaan maaf itu telah terucap. Tapi rasanya... belum sampai.

Pagi di toko berjalan seperti biasa. Ayah membuka pintu, menyapu teras, memutar radio kecil. Ibu mulai menyusun telur di rak, mencatat apa saja yang perlu dibeli dari pasar. Tapi aku—aku justru berdiri lama di depan kursi itu. Kursi yang kosong, lagi.

Aku memutuskan keluar setelah sarapan. Tidak bilang apa-apa pada Ayah atau Ibu. Hanya menyebut, “Mau jalan sebentar.”

Langkahku ringan, ada sesuatu yang menekan di dada.

Di warung ujung gang, aku bertanya pada Bu Salma, penjual bubur yang dulu sering dilihat Pak Di.

“Pak Di ya? Hmm...” Bu Salma meletakkan centongnya. “Terakhir lihat dia, jalan pelan ke arah masjid, masuk gang itu.”

Aku mengucap terima kasih, dan menuruni gang yang disebut. Gang itu sepi, sempit, dan penuh dengan jejak hidup yang sunyi: sandal basah, jemuran baju anak kecil, sepeda reyot bersandar di tembok.

Di ujung gang, aku menemukan rumah kontrakan kecil. Catnya mengelupas. Jendelanya separuh terbuka. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Tapi di terasnya—kursi plastik biru, retak di sisi kanan, terbayang seperti melihat Pak Di yang tak sempat duduk di sana.

Kudekati rumah itu.

Seorang bapak tua dari rumah sebelah keluar dan memanggilku. “Cari Pak Di?”

Aku menjawab cepat. “Iya, Pak. Bapak tahu rumah beliau?”

Bapak itu menarik napas. “Dia tinggal di sini. Sakit, dibawa ambulans beberapa hari lalu,” kata pria itu. “Saya juga nggak sempat bantu. Kemarin, ada orang yang bilang dia pingsan di dalam. Ambulan datang, terus pergi. Sejak itu, kosong rumahnya.”

Aku menelan ludah. Ada rasa masam di tenggorokannya.

“Dibawa ke mana, Pak?”

“Enggak tahu pasti. Mungkin Puskesmas di Pasar Lima, atau RS Darmawangsa. Coba cari aja ke sana.”

“Iya. Terima kasih.” Jawabku lirih. Sesaat aku terkesima. Tanganku masih gemetar ketika mengusap kusen pintu rumah Pak Di. Tak ada yang bisa diambil dari tempat itu, kecuali... satu benda kecil yang tergantung di paku tua: seutas tasbih hitam, manik-maniknya sedikit terkelupas.

Aku mengambilnya pelan. Tak ada nama, tak ada pesan. Hanya ada sesuatu yang terasa berat dari keheningan benda itu.

Tasbih itu bukan permintaan tolong.

Ia seperti sisa dari doa yang belum selesai.

Siang itu juga, Aku menyusuri dua rumah sakit.

Di Puskesmas, ditolak. Tak ada nama. Tak ada catatan.

Di RS Darmawangsa, setelah menunggu cukup lama di ruang administrasi, petugas meja menoleh setelah mengecek lembaran catatan:

“Pak Di? Nama lengkapnya siapa?”

Aku menggeleng. “Saya... enggak tahu.”

Petugas itu menghela napas panjang, lalu menatap layar komputer kecil di mejanya.

“Ada beberapa pasien laki-laki, lansia. Tanpa KTP. Tapi…”

Ia mengetik lagi, lalu mencetak selembar kecil kertas.

“Coba ke bangsal rawat inap B3. Lantai dua. Ruang sebelas sampai lima belas. Kadang mereka digabung.”

Aku mengangguk. “Terima kasih.”

Lift di rumah sakit bergerak lambat, terlalu lambat untuk kegelisahan. Tubuh letih. Perjalanan dari kontrakan tadi membuat kaki pegal. Tapi langkahku tak bisa berhenti. Ada sesuatu yang lebih kuat dari keinginan pulang.

Di koridor lantai dua, suara alas kaki perawat berdetak teratur di ubin putih.

Aku menelusuri ruangan satu per satu.

Ruang 11: seorang kakek yang tertidur dengan infus, wajahnya asing.

Ruang 12: kosong.

Ruang 13: dua tempat tidur, tak satupun diduduki Pak Di.

Ruang 14: hanya satu pasien, terlalu muda.

Dan saat aku berhenti di Ruang 15, waktu seolah berhenti sebentar.

Terdengar seseorang sedang menangis.

Pelan, tercekik. Suara itu bukan milik pasien, bukan juga tangis kehilangan.

Lebih seperti ratapan dari seseorang yang menyadari—terlambat.

Pintu terbuka separuh. Aku melangkah perlahan.

Di dalam, seorang perempuan duduk di lantai, membungkuk di sisi ranjang.

Kepalanya menunduk, bahunya naik turun oleh isak yang ditahan.

Di atas ranjang: tubuh kurus Pak Di, mata terpejam. Tangan kirinya terulur lemah, seperti hendak menyentuh bahu perempuan itu.

Aku berhenti di ambang pintu.

Perempuan itu meratap. Kalimatnya patah-patah:

“...harusnya aku pulang lebih awal...

harusnya aku nggak ngotot waktu itu…

karena hal sepele… aku malah… aku malah membuat Ayah sendirian…”

Aku terpaku. Tidak tahu siapa perempuan itu. Tapi, kata “Ayah” menusuk tajam.

Anak Pak Di.

Yang selama ini ditunggu.

Yang selama ini menghindar.

Dan di saat yang sama, seseorang dari lorong menyentuh lenganku. Seorang perawat muda.

“Keluarga?” tanya perawat itu dengan suara pelan.

Aku menggeleng. “Bukan… saya… cuma…”

Aku tidak bisa melanjutkan.

Perawat itu mengangguk mengerti. “Beliau masih sadar, kadang-kadang. Tapi lemah.”

Aku masuk pelan, berdiri di samping kaki ranjang.

Perempuan itu mendongak. Matanya bengkak. Ia memandangku tanpa tanya, seolah kehadiran orang asing di ruangan itu bukan hal aneh. Justru… pantas.

Aku menunduk sopan. Lalu duduk di kursi kecil dekat ujung ranjang.

Tanganku menggenggam sesuatu—tasbih hitam. Aku letakkan pelan di atas selimut.

“Pak Di…” Aku berbisik, “saya datang. Maaf… sudah terlalu lama.”

Mata Pak Di bergerak. Tidak sepenuhnya terbuka. Tapi kelopak itu bergetar pelan.

Bibirnya terangkat sedikit—seperti senyum yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang benar-benar memperhatikan.

Dan bagiku, itu cukup.

Itu adalah pengakuan bahwa kehadiran, meski terlambat, tetap berarti.

Aku duduk diam di sisi ranjang. Di seberangnya, perempuan itu—masih memegangi tangan ayahnya. Tangisnya mulai mereda, berubah menjadi diam yang berat.

Dan dalam diam itulah, aku mendengar hal yang tak diucapkan:

"Maafku datang telat. Tapi tidak akan kubiarkan itu terjadi lagi."

Aku menatap wajah Pak Di—yang kini lebih tenang, lebih ringan—dan di wajah itulah aku melihat bayang masa depan Ayahku sendiri.

Yang mungkin suatu hari akan duduk di kursi serupa, menunggu tanpa kata.

Pulang dari rumah sakit, aku tidak langsung menemui Ayah dan Ibu. Malam itu, aku duduk lama di ruang tengah.

Melihat Ayah merapikan bon-bon warung, melihat Ibu menyimpan beras ke dalam tempat besar.

Ibu berhenti sebentar, menatapku. Menyentuh lenganku sebentar ketika lewat.

Sentuhan yang biasanya terasa seperti kebiasaan, malam itu terasa seperti pelukan kecil yang tertunda.

“Ayahmu nanya, kamu ke mana,” bisik Ibu sebelum kembali ke dapur.

“dan cuma bilang, ‘Biarkan dia duduk.’”

Dan untuk pertama kalinya, Aku tak lagi memandang mereka sebagai orang tua yang akan selalu ada. Tapi sebagai dua manusia… yang bisa saja dilupakan kalau aku terus memalingkan mata.

Dalam hati, aku berkata pelan:

Apa pun nanti yang terjadi—saat waktumu pelan, langkahmu berat, dan suaramu mulai melemah—aku akan duduk di sebelahmu.

Tidak menunggu apa-apa.

Hanya duduk. Seperti yang seharusnya aku lakukan, lebih awal.

Aku tak perlu menunggu hari itu tiba. Aku hanya perlu mengingat kursi itu—dan apa yang tertinggal di atasnya.

--o0o—

 

Orang tua di usia senja bukanlah beban. Mereka adalah ladang pahala yang perlahan menepi, menunggu kita berhenti sejenak dan menyadari. Kehadiran kita adalah satu-satunya hadiah yang tak bisa mereka beli. Dan bila pernah terluka, satu kata maaf—meski terlambat—tetap mereka harapkan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Kursi Kosong di Teras Toko
andri hasanuddin
Novel
JALAINI: Sumur-Sumur Mutilasi Berantai
Ikhsannu Hakim
Cerpen
Pencuri Waktu (IV)
Penulis N
Flash
Misteri Doa Sebelum Belajar
Luca Scofish
Cerpen
Bronze
Allena dan Anggur Merah
bomo wicaksono
Cerpen
Bronze
Korban Sang Arquebus Jawa
Donny Setiawan
Flash
Bulan Biru
Ravistara
Skrip Film
Who Did It?
Fann Ardian
Flash
Dompet Kulit
Suci Asdhan
Flash
Sampah
Arzen Rui
Flash
Suara dari Kamar 213
Penulis N
Cerpen
Bronze
Misteri Catatan yang Terkoyak
Rosa L.
Cerpen
Bronze
GELAR SRIGALA
rahmunisa estefadila Komalienda
Cerpen
Bronze
ZONA HITAM
andri hasanuddin
Flash
Tidak Terdefinisi
Ryan
Rekomendasi
Cerpen
Kursi Kosong di Teras Toko
andri hasanuddin
Cerpen
Bronze
ZONA HITAM
andri hasanuddin
Cerpen
Bronze
Zona Hijau -DILARANG MASUK-
andri hasanuddin
Flash
Selfie Satu Komando
andri hasanuddin
Cerpen
Bening Membasuh Langkah
andri hasanuddin
Cerpen
Bronze
Tragedi Lembah Raranggi
andri hasanuddin
Cerpen
Suara Tanah Niskala
andri hasanuddin
Novel
Resonansi Bayangan Menyala
andri hasanuddin