Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku bukan orang yang percaya hal mistis. Tapi malam itu, aku melihat sesuatu yang membuatku meragukan segalanya.
Namaku Iqbal, 32 tahun, dosen muda di sebuah universitas swasta di Jogja. Baru saja pindah ke rumah kontrakan kecil di daerah Bantul. Rumahnya sederhana, tua, dan murah—terlalu murah sebenarnya. Tapi sebagai perantau, aku tak bisa terlalu pilih-pilih.
Hari pertama tinggal di sana, tidak ada yang aneh. Rumah itu bersih, meskipun perabotannya klasik dan sedikit berdebu. Di ruang tengah, ada satu set meja makan jati dengan empat kursi. Tapi satu kursi selalu ditarik menjauh, menghadap ke dinding. Aku kira itu kebiasaan pemilik sebelumnya.
Malam pertama, aku tidur nyenyak. Tapi malam kedua mulai aneh. Tepat pukul 2 pagi, aku terbangun. Tak ada suara apa-apa, tapi hawa kamar mendadak dingin. Padahal aku tak memasang AC atau kipas. Selimut pun tak membantu. Aku berjalan keluar kamar, menyusuri lorong menuju dapur.
Saat melewati ruang tengah, aku melihat sesuatu yang membuat jantungku berhenti berdetak sejenak.
Kursi yang menghadap dinding itu… kini menghadap meja. Dan ada jejak kaki kecil basah di lantai semen, seperti bekas kaki anak-anak. Tapi tidak ada anak-anak di sekitar rumah ini. Apalagi di jam segini.
Aku mencoba rasional. Mungkin tikus. Atau hujan masuk. Tapi tidak ada suara hujan. Dan jejak itu terlalu rapi.
Aku bersihkan lantai, balikin kursi ke posisi semula, dan kembali tidur.
Hari-hari berikutnya berlangsung normal. Sampai malam keempat.
Pukul 02.00 lagi. Aku terbangun, entah kenapa. Saat keluar kamar, kursi itu kembali berubah posisi. Kali ini, tidak hanya itu—ada piring kosong di atas meja makan. Padahal aku yakin tidak meninggalkan apa pun tadi malam.
Ada sesuatu yang salah dengan rumah ini. Tapi bodohnya, aku belum berniat pindah. Mungkin karena rasa penasaran, atau karena kontrakan ini murah dan dekat dari kampus.
Lalu malam ketujuh datang.
Aku tak tidur malam itu. Duduk di ruang tengah, menunggu jam 2 pagi. Lampu kupadamkan, hanya ada cahaya redup dari dapur. Aku duduk di sofa, diam, mengamati meja makan.
Dan tepat pukul 02.00, aku mendengar suara. Suara kursi ditarik perlahan.
Pelan. Menyeret lantai semen.
Deg.
Kursi itu bergerak sendiri. Aku bisa melihatnya dari tempatku duduk—ia berputar pelan, menghadap ke meja. Lalu terdengar suara seperti napas. Cepat, pendek, seperti milik anak-anak yang kelelahan.
Lalu kulihat sesuatu duduk di kursi itu.
Samar, bentuknya kecil, seperti tubuh anak-anak. Tapi transparan, kabur seperti asap. Rambut panjang. Tak ada wajah. Hanya kegelapan.
Aku membeku. Tak bisa bergerak. Aku ingin teriak tapi tenggorokanku kelu.
Anak itu… mengangkat tangannya. Menunjuk ke arahku.
Dan kemudian… menghilang.
Besok paginya, aku mendatangi pemilik rumah. Seorang ibu tua yang tinggal di ujung desa.
"Bu, saya mau tanya soal rumah kontrakan itu. Pernah ada… kejadian aneh?"
Wajahnya berubah tegang. Ia menunduk. Tangannya gemetar.
"Aku sudah bilang ke suamiku dulu… jangan dijual. Tapi dia tetap kasih ke kamu. Kamu sudah lihat kursinya?"
Aku mengangguk.
"Iya… dia masih di sana," katanya lirih. "Anak kami. Meninggal karena tersedak makanan waktu ulang tahunnya yang ke-6. Di meja itu. Di kursi itu."
Aku tercekat. Mulutku kering.
"Kami tidak pernah pindah kursi itu. Karena… dia masih duduk di sana. Setiap malam."
Aku merasa mual. Tapi belum selesai.
"Kenapa kursinya selalu menghadap ke dinding?" tanyaku.
Ia terdiam lama. Lalu menjawab pelan.
"Karena kalau dibiarkan menghadap meja… dia akan mencari teman makan."
Malam itu aku kembali ke rumah, berniat berkemas. Tapi saat masuk, aku melihat kursi itu… sudah ditarik ke meja. Dan ada dua piring di atasnya.
Satu kosong.
Satu lagi… penuh dengan nasi dan potongan ayam, seperti disajikan untuk pesta kecil.
Dan di kursi yang biasanya kosong di depannya—kursi tempatku biasa duduk makan—kulihat sesuatu duduk di sana.
Diriku sendiri.
Aku berdiri di ambang pintu, melihat versi lain dari diriku duduk di meja makan, tersenyum ke arah anak kecil yang kini tampak lebih jelas. Wajahnya pucat. Mulutnya terbuka, seperti terus menerus tersedak.
Aku mundur perlahan, panik.
Tapi versi lain dari diriku—yang duduk di meja—menoleh. Matanya kosong. Lalu berkata:
"Akhirnya, ada yang mau temani dia..."
Lampu padam.
Besok paginya, warga menemukan rumah itu terbuka. Kosong. Tak ada siapa pun di dalamnya. Hanya meja makan, dengan dua kursi yang saling berhadapan.
Dan di atas meja, dua piring kosong. Dengan bekas darah di salah satunya.
Aku tidak pernah ditemukan. Tapi kadang, orang-orang yang lewat rumah itu malam hari… melihat dua sosok samar sedang makan malam bersama. Satu dewasa. Satu anak-anak.
Dan satu kursi kosong… menunggu teman makan berikutnya.
Tiga hari setelah aku "menghilang", rumah itu dikunci oleh RT setempat. Warga sepakat untuk tidak menyewakannya lagi. Tapi tentu saja, itu tidak menghentikan orang-orang iseng.
Suatu malam, dua mahasiswa iseng dari fakultas antropologi—Rian dan Bima—mencoba uji nyali. Mereka mendengar cerita tentang "kursi hantu" dari temannya yang pernah ngekos dekat situ. Mereka ingin membuktikan bahwa semua itu cuma urban legend.
Mereka berhasil membobol kunci pintu belakang dan masuk. Semuanya gelap, berdebu, dan sunyi. Meja makan itu masih utuh. Kursinya empat. Satu menghadap dinding. Persis seperti yang sering kuceritakan dulu pada teman-teman sebelum aku... hilang.
Mereka duduk di meja makan. Rian duduk di kursi yang menghadap ke dinding. Bima menyalakan kamera ponselnya.
“Katanya kalau kursi ini diputar ke meja, bakal datang arwah anak kecil,” ujar Bima, menertawakan dirinya sendiri. “Udah kayak film horor murah.”
Mereka memutar kursi itu.
Dan menunggu.
Sepuluh menit pertama, tidak ada apa-apa. Tapi kemudian suhu di ruangan berubah. Kamera Bima mendadak berembun, padahal suhu luar cukup hangat.
Lalu, terdengar suara piring yang diketuk pelan.
Tek… tek… tek.
Rian menoleh. Piring di atas meja kini dua. Padahal mereka tak membawa apa pun selain kamera dan senter.
"Ada yang main-main, ya?" gumam Rian, mulai gelisah.
Bima menyorotkan senter ke dinding, lalu ke lantai. Tak ada siapa pun. Tapi saat cahayanya menyapu kursi tempat Rian duduk…
Sesuatu terlihat berdiri di belakangnya.
Seorang anak kecil dengan wajah kosong, matanya seperti rongga gelap tanpa dasar. Mulutnya menganga, dan dari dalamnya mengalir darah hitam yang menetes ke lantai.
Senter Bima jatuh. Rian berdiri, panik, menoleh ke belakang, tapi terlambat.
Anak itu meloncat ke arahnya. Lalu gelap.
Esok harinya, warga menemukan Bima di depan rumah, gemetar tak bisa bicara. Rian tidak ditemukan. Yang ada hanya baju yang robek dan bercak darah di lantai dekat meja makan.
Bima dibawa ke RSJ. Setelah dua minggu, dia baru bisa bicara. Tapi hanya satu kalimat yang terus dia ulang:
"Aku bukan yang dia pilih. Aku bukan yang dia pilih."
Beberapa bulan kemudian, rumah itu dijual ke seseorang dari luar kota yang tidak tahu kisahnya. Ia seorang duda bernama Pak Surya, yang baru saja kehilangan anak laki-lakinya karena tenggelam.
Ia merasa kesepian, dan saat melihat rumah itu, entah kenapa langsung jatuh hati.
"Rumah ini terasa... hidup," katanya pada makelar.
Malam pertamanya, ia duduk di ruang tengah, menatap meja makan yang seolah mengundangnya untuk duduk.
Ia memperhatikan kursi yang menghadap ke dinding.
"Aneh," gumamnya. "Seperti sedang dihukum."
Ia menarik kursi itu, memutarnya ke arah meja.
Lalu, ia tersenyum.
"Kalau kamu masih di sini… kamu bisa panggil aku Ayah."
Sejak saat itu, rumah itu tidak lagi kosong.
Warga bilang mereka sering melihat dua bayangan duduk makan malam setiap malam di rumah itu. Satu anak-anak. Satu orang dewasa. Kadang terdengar suara tawa kecil… dan kadang tangis.
Dan kini, bukan satu kursi kosong lagi yang tertinggal.
Ada dua.
Menunggu.
Siapa pun yang masuk dan mencoba memisahkan mereka… tak pernah keluar lagi.