Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Rumah Baru dan Bunga Tak Dikenal
Rumah itu, dengan arsitektur kolonial Belanda yang kusam, berdiri di ujung Jalan Kenanga, seolah menjadi penanda batas antara dunia yang dikenal dan yang tidak. Genteng-gentengnya menghitam, lumut tebal merambat di dinding bata merah yang sebagian besar sudah mengelupas, dan jendela-jendela tinggi berjeruji besi berkarat memancarkan tatapan kosong ke arah jalan. Sebuah pohon mangga tua yang rimbun dan beberapa rumpun bambu kuning yang liar memeluknya erat, nyaris menyembunyikannya dari pandangan. Di sinilah Sekar memilih untuk memulai kembali hidupnya, menjauh dari ingar-bingar kota besar dan kenangan pahit yang membuntutinya.
Sekar tiba di desa itu di suatu sore yang lembap, diiringi rintik gerimis yang tipis. Truk pengangkut barangnya tak terlalu penuh, hanya beberapa koper tua, tumpukan buku-buku bersampul lusuh, dan sebuah pot tanaman kecil yang ia genggam erat di pangkuannya. Ia bukan tipikal wanita muda yang ceria. Wajahnya yang oval, dengan tulang pipi tinggi dan bibir tipis, selalu dihiasi ekspresi tenang, nyaris dingin. Namun, mata cokelat gelapnya yang dalam memancarkan kesedihan yang sulit dijelaskan, seolah menyimpan rahasia kelam yang terlalu berat untuk dipikul. Geraknya nyaris tanpa suara, langkahnya ringan seperti embusan angin, seolah ia takut mengganggu keheningan yang telah lama bersemayam di rumah itu.
Beberapa hari pertama Sekar habiskan dalam kesunyian. Ia membersihkan rumah itu dengan telaten, seolah melakukan sebuah ritual penyucian. Debu tebal yang telah menumpuk puluhan tahun disapu bersih, jaring laba-laba yang menggantung seperti tirai usang disingkirkan, dan bau apak lembab yang menusuk hidung perlahan-lahan tergantikan oleh aroma sabun dan disinfektan. Ia mengecat ulang dinding yang kusam dengan warna putih gading, membersihkan jendela-jendela hingga berkilau, dan menata perabotan tua peninggalan bibi buyutnya—sebuah kursi goyang reyot, lemari ukir yang menjulang tinggi, dan meja makan jati yang kokoh—dengan sentuhan minimalis yang justru menambah kesan misterius pada rumah itu. Rumah itu perlahan-lahan hidup kembali, namun tetap memancarkan aura melankolis yang sulit dihilangkan sepenuhnya. Ada bisikan-bisikan tak terdengar yang bersembunyi di balik dinding, bayangan-bayangan yang melintas di ujung mata, seolah rumah itu enggan melepaskan masa lalunya.
Area pekarangan adalah proyek terbesar Sekar. Rumput liar telah menelan sebagian besar lahan, dan tanaman-tanaman merambat menjulur tak beraturan, menyelimuti pagar dan bahkan mencoba mendaki dinding rumah. Dengan sarung tangan kulit dan sekop kecil, Sekar bekerja tanpa lelah. Ia mencabut gulma-gulma membandel, merapikan semak-semak yang rimbun, dan menggali tanah untuk menyiapkan bedengan. Pekerjaan fisik itu seolah memberinya ketenangan, mengalihkan pikirannya dari beban yang tak terlihat.
...