Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kulukis Sayap Patahku
0
Suka
33
Dibaca

Langit sore itu berwarna jingga nan pucat. Semburat matahari terakhir berpendar di antara awan kelabu, membawa suasana tenang yang aneh. Di tepi danau, Dinda duduk memeluk lututnya, memandangi gerak air yang bergetar menembus kekosongan mata, sesekali menghela nafas panjang, merasakan berat dan sesak di dada. Wajahnya tersenyum, namun hatinya menangis, tetes air mata jatuh perlahan, seakan ingin menyembunyikan luka yang menganga.

"Aku tidak mengerti... kenapa harus seperti ini?" gumamnya lirih. 

Senyum ceria yang biasa menghiasi wajah Dinda hilang seketika ketika ia teringat satu kalimat yang baru saja didengarnya.

“Maafkan aku.”

Hati yang tersedak memaksa Dinda berteriak kencang, seolah ingin membuang jauh segala rasa yang ia pendam. Selama ini, Dinda menyembunyikan perasaannya dalam-dalam, berharap mungkin suatu saat nanti berakhir dengan manis. Tetapi harapan itu, rupanya hanya ilusi yang ia bangun sendiri. 

Rintik hujan mulai turun, perlahan membasahi wajah dan tubuhnya. Namun, Dinda tak beranjak, seolah hujan itu menjadi teman yang memahami luka hatinya. Di tengah derasnya air yang jatuh dari langit, Dinda menangis tanpa henti, melepaskan semua kepedihan yang ia simpan terlalu lama.

***

Dinda dan Faris, dua nama yang tak terpisahkan di mata para tetangga, tumbuh bersama di kampung kecil yang dikelilingi sawah hijau. Mereka adalah teman sejak kecil, sahabat yang tak terpisahkan. Keduanya tinggal di lingkungan yang sama dan bahkan memiliki keluarga dengan latar belakang yang serupa. Mereka juga sering berbagi cerita, impian, dan harapan, seolah tak ada rahasia di antara mereka.

Meski mereka sama-sama tumbuh dengan segala keterbatasan, semangat mereka selalu tinggi. Ayah Dinda bekerja sebagai buruh tani, sementara ayah Faris adalah seorang nelayan di sungai. Kehidupan mereka memang sederhana, tetapi hati mereka penuh rasa syukur. Keduanya saling menguatkan, terutama di saat-saat sulit. Ketika Dinda merasa lelah membantu ibunya berjualan kue di pasar, Faris selalu ada untuk memberi semangat. Begitu pula sebaliknya, saat Faris pulang dengan hasil tangkapan yang sedikit, Dinda selalu mencoba menghiburnya.

Hari-hari mereka penuh canda, tawa, dan juga mimpi-mimpi besar. Mereka berjanji akan sama-sama mengejar pendidikan tinggi dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Keduanya memiliki cita-cita yang sama: ingin mengangkat derajat keluarga dan memberi kehidupan yang lebih baik bagi orang tua mereka.

Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Dinda melihat ayahnya terbaring tanpa kata di ruang tamu, diselimuti kain mori dan dikelilingi lantunan doa tetangga. Dinda dikabari bahwa ayahnya meninggal karena jatuh dari pohon kelapa. Dunianya runtuh seketika, sesuatu yang tidak pernah terlintas di pikirannya datang begitu saja. Dinda lari keluar rumah, duduk di sudut halaman sambil menangis keras, wajahnya pucat, matanya sembab, pikirannya pun gelap. Ditengah duka yang melanda Dinda, Faris duduk di sampingnya, mencoba menguatkan sahabatnya yang kini kehilangan ayahnya. 

"Din, kamu tidak sendirian, aku di sini, ya."

"Aku… aku tidak pernah siap Ris, aku masih ingin Ayah ada di sini, kenapa secepat ini?" Suara Dinda bergetar sambil menghela nafas panjang. 

Sontak Faris duduk mendekatkan pundaknya pada Dinda.

"Aku tahu Din, kehilangan Ayah itu pasti berat, ayah kamu pasti tenang di sana."

"Tapi kenapa rasanya sakit sekali Ris… seperti belum ada yang aku lakukan buat Ayah, rasanya seperti aku belum cukup jadi anak yang baik… belum cukup membuat Ayah bahagia," Dinda terus mengalirkan air matanya. 

"Dinda, jangan berpikir seperti itu! Ayah kamu pasti bangga denganmu, kamu sudah menjadi anak yang luar biasa, yang selalu ada untuk beliau, kamu tidak perlu merasa kurang," Faris mengucapkannya dengan nada tegas namun lembut. 

"Seseorang yang telah bertemu Tuhannya tidak akan kembali lagi Din, ayah kamu sudah pergi, tapi aku janji, aku akan selalu ada buat kamu, sedikit demi sedikit kita lewati ini bersama, sampai kamu merasa lebih kuat lagi," lanjut Faris. 

Faris meletakkan tangannya diatas tangan sahabatnya dan menatapnya dengan tatapan yang hangat. Dinda tersenyum kecil di tengah kesedihannya. Waktu itu, meski luka di hatinya sangat pedih, ia merasa sedikit lebih kuat karena kehadiran Faris. Di bawah langit yang terang namun terasa gelap bagi Dinda, mereka duduk dalam keheningan penuh kehangatan, Faris telah memberikan kekuatan dalam duka yang mendalam.

Ditengah keheningan itu sesuatu yang asing muncul dalam diri Dinda. Perasaan halus yang tumbuh saat seseorang mengingat sebuah nama dan membayangkan wajahnya. Getaran hati yang lembut dan selama ini tidak pernah tertuju pada laki-laki lain selain ayahnya, perasaan itu tampak pada mata Dinda yang bersinar ketika memandang Faris, sahabatnya sejak kecil. Dinda tak menduga hal ini terjadi padanya, mengingat selama ini Faris hanyalah teman berbagi dalam suka dan duka. Ia hanya bisa termangu ketika sosok Faris mulai terukir dalam satu kata di hatinya—Cinta. 

Hari-hari berikutnya, Faris terus menemani Dinda, tanpa banyak bicara. Kadang mereka hanya duduk diam, menikmati secangkir teh di teras rumah sambil menatap langit senja. Ada hari-hari di mana Dinda menangis tanpa bicara, dan Faris hanya menggenggam tangannya erat, membiarkan Dinda menumpahkan segala kesedihannya. Kehangatan genggaman tangan Faris seakan menjadi pengingat bahwa ia tidak sendirian menghadapi duka ini. Waktu semakin berlalu hingga Dinda dapat menerima kenyataan bahwa ayahnya telah tiada.

Sampai saat itu, tidak ada yang berubah dari kehadiran Faris—ia tetaplah sosok yang lembut dan penuh perhatian. Namun, bagi Dinda, keberadaan Faris mulai terasa berbeda, memberinya kehangatan yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.

Dinda dan Faris sering bermain badminton bersama di sore hari, seperti yang mereka lakukan sedari kecil. Halaman rumah Dinda yang luas mendukung mereka berdua saat memainkan olahraga yang mereka sukai. Dinda dan Faris sudah terbiasa bermain di tempat itu setiap hari. Tetapi entah kenapa, kali ini permainan terasa lebih menyenangkan dan berbeda bagi Dinda. Ada perasaan yang tak biasa ketika ia bermain dengan Faris belakangan ini, sesuatu yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat. 

“Perasaan apa ini? Apakah aku menyukai Faris? atau hanya perasaan bahagia karena dihiburnya, atau ada yang lain?” rupanya Dinda masih belum memahami gejolak yang ada di hatinya.

“Apa aku ceritakan saja ya perasaanku ini ke Faris,” gumam Dinda dalam lamunannya.

“Jangan Din! aku takut jika yang kamu rasakan itu adalah cinta, kamu dan Faris sahabat sejak kecil, jika kamu menyampaikan cintamu padanya pasti ia akan menolaknya, jangan sampai Faris menjauhimu karena itu dan mengakhiri hubungan kalian.”  

Pikiran Dinda melawan. Ada satu sisi dimana Dinda tidak ingin persahabatannya dengan Faris berakhir begitu saja, namun di sisi lain perasaannya dihantui oleh kebimbangan. 

Ditengah pergulatan hati Dinda, sebuah shuttlecock meluncur deras menerjang kepalanya. Rupanya itu hasil pukulan yang dilancarkan Faris.

“Kenapa kamu Din? apa kamu masih belum bisa melupakan ayahmu?” teriakan Faris yang keras membuat mata Dinda membeliak.

“Ah tidak tidak… aku cuma capek saja kok,” Dinda mencoba mengelak. Faris yang sudah mengenal Dinda sejak lama khawatir dengan sikap Dinda yang mendadak aneh. 

“Kalau kamu ada apa-apa bilang saja ya,” kalimat yang dikatakan Faris menyadarkan Dinda bahwa ia harus menjaga keharmonisan hubungan mereka. Dinda merasa bahwa jika perasaannya adalah cinta, kemungkinan besar tidak akan terbalas, sebab hubungan mereka terjalin selama bertahun-tahun tanpa ada perkembangan, sedangkan Faris tidak menunjukkan tanda bahwa ia menyukai Dinda. Pada akhirnya Dinda memendam sendiri perasaan itu dan tak ada seorangpun yang tahu selain dirinya. 

Mereka memutuskan untuk beristirahat. Keduanya duduk di pinggir halaman, kelelahan, tetapi masih dengan senyum lebar. Mereka duduk sambil menikmati botol air mineral yang mereka bawa. Dinda menatap langit yang mulai berubah warna, semburat jingga menandakan matahari akan segera tenggelam. Dalam tatapan itu Faris tiba-tiba saja menyela.

"Din, aku ingin bicara denganmu."

“Dari tadi kan kita saling bicara Ris,” sahut Dinda dengan tawa ringan.

“Bukan, kali ini ada sesuatu yang ingin aku katakan.”  

"Apa itu? Jarang sekali kamu terlihat serius seperti ini," ucap Dinda dengan rasa penasaran. 

"Din, aku rasa… aku menyukai Rena.”

Mendengar ucapan itu Dinda menunduk, menutupi ekspresi di wajahnya. Hatinya bergetar namun tidak seperti getaran yang ia rasakan sebelumnya. Kali ini terasa sakit, pedih dan sesak, seakan meremas hati Dinda. Kepedihan itu semakin meyakinkan Dinda bahwa apa yang ia rasakan selama ini adalah cinta, rasa bahagia ketika bersama seseorang, rasa sakit saat ia menyukai orang lain, rasa yang melahirkan keinginan untuk hidup bersama, semua itu berkumpul membentuk gelembung batin yang indah namun mudah pecah.  

“Tapi sepertinya aku tidak akan mengungkapkan itu padanya,” Faris tetap menunjukkan wajah seriusnya.

“Kenapa memangnya Ris?” Dinda berusaha menutupi lukanya di depan Faris. 

“Rena itu cantik, pintar dan populer di sekolah, Aku tidak bisa berpaling saat melihat wajahnya, Aku merasa ada kemungkinan dia akan menerimaku, tapi aku akan menetapkan pilihanku pada pendidikanku,” jawab Faris.

Mendengar perkataan itu ada sedikit perasaan lega dalam hati Dinda, ia menunjukkannya lewat senyuman namun dibalik senyuman itu ada perasaan yang tak terucapkan.  

Dinda sendiri juga mengenal Rena karena mereka adalah teman sekelas. Meski bukan teman dekat, Dinda mengenal Rena sebagai siswi yang baik, cantik dan pandai di kelasnya. Dinda juga tahu bahwa Faris juga siswa yang pandai. Bagaimana tidak, berkat prestasinya di sekolah, ia memperoleh beasiswa kuliah di luar negeri. 

“Kalian sangat cocok Ris, tapi aku mengerti dengan pilihanmu, masa depanmu itu yang paling utama, aku doakan kamu semoga menjadi orang yang berhasil,” Dinda berusaha menjadi sahabat yang baik untuk Faris dengan memberi semangat padanya. Faris terdiam sejenak, lalu menatap Dinda dengan mata yang penuh terima kasih.

"Terima kasih, Din, kamu memang sahabat terbaik, Aku beruntung memilikimu." 

Kata-kata itu seharusnya membuat Dinda bahagia, tetapi yang ia rasakan hanyalah kesedihan yang semakin dalam. Ia tersenyum kecil, mencoba menutupi rasa sakit. Dalam hatinya, ia ingin mengatakan bahwa ada seseorang yang memperhatikan Faris dengan penuh kasih sayang, namun ia memilih untuk menahan diri.

“Sama-sama Ris, kamu sudah menjadi obat buatku, ini tidak ada apa-apanya dibandingkan perlakuanmu padaku,” Dinda mengatakannya sambil menahan air mata agar tidak jatuh.

“Setelah lulus nanti aku akan langsung terbang ke luar negeri, kamu tidak apa-apa kan jika aku pergi?” Faris bertanya pada Dinda dengan perasaan khawatir.

“Tidak apa-apa, jangan khawatirkan aku, kamu fokus pada tujuanmu, aku fokus pada tujuanku, jangan pernah lupakan janji kita agar meraih impian kita masing-masing. Semoga suatu saat nanti kita bertemu dalam versi terbaik,” Kata-kata Dinda meluncur deras dalam ingatan Faris.

***

Hari itu adalah hari yang sudah lama Faris impikan: keberangkatan ke kampus barunya di luar negeri. Setelah bertahun-tahun menekuni pelajaran, lulus dengan nilai gemilang, dan mempersiapkan segalanya, akhirnya ia bisa mengejar cita-citanya untuk belajar di universitas ternama. Faris memandang jauh dari luar jendela pesawat, keluarganya yang berkumpul bersama Dinda yang melepas kepergiannya. 

Dinda melambaikan tangannya dengan cepat sembari tersenyum bangga dengan pencapaian Faris, walaupun begitu air mata Dinda jatuh begitu saja. Waktu begitu cepat berlalu saat akhirnya Faris tidak lagi berada disampingnya. Ia teringat saat Faris pamit untuk kuliah, ia menguatkan hatinya dan tersenyum. 

“Aku akan selalu mendoakanmu,” ucapnya dengan lirih saat melepas tangan Faris di bandara.

Selama Faris berada jauh, Dinda menghabiskan waktu dengan hobinya, melukis. Setiap hari, ia menghabiskan berjam-jam di ruangan kecil di rumahnya, dikelilingi oleh kanvas dan cat warna-warni. Lukisan-lukisannya sering kali menceritakan kisah tentang perasaannya pada Faris, tentang mimpi-mimpi yang pernah mereka bicarakan bersama, dan juga tentang harapan masa depan yang mereka cita-citakan.

Dinda memiliki satu lukisan favorit: pemandangan matahari terbenam di desa. Bagi Dinda, tempat dimana ia dan Faris menghabiskan waktu bersama adalah tempat yang indah. Ia sering memandang lukisan itu dan tersenyum, seolah-olah sedang berbicara dengan Faris. 

Dinda menyadari satu makna cinta di dalam hatinya: perasaaan rindu ketika tidak bertemu. Ia seringkali teringat dengan Faris ketika melihat lukisannya sendiri. Ketika rindunya begitu dalam, ia akan menulis pesan dan mengirimkan foto lukisannya kepada Faris.

Tahun demi tahun berlalu, Faris kini menjadi seorang arsitek muda yang sukses, dengan proyek-proyek besar yang mulai mengangkat namanya. Selama kuliahnya di luar negeri, ia bekerja keras tanpa kenal lelah, berusaha mewujudkan mimpinya dan membuktikan pada dirinya sendiri bahwa semua pengorbanannya, termasuk jauh dari kampung halaman dan orang-orang yang disayangi, tidaklah sia-sia.

Sedangkan Dinda menjelma menjadi seorang seniman besar. Namanya mulai dikenal ketika seorang kolektor lukisan secara tidak sengaja melihat lukisan Dinda yang terpajang di teras rumah. Karena terpana, ia mengajak Dinda untuk memamerkan karyanya di sebuah galeri ternama. Pengunjung yang melihat lukisan-lukisan Dinda terkesan dengan gaya khasnya yang seolah menghidupkan suasana desa. Tanpa perlu banyak kata, lukisan-lukisan Dinda menceritakan tentang kehidupan pedesaan yang damai dan menyentuh. Berkat pameran itu, Dinda mulai mendapat undangan untuk mengikuti pameran seni di berbagai kota besar. Media mulai melirik sosoknya, seorang pelukis dari desa kecil yang membawa keindahan kampung halamannya ke dunia seni rupa.

Dinda sangat bersyukur dengan pencapaiannya. Dalam setiap pameran seni, ia selalu membawa satu lukisan: lukisan favoritnya yang mengingatkan Dinda kepada Faris. Di sebuah pameran seni, Dinda memperlihatkan lukisan itu tepat ditengah galerinya. Ia berdiri dan memandangnya dalam waktu yang lama, mengingat perjuangan dan perasaan yang selama ini ia tumpahkan pada setiap goresan di kanvas itu. 

“Indah sekali, seperti aku melihat diriku sendiri.” 

Suara tegas nan lembut menghentakkan mata Dinda. Suara yang ia kenal itu rupanya berasal dari Faris yang berada di sebelahnya. Dinda sontak mengayunkan kepalanya dengan cepat.

“Apa kabar?” Faris menatap Dinda sambil tersenyum manis.

Mata Dinda berkaca-kaca, ia mendadak gugup karena tidak menyangka bahwa seseorang yang sangat ia rindukan tiba-tiba saja disampingnya. 

“Aku baik Ris, aku dengar kamu sudah menjadi arsitek yang hebat, tidak sia-sia perjuanganmu selama ini.” 

Dinda berusaha menahan haru dan rindu yang menghampirinya.

“Terimakasih Din, aku bersyukur karena kamu sekarang menjadi seniman yang sukses, akhirnya kita berhasil meraih cita-cita bersama,” perasaan bangga tampak pada wajah Faris.  

“Disini sangat ramai, aku ingin ngobrol berdua denganmu seperti yang biasa kita lakukan dulu,” Faris tiba-tiba saja menarik tangan Dinda. Perasaan rindu yang tak terbendung membuat Dinda terdiam dan menerima ajakan Faris. Mereka berdua mengendap diam-diam meninggalkan ruangan pameran tanpa ada seorangpun yang tahu.

Dinda dan Faris duduk di bangku kayu di tepi danau, menikmati udara sejuk yang membawa aroma dedaunan dan suara gemericik air yang tenang. Dinda memilih tempat itu untuk berbincang-bincang dengan Faris. Dinda seringkali datang ke tepi danau saat sore hari, sekedar mencari ketenangan di tengah rutinitasnya sebagai pelukis. Namun sore itu, tempat itu menjadi lebih istimewa, karena ada seseorang yang sangat ia rindukan, sahabat lamanya, Faris.

Mereka berdua menatap danau dengan raut wajah bahagia, seakan tak percaya bahwa janji mereka telah terwujud. Mereka tertawa, dan obrolan pun mengalir begitu saja, seperti air di danau yang tenang di hadapan mereka. Awalnya, mereka berbincang tentang hal-hal ringan: pekerjaan, kehidupan di kota, perjalanan yang mereka tempuh. Faris menceritakan kisah-kisah lucu dari proyek arsitekturnya, sementara Dinda berbagi cerita tentang pameran lukisan dan kelas seni yang sering ia adakan untuk anak-anak di desanya.

Di tengah kegembiraan itu, Faris menarik nafas panjang, seakan ingin mengatur kata-kata di kepalanya. Ia tampak gugup, lalu tiba-tiba saja memasang wajah serius.

“Din, aku ingin mengatakan sesuatu padamu.” 

“Apa itu Ris? sepertinya penting sekali,” Dinda yang penasaran dengan ekspresi wajah Faris seketika mengernyitkan alisnya.

 “Aku… akan menikah dengan Rena,” suara Faris yang lirih mengejutkan Dinda. 

“Setelah menikah nanti kami akan tinggal di luar negeri,” lanjutnya. Faris kemudian menunjukkan sesuatu pada Dinda yang membuatnya semakin terkejut: sebuah cincin yang telah terpasang di jari Faris. 

Apa yang baru saja dilihatnya membuat Dinda hancur seketika. Sekali waktu, Dinda membayangkan tentang masa depannya dengan Faris. Dalam khayalannya, Faris akan menggenggam tangannya dan mengatakan bahwa ia ingin menikahinya. Tapi kenyataan ternyata jauh dari yang ia harapkan.

Cintanya pada Faris yang selama ini ia pendam berubah menjadi sakit. Cinta yang memberi kehangatan berubah menjadi luka yang dingin, ia kini tinggal sebagai kenangan manis yang menyayat, mengingatkan bahwa tidak semua akan berakhir bahagia.

Dinda berusaha menelan pahitnya kenyataan, tapi lidahnya kelu. Ia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan luka yang baru saja menganga di hatinya. Di hadapan Faris, Dinda berusaha terlihat tegar, seolah berita ini tak ada artinya. Namun, di dalam hatinya, ia bisa merasakan setiap serpihan yang retak satu demi satu.

"Selamat, Faris," katanya dengan pelan, berusaha terdengar tulus meski suaranya sedikit bergetar. 

“Aku... turut bahagia untukmu,” lanjut Dinda.

Faris tersenyum, seakan lega telah mengungkapkan semuanya. Namun, ia tidak tahu, bahwa di balik senyum yang Dinda tampilkan, tersembunyi kepedihan yang mendalam. Faris tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu bahwa Dinda mencintainya. 

Mereka berbicara sejenak, namun Dinda tak lagi mendengar jelas apa yang dikatakan Faris. Pikirannya sudah mengembara, tenggelam dalam rasa sakit yang perlahan mulai memenuhi hatinya. Ditengah perbincangan mereka tiba-tiba terdengar bunyi seseorang yang berteriak memanggil Faris.

“Pak, silahkan masuk mobil, direktur sudah menunggu,” asisten Faris yang mengetahui keberadaanya datang menjemput.

“Sebentar, tunggu saja di dalam,” Faris menyahut. 

Kemudian ia mengatakan sesuatu pada Dinda yang telah memiliki tatapan kosong.

“Dinda… ini adalah terakhir kalinya kita bertemu, terima kasih atas semangatmu selama ini, terima kasih atas waktu yang telah kamu berikan, terima kasih telah menjadi sahabat yang baik buatku,” 

Dinda hanya mengangguk sambil tersenyum mendengar kata-kata dari Faris.

“Dan untuk semua kesalahan yang pernah aku perbuat padamu, maafkan aku,” Faris menutup pembicaraannya.

“Iya,” Hanya itu kata yang dapat diucapkan Dinda tanpa sepatah katapun keluar lagi dari mulutnya. Ia hanya bisa memalsukan senyumannya saat menatap Faris untuk yang terakhir kalinya.

Faris meninggalkan Dinda sendirian di tepi danau, dibawah langit senja yang kini terasa begitu sendu. Dinda hanya terdiam melihat Faris memasuki mobil dan pergi meninggalkan dirinya. Awan kelabu datang mengabarkan Dinda bahwa ia akan menemaninya menangis atas luka yang dialami.

***

Hari-hari Dinda berlalu lambat setelahnya. Hatinya masih terasa remuk, seakan ada ruang kosong yang tak bisa diisi lagi. Namun, Dinda tahu ia tidak bisa terus tenggelam dalam rasa sakit yang menjerat. Setelah sekian lama menyesali dan meratapi perasaannya sendiri, ia memutuskan untuk perlahan bangkit dan menemukan kembali dirinya yang hilang.

Ia mencoba mengisi waktunya dengan membuat sebuah lukisan. Di kanvasnya, ia menggambar sepasang sayap patah yang berusaha bangkit dan terbang kembali. Setiap goresan kuas dalam lukisan itu adalah cermin dari luka dan harapan yang hancur. Namun dibalik itu tersimpan cara untuk menerima luka itu dan berjuang hidup kembali. 

Perlahan, Dinda belajar bahwa luka yang ia alami bukan sesuatu yang harus disesali, melainkan sesuatu yang bisa ia jadikan pelajaran. Rasa sakit itu, seiring waktu, menjadi pengingat tentang ketegaran yang ia miliki, dan betapa kuatnya ia dalam menghadapi kehilangan.

Dinda menemukan kekuatan dalam dirinya yang tidak pernah ia sadari sebelumnya. Meski sayapnya telah patah, ia tahu bahwa suatu hari ia akan bisa terbang kembali—mungkin tidak bersama Faris, tapi bersama cintanya sendiri yang akan ia temukan. "Kulukis sayap patahku," bisiknya pada dirinya sendiri, seakan memberi janji bahwa dirinya akan kuat dan utuh kembali, meski cinta telah menghancurkan hatinya.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
NEAR (script)
Dheajeng Novida
Flash
ELUSIF Chapter 0,2
Seto Yuma
Cerpen
Kulukis Sayap Patahku
Faiqul Minan
Skrip Film
Karena darah kita sama, Allaniseiza
ryunee samaya
Skrip Film
Little Man
M. Faizal Armandika
Flash
HURU HARA KATA
Bulan
Cerpen
Bronze
GEN
Maldalias
Novel
Tangis Dalam Sepi🍁
Dian Bella Gresia Pasaribu
Novel
Bronze
Hallo Nana!
Missooo
Novel
Skripsi VS. Everybody
Permatasari
Novel
Drakula Bertato Celurit
Mulia Nasution
Novel
Menulis Sebelum Mati
Muhammad Rifal Asyakir
Novel
Kata Umak, Perempuan Tak Boleh Guna Perhiasan
Goebahan R
Flash
Pesan singkat
kar.
Skrip Film
Paruh Waktu (SKRIP)
Nurmala Manurung
Rekomendasi
Cerpen
Kulukis Sayap Patahku
Faiqul Minan