Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit sore itu berwarna jingga nan pucat. Semburat matahari terakhir berpendar di antara awan kelabu, membawa suasana tenang yang aneh. Di tepi danau, Dinda duduk memeluk lututnya, memandangi gerak air yang bergetar menembus kekosongan mata, sesekali menghela nafas panjang, merasakan berat dan sesak di dada. Wajahnya tersenyum, namun hatinya menangis, tetes air mata jatuh perlahan, seakan ingin menyembunyikan luka yang menganga.
"Aku tidak mengerti... kenapa harus seperti ini?" gumamnya lirih.
Senyum ceria yang biasa menghiasi wajah Dinda hilang seketika ketika ia teringat satu kalimat yang baru saja didengarnya.
“Maafkan aku.”
Hati yang tersedak memaksa Dinda berteriak kencang, seolah ingin membuang jauh segala rasa yang ia pendam. Selama ini, Dinda menyembunyikan perasaannya dalam-dalam, berharap mungkin suatu saat nanti berakhir dengan manis. Tetapi harapan itu, rupanya hanya ilusi yang ia bangun sendiri.
Rintik hujan mulai turun, perlahan membasahi wajah dan tubuhnya. Namun, Dinda tak beranjak, seolah hujan itu menjadi teman yang memahami luka hatinya. Di tengah derasnya air yang jatuh dari langit, Dinda menangis tanpa henti, melepaskan semua kepedihan yang ia simpan terlalu lama.
***
Dinda dan Faris, dua nama yang tak terpisahkan di mata para tetangga, tumbuh bersama di kampung kecil yang dikelilingi sawah...