Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Lagu dari Tanah yang Terkubur
Debu jalanan adalah teman setia Raga selama tiga hari terakhir. Setiap kali ban mobilnya berputar, ia merasa seolah menggulirkan lembaran baru dalam hidupnya. Jakarta, dengan segala hiruk pikuknya, terasa seperti kenangan yang memudar. Yang ada kini hanyalah bentangan sawah hijau, bukit-bukit yang diselimuti kabut tipis, dan pohon-pohon rindang yang menjulang seperti penjaga gerbang. Ia sedang menuju Desa Lengang, sebuah nama yang dipilihnya entah karena kebetulan atau takdir, untuk mencari apa yang selama ini hilang darinya: inspirasi.
Raga adalah seorang penulis, atau setidaknya ia pernah begitu. Novel terakhirnya jeblok di pasaran, dan kritik pedas dari para pembaca seolah menancap di benaknya seperti paku berkarat. Ia butuh sesuatu yang baru, sesuatu yang mentah, sesuatu yang bisa merobek buntu kreatifnya hingga tak bersisa. Seorang teman lama yang kebetulan seorang etnografer, pernah bercerita tentang desa-desa terpencil di pelosok Jawa yang masih kental dengan mistisisme. Desa Lengang, menurut petunjuk dari internet dan beberapa peta tua, adalah salah satunya. Terpencil, damai, dan katanya, memiliki cerita-cerita rakyat yang belum terjamah modernitas. Sempurna.
Matahari mulai condong ke barat saat mobil Raga akhirnya memasuki jalan setapak berkerikil yang diyakini sebagai gerbang Desa Lengang. Udara seketika berubah, menjadi lebih dingin dan membawa aroma tanah basah bercampur dedaunan kering. Rumah-rumah penduduk masih jarang terlihat, didominasi oleh anyaman bambu dan kayu, dengan atap genting yang diselimuti lumut. Jauh dari hiruk pikuk kota, Desa Lengang benar-benar sepi. Bahkan, saking sepinya, tak ada satu pun anak-anak yang berlarian di jalan. Hanya beberapa warga tua yang terlihat duduk di beranda, menatap kosong ke arah jalan.
Ia sudah menyewa sebuah rumah kecil, lumayan tua tapi bersih, lewat seorang kenalan di kota kabupaten. Saat tiba, kunci sudah digantung di pintu. Rumah itu terletak di pinggir desa, menghadap langsung ke deretan sawah yang membentang luas. Pemandangan yang menenangkan, pikir Raga. Ia mengeluarkan koper dan tas punggung, menata barang seadanya, lalu menyeduh kopi instan di dapur kecil. Langit mulai meredup, menyisakan semburat jingga di ufuk barat.
Malam datang dengan cepat di Desa Lengang. Begitu matahari tenggelam sempurna, udara menjadi sangat dingin dan kegelapan merayap dengan cepat. Tidak ada lampu jalan, hanya cahaya remang dari lentera minyak di beberapa rumah. Raga menyalakan lilin dan duduk di teras, mencoba menikmati ketenangan yang langka ini. Ia mengeluarkan buku catatan kecilnya, mencoba menangkap ide-ide yang mungkin muncul. Namun, tak ada yang datang. Pikirannya masih dipenuhi bayangan kegagalan masa lalu.
Tepat ketika ia hendak menyerah dan masuk ke dalam, sebuah suara terdengar.
Awalnya hanya lirih, seperti bisikan angin yang melewati dedaunan. Namun ...