Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Yeni termenung ketika melihat anak-anak panti yang lain sedang asyik saling mengejar satu sama lain di halaman. Sinar matahari barusan begitu menyilaukan matanya sehingga ia langsung mencari tempat yang teduh di bawah pohon jambu air. Yeni memandangi kaki kecilnya yang sedikit berdarah, cenat-cenut lututnya. Tanpa sadar ia menitikkan air matanya.
“Yeni.”
Gadis bergaun coklat dan berkepang dua itu menoleh dan matanya langsung melihat sesosok wanita dengan kebaya biru dan jarik warna coklat, “Bunda.”
“Kok tidak main? Lho kakimu kenapa?” Wanita yang Yeni panggil Bunda itu berlutut dan memeriksa lukanya.
“Yeni jatuh tadi.”
Bunda tersenyum dan mengelus kepala Yeni dengan lembut, “Yasudah, ayo masuk, kita obati lukamu dulu.”
Yeni segera turun dari dipan bambu tersebut dan menggandeng tangan Bunda tanpa ragu. Hatinya senang saat melihat Bunda, meski bukan ibu kandungnya tetapi Yeni sudah menganggapnya seperti itu, baginya sosok Bunda adalah seseorang yang cantik dan baik hatinya. Sudah cukup ia melihat Bunda yang semacam itu.
“Kamu duduk di situ dulu ya, Bunda ambilkan obat dan kapas.”
Wanita berkebaya biru tersebut lantas masuk ke dalam dan tersisalah Yeni di yang duduk di kursi dapur sendirian. Dalam sekejap Yeni langsung menarik napas dalam, hatinya tersenyum dan perutnya terasa lapar. Tidak salah lagi, Bunda sedang memasak kue bolu. Meski belum sampai mulut tetapi Yeni sudah membayangkan betapa manisnya rasa kue tersebut. Ia ingin mencicipi, tapi pasti Bunda melarangnya karena itu untuk tamu. Benar, sore nanti akan ada sekumpulan orang tua tanpa anak yang nanti mengadopsi mereka satu per satu. Tak berapa lama kemudian Bunda kembali sambil membawa kapas dan sebotol rivanol untuk mengobati lukanya Yeni.
“Bunda.” Kata Yeni.
“Iya?”
“Bagaimana nanti rumah baruku ya? Kalau sudah sampai di sana nanti aku bisa ketemu teman-teman dan Bunda lagi tidak ya?”
Bunda hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan barusan. Tangan Bunda dengan hati-hati menempelkan kapas ke permukaan lukanya.
“Tapi, Bunda, kalau aku pernah lihat di televisi itu katanya yang namanya ibu tiri itu galak ya?”
Bunda menatap Yeni dengan dalam, “Masak sih?”
“Benar! Yeni jadi takut ketemu mereka!”
Sekali lagi Bunda tersenyum, tetapi kini ia menampakkan gigi-giginya yang bersih, Bunda tertawa kencang. Yeni yang melihatnya jadi kebingungan, bukankah hal yang dipikirkannya itu ada benarnya juga?
“Yaampun Yeni, tidak ada manusia yang sejahat itu.” Kata Bunda sambil menarik kursi lain untuk duduk di dekatnya, “Bunda kan juga ibu tiri, tapi apakah Bunda jahat?”
“Tidak, Bunda itu beda. Bunda ya Bunda, ibu tiri ya ibu tiri!”
Bunda makin kencang tertawanya, “Terus Bunda itu apa?”
Yeni terdiam dan berpikir sejenak, ia lalu menatap wajah Bunda sebentar sebelum tertunduk lagi, “Bunda ya Bunda.”
Bunda menghela napasnya sambil menatap ke luar pintu. Terlihat anak-anak sedang bermain dengan riang gembira. Meski rasanya senang bila anak-anak tersebut akan mendapat kasih sayang dari orang tua baru mereka, Bunda tetap memikirkan perkataan Yeni barusan.
“Mau bagaimanapun Bunda tetap sayang dengan Yeni dan anak-anak yang lain.” Kata Bunda tiba-tiba.
Yeni langsung tersenyum lebar, “Kalau begitu Yeni mau kue bolu itu dong!”
Bunda mengernyit, “Kamu itu, kue bolunya buat tamu.”
“Kalo gitu Bunda berarti nggak sayang Yeni!”
Gadis kecil berkepang dua tersebut turun cepat dari kursinya dan berlari ke dalam tanpa mengaduh kesakitan seolah lupa bahwa lututnya terluka. Ia masuk ke kamar lalu mengunci pintunya. Tanpa memedulikan suara Bunda, Yeni langsung mengambil selimut untuk menutupi kepalanya. Ia cuma mau makan kue buatan Bunda, itu saja.
“Yeni, ayo keluar nak, ayo kumpul dulu.”
Suara Bunda terdengar jelas di telinganya. Lembut tetapi agak memerintah. Yeni tetap tak mau turun dari ranjangnya.
“Yeni.”
Suara Bunda makin pudar. Yeni merangkul tubuh kecilnya di antara selimut putih. Bukan lagi aroma parfum Bunda yang tercium melainkan aroma obat-obatan. Yeni membuka matanya dan melihat ke luar jendela rumah sakit, mendung tebal dengan sedikit rintik hujan yang menempel di kaca. Infus terpasang di tangannya yang keriput, suara monitor serta detak jam menjadi nyanyian di telinganya. Lima puluh tahun sejak ia kabur dari panti malam itu, sudah selama itu ia tak melihat wajah Bundanya yang cantik.
Yeni telah berubah dari anak kecil kumal menjadi istri pengusaha besar. Suaminya telah pergi mendahuluinya beberapa bulan lalu, sekarang ganti kesehatannya yang menurun. Dari semua mimpi bertemu orang di masa lalu, justru Bunda yang muncul di sana. Apakah Bunda juga sudah ada di alam lain? Yeni mengedipkan matanya dengan pelan, menatap sendu ke arah hujan. Seluruh kenangan bersama Bunda memanglah begitu indah, tetapi mengapa harus kenangan itu? Mata keriput Yeni perlahan menitikkan air yang mulai membasahi pipi. Dalam hati kecilnya ia ingin dipeluk oleh Bundanya lagi.
“Bunda…”
Kaki-kakinya tak dapat bergerak, sakit rasanya. Bukan lagi rasa cenat-cenut akibat terjatuh dari pohon jambu air, melainkan amputasi diabetes. Yeni begitu merindukan kaki-kakinya. Badannya mulai lemah, napasnya sesak.
“Bunda…”
Para suster mulai memasuki kamar milik Yeni, mereka kaget begitu melihat penurunan dari pasien mereka. Di luar terlihat anak-anak Yeni yang menangis melihat ibu mereka. Tak henti-hentinya bibir keriput itu mengatakan “Bunda”. Semua rasa bercampur menjadi satu, Yeni berteriak memanggil Bundanya. Hingga pandangannya mulai kabur ketika melihat sosok-sosok bercahaya putih. Apakah itu malaikat?
“Yeni.”
Kegilaan tersebut berhenti sejenak begitu Yeni mendengar suara Bundanya kembali. Gadis kecil tersebut melangkah pelan lalu semakin cepat hingga berlari sampai ia merangkul sang Bunda. Lagi-lagi Bunda tertawa renyah.
“Yeni kangen Bunda.” Katanya.
“Sama, Bunda juga kangen. Kamu sudah besar rupanya.”
Yeni kecil menangis kencang, “Maafkan Yeni Bunda. Yeni penasaran dengan kue bolu itu dan memakannya di hadapan tamu, Yeni bikin Bunda malu.”
“Tidak apa-apa.”
“Tapi Bunda marah, Yeni takut.”
Wanita berkebaya biru itu merangkul erat tubuh Yeni kecil, “Sudahlah, Bunda sudah memaafkanmu.”
Yeni memandang wajah ayu tersebut dengan saksama, Bunda yang berhidung kecil dan berkulit sawo matang itu sangatlah membuat Yeni terpesona. Tangan keriputnya menyentuh wajah Bunda dengan perlahan.
“Ayo Yen, kita sudah ketinggalan.”
“Bunda.”
“Iya?”
“Bagaimana nanti rumah baruku ya? Kalau sudah sampai di sana nanti aku bisa ketemu teman-teman dan Bunda lagi tidak ya?”
Bunda tersenyum dan mengelus lembut kepala Yeni. Tanpa sepatah kata lagi mereka berjalan bersama menuju cahaya terang yang entah kemana ujungnya. Kini Yeni dapat beristirahat dengan tenang. Mendung di luar jendela perlahan disusupi cahaya matahari sore yang merah. Anak-anak, cucu, cicit, menantu, semua berkumpul menjadi satu mengelilingi sisi ranjang Yeni. Tangisan akibat rasa kehilangan itu menjadi musik yang menyayat hati. Yeni telah pergi menuju tempat yang lebih baik di atas sana, di sisi Tuhan.
Tamat.