Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin asin menusuk hidung ketika kapal kayu kecil itu meninggalkan dermaga Bau-Bau. Gelombang pagi tampak tenang, namun langit di ufuk timur menyimpan guratan awan gelap yang samar. Tiga mahasiswa arkeologi laut berdiri di dek: Rani, Fahri, dan Bayu, bersama dua awak kapal lokal, Kapten La Ode dan asistennya, Haris.
"Ini beneran aman, Kapten?" tanya Rani sambil menggenggam jaketnya yang sudah mulai basah oleh embun laut.
La Ode menatap horizon dengan wajah yang lebih banyak menyimpan rahasia ketimbang kata-kata. "Kalau kalian tetap mau ke koordinat itu… aman atau tidak, laut Buton nggak suka diganggu."
Bayu tertawa singkat, mencoba mencairkan suasana. "Ah, masa laut bisa marah, Kapten? Kita cuma mau penelitian."
La Ode tidak menjawab. Ia hanya menyulut rokok kretek, asapnya terbang tertiup angin, lalu ia bergumam pelan dalam bahasa Wolio yang tak dipahami ketiganya.
Tujuan mereka adalah lokasi yang disebut-sebut sebagai “kuburan laut”, titik gelap di peta sonar tempat banyak kapal nelayan hilang. Di arsip lama Belanda, ada catatan tentang kapal VOC yang tenggelam di perairan itu tiga abad lalu. Dosen mereka menduga, bangkai kapal itu masih di sana, menyimpan harta dagang rempah dan logam mulia.
Haris, yang sedari tadi duduk di belakang, akhirnya bicara. “Kalian tau nggak, kenapa tempat itu sepi nelayan? Karena setiap kapal yang nyasar ke sana, pasti ada yang nggak balik.”
Fahri mengernyit. “Maksudnya kecelakaan? Arusnya kenceng, ya?”
Haris menggeleng pelan. “Bukan arus. Penjaganya.”
Rani menatapnya penasaran. “Penjaga? Maksud kamu… hantu?”
Haris hanya menunjuk laut yang biru kehitaman. “Kalian lihat aja nanti kalau berani.”
Siang itu perjalanan masih lanc...