Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Senja kini, almanak di komputerku menunjukkan hari Selasa, tahun 5079. Zaman dimana teknologi sudah sangat maju—ketika kapal antarbintang yang dulu hanya ada dalam mimpi, kini mampu menempuh berbagai galaksi dalam hitungan bulan.
Di laboratorium pribadi peninggalan ayahku, sebuah instrumen AAS (atomic absorption spectrophotometry), mesin canggih yang mampu mengindentifikasi materi hingga level sub atomik, berdengung bagai kidung mekanis tak berjiwa. Nyala api biru di dalamnya melahap larutan logam satu per satu, mencatat serapan cahaya yang bagiku lebih berharga daripada udara untuk bernapas.
Karena malam nanti, Kepolisian Federasi Bumi[] sedang menanti hasil analisisku, mengenai peristiwa ledakan resonansi energi tak kasat mata yang secara misterius, telah menewaskan 98% populasi gabungan kubu mahāvīra dan kubu durjana. Dua hari sebelumnya, kedua kubu saling bertarung serentak di berbagai belahan dunia—dari Pegunungan Alpen (Eropa), Sulawesi Utara (Indonesia), India (Asia), hingga Kutub Utara.
Sejak tiga ribu tahun silam, bumi menyimpan dua golongan manusia. Ada nāra — jiwa-jiwa biasa yang tak dianugerahi keajaiban — dan ada adhināra — kaum yang kekuatannya melampaui nalar, datang bak ombak yang tak pernah surut. Dari derasnya ombak itu, takdir terbelah: sebagian lahir sebagai mahāvīra, pembawa cahaya yang menegakkan kebaikan; sebagian memilih menjadi durjana, bayangan yang menabur kejahatan. Namun bagiku, pilihan mereka tak pernah mengubah apa-apa. Adhināra yang menjadi mahāvīra atau durjana tetaplah manusia dengan nama yang diganti wajahnya — sama-sama punya ambisi dan noda. Terang dan gelap? Hanya dua sisi koi...