Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sosok berbalut hoody berwarna hitam dengan cepat berkelebat seperti bayangan melewati dinding di sisi bangunan perpustakaan. Melompati pagar yang terkunci, sebelum menarik sepedanya dari semak bambu kuning yang berada disisi kanan pintu masuk sekolah.
“Puisi-puisi itu lagi” gumam Pak Martunis penjaga sekolah saat melihat papan pengumuman dipenuhi lembaran puisi, sebelum akhirnya mengirim pesan wa ke Raka si-ketua OSIS.
Papan pengumuman sekolah SMAN Mahardika, yang biasanya hanya dihiasi jadwal ujian dan informasi kegiatan mendadak viral setiap Senin, gara-gara puisi-puisi tak bertuan yang ditempel penuh diseluruh papan tanpa menyisakan ruang kosong.
Sudah dua minggu, setiap Senin pagi, puisi-puisi misterius terpampang rapi di sana. Tidak ada yang tahu siapa penulisnya. Tidak ada tanda tangan, tidak ada petunjuk. Hanya deretan kata-kata indah yang seakan berbicara langsung kepada setiap pembaca.
Awalnya, siswa-siswi hanya memandangnya dengan biasa-biasa, seperti konten mading yang biasa diisi anak-anak eskul Mading-Mahardika News. Tapi semakin banyak puisi yang muncul, semakin besar misterinya menyita perhatian. Bahkan OSIS sampai merasa perlu turun tangan.
***
Raka, memutuskan untuk menyelidiki. "Kita tidak bisa membiarkan ini menjadi teka-teki. Siapa tahu ini bentuk protes atau pesan penting?" katanya saat memimpin rapat OSIS.
Namun, penyelidikan pertama mereka gagal total. Tidak ada yang siapa pun yang melihat si penempel puisi-puisi itu. CCTV sekolah, yang hanya berfungsi setengah hati, juga tidak bisa memberi rekaman apa-apa. Siswa yang datang paling pagi pun tidak melihat siapa pun di sekitar papan pengumuman.
Pada Senin ketiga, OSIS mencoba strategi baru. Mereka memutuskan untuk berjaga di sekolah, tidur di aula dengan alasan latihan persiapan lomba. Bela-belain dimakan nyamuk ganas, karena mereka mesti bersembunyi untuk menangkap basah “penyair misterius”.
Tapi, hasilnya tetap saja nihil. Pagi harinya, puisi baru tetap ada di papan pengumuman, seolah-olah muncul dari udara.
"Rasanya kok mulai menyeramkan," gumam Lala saat membaca puisi terbaru. Kali ini, puisi itu berbicara tentang bintang yang kesepian dan bayangan yang mengintai di kegelapan. Puisi-puisi itu selalu indah, tapi ada aura mistis yang menyertainya.
Belakangan malah muncul desas-desus baru di sekolah. Beberapa siswa mulai mengaitkan puisi-puisi itu dengan cerita mistis tentang sekolah mereka.
Konon, ada seorang gadis cantik yang sering terlihat berjalan sendirian di malam hari di sekitar pohon besar di samping kelas XI. Itupun cuma dari satu sumber—Pak Martunis si penjaga sekolah.
Sejak lama pohon itu dipercaya sebagai tempat "penunggu" sekolah. Beberapa siswa yang pernah melihat gadis itu mengaku kehilangan ingatan sesaat atau merasa pusing. Atau tiba-tiba berdiri memberi salam ke arah pohon, tapi tak bisa mengingat apapun saat disadarkan oleh Pak Moli pembimbing Rohis di sekolah.
"Jangan-jangan, ini memang ulah si penunggu sekolah!" ucap Riko, siswa kelas X yang memang dikenal suka halu. "Dia ingin menyampaikan sesuatu lewat puisi."
“Bisa jadi. Tapi pesan untuk siapa”? kali ini Raka mulai terbawa pikiran Riko.
Tapi, Lala sekretaris OSIS tak mau percaya begitu saja. "Kalau benar itu hantu, kenapa puisinya begitu manusiawi? Ada kesedihan, kerinduan, dan keindahan yang tidak mungkin dibuat oleh makhluk tak bernyawa. Ini pasti karya seseorang di antara kita," ujarnya tegas.
***
Hari Sabtu berikutnya, sesuatu yang aneh terjadi. Ketika anggota OSIS datang untuk memeriksa papan pengumuman, semua puisi dari minggu lalu telah diganti dengan yang baru. Ini mematahkan pola sebelumnya, karena puisi selalu muncul setiap Senin.
Raka merasa frustrasi. "Dia tahu kita mengawasi. Siapapun dia, dia cerdas."
Lala mulai memperhatikan sesuatu yang diabaikan oleh orang lain, tanda kecil di setiap puisi. Ada simbol terselip di antara bait puisi. Simbol itu sepintas hampir tidak disadari, seperti hanya sebuah noktah atau tipo. "Ini pasti petunjuk," pikirnya.
Malam itu, Lala memutuskan untuk menyelidiki sendiri. Ia pikir ada Pak Martunis jika ada situasi darurat. Dengan membawa senter, dia kembali ke sekolah saat semua orang sudah pulang. Dia berjalan perlahan ke arah pohon besar di samping kelas XI. Hawa malam terasa dingin berangin, dan desiran angin membuat dedaunan bergesekan, menghasilkan suara yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Tepat setelah melewati belokan ruang gudang, di dekat pohon, Lala tercekat. Nafasnya nyaris lepas, ketika sesuatu membuatnya tertegun. Di bawah sinar temaram lampu pojok gudang, ada sosok yang bersandar di batang pohon, dengan buku di tangannya. Lala memincing mata untuk memastikan penampakan itu, dan mendekat perlahan. Sosok gadis itu terlihat tak asing, dengan rambut panjang yang terurai. Gadis itu terlihat tenang, seperti sedang menulis sesuatu.
"Kamu..." Lala membuka suara, tapi suaranya terhenti. Gadis itu menoleh, dan Lala mengenalinya. Dia adalah Aisha, siswa kelas XII yang selama ini dikenal pendiam dan jarang bergaul. “Kenapa malam-malam kamu disini Sha?”. Lala keheranan, dan langsung terpikir sesuatu.
"Kamu penulis puisi itu?".
Aisha tersenyum tipis. "Kenapa kamu di sini, La?"
"Aku ingin tahu siapa yang menulis puisi-puisi itu. Kamu yang menulisnya?"
Aisha menutup bukunya, dan memandang Lala dengan tatapan yang dalam. "Aku hanya ingin menulis tanpa diketahui. Aku tidak ingin puisi-puisiku menjadi sorotan atau dianggap aneh."
“Tapi disini gelap?”
“Aku tak butuh cahaya, ada mata yang menuntunku” ujarnya tenang, tapi membuat bulu kuduk Lala langsung berbaris berdiri tanpa komando.
“Maksudmu?” Aisha bergeming dan berlalu dihadapan Lala.
"Tapi kenapa di papan pengumuman sekolah?" tanya Lala, bingung. "Kenapa tidak di mading? Kenapa harus diam-diam?."
Aisha tertawa. Seolah tawa itu bukan keluar dari bibirnya, tapi seperti suara dubbing yang berasal entah darimana.
"Jangan bodoh La, aku mau puisiku ditemukan, bukan dipajang. Aku mau semua orang merasa seperti menemukan sesuatu. Sesuatu yang tidak terduga."
"Tapi kenapa kamu melakukannya diam-diam? Kenapa tidak menunjukkan bahwa itu karyamu?" Lala masih tidak puas.
Aisha menghela napas. "kamu pikir aku cari ketenaran. Aku cari kebenaran. Aku takut. Takut orang akan menghakimi. Takut mereka tidak mengerti. Puisi-puisi itu adalah bagian dari diriku, dan aku tidak siap jika itu ditolak. Aku tidak siap jika mereka tahu."
“Maksudmu?” Aisha membeku memandangnya. Tatapan mata itu terasa menusuk ke dalam, seperti mata sorot lain yang tersembunyi dalam tubuh Aisha.
Lala terdiam. Dia memahami perasaan itu. Perasaan takut mulai terasa, hawa dingin seperti menusuk permukaan kulit membuatnya merinding. "Tapi, kamu tahu? Banyak orang di sekolah yang menyukai puisimu. Mereka penasaran, mereka terinspirasi."
Aisha tersenyum. "Aku senang mendengarnya. Tapi biarkan aku tetap menjadi misteri. Setidaknya untuk sekarang."
Lala mengangguk pelan. Dia merasa tidak perlu memaksa Aisha untuk berubah. Ia bisa merasakan aura yang berbeda. “Sudahlah, kita pulang”, ajak Lala. Ia membiarkan Aisha berjalan sendiri di depannya dan Lala mengekor, dengan pikiran aneh yang berkecamuk. Ada apa dengan pohon kamboja itu?.
***
Sesuatu yang ganjil muncul, ketika Senin berikutnya, puisi baru di papan pengumuman, kali ini, diberi tambahan apostrope kecil di bawahnya, sebuah lingkaran kecil dengan inisial "A." Bagi sebagian besar siswa, itu masih misteri. Tapi bagi Lala, itu adalah langkah kecil Aisha untuk membuka jati dirinya.
Tapi, misteri ini belum selesai. Saat malam, Raka memeriksa galeri fotonya, setelah siangnya ia memotret setiap puisi yang terpampang di papan pengumuman, dan mencoba menelisik setiap detail. Ia merasakan sesuatu yang aneh di lembar foto itu, tapi ia tak yakin apakah itu sebuah gambar ataus ekedar pola dari simbol.
Raka menunjukkan foto itu kepada adiknya, Maysha, adiknya yang juga siswa disekolah sebelah, yang tergila-gila dengan Detektif Conan. Maysha melihat detil foto itu, mencoba membaca kombinasi huruf itu berulang kali sebelum akhirnya berseru, "Kak! Ini membentuk sebuah nama. Nama seorang perempuan."
Raka terpaku. Nama itu bukan sembarang nama. Itu adalah nama yang sudah lama menjadi bagian dari cerita mistis di sekolah mereka.
Nama itu milik seorang gadis yang dikenal sebagai "hantu cantik" yang sering disebut-sebut siswa. Gadis itu adalah kakak dari Aisha yang meninggal tigatahun lalu dalam kecelakaan tragis saat karyawisata sekolah.
"Jadi... puisi-puisi ini..." Raka bergumam, mencoba memahami semuanya. "Ini tentang dia?"
Kini, misteri makin dalam. Apakah puisi-puisi itu bentuk penghormatan dari Aisha untuk kakaknya?. Ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang ingin disampaikan?.
Raka dan Maysha memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh, meski jawaban yang akan mereka temukan mungkin lebih menyeramkan dari dugaan mereka.
***
Aisha akhirnya membuka rahasia yang selama ini dipendamnya kepada Raka. Puisi-puisi itu bukan sekadar ungkapan jiwa, tetapi pesan-pesan tersembunyi dari kakaknya yang telah meninggal.
"Kakakku meninggalkan banyak pesan yang belum selesai," ungkap Aisha dengan suara bergetar.
"Dia ingin seseorang tahu bahwa ada kejahatan yang dilakukan tigatahun lalu. Bahwa kematiannya bukan kecelakaan murni."
Raka mendengar pengakuan itu dengan hati berdebar. "Kejahatan apa? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Aisha menatapnya tajam. "Kakakku menjadi korban dari rahasia kelam masa lalu. Dan kamu, Raka... kamu pasti tahu sesuatu tentang itu. Alasan kenapa puisi-puisi ini baru muncul sejak kamu menjadi ketua OSIS?. Ini ada hubungannya dengan masa lalu kakakku?"
Raka tercekat. Kata-kata Aisha terasa mengguncang. Apakah selama ini ada sesuatu yang ia abaikan?. Sesuatu yang ia tidak sadari adalah sebuah kejahatan yang disembunyikan. Atau ia sebenarnya mengetahui lebih banyak dari yang ia sadari?.
Pikiran Raka dipenuhi dengan pertanyaan dan kenangan samar yang mulai bermunculan. Ia mencoba mengingat kembali kejadian tiga tahun lalu, meski saat itu ia masih kelas tiga di sekolah menengah pertama ayng tepat berada di sebelah sekolahnya sekarang dan hanya berbatas pagar kawat yang setiap hari bisa dilintasi dengan bebas oleh siapapun.
“Apa kaitannya denganku?”
Aisha melanjutkan dengan nada yang semakin tegas, “Aku menemukan buku harian kakakku di kamar yang tidak pernah lagi dimasuki sejak dia meninggal. Di dalamnya, ada catatan tentang tekanan yang dia alami. Ada sesuatu tentang perjalanan itu yang dia takutkan, tapi dia tidak pernah menjelaskan secara detail.”
Raka menggeleng, mencoba menyangkal. “Aku tidak tahu apa-apa, Aisha. Aku bahkan tidak pernah mendengar cerita ini sebelumnya.”
“Tapi catatan dalm buku itu mengatakan, kamu tahu sesuatu tentang itu” jawab Aisha setengah memaksa.
“Mungkin kamu tidak sadar, tapi kamu pasti ada kaitannya.”
Raka mulai merasa gelisah. "Jika ini tentang sesuatu yang terjadi tiga tahun lalu, bagaimana aku bisa membantu? Aku baru saja mencoba mencari tahu siapa penulis puisi-puisi ini."
Semakin diingat dan dipikirkan Raka semakin tak mengerti darimana sebenarnya ujung pangkal cerita itu.
"Aku juga tidak tahu persis bagaimana semuanya terhubung," jawab Aisha. "Tapi kakakku ingin kita mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia ingin kebenaran terungkap, dan aku pikir puisi-puisi ini adalah caranya memberitahu kita."
***
Setelah percakapan itu, Raka merasa dirinya terseret lebih dalam ke dalam misteri yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Ia mulai menggali informasi lebih jauh, berbicara dengan guru-guru lama yang masih mengingat insiden tiga tahun lalu itu. Dari salah satu guru sejarah, ia mendengar cerita yang mengejutkan.
“Kecelakaan itu selalu terasa aneh bagiku,” ujar Bu Mirna, guru sejarah yang saat itu ikut dalam karyawisata. “Bus yang membawa siswa-siswi dari sekolah kita seharusnya tidak melaju di jalur itu. Sopir mengatakan bahwa dia hanya mengikuti arahan seseorang dari sekolah, tapi kami tidak pernah tahu siapa. Bahkan setelah kecelakaan, semuanya ditutup begitu cepat.”
“Maksud Ibu?” Ibu itu hanya menggeleng karena sebatas itu menurutnya yang ia tahu. Itupun hanya menurut kata hatinya sendiri. Bukan fakta.
Informasi ini membuat Raka semakin penasaran. Ia mulai mendalami arsip-arsip lama sekolah dan mencoba menyusun potongan-potongan peristiwa.
Perlahan, ia menemukan sesuatu yang lebih mengerikan, ada beberapa nama siswa dan guru yang terlibat dalam peristiwa itu, tetapi beberapa di antaranya menghilang dari catatan sekolah tanpa jejak.
Sementara itu, Aisha terus menulis puisi-puisi baru yang semakin menyiratkan pesan-pesan tersembunyi. Puisi-puisi itu menjadi lebih jelas, seolah-olah ada campur tangan dari sesuatu yang lebih besar. Salah satu puisinya berbunyi:
"Di jalan yang berliku,
ada bayangan yang terselubung.
Kebenaran dikubur dalam-dalam,
tapi sang cahaya akan membangkitkannya.
Bila engkau mendengar suaraku,
hentikan mereka yang mencoba menghapus ingatan dunia."
Raka membaca puisi itu dengan cermat dan merasa bahwa ini bukan sekadar ungkapan jiwa, melainkan sebuah panggilan untuk bertindak.
Ia mulai menyadari bahwa untuk menyelesaikan misteri ini, ia harus bekerja sama dengan Aisha. Dengan enggan, ia mengakui bahwa puisi-puisi itu memiliki tujuan yang lebih besar daripada yang ia kira.
“Baiklah, Aisha,” kata Raka, ketika mereka bertemu kembali di bawah pohon besar di sekolah. “Aku akan membantumu. Tapi ini berarti kita harus membuka semua yang tersembunyi, bahkan jika itu menyakitkan.”
Aisha mengangguk dengan pikiran masih didera rasa penasaran. "Kakakku pantas mendapatkan keadilan, dan kita tidak boleh berhenti sampai semuanya terungkap."
***
Semuanya jelas tidak mudah. Seperti layaknya kerja detektif atau polisi yang mengorek informasi yang entah dimana tersembunyi, nyaris tanpa jejak berarti.
Keduanya berusaha menanyai saksi-saksi lama, mengumpulkan bukti, dan menyusun kembali peristiwa dari potongan-potongan puisi serta informasi yang mereka temukan. Sedikit demi sedikit, mereka menemukan bahwa kecelakaan itu memang bukan kecelakaan biasa. Ada kejahatan yang disengaja, dan pelakunya masih berada di sekitar mereka.
Mereka bekerja amatiran, dan saat kebenaran semakin mendekat, bahaya pun mulai mengintai. Orang-orang yang mencoba menutupi masa lalu itu mulai menyadari upaya mereka untuk membongkar luka lama, mungkin sebuah konspirasi.
Aisha bahkan menerima ancaman dalam bentuk surat tanpa nama yang tertempel di papan pengumuman tersembunyi di antara puisi-puisi yang terpajang. Surat itu berbunyi, “Hentikan, atau kamu akan berakhir seperti kakakmu.”
Orang-orang berpikir itu bagian dari puisi. Tapi abgi Aisha itu sebuah pesan jelas dari seseorang yang merasa terancam.
“Kita tak bisa berharap dari CCTV” ujar Raka.
Ancaman itu hanya semakin membuat Aisha dan Raka penasaran. Namun, mereka tahu bahwa waktu mereka terbatas. Misteri ini harus diselesaikan sebelum sesuatu yang buruk terjadi lagi. Mereka juga memikirkan bahaya yang sedang mengancam mereka sekarang.
Semuanya terasa semakin misterius dan rumit, karena musuh mereka yang sebenarnya ada disekeliling mereka, dan sulit dideteksi.
Mau tak mau, Aisha dan Raka mulai memikirkan bahwa mereka tak lagi bisa bekerja sendiri. Apalagi ini kasus yang tidak lagi sederhana—dan bisa jadi ini pidana.
Mereka memutuskan untuk melibatkan Lala, yang memiliki ketajaman analitis serta akses sebagai sekretaris OSIS. Setelah menceritakan segalanya, Lala bergabung dengan tim mereka, membawa semangat baru untuk mengungkap kebenaran.
Tapi Lala bergerak seperti orang luar—seperti bayangan yang tidak terlihat dan seolah tak berada di pihak manapun dalam misteri ini. Ini sebagai cara agar ia tidak terancam dan bukti-bukti mungkin akan lebih mudah diperolehnya tanpa dicurigai siapapun.
Langkah pertama mereka adalah mencari tahu siapa saja yang hadir saat kecelakaan terjadi. Lala menggunakan koneksi OSIS untuk mendapatkan arsip lama sekolah yang menyimpan daftar siswa dan guru yang mengikuti karyawisata tiga tahun lalu.
Dari daftar itu, mereka menemukan nama seorang guru yang telah pensiun mendadak tak lama setelah kejadian. Namanya Pak Budi, mantan guru olahraga.
"Kita harus bicara dengan Pak Budi," usul Lala. "Dia mungkin tahu sesuatu yang tidak dicatat dalam laporan resmi."
Mereka melacak Pak Budi hingga ke rumahnya yang sederhana di pinggiran kota. Awalnya, Pak Budi enggan berbicara. Wajahnya berubah pucat ketika Aisha menyebut nama kakaknya. "Aku tidak ingin terlibat lagi," katanya dengan suara gemetar. "Aku sudah mencoba melupakan semuanya."
Namun, ketika Aisha menunjukkan salah satu puisi kakaknya yang berbicara tentang "pengkhianatan dalam senyap," yang menyiratkan keterlibatannya, Pak Budi akhirnya luluh. Dengan suara bergetar, akhirnya ia mulai buka mulut.
"Kecelakaan itu bukan murni kecelakaan," katanya pelan.
"Ada ketegangan di antara beberapa guru dan panitia karyawisata. Kakakmu, Dina, mendengar sesuatu yang seharusnya tidak ia dengar—rencana untuk menutupi penyalahgunaan dana sekolah. Dina berani bertanya kepada kepala sekolah waktu itu. Dia terlalu pintar menurut mereka, untuk bisa dibungkam begitu saja."
Pak Budi melanjutkan dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tapi aku ingat betul bahwa rute bus diubah pada menit terakhir oleh kepala sekolah. Tidak ada yang tahu alasannya, dan aku terlalu takut untuk bertanya."
“Kepala sekolah?”
“Setidaknya, itu yang pernah saya dengar desas desusnya” ujar Pak Budi mencoba meralat karena ketakutan dianggap terlibat karen mengetahui faktanya.
Mendengar ini, Aisha merasa marah sekaligus sedih. "Jadi mereka sengaja membuat bus itu celaka? Untuk menutupi kesalahan mereka?"
Pak Budi bimbang meskipun akhirnya mengangguk pelan. "Aku tidak punya bukti, tapi aku yakin itu disengaja. Dan setelah kecelakaan itu, semua orang yang tahu sesuatu dipaksa diam. Termasuk aku."
Pengakuan itu meskipun belum didukung bukti, setidaknya membuat Aisha, Raka, dan Lala merasa lebih dekat dengan kebenaran, tetapi juga sadar bahwa langkah mereka semakin berisiko.
Membawa kasus ini ke publik melalui media lokal mungkin sangat riskan tanpa bukti, tapi mereka juga sulit karena tak ada jalan lain.
Kekuatiran mereka terbukti, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, ancaman baru muncul.
Ancaman kembali mereka terima, dengan pesan mengerikan: selembar kertas dengan tinta merah yang bertuliskan, "Hentikan sekarang, atau nyawa kalian menjadi taruhannya." Pesan itu dibubuhi inisial, "A."
Raka gemetar membaca pesan itu. "Apa maksudnya? Aisha, bukankah itu inisialmu?"
Aisha terdiam, tatapannya penuh kebingungan dan ketakutan. "Aku tidak tahu siapa yang menulis ini. Tapi ini bukan aku."
Situasi semakin mencekam dan membingungkan. Malam itu, mereka bertiga memutuskan untuk beraksi di sekolah, berharap mendapatkan jejak siapa pun yang menempelkan ancaman tersebut. Namun, alih-alih pelaku, mereka mendengar sesuatu yang jauh lebih aneh.
Di sekitar pohon besar tempat Aisha biasa menulis, terdengar suara samar, seperti seseorang berbisik. Suara itu menyerukan nama Dina berulang kali.
Rasa penasaran membuat mereka seolah tak punya pilihan, mereka mengendap mendekati pohon itu, dan menemukan sesuatu yang mengejutkan, sebuah kotak kecil terkubur di bawah akarnya yang sudah terbuka seolah baru saja dibongkar oleh seseorang atau sesuatu.
Di dalam kotak itu, mereka menemukan buku harian lama milik Dina yang penuh dengan tulisan tentang karyawisata, ketakutannya, dan tentang siapa yang terlibat dalam penyalahgunaan dana sekolah. Nama-nama itu termasuk kepala sekolah lama dan beberapa guru yang kini sudah tidak ada di sekolah.
"Kakakku meninggalkan ini sebagai petunjuk," bisik Aisha dengan suara gemetar. "Dia ingin kita tahu."
“Tapi siapa yang membongkar kotak ini dari dalam tanah?”
Tapi dengan bukti ini, mereka memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Mereka menyerahkan buku harian itu kepada seorang jurnalis senior yang dikenal kritis terhadap korupsi di lembaga pendidikan.
Berita besar pun muncul: "Misteri Kecelakaan TigaTahun Lalu di SMA Negeri Harapan: Kebenaran yang Dikubur."
Namun, dampaknya tidak seperti yang mereka duga. Sebagian besar orang terkejut, tetapi beberapa pihak yang terlibat dalam kasus itu mulai memburu mereka. Ancaman semakin nyata.
Pada puncak ketegangan, Aisha menerima sebuah pesan terakhir di papan pengumuman. Pesan itu, yang ditulis dalam puisi, berbunyi:
"Langkah ini penuh bahaya,
tapi kebenaran tak boleh sirna.
Jika kalian berhenti di sini,
mereka menang, dan aku hilang selamanya."
Ini pesan berbeda dari yang biasa Aisha terima—siapa sebenarnya penulis pesan misterius ini?.
Tak ada pilihan lain, mereka bertiga terpaksa mengambil risiko membeberkan semuanya. Buku itu menguak semuanya.
Ketika semuanya selesai, puisi-puisi misterius itu juga berhenti muncul. Aisha menemukan selembar kertas diantara gundukan tanah di bawah kamboja--sebuah puisi.
"Bintang tak lagi kesepian,
bayangan telah menemukan terang.
Dunia kini tahu kisahku,
dan aku akan tenang di sana."
Dibawah puisi itu tertanda inisial “B”. ???