Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sosok berbalut hoodie hitam berkelebat cepat, bagai bayangan yang melintas di dinding sisi bangunan perpustakaan. Ia melompati pagar yang terkunci, lalu menarik sepedanya dari semak bambu kuning di sisi kanan pintu masuk sekolah.
“Puisi-puisi itu lagi…” gumam Pak Martunis, penjaga sekolah, saat melihat papan pengumuman dipenuhi lembaran puisi. Ia pun segera mengirim pesan WA kepada Raka, si ketua OSIS.
Papan pengumuman SMAN Mahardika, yang biasanya hanya berisi jadwal ujian dan informasi kegiatan, mendadak viral setiap hari Senin. Semua gara-gara puisi-puisi tak bertuan yang menutupi seluruh papan tanpa menyisakan sedikit pun ruang kosong.
Sudah dua minggu berturut-turut, setiap Senin pagi, puisi-puisi misterius itu terpampang rapi di sana. Tak ada yang tahu siapa penulisnya. Tak ada tanda tangan, tak ada petunjuk. Hanya deretan kata-kata indah yang seolah berbicara langsung kepada setiap pembacanya.
Awalnya, siswa-siswi hanya menatapnya biasa saja—seperti konten mading yang sering diisi anak-anak ekskul Mahardika News. Namun, semakin banyak puisi yang muncul, misterinya semakin menyita perhatian. Bahkan OSIS sampai merasa perlu turun tangan.
Raka memutuskan untuk menyelidiki.
“Kita nggak bisa biarkan ini jadi teka-teki. Siapa tahu ini bentuk protes atau pesan penting,” ujarnya saat memimpin rapat OSIS.
Sayangnya, penyelidikan pertama mereka gagal total. Tak ada seorang pun yang melihat siapa yang menempelkan puisi-puisi itu. CCTV sekolah yang hanya berfungsi setengah hati pun tidak memberi rekaman apa-apa. Siswa yang datang paling pagi juga tidak menemukan siapa pun di sekitar papan pengumuman.
Di Senin ketiga, OSIS mencoba strategi baru. Mereka memutuskan berjaga di sekolah, tidur di aula dengan alasan latihan persiapan lomba. Bela-belain dimakan nyamuk ganas, mereka bersembunyi demi menangkap basah “penyair misterius” itu.
Namun, hasilnya tetap nihil. Pagi harinya, puisi baru tetap ada di papan pengumuman—seolah-olah muncul dari udara.
“Rasanya kok makin serem…” bisik Lala saat membaca puisi terbaru. Kali ini, puisi itu berbicara tentang bintang yang kesepian dan bayangan yang mengintai di kegelapan. Puisi-puisi itu memang selalu indah, tetapi ada aura mistis yang menyertainya.
Belakangan, muncul desas-desus baru di sekolah. Beberapa siswa mulai mengaitkan puisi-puisi itu dengan cerita horor tentang sekolah mereka.
Konon, ada seorang gadis cantik yang sering terlihat berjalan sendirian di malam hari di sekitar pohon besar, di samping kelas XI. Cerita itu hanya bersumber dari satu orang—Pak Martunis, si penjaga sekolah.
Sejak lama, pohon itu dipercaya sebagai tempat “penunggu” sekolah. Beberapa siswa yang pernah melihat gadis itu mengaku kehilangan ingatan sesaat atau merasa pusing. Ada juga yang tiba-tiba berdiri memberi salam ke arah pohon, lalu tidak bisa mengingat apa pun saat disadarkan oleh Pak Moli, pembimbing Rohis sekolah.
“Jangan-jangan ini ulah si penunggu sekolah!” seru Riko, siswa kelas X yang memang dikenal suka halu. “Dia ingin menyampaikan sesuatu lewat puisi.”
“Bisa jadi… Tapi pesan untuk siapa?” Raka mulai terbawa oleh pemikiran Riko.
Namun, Lala, sekretaris OSIS, tak mau percaya begitu saja.
“Kalau itu hantu, kenapa puisinya begitu manusiawi? Ada kesedihan, kerinduan, dan keindahan yang nggak mungkin dibuat oleh makhluk tak bernyawa. Ini pasti karya seseorang di antara kita,” ujarnya tegas.
***
Hari Sabtu berikutnya, sesuatu yang aneh terjadi. Saat anggota OSIS datang untuk memeriksa papan pengumuman, semua puisi dari minggu lalu telah diganti dengan yang baru. Ini mematahkan pola sebelumnya, sebab selama ini puisi selalu muncul setiap hari Senin.
Raka meremas rambutnya frustasi.
“Dia tahu kita mengawasi. Siapa pun dia, dia cerdas.”
Lala memperhatikan sesuatu yang selama ini diabaikan oleh semua orang. Ada tanda kecil di setiap puisi—sebuah simbol terselip di antara bait-baitnya. Sekilas tampak seperti noktah atau kesalahan cetak biasa.
“Ini pasti petunjuk…” bisik Lala pada dirinya sendiri.
Malam itu, Lala memutuskan untuk menyelidiki seorang diri. Ia yakin kalau ada apa-apa, Pak Martunis, penjaga sekolah, pasti bisa membantu. Dengan membawa senter, dia kembali ke sekolah ketika semua orang sudah pulang.
Dia berjalan perlahan ke arah pohon besar di samping kelas XI. Hawa malam terasa dingin dan angin berdesir lembut, membuat dedaunan bergesekan dan menghasilkan suara aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Begitu melewati belokan ruang gudang, di dekat pohon, Lala tertegun. Napasnya tercekat saat matanya menangkap sesuatu di bawah sinar temaram lampu pojok gudang. Ada sosok yang bersandar di batang pohon, memegang sebuah buku di tangannya.
Lala memicingkan mata, mencoba memastikan penampakan itu, lalu mendekat perlahan. Rambut panjang yang terurai membuat sosok itu tampak familiar. Gadis itu terlihat tenang, seperti sedang menulis sesuatu.
“Kamu…,” suara Lala nyaris tak terdengar, tapi gadis itu menoleh.
Lala terperangah. Dia mengenalinya—Aisha, siswa kelas XII yang terkenal pendiam dan jarang bergaul.
“Kenapa malam-malam kamu di sini, Sha?” tanya Lala heran. Sebuah dugaan langsung melintas di pikirannya.
“Kamu penulis puisi itu?”
Aisha tersenyum tipis. “Kenapa kamu ada di sini, La?” tanyanya balik, suaranya tenang.
“Aku ingin tahu siapa yang menulis puisi-puisi itu. Jadi… itu kamu?”
Aisha menutup bukunya pelan, lalu menatap Lala dengan pandangan dalam.
“Aku hanya ingin menulis tanpa diketahui. Aku nggak ingin puisiku jadi sorotan atau dianggap aneh.”
“Tapi… di sini gelap?” Lala menelan ludah.
“Aku nggak butuh cahaya. Ada mata yang menuntunku,” jawab Aisha lirih. Suaranya begitu tenang, tapi hawa dingin tiba-tiba menyelimuti Lala, membuat bulu kuduknya berdiri tanpa komando.
“Maksudmu…?” tanya Lala pelan. Tapi Aisha bergeming, lalu melangkah melewati Lala begitu saja.
“Tapi kenapa puisi-puisimu di papan pengumuman sekolah? Kenapa nggak di mading? Kenapa harus diam-diam?” serbu Lala lagi, rasa penasarannya kian memuncak.
Aisha tertawa kecil. Tawa itu terdengar ganjil, seperti bukan keluar dari bibirnya—melainkan suara lain yang menggema entah dari mana.
“Jangan bodoh, La. Aku mau puisiku ditemukan… bukan sekadar dipajang. Aku ingin semua orang merasa seperti menemukan sesuatu. Sesuatu yang tidak terduga.”
“Tapi… kenapa kamu nggak mau mengaku? Kenapa tidak menunjukkan bahwa itu karyamu?” Lala masih belum puas.
Aisha menghela napas. “Kamu pikir aku cari ketenaran? Aku cuma cari kebenaran. Aku takut… takut orang akan menghakimi. Takut mereka nggak mengerti. Puisi-puisi itu adalah bagian dari diriku. Aku nggak siap kalau mereka menolak. Nggak siap kalau mereka tahu.”
“Maksudmu…?” Lala membeku, menatap mata Aisha. Ada sesuatu di tatapan itu—sesuatu yang menusuk hingga ke dalam hati. Seolah ada mata lain yang tersembunyi di balik sorot mata Aisha.
Lala diam. Ia bisa merasakan hawa aneh yang merayap di sekitarnya. Udara malam terasa lebih dingin, menusuk kulitnya seperti jarum halus.
“Tapi kamu tahu nggak? Banyak orang di sekolah menyukai puisimu. Mereka penasaran… bahkan ada yang terinspirasi.”
Aisha tersenyum samar. “Aku senang mendengarnya. Tapi biarkan aku tetap jadi misteri. Setidaknya… untuk sekarang.”
Lala hanya mengangguk pelan. Ia merasa tak perlu memaksa Aisha untuk berubah. Ada sesuatu pada gadis itu—sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Sudahlah… ayo kita pulang,” ajak Lala akhirnya. Ia membiarkan Aisha berjalan di depan, sementara pikirannya berkecamuk penuh tanda tanya.
Ada apa dengan pohon kamboja itu?
***
Sesuatu yang ganjil muncul ketika Senin berikutnya, puisi baru terpampang di papan pengumuman. Kali ini, ada tambahan simbol kecil di bawahnya: sebuah lingkaran dengan inisial “A.”
Bagi sebagian besar siswa, itu masih misteri. Namun bagi Lala, itu adalah langkah kecil Aisha untuk perlahan membuka jati dirinya.
Misteri ini rupanya belum selesai. Malam harinya, Raka memeriksa galeri fotonya. Siang tadi, ia memotret setiap puisi yang ditempel di papan pengumuman dan mencoba menelisik setiap detailnya. Ada sesuatu yang terasa aneh pada salah satu foto, tapi ia tidak yakin apakah itu hanya sebuah gambar, atau sekadar pola dari simbol.
Raka lalu menunjukkan foto itu kepada adiknya, Maysha—siswi di sekolah sebelah yang tergila-gila dengan Detektif Conan.
Maysha mengamati detail foto itu dengan seksama, membolak-balik ponsel Raka. Ia membaca kombinasi huruf itu berulang-ulang, hingga akhirnya berseru, “Kak! Ini membentuk sebuah nama. Nama seorang perempuan.”
Raka terpaku. Nama itu bukan sembarang nama. Itu adalah nama yang selama ini menjadi bagian dari cerita mistis di sekolah mereka.
Nama itu milik seorang gadis yang dikenal sebagai “hantu cantik,” sosok yang sering dibicarakan para siswa. Gadis itu adalah kakak Aisha yang meninggal tiga tahun lalu dalam kecelakaan tragis saat karyawisata sekolah.
“Jadi… puisi-puisi ini…” Raka bergumam, mencoba memahami semuanya.
“Ini tentang dia?”
Kini misteri semakin dalam. Apakah puisi-puisi itu adalah bentuk penghormatan Aisha kepada kakaknya? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang ingin disampaikan?
Raka dan Maysha memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh—meski jawaban yang mereka temukan mungkin lebih menyeramkan daripada yang mereka bayangkan.
Aisha akhirnya membuka rahasia yang selama ini ia pendam kepada Raka. Puisi-puisi itu bukan sekadar ungkapan jiwa, tetapi pesan-pesan tersembunyi dari kakaknya yang telah meninggal.
“Kakakku meninggalkan banyak pesan yang belum selesai,” ucap Aisha dengan suara bergetar.
“Dia ingin seseorang tahu bahwa ada kejahatan yang terjadi tiga tahun lalu. Bahwa kematiannya bukan kecelakaan murni.”
Raka mendengarkan pengakuan itu dengan jantung berdebar. “Kejahatan apa? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Aisha menatapnya tajam. “Kakakku menjadi korban dari rahasia kelam masa lalu. Dan kamu, Raka… kamu pasti tahu sesuatu tentang itu. Alasan kenapa puisi-puisi ini baru muncul sejak kamu menjadi ketua OSIS. Ini ada hubungannya dengan masa lalu kakakku?”
Raka tercekat. Kata-kata Aisha mengguncang pikirannya. Apakah selama ini ada sesuatu yang ia abaikan? Sesuatu yang tidak ia sadari adalah sebuah kejahatan tersembunyi? Atau… apakah ia sebenarnya tahu lebih banyak dari yang ia kira?
Pikirannya dipenuhi pertanyaan dan kenangan samar yang mulai bermunculan. Ia mencoba mengingat kembali kejadian tiga tahun lalu—meski saat itu ia masih kelas tiga SMP di sekolah sebelah, hanya dipisahkan pagar kawat yang bisa dilintasi siapa pun dengan mudah.
“Apa kaitannya denganku?” tanyanya ragu.
Aisha melanjutkan dengan nada lebih tegas, “Aku menemukan buku harian kakakku di kamar yang tidak pernah lagi dimasuki sejak dia meninggal. Di dalamnya, ada catatan tentang tekanan yang dia alami. Ada sesuatu tentang perjalanan itu yang dia takutkan, tapi dia tidak pernah menjelaskan secara detail.”
Raka menggeleng, mencoba menyangkal. “Aku tidak tahu apa-apa, Aisha. Aku bahkan tidak pernah mendengar cerita ini sebelumnya.”
“Tapi catatan di buku itu menyebutkan namamu… dan mengatakan kamu tahu sesuatu,” jawab Aisha, setengah memaksa.
“Mungkin kamu nggak sadar, tapi kamu pasti punya kaitan.”
Raka mulai gelisah. “Kalau ini tentang sesuatu yang terjadi tiga tahun lalu, bagaimana aku bisa membantu? Aku hanya mencoba mencari tahu siapa penulis puisi-puisi ini.”
Semakin Raka mencoba mengingat, semakin ia merasa tersesat dalam kepingan kenangan yang tak jelas ujungnya.
“Aku juga tidak tahu pasti bagaimana semuanya terhubung,” kata Aisha. “Tapi kakakku ingin kita mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia ingin kebenaran terungkap. Aku pikir, puisi-puisi ini adalah caranya memberitahu kita.”
Setelah percakapan itu, Raka merasa dirinya terseret lebih dalam ke dalam misteri yang tak pernah ia bayangkan.
Ia mulai menggali informasi lebih jauh, berbicara dengan guru-guru lama yang masih mengingat insiden tiga tahun lalu. Dari salah satu guru sejarah, Bu Mirna, Raka mendengar sebuah cerita yang mengejutkan.
“Kecelakaan itu selalu terasa aneh bagiku,” ucap Bu Mirna, yang saat itu ikut dalam karyawisata. “Bus yang membawa siswa seharusnya tidak melaju di jalur itu. Sopir bilang dia hanya mengikuti arahan seseorang dari sekolah. Tapi sampai sekarang, kami tidak pernah tahu siapa yang memberi arahan itu. Anehnya, setelah kecelakaan, semua ditutup begitu cepat.”
“Maksud Ibu?” tanya Raka.
Bu Mirna hanya menggeleng. “Itu hanya firasatku… tidak ada bukti.”
Informasi itu membuat rasa penasaran Raka semakin besar. Ia mulai mendalami arsip-arsip lama sekolah, mencoba menyusun potongan-potongan peristiwa. Perlahan, ia menemukan sesuatu yang lebih mengerikan. Ada beberapa nama siswa dan guru yang tercatat dalam peristiwa itu, tetapi kemudian menghilang dari data sekolah tanpa jejak.
Sementara itu, Aisha terus menulis puisi-puisi baru. Setiap baitnya semakin sarat pesan tersembunyi, seolah ada campur tangan sesuatu yang lebih besar. Salah satu puisinya berbunyi:
Di jalan berliku,
ada bayangan terselubung.
Kebenaran dikubur dalam-dalam,
tapi sang cahaya akan membangkitkannya.
Bila engkau mendengar suaraku,
hentikan mereka yang mencoba menghapus ingatan dunia.
Raka membaca puisi itu dengan cermat. Ia mulai menyadari, ini bukan sekadar ungkapan hati—ini adalah sebuah panggilan untuk bertindak.
Ia pun menemui Aisha di bawah pohon besar sekolah. “Baiklah, Aisha,” katanya mantap. “Aku akan membantumu. Tapi kita harus membuka semua yang tersembunyi… meski itu menyakitkan.”
Aisha mengangguk, matanya dipenuhi tekad dan rasa penasaran yang belum terjawab.
“Kakakku pantas mendapatkan keadilan. Kita tidak boleh berhenti sampai semuanya terungkap.”
***
Semuanya jelas tidak mudah. Seperti layaknya kerja detektif atau polisi yang harus mengorek informasi yang entah di mana tersembunyi—nyaris tanpa jejak berarti.
Mereka berdua berusaha menanyai saksi-saksi lama, mengumpulkan bukti, dan menyusun kembali peristiwa dari potongan-potongan puisi serta informasi yang mereka temukan. Sedikit demi sedikit, mereka menemukan bahwa kecelakaan itu memang bukan kecelakaan biasa. Ada kejahatan yang disengaja, dan pelakunya masih berada di sekitar mereka.
Namun, mereka hanya bekerja amatiran. Saat kebenaran semakin mendekat, bahaya pun mulai mengintai. Orang-orang yang mencoba menutupi masa lalu itu mulai menyadari upaya mereka untuk membongkar luka lama—mungkin ini bagian dari sebuah konspirasi.
Aisha bahkan menerima ancaman dalam bentuk surat tanpa nama yang tertempel di papan pengumuman, tersembunyi di antara puisi-puisi yang terpajang. Surat itu berbunyi:
“Hentikan, atau kamu akan berakhir seperti kakakmu.”
Orang-orang mengira itu hanya bagian dari puisi. Namun bagi Aisha, itu adalah pesan jelas dari seseorang yang merasa terancam.
“Kita nggak bisa berharap pada CCTV,” ujar Raka.
Ancaman itu justru semakin membuat Aisha dan Raka penasaran. Mereka sadar bahwa waktu mereka terbatas. Misteri ini harus diselesaikan sebelum sesuatu yang buruk terjadi lagi. Apalagi, mereka mulai menyadari bahwa musuh yang sebenarnya ada di sekeliling mereka dan sulit dideteksi.
Mau tak mau, Aisha dan Raka memutuskan mereka tidak lagi bisa bekerja sendiri. Ini bukan kasus sederhana—bisa jadi ini adalah perkara pidana.
Mereka kemudian melibatkan Lala, sekretaris OSIS yang dikenal tajam analisisnya dan punya akses ke banyak data sekolah. Setelah menceritakan segalanya, Lala setuju untuk bergabung. Namun, ia memilih bergerak seperti bayangan—tidak berpihak ke mana pun dalam misteri ini, agar tidak dicurigai oleh siapa pun.
Langkah pertama mereka adalah mencari tahu siapa saja yang hadir saat kecelakaan terjadi. Lala menggunakan koneksi OSIS untuk mendapatkan arsip lama sekolah berisi daftar siswa dan guru yang ikut karyawisata tiga tahun lalu.
Dari daftar itu, mereka menemukan nama seorang guru yang pensiun mendadak tak lama setelah kejadian: Pak Budi, mantan guru olahraga.
“Kita harus bicara dengan Pak Budi,” usul Lala. “Dia mungkin tahu sesuatu yang tidak tercatat dalam laporan resmi.”
Mereka melacak Pak Budi hingga ke rumahnya yang sederhana di pinggiran kota. Awalnya, Pak Budi enggan berbicara. Wajahnya pucat ketika Aisha menyebut nama kakaknya.
“Aku nggak mau terlibat lagi,” katanya dengan suara gemetar. “Aku sudah mencoba melupakan semuanya.”
Namun, ketika Aisha menunjukkan salah satu puisi kakaknya yang berbicara tentang “pengkhianatan dalam senyap”—sebuah bait yang menyiratkan keterlibatan Pak Budi—guru tua itu akhirnya luluh. Dengan suara bergetar, ia mulai membuka mulut.
“Kecelakaan itu bukan murni kecelakaan,” ujarnya pelan.
“Ada ketegangan di antara beberapa guru dan panitia karyawisata. Kakakmu, Dina, mendengar sesuatu yang seharusnya tidak ia dengar—rencana untuk menutupi penyalahgunaan dana sekolah. Dina berani bertanya kepada kepala sekolah waktu itu. Dia terlalu pintar, terlalu berani… menurut mereka, dia harus dibungkam.”
Pak Budi menghela napas, matanya berkaca-kaca.
“Aku nggak tahu pasti apa yang terjadi selanjutnya. Tapi aku ingat rute bus diubah pada menit terakhir oleh kepala sekolah. Tak ada yang tahu alasannya, dan aku terlalu takut untuk bertanya.”
“Kepala sekolah?” tanya Raka, matanya menyipit.
“Itu hanya desas-desus… setidaknya, itu yang kudengar,” Pak Budi meralat ucapannya karena takut dianggap terlibat.
Mendengar itu, Aisha merasa marah sekaligus sedih.
“Jadi mereka sengaja membuat bus itu celaka? Hanya untuk menutupi kesalahan mereka?”
Pak Budi diam sejenak, lalu mengangguk pelan.
“Aku nggak punya bukti. Tapi aku yakin… itu disengaja. Setelah kecelakaan itu, semua orang yang tahu sesuatu dipaksa diam. Termasuk aku.”
Pengakuan itu, meski belum didukung bukti, membuat Aisha, Raka, dan Lala merasa mereka semakin dekat dengan kebenaran. Namun, mereka juga sadar langkah ini sangat berisiko.
Membawa kasus ini ke publik melalui media lokal mungkin terlalu berbahaya tanpa bukti kuat. Tapi jalan lain juga tidak ada.
Ketakutan mereka terbukti. Sebelum bisa bergerak lebih jauh, ancaman baru muncul. Kali ini lebih mengerikan: selembar kertas bertinta merah dengan tulisan:
“Hentikan sekarang, atau nyawa kalian jadi taruhannya.”
Di sudut bawah kertas itu ada inisial “A.”
Raka gemetar membaca pesan itu.
“Apa maksudnya? Aisha, bukankah itu inisialmu?”
Aisha terdiam. Tatapannya dipenuhi kebingungan dan ketakutan.
“Aku nggak tahu siapa yang menulis ini. Tapi ini bukan aku.”
Situasi semakin mencekam. Malam itu, mereka bertiga memutuskan untuk beraksi di sekolah, berharap mendapat jejak siapa pun yang menempelkan ancaman tersebut. Namun, alih-alih menemukan pelaku, mereka justru mendengar sesuatu yang jauh lebih aneh.
Di sekitar pohon besar tempat Aisha biasa menulis, terdengar suara samar. Seperti bisikan seseorang yang terus menyerukan nama “Dina” berulang kali.
Rasa penasaran membuat mereka mendekat dengan hati-hati. Di bawah akar pohon kamboja yang sedikit terbuka, mereka menemukan kotak kecil terkubur. Seolah-olah baru saja dibongkar oleh seseorang… atau sesuatu.
Di dalam kotak itu, mereka menemukan buku harian lama milik Dina. Halamannya penuh dengan catatan tentang karyawisata, ketakutannya, dan daftar nama-nama yang terlibat dalam penyalahgunaan dana sekolah. Di antara nama-nama itu, tertulis: kepala sekolah lama dan beberapa guru yang kini sudah tidak ada di sekolah.
“Kakakku meninggalkan ini sebagai petunjuk,” bisik Aisha dengan suara gemetar. “Dia ingin kita tahu.”
“Tapi… siapa yang membongkar kotak ini?” tanya Lala, merasa merinding.
Meski diliputi rasa takut, mereka menyerahkan buku harian itu kepada seorang jurnalis senior yang terkenal kritis terhadap korupsi di lembaga pendidikan.
Berita besar pun muncul:
“Misteri Kecelakaan Tiga Tahun Lalu di SMA Negeri Harapan: Kebenaran yang Dikubur.”
Namun, dampaknya tidak seperti yang mereka bayangkan. Sebagian orang terkejut, tapi beberapa pihak yang terlibat mulai memburu mereka. Ancaman terasa semakin nyata.
Di puncak ketegangan, Aisha menerima sebuah pesan terakhir di papan pengumuman. Pesan itu, yang ditulis dalam bentuk puisi, berbunyi:
Langkah ini penuh bahaya,
tapi kebenaran tak boleh sirna.
Jika kalian berhenti di sini,
mereka menang, dan aku hilang selamanya.
Ini adalah pesan yang berbeda dari biasanya. Siapa sebenarnya penulis pesan misterius ini?
Tak ada pilihan lain. Mereka bertiga terpaksa mengambil risiko besar untuk membuka semuanya. Buku harian itu menguak segalanya.
Ketika semuanya selesai, puisi-puisi misterius itu pun berhenti muncul. Suatu sore, Aisha menemukan selembar kertas di bawah gundukan tanah pohon kamboja—sebuah puisi terakhir:
Bintang tak lagi kesepian,
bayangan telah menemukan terang.
Dunia kini tahu kisahku,
dan aku akan tenang di sana.
Di bawah puisi itu, tertulis inisial “B.”