Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kotak Kecil yang Kelam
Dengan rasa penasaran, segera aku membuka kotak itu. Alangkah terkejutnya aku saat melihat isi di dalamnya. Jantungku berdegup kencang, napasku sesak, tangan ku gemetar, mulutku seakan terkunci, dan air mataku jatuh. Tak ku sangka kotak sekecil itu menyimpan rahasia yang sangat besar.
Aku sangat lelah. Bertahun-tahun aku berbicara kepada cermin. Aku sering kali menangis di depan cermin. Selama ini, cerminlah yang selalu memelukku dan mengukir senyum di wajahku. Cermin itu ku letakkan di atas meja rias yang ada di kamarku. Ia ku letakkan tepat di sebelah kasurku. Aku selalu berbincang dengannya tak kenal waktu sampai ibu menegurku dan menyuruhku keluar dari kamar.
Kemarin malam, aku ingat betul saat aku keluar dari kamar mandi, aku mendengar lirih tangisan. Ku ikuti suara itu yang membawaku tepat di depan kamar ibu. Di sela pintu, samar-samar ku lihat ibu sedang menangis di depan lemari dengan suara pelan, “Mengapa ibu menangis? Mengapa ibu beberapa kali melihat ke dalam lemari itu? Dan apa yang ada di dalam lemari itu?” Aku ingin masuk untuk menenangkan ibu, namun aku tiba-tiba teringat kejadian saat pertama kali kami pindah ke rumah ini.
Beberapa tahun lalu, aku dan ibu pindah ke rumah yang sudah disediakan oleh nenek. Rumahnya sederhana dengan arsitektur khas Belanda yang ditopang beberapa tiang. Halamannya tidak begitu luas. Beberapa tanaman tumbuh subur membuat tampilannya asri. Namun, mengapa saat kami masuk ke dalam rumah itu, cahaya lampunya sangat redup seperti akan mati? Setelah berkeliling melihat-lihat isi rumah, kami membereskan barang-barang. Aku ditempatkan di kamar depan, sementara ibu di kamar paling ujung. Ibu beres-beres merapikan baju di lemari. Tiba-tiba aku mendengar ibu berteriak. Aku segera menuju ke kamar ibu dan mendapati ibu sedang menangis. Ku duduk di sampingnya sambil kebingungan. Aku tidak mengerti mengapa ibu menangis, tetapi melihatnya menangis membuatku ikut menangis.
Esok harinya, aku bermain sepeda di jalan depan rumah sendirian, sementara ibu memasak di dapur. Saat bermain, tiba-tiba saja mobil putih melaju dengan kecepatan tinggi ke arahku. Setelah itu, aku tidak bisa melihat apa pun selain hitam pekat. Kejadian itu seperti mimpi buruk. Aku terbangun mendapati diriku terbaring lemah di ruangan dingin yang asing. Nampak ibu dengan wajah penuh khawatir bergegas keluar memanggil dokter. Dokter datang dan melakukan berbagai macam pemeriksaan, tentunya ditemani oleh ibuku. Yang tersisa di memoriku hanya kejadian itu, selebihnya aku tidak mampu mengingat kepingan memori yang hilang. Aku sudah berusaha keras untuk mengingatnya, namun tetap saja gagal. Yang kuingat hanya ibu, nenek, dan orang-orang yang ada di dalam cermin.
Jika saja aku tidak terbangun tadi, mungkin aku tidak akan tahu ibu sedang menangis. Kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua pagi. Udara masuk dari ventilasi dan beberapa nyamuk menggigitku. Ingin sekali aku mengetuk pintu dan masuk untuk memeluk ibu, namun aku ragu. Aku takut ibu marah padaku dan malah menyuruhku untuk kembali tidur. Tapi setelah ku pikir-pikir, memang sebaiknya begitu. Aku kembali ke kamarku dengan melangkah mundur perlahan. Aku berusaha agar sebisa mungkin suara langkah kakiku tidak terdengar. Aku juga menutup pintu kamarku dengan hati-hati.
Besoknya, ibu pamit pergi ke rumah nenek. Sebenarnya ibu memintaku untuk turut serta bersamanya, namun aku menolak dengan dalih aku sibuk dan akan mengerjakan tugas. Seperti yang ibu ketahui, sebentar lagi aku akan lulus dan aku juga sedang berusaha mempersiapkan tes untuk mendapatkan beasiswa pendidikan jenjang strata 1. Namun sebenarnya itu hanya alibiku saja agar aku bisa menyelidiki apa yang membuat ibu menangis semalam. Setelah ibu pergi, aku pun menutup pintu dan bergegas ke arah kamarnya. Aku mencari ke sana kemari sesuatu yang membuat ibu menangis, namun tidak kutemukan. Aku mengangkat tumpukan baju ibu, dan tanpa sengaja sebuah kotak kecil terjatuh. Kotak itu berwarna coklat tua dengan ukiran bunga berwarna emas di sekelilingnya. Ukurannya kecil, seukuran telapak tangan orang dewasa.
Dengan rasa penasaran, segera aku membuka kotak itu. Alangkah terkejutnya aku saat melihat isi di dalam kotak itu. Jantungku berdegup kencang, napasku sesak, tangan ku gemetar, mulutku seakan terkunci, dan air mataku jatuh. Tak ku sangka kotak sekecil itu menyimpan rahasia yang sangat besar. Seketika tubuhku terkulai lemas memandangi isi kotak yang berserakan. “A-ayah, apa ini? Mengapa?” Aku gagap, otakku seolah sulit mencerna apa yang baru saja kulihat.
Dalam kotak itu kulihat beberapa foto. Nampak ayah sedang menggendong seorang anak laki-laki yang asing bagiku. Tak hanya itu, di tumpukan foto yang berserakan kulihat ayah merangkul wanita lain selain ibu. “Siapa wanita itu? Dan anak laki-laki itu? Mengapa ayah menggendongnya? Apakah..? Mengapa pikiranku seolah merangkai dan menyatukan mereka bertiga?” Aku tenggelam dalam pikiranku yang dipenuhi tanya. Di tengah kebingunganku, ibu datang. Tangisku pecah. Ibu melihatku bersama foto yang berserakan, langsung menenangkanku di peluknya sambil menangis lirih, “Kamu tidak seharusnya mengetahui ini, Nak. Ibu pun tidak ingin ini terjadi. Ibu sudah memaafkan ayahmu, ibu harap kamu juga begitu.” Tak bisa kubayangkan perasaan ibu saat mengetahui ayah berkhianat. Selama ini ibu memendam dan menyimpan semuanya sendiri. Dengan terbongkarnya semua ini, aku berharap beban dan rasa sakit tidak lagi menyiksa ibu.
Setahun berlalu, kini aku sudah menduduki kursi impianku di universitas terbaik di kotaku. Terkadang aku merasa sedih apabila aku mengingat kejadian itu namun aku rasa memang sebaiknya aku berani melangkah meskipun aku hanyalah seorang gadis yang tumbuh tanpa peran dari seorang pria yang selalu menjadi pahlawan bagi anak perempuan.
Aku melangkahkan kaki menuju masa depan yang lebih indah dan berharap semoga aku tidak lagi bertemu dengan ayah. Terdengar seperti orang yang sangat benci namun percayalah itu adalah bentuk dari caraku memaafkannya serta aku berharap tidak lagi berteman dengan rasa trauma yang sudah menghantui ibu selama ini.
Hari ini aku akan bertemu dengan seseorang yang tidak sengaja aku tabrak di pintu perpustakaan pekan lalu, dia adalah seorang lelaki dengan senyum manis di pipinya, warna hitam legamnya membuat diriku tak bisa fokus, entah mengapa aku merasa seperti mendengar suaranya meskipun aku telah tertidur. Hmm yaa aroma parfumnya membuatku selalu terbayang wajahnya.
Menurutku dia adalah seorang yang cerdas, aku tidak ingat kapan terakhir kali mengobrol dengan seseorang yang memiliki seluruh isi bumi di kepalanya. Dia sangat cerdas sehingga membuat diriku tenggelam dalam obrolan. Aku berharap aku tidak merasakan hal manis ini sendiri.