Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
1.
Malam ini Jakarta seperti biasa: berisik tapi sepi.
Lampu-lampu jalan berkedip seperti detak jantung yang dipaksa tetap hidup. Aku berdiri di balik jendela apartemen lantai dua puluh tujuh, memandangi pendar merah dari rem kendaraan yang terjebak macet. Kota ini tidak pernah benar-benar tidur, tapi tidak juga benar-benar bangun.
Namaku Aluna. Umur tiga puluh dua. Aku pernah mencintai hidupku. Lalu aku jatuh cinta pada malam, lalu jatuh pada sunyi, lalu jatuh pada sesuatu yang lebih gelap dari itu.
Aku tidak tahu pasti kapan semuanya mulai berputar terlalu cepat. Mungkin ketika aku menulis lima belas artikel dalam dua hari tanpa tidur. Mungkin ketika aku menelepon teman lamaku jam tiga pagi hanya untuk bicara tentang rasi bintang. Atau ketika aku berdiri di rooftop apartemen sambil tertawa dan merasa seperti dewi malam.
Mereka bilang itu hipomania. Aku menyebutnya "musim mekar."
Lalu datang musim gugur— yang jatuhnya tidak cantik seperti di film-film.
2.
Hari keempat tidak mandi. Binar, kucingku, mulai mencium bau asing dari tubuhku. Ia menjauh. Di notifikasi laptop, ada lima belas email dari kantor. Semua belum kubaca. Ada satu dari HR, mungkin berisi: "Kak Aluna, kamu baik-baik saja?"
Aku menulis tentang kesehatan mental untuk pekerjaan. Ironis, ya?
Kadang aku merasa seperti aktor di dalam pertunjukan yang kutulis sendiri: menasihati orang untuk merawat diri, sementara aku sendiri tidak bisa bangun dari kasur.
Jam lima sore, aku akhirnya bangkit, bukan karena ingin hidup, tapi karena ingin menghindari kematian yang terlalu cepat. Aku memasukkan kopi instan ke dalam cangkir—tanpa gula. Tawar, seperti hari-hariku.
3.
“Aku baik-baik saja,” jawabku pada Dita lewat WhatsApp. Dia temanku satu-satunya yang tahu soal bipolar ini. "Kamu bohong lagi," balasnya. "Kita ketemu yuk. Aku bawain nasi padang."
Aku hampir menulis: “Enggak usah repot.” Tapi tangan kananku bergerak lebih cepat dan menulis: “Datanglah.”
Kadang aku ingin seseorang datang. Kadang aku takut mereka datang. Bipolar, menurutku, bukan cuma soal naik dan turun. Tapi tentang hidup di dua dimensi yang saling menggerogoti: percaya diri dan hina diri. bercahaya dan membusuk.
4.
Dita datang jam tujuh malam. Membawa nasi padang, tisu basah, dan vitamin. “Kau manusia, bukan mesin tulis,” katanya sambil menyuapiku rendang. Aku tersenyum sedikit.
“Kamu tahu rasanya tidur dua jam dan bangun dengan ide lima novel sekaligus?” tanyaku. Dita mengangguk. “Tapi kamu juga tahu rasanya enggak bisa cuci muka tiga hari, kan?”
Kami diam. Televisi menyala, menampilkan iklan sabun. Hidup terasa absurd.
“Lo harus ke psikiater lagi, Lun,” katanya. Aku tidak menjawab.
Malam itu, setelah Dita pulang, aku menatap wajahku di cermin. Pucat. Mata sembab. Tapi masih ada sisa cahaya kecil. Seperti lilin yang tak mau mati.
5.
Beberapa hari kemudian aku “naik” lagi. Menulis sepanjang malam. Bersih-bersih apartemen sambil menyetel lagu Tulus keras-keras. Bahkan balas semua email yang menumpuk.
Aku merasa hidup lagi. Terlalu hidup, mungkin. Aku menyapa satpam dengan semangat. Membeli buku puisi dan menganggapnya wahyu. “Aku ingin jatuh cinta lagi!” kataku di Twitter.
Tapi aku tahu: ini hanya puncak semu. Setelahnya, aku akan jatuh. Lagi.
6.
Aku tidak ingin menjadikan penyakit ini sebagai identitasku. Tapi aku juga tidak bisa terus memungkirinya.
Bipolar bukan kutukan. Tapi juga bukan anugerah. Ia seperti kota ini—selalu bergerak, kadang berlebihan, kadang macet total. Kadang kamu merasa bisa menaklukkan seluruh langit Jakarta. Kadang kamu bahkan tidak bisa bangun untuk mencuci piring.
7.
Suatu malam, jam tiga dini hari, aku turun ke jalan. Aku hanya ingin merasakan tanah. Duduk di halte kosong, melihat lampu-lampu jalan berkedip pelan.
Seorang ibu tua menyapu trotoar. Ia menatapku sekilas. “Kok bengong, Nduk?” katanya. Aku tidak tahu harus jawab apa. “Mencari jalan pulang,” kataku akhirnya.
Dia tertawa kecil. “Pulang itu kadang bukan soal tempat. Tapi soal siapa yang nyambut.”
8.
Aku pulang ke apartemen. Menyalakan laptop. Membuka dokumen kosong.
Lalu mulai menulis. Tentang kota yang tidak pernah tidur. Tentang perempuan yang terus bangkit meski sering jatuh. Tentang hidup yang tidak selalu lurus—tapi tetap layak diperjuangkan.
Dan saat fajar datang, aku masih hidup. Masih menulis. Masih di sini.
9.
Tapi relaps tidak menunggu aba-aba. Seminggu setelahnya, aku gagal hadir di tiga meeting penting. Managerku mengirim pesan panjang: sopan, tapi jelas kecewa. Binar menumpahkan air dan aku hanya menatap tanpa reaksi. Aku lupa cara bicara. Lupa cara menyapa. Lupa cara hidup.
Hari itu aku menatap jendela terbuka. Tinggi sekali. Angin sore masuk, membawa bau debu kota dan kemungkinan. Aku berdiri di ambang jendela selama tujuh menit.
Tidak melompat. Tapi juga tidak benar-benar kembali ke dalam.
10.
Dita datang tepat waktu seperti selalu. Membawaku kembali ke tempat terapi. Psikiaterku, dr. Hadi, bicara perlahan. Tangannya seperti batu yang hangat. Ia tidak menasihati. Ia hanya diam sampai aku bicara.
“Rasanya aku tidak punya tempat di dunia,” kataku.
“Kadang dunia mengecil,” katanya. “Tapi kamu tetap utuh.”
Aku menangis. Bukan karena sedih, tapi karena kalimat itu terdengar seperti rumah.
11.
Aku kembali minum obat. Tidak ada keajaiban. Tidak ada cahaya dari langit. Tapi aku mulai bangun pagi. Menyisir rambut. Menyapu lantai.
Aku menulis satu paragraf. Lalu dua. Lalu lima.
Aku bukan sembuh. Aku hidup berdampingan. Bipolar ini bukan musuh. Bukan sahabat juga. Ia hanya penumpang yang duduk di kursi belakang mobilku.
Aku yang pegang setir sekarang.
12.
Jakarta tetap tidak tidur. Tapi aku mulai bisa istirahat. Lampu-lampu jalan masih berkedip. Tapi aku tidak terlalu silau.
Binar tidur di dekat kakiku. Aku mengetik kalimat terakhir malam ini:
"Kadang, yang membuat kita tetap hidup bukan harapan besar. Tapi satu panggilan. Satu teman. Satu napas."
Lalu aku mematikan layar, dan membiarkan malam menggendongku. Untuk pertama kalinya, dengan tenang.
Dan saat pagi datang, aku tetap di sini. Bukan sebagai pemenang, tapi sebagai penyintas yang terus belajar berjalan.
13.
Malam berikutnya, aku iseng membuka draft lama di folder laptopku. Ada naskah novel yang kutulis saat hipomania tiga tahun lalu. Aneh, penuh metafora gila, tapi jujur. Seperti diriku yang dulu.
Aku tidak menghapusnya. Aku membacanya perlahan. Di sela-sela absurditasnya, ada rasa rindu. Bukan ingin kembali ke sana, tapi ingin memahami siapa aku saat itu.
Barangkali penyembuhan bukan tentang menghapus masa lalu, tapi berdamai dengan versi dirimu yang pernah terlalu liar, terlalu luka, terlalu hidup.
14.
Dita mengirim pesan malam itu: "Lun, kalau kamu siap, ikut aku jalan-jalan ke luar kota minggu depan. Gak jauh. Sekadar lepas sebentar dari beton."
Aku membaca pesan itu sambil menatap langit malam dari balkon. Tak ada bintang, hanya kelap-kelip lampu apartemen lain.
Tapi rasanya cukup.
"Oke," jawabku. Lalu kutambahkan, "Asal kamu yang nyetir."
Di kursi belakang, aku akan duduk tenang. Menikmati jalan yang kadang berliku, kadang lengang. Tapi tetap kutempuh.
Karena hidup, seberat apa pun, masih pantas dijalani. Dan aku, Aluna, masih ada di sini. Masih belajar
mencintai hari esok.