Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jam digital di perempatan menunjukan 04:02. Angka merahnya berpendar di udara lembab, menempel di kabut seperti tato yang tak bisa dihapus.
Sudah tiga hari, waktu di kota ini tidak bergeser. Tiga hari tanpa subuh, tanpa burung, tanpa bayangan matahari. Namun mesin-mesin masih berdengung. Lalu lintas masih lewat perlahan. Orang-orang masih membuka toko, menyalakan radio, menyapa dengan wajah yang tak benar-benar sadar.
Angin membawa aroma debu dan roti setengah matang. Udara terasa menggantung, berat, napas yang tertahan di tenggorokan kota.
Di ujung jalan, Kedai 24 Jam “Amerta” berdiri dengan lampu neon yang berkelip, huruf “A”-nya sudah mati. Hanya tinggal “merta”. Kata yang terasa terlalu tepat untuk keadaan seperti ini.
Di dalamnya, Nara menuang air panas ke cangkir-cangkir kosong. Ia tidak menghitung waktu lagi. Televisi di pojok menayangkan berita yang sama seperti kemarin. Penyiar yang sama, dengan kalimat yang persis:
“Fenomena waktu stagnan masih menjadi misteri. Pemerintah meminta masyarakat tetap tenang.”
Nara mendengarkan separuh. Separuh lagi tenggelam di pikirannya sendiri. Di meja, ada tumpukan struk kosong. Setiap kali tak ada pelanggan, ia menulis sesuatu di belakangnya: potongan kalimat, dialog, kadang doa. Kebiasaanya dulu waktu masih ingin jadi penulis.
Di luar, jalanan tampak seperti film yang diputar ulang. Motor-motor melintas dengan kecepatan sama. Asapnya tak pernah benar-benar hilang, hanya mengambang di udara. Lampu lalu lintas berganti warna tanpa makna.
“Kalau waktu ber...