Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kota yang dijanjikan
2
Suka
306
Dibaca

Kabutnya telah penuh, sempurna menutupi kawah merah. Sedikit demi sedikit meneteskan embun. Dinginnya tidak lagi menusuk tulang tapi bisa membekukan otak. Dan inikah syahdu yang kau janjikan?

***

“Nanti kita kesana, menikmati sejuk dan senja di puncak Bukit Penantian,” katamu dengan mengeratkan jaketmu yang kebesaran di tubuhku. Aku bahkan mengkritisi kata penantianmu. Apa benar itu nama sebuah bukit atau hanya rekaanmu saja. Karena aku tidak sependapat dengan nama yang kau berikan. “Penantian” kenapa tidak saja puncak bukit pertemuan yang tidak perlu lagi menanti perkara yang belum menjadi kepastian. Aku bahkan berceloteh menyebutkan nama-nama yang lebih indah dari sekedar penantian. Kau hanya memilih penantian yang katamu mengasyikkan.

Karena kau bukan berperan sebagai penantian. Kau selalu dinanti. Menanti kepastianmu yang tidak berujung. Sampai ramaram bohlam redup dan terlintas dalam gelapnya angkasa ada bintang yang berlari ke utara. Ini sudah benar-benar malam tapi kau enggan mengajakku pulang. Bahkan kau memesan lagi caramillo-ku yang sudah surut.

Tidak ada hal lain selain kau ingin menikmati malammu kali ini bersamaku. Bersama pula cerita sebuah kota yang kau janjikan untuk bersama menyaksikan senja.

Kau bilang nanti saat kita berada di bukit penantian bisakah aku sesabar bunga violet yang tidak pernah layu dalam dinginnya semesta. Apakah aku bisa setegar bumi puncak tanpa ada cahaya. Dan kau bilang, aku akan melihat ujung samudra setelah datang sinar. Dan kawah merah adalah simbol kasih sayang yang tidak pernah hilang.

“Itu hanyalah sebuah dongeng yang tidak pernah mungkin kita bisa datang kesana,” kataku sembari menyeruput kembali caramillo yang disajikan lebih hangat dari yang pertama. Kau tersenyum, tidak membantah apapun.

“Setelah kau tiba di sana akan ada istana untuk kau singgahi. Bukan di bukit, hanya rumah kecil bak istana bagi orang yang lebih suka menikmati alam dari kaki bukit,” lanjutmu.

“Tapi jika semua itu sudah membahagiakanmu meski tanpa seorang pangeran…” kau bergeming. Aku mengunggu lanjutan cerita dongengmu itu.

“Sudah larut malam, habiskan caramillo setelah itu aku antar kau pulang.”

Aku sedikit terkejut. Padahal telingaku masih antusias mendengarkan lanjutan cerita dongengmu. Sedikit kecewa, tapi titahmu siapa yang bisa membantah. Toh memang malam semakin mencekam. Kuambil tas selempang merah muda di atas meja. Mengekor kau yang sudah dulu meninggalkan cerita negri dongeng di bukit penantian. Ah, tidak ada yang bisa aku cerna sedikitpun dari ceritamu sampai sebuah paket datang selang dua hari setelah jamuan caramillo di kafe waktu itu.

Gaun putih. Indah sekali. Disertai kertas biru muda yang bertuliskan, “ Jangan pernah layu dalam dinginnya semesta. Kawah merah simbol yang tak pernah hilang meski tanpa pangeran.”

***

Dua bulan pencarianku untuk menentukan kawah merah dan pendongeng kawah merah. Hingga tidak ada lagi rasa manis pada caramillo dalam carang penenang. Yang tersisa aroma yang kian mengudara. Semua yang kau katakan bukan lagi sebuah dongeng bukit penantian. Namun isyarat perpisahan. Dan aku tidak mengerti dengan gaun putih yang kau beri ini. Kabutnya perlahan menyingsing. Kawah merah yang berada di depan pandangan kian terlihat mata. Sebagaimana hati yang penuh cinta.

Aku berhasil menemukan kawah merah. Tapi aku gagal menemukan pendongengnya. Dimana sebenarnya kau berada. Kau menghilang. Kabar terakhir yang aku dengar kau mendaki Bukit Penantian. Bohong. Kataku tidak ada bukit penantian, tidak ada istana di kaki bukit. Semua itu omong kosong.

Tapi aku menemukan kawah merah. Hatiku tergoncang hebat. Setalah kabut hilang tersiar kabar ada pendaki yang hilang. Kabut itu datang pertanda ada yang hilang. Semua kabar itu kubantah. Omong kosong apalagi yang mereka katakan. Aku terhuyung menuju pos keamanan mencari daftar pendaki yang naik. Dalam urutan nomor 101 tercantum namamu “Galang Angkasa”.

Ini bukan bukit penantian atau bukit pertemuan bagiku sekarang ini adalah bukit kesedihan.

Aku tersungkur di tanah basah. Bedebah dengan gaun putih yang kukenakan. Aku luapkan semua air mata yang kuseka sejak paket itu bertamu. Ku tenggelamkan wajahku pada tangkupan kedua tangan. Hatiku parau. Suaraku ikut hilang sebab sesegukan. Lalu, samar-samar aku mendengar suara yang memanggil namaku.

“Jasmine, apa benar kau Jasmine?”

Aku mendongak, mata nanarku menemukan lelaki bertubuh tinggi dan gagah memakai hodie biru tua dengan syal hitam di leher. Aku tidak pernah melihat lelaki itu.

“Saya membawa titipan dari Galang,”ucapnya.

Mendengar namaku Aku buru-buru bangkit.

“Dimana dia sekarang. Dimana?!” tanyaku menggebu. Aku kesal, aku marah, aku kecewa. Entah, apalagi perasaan yang saling mengadu.

“Kau tenang dulu, Jasmine.” Dia menahan kedua bahuku. Menatapku yang kacau dengan tenang.

“Jasmine, Aku Agam teman mendaki Galang.”

“Terus mengapa kau bisa disini, dimana Galang?!” lagi-lagi aku tidak bisa mengontrol diri.

“Biarkan aku bicara terlebih dahulu, Jasmine.” Agam menyangga bahuku sedikit lebih kencang. Takut aku kembali tumbang.

“Ini, ini alasan mengapa aku tidak naik bersama Gakang.” Dia menyerahkan kertas dengan warna sepadan dengan kertas di paket dua bulan lalu. Tanganku gemetar. Aku tidak siap membuka yang kedua kalinya. Namun Agam meyakinkanku kalau semua kan baik-baik saja.

“Istanamu telah siap kau singgahi. Jangan bersedih meski tanpa pangeran.”

Lagi-lagi kau menuliskan kata yang serupa. Aku benci tulisan itu. Rasanya inginku membakar kertas biru muda penuh luka itu.

***

Agam mengantarku ke tempat yang kau katakan dengan istana itu. Rumah kecil dengan pelataran yang luas di kaki bukit penantian. Dia bilang kau mati-matian membeli tempat ini untuk kau jadikan istana untukku. Karena kau tahu aku tidak suka mendaki bukit. Supaya aku tetap bisa menikmati indahnya alam raya di kaki bukit. Aku bukanlah kau yang suka menikmati semesta dengan berjelajah. Tapi aku adalah kau dalam setiap nafas semesta.

Melihat foto kita dalam figura, serta aroma bunga lili yang kau letakkan di setiap sudut ruan, dan buang violet berbaris di pekarangan, aku belum bisa menerima kalau ini nyata. Aku berteriak. Rasanya kepala ini sangat berat. Aku yakin ini hanya leluconmu. Inikah jalan cerita dongengmu itu. Atau kah masih ada bagian yang belum kau bocorkan padaku.

“Mana surat berikutnya?” todongku pada Agam.

“Berikan surat itu sekarang!”

“Tidak ada surat lagi, Jasmine. Semuanya sudah dia berikan padamu. Tempat ini yang terakhir,” ungkap Agam.

“Bohong! Setelah ini Galang datang, kan? Iya, kan, Agam?”

Agam bergeming. Dia menatapku khawatir. Mungkin dia mengira aku orang gila. Ah benar aku sudah gila. Ini gila, Galang.

“Kau harus tahu, Jasmine. Semua teka-teki yang Galang berikan padamu sudah terisi. Dan Galang adalah bagian yang harus kau nanti, Jasmine.”

Memang benar semua sudah lengkap. Bukit penantian, kawah merah, istana di kaki bukit, bunga violet yang sengaja kau tanam di pekarangan rumah. Bahkan kau menambah bunga lili sebagai penawar kegelisahanku. Yang tidak ada hanya bumi puncak. Dan kau.

Bagiku tetap masih kurang. Apakah harus tanpa pangeran? Apakah akan terus kertas biru mudamu yang datang? Dan apakah aku bisa sesabar bunga violet yang menantimu di kaki bukit penantian?

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Nyanyian Hujan
Aizawa
Novel
Symphony After the Storm
Natasya Regina
Cerpen
Kota yang dijanjikan
Laily Zainuri
Cerpen
Keluargaku semangatku
Arif okta Maulana
Novel
Bronze
Love And Try It
Jimin Sesungki
Novel
Surga untuk Anakku
Hendra Wiguna
Skrip Film
Raga for Nada
Mitra putri
Cerpen
Pukul 11 Malam di Peron Stasiun (POV 2)
E. N. Mahera
Skrip Film
Pemimpi, Janda, dan Laki-Laki Paruh Baya
Webi Okto Satria
Skrip Film
SICK LOVE (Script)
Satrio Purnomo
Skrip Film
Mata Matarri
Yudhi Herwibowo
Flash
Bronze
Warisan
silvi budiyanti
Skrip Film
Tingkat Akhir -- Skrip(si)
Michelia Rynayna
Flash
The Middle Child
Nurulina Hakim
Cerpen
At The Crossroads of Love
Erdem Emre
Rekomendasi
Cerpen
Kota yang dijanjikan
Laily Zainuri
Cerpen
Bronze
Caramello di Kaki Bukit Penantian #BagianDua
Laily Zainuri
Cerpen
Bronze
Bunga Violet di Arah Matahari Tenggelam
Laily Zainuri